Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan
Peranan pemerintah dalam pembangunan ekonomi telah lama menjadi objek pembahasan yang menarik di antara ahli ekonomi. Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar berpendapat bahwa campurtangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai mekanisme pasar. Para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu (individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi.
Berbeda dengan kaum klasik dan neoklasik, John M. Keynes seorang ahli ekonomi terkemuka menganggap bahwa kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan output secara optimal (full employment of outputs). Tanpa campur tangan pemerintah dalam perekonomian, akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah. Akibatnya terjadi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan dayabeli dan mendorong adanya kegiatan bisnis.
Walaupun mekanisme pasar benar-benar beroperasi lebih efisien dalam rangka mengalokasikan sumberdaya yang ada dibandingkan mekanisme sektor publik, tetapi tidak berarti bahwa peranan sektor publik atau pemerintah dalam pengelolaan ekonomi nasional bisa dihilangkan sama sekali. Pembentukan modal (capital formation) adalah kebutuhan mendasar bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap awal pembangunan ekonomi, tabungan privat di negara-negara berkembang sangat rendah maka pemerintahlah yang harus memainkan peranan utama dalam upaya mengakumulasi modal. Selain itu, pemerintah juga masih harus menciptakan suatu keterkaitan tertentu dengan sektor swasta, agar sektor swasta tersebut dapat tumbuh dengan subur. Peranan penting lain yang dijalankan pemerintah adalah pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan (yang tidak bisa diharapkan akan digarap oleh pihak swasta mengingat biayanya yang besar dan tidak adanya keuntungan seketika). Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga bisa menciptakan distribusi pendapatan yang sangat timpang sehingga diperlukan pengaturan dan pengawasan oleh pemerintah untuk memperbaiki distribusi pendapatan (Todaro, 2000).
Menurut Jhingan (2008), dalam rangka mengatasi sifat kaku yang melekat di negara berkembang, pemerintah harus memegang peranan positif dan tidak boleh berlaku sebagai penonton pasif. Problema di negara berkembang adalah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar (kekuatan-kekuatan ekonomi). Untuk
mengangkat negara keluar dari titik-titik stagnasi diperlukan adanya pembaharuan rasio ekonomi secara cepat. Pada fase awal pembangunan, investasi harus dilakukan di bidang-bidang yang meningkatkan ekonomi eksternal yaitu yang mengarah pada penciptaan overhead sosial dan ekonomi seperti tenaga kerja, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
Perusahaan swasta tidak akan tertarik melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut karena risikonya besar dan keuntungannya kecil. Dari sini timbul kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan berbagai sektor ekonomi sehingga penawaran sesuai dengan permintaannya. Oleh karena itu pengawasan dan pengaturan oleh negara menjadi penting dalam rangka mencapai keseimbangan pertumbuhan. Keseimbangan memerlukan pengawasan atas produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Untuk tujuan ini pemerintah harus merencanakan pengawasan fisik dan langkah-langkah fiskal dan moneter. Langkah-langkah ini memang tidak dapat dihindarkan, untuk mengurangi ketidakseimbangan ekonomi dan sosial yang mengancam negara berkembang. Mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi merupakan tugas terpenting pemerintah, karena itu ruang lingkup tindakan pemerintah sangat luas dan menyeluruh. Menurut Lewis lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi ekonomi, menjamin full employment, dan menentukan laju investasi (Norton, 2004; Jhingan, 2008).
Pemerintah dapat mendorong pembangunan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kebijakan fiskal dan moneter yang tepat, pemerintah mampu menyingkirkan hambatan-hambatan ekonomis, kelembagaan dan sosial di negara berkembang. Kebijakan moneter memainkan peranan penting dalam mempercepat pembangunan dengan memengaruhi biaya dan ketersediaan kredit, pengendalian inflasi, dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah berusaha memperbaiki ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan yang melebar dengan adanya pembangunan, memperluas pasar internal, mengurangi impor yang tidak penting, meniadakan tekanan inflasi, dan merangsang berbagai jenis proyek pembangunan yang diinginkan (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Jhingan 2008).
Dalam mengelola perekonomian guna mencapai tujuan pembangunan, pemerintah dapat menggunakan kebijakan di bidang ekonomi. Pemerintah mengusahakan pada tingkat makro tercapainya kesempatan kerja penuh, stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan neraca pembayaran, dan pada tingkat mikro terjadinya pemakaian sumberdaya yang efisien. Dalam praktik, pada kondisi kerumitan ekonomi yang ada dan terbukanya perekonomian pada pengaruh-pengaruh internasional, pencapaian semua tujuan ini sekaligus secara berkesinambungan sering kali tidak mungkin, sehingga dibutuhkan skala prioritas serta pertimbangan politik dan ekonomi. (Donalson, 1984; Todaro, 2000; Norton, 2004).
Program Pengentasan Kemiskinan
Pertumbuhan ekonomi penting untuk menciptakan kesempatan-kesempatan atau peluang-peluang untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi sendiri tidak cukup, orang miskin dan orang yang rentan mungkin tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan, karena mereka kurang sehat, kurang keahlian, dan kurangnya akses terhadap infrastruktur dasar. Pemberdayaan sangat penting bagi penduduk miskin untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang diciptakan dengan adanya pertumbuhan.
Dalam menjalankan roda pembangunan pemerintah telah melaksanakan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Berbagai program telah dilaksanakan tetapi pada kenyataannya tingkat kemiskinan masih saja merupakan fenomena yang harus terus ditanggulangi sampai saat ini. Berbagai program yang dijalankan pemerintah tersebut lebih banyak menemui kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Beberapa program tersebut antara lain:
Program Inpres Desa Tertinggal (IDT)
Program IDT merupakan program yang paling luas dan tersebar di Indonesia. Program ini dilaksanakan sejak 1994/1995. Program penanggulangan kemiskinan ini lebih di khususkan pada tingkat pedesaan. Kunci yang paling penting dari program IDT adalah memberi kepercayaan penuh dan kebebasan kepada penduduk miskin untuk melaksanakan program-programnya sesuai dengan kreatifitas dan potensi yang dimiliki oleh penduduk miskin sendiri. Dengan dana hibah Rp 20 juta untuk masing-masing desa, masyarakat dipercaya untuk menggunakannya sesuai dengan kegiatan/usahanya masing-masing tanpa intervensi sedikitpun.
Program IDT merupakan suatu program untuk menumbuhkan dan memperkuat kegiatan usaha para penduduk miskin dengan membuka kesempatan berusaha yang dirahkan untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dengan prinsip gotong royong, keswadayaan dan peran serta. Keberhasilan pelaksanaannya tergantung dari kepedulian aktif seluruh masyarakat, motivasi penduduk miskin untuk mengubah nasibnya, dukungan aparat pemerintah dalam penganggulangan kemiskinan serta peran aktif berbagai pihak seperti perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, pers dan dunia usaha.
Bantuan dana IDT disalurkan langsung kepada kelompok masyarakat melalui bank penyalur yang di tunjuk tingkat kecamatan. Dana tersebut menjadi dana abadi milik masyarakat desa yang digunakan untuk mengembangkan desa yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pengembangan usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat atau melalui kegiatan ekonomi yang sudah biasa dilakukan penduduk miskin sehari-hari.
Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk
penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Mubyarto dkk, membuktikan yang sebaliknya. Dana hibah di Karangawen Gunung kidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97 persen selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai dana hibah pemerintah pusat kepada 123 ribu pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis dijadikan modal simapn pinjam yang kini telah berkembang 126 persen. Bukti dari lapangan tersebut menunjukkan bahwa rakyat/penduduk miskin tidak memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan, tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu mengembangkan masyarakat desa yang mampu dan percaya diri. Bantuan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal
Pengembangan program IDT diimplementasikan dalam Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT. P3DT dioperasionalkan mulai tahun 1995/1996 yang menekankan bantuan pembangunan prasarana dan sarana dasar yang dapat mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat lokal. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembanguanan di tingkat lokal, penguatan kelembagaan pembangunan di tingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemantapan sistem pelaporan (pemantauan dan evaluasi) makin dimantapkan dalam pelaksanaan program P3DT. Prinsip penguatan kelembagaan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal dan yang diwujudkan melalui wadah LKMD menjadi dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana dasar sosial ekonomi. Melalui pelaporan yang tertib, perkembangan dan pelestarian pelaksanaan kegiatan, hasil pembangunan dan dampaknya dapat diketahui guna meningkatkan kapasitas masyarakat.
Bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Program P3DT ini kemudian disempurnakan dalam bentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Kedua program ini memiliki sistem dan aturan yang sama perbedaannya hanyalah pada lokasi program. PPK merupakan bantuan program untuk daerah pedesaan sedangkan P2KP untuk daerah perkotaan.
Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
Dalam mengatasi krisis yang terjadi di Indonesia, maka untuk mengatasi dampak dari krisis tersebut pemerintah memberikan program PDM-DKE. Program ini menerapkan prinsip perencanaan bottom-up. Dengan didampingi oleh tim koordinasi/Pembina dalam pelaksanaannya. Dalam segi penyaluran bantuan, program PDM-DKE menerapkan bantuan langsung kepada masyarakat. Sejak dan berada di daerah, masyarakat di daerah tersebut memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola penggunaan bantuan tersebut.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Program ini ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesempatan kerja. Koordinasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan merupakan merupakan penting yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemerintah mengkonsolidasikan program-program penanggulangan kemiskinan menjadi 3 kelompok program penanggulangan kemiskinan. Masing-masing ketiga kelompok tersebut secara berurutan berupaya mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin, selanjutnya berupaya meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin dan kemudian meningkatkan tabungan dan menjamin keberlanjutan berusaha pelaku usaha mikro dan kecil. Ketiga kelompok tersebut adalah: (1) kelompok program berbasis bantuan dan perlindungan sosial, (2) kelompok program berbasis pemberdayaan masyarakat, (3) kelompok program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Berdasarkan laporan TNP2K (2013) hasil yang telah diperoleh pada tahun 2011 dari Klaster I yang ditujukan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk mengurangi beban pemenuhan kebutuhan dasar dan untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota rumah tangga miskin melalui peningkatan akses pada pelayanan dasar adalah: (1) realisasi penyaluran subsidi Raskin sebesar 2.9 ton bagi 17.5 juta rumah tangga sasaran penerima raskin, dan adanya penyaluran raskin ke-13 mengurangi beban pengeluaran rumah tangga miskin akibat kenaikan harga-harga pangan, termasuk beras, (2) pemberian beasiswa yang direncanakan untuk 4.7 juta siswa.
Sementara itu, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2011 telah dilaksanakan bagi 722,000 rumah tangga miskin (RTSM) di 88 Kabupaten/Kota pada 20 Provinsi dengan kualitas yang semakin meningkat dimana telah terjalin koordinasi antara beberapa program berbasis keluarga atau rumah tangga, seperti Jamkesmas dan beasiswa miskin. Pelaksanan PKH juga telah memberikan dampak terhadap peningkatan siswa yang terdaftar pada satuan pendidikan setingkat SMP sebesar 3.1 % dan juga peningkatan kesehatan RTSM.
Sejalan dengan pelaksanaan Klaster I, hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program Klaster II untuk tujuan Pemberdayaan Masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut: pada tahun 2011 pelayanan PNPM Mandiri Inti sudah dilaksanakan di 6,328 kecamatan di seluruh Indonesia, dan akan terus dilanjutkan sehingga pada tahun 2012 PNPM Inti akan mencakup di 6,623 kecamatan, dengan penempatan 30,000 fasilitator sebagai pendamping masyarakat dan didukung dengan penyaluran bantuan langsung masyarakat sebesar Rp. 10.31 triliun yang berasal dari APBN dan APBD. Pelaksanaan PNPM Mandiri, juga didukung oleh pelaksanaan PNPM pendukung diantaranya: (1) PNPM Generasi sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas generasi penerus, (2) PNPM Kelautan dan Perikanan (PNPM-KP) yang ditujukan untuk memberikan fasilitas bantuan sosial dan akses usaha modal, (3) PNPM Agribisnis, yaitu Program Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP), serta (4) PNPM Pariwisata yang baru masuk dalam
PNPM Penguatan dengan tujuan mengembangkan kapasitas masyarakat dan memperluas kesempatan berusaha dalam kegiatan kepariwisataan.
Pelaksanaan PNPM telah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pendapatan rumah tangga hingga 19 persen dan konsumsi rumah tangga hingga 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak mendapat PNPM. Selain itu, akses terhadap kesehatan juga lebih besar 5 persen dan peningkatan kesempatan kerja yang lebih besar 1.25 persen di lokasi PNPM dibandingkan lokasi non PNPM. Hasil yang dicapai dalam pelaksanaan Klaster III adalah terlaksananya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM dan koperasi. Sejak tahun 2007 sampai dengan akhir tahun 2011 kredit yang tersalurkan hampir Rp. 34.42 triliun, dan mencakup sekitar 3.81 juta nasabah dengan tingkat NPL mencapai 2.52 persen. Sebagian besar KUR diserap oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel (63.7 persen) dan pertanian (17.1 persen). Penyaluran KUR sebagian besar berada di wilayah Jawa dengan volume KUR sebesar 50,2 persen dan proporsi debitur mencapai 61.0 persen. Pada periode tahun 2011, dana KUR yang disalurkan mencapai Rp. 17.23 triliun dengan jumlah nasabah lebih dari 1.4 juta nasabah. Pelaksanaan KUR telah memberikan dampak terhadap rata-rata asset usaha sebesar Rp. 51 juta, asset rumah tangga sebesar Rp. 12.66 juta dan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp. 279,000 per bulan. Selain itu, KUR juga telah mengatasi penggangguran terselubung bagi debitur dan keluarganya, serta meningkatkan intensitas utilisasi tenaga kerja dan kontribusi pada perekonomian nasional.
Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan bila seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Perkembangan teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tersebut terdiri dari Mazhab Historis dan Mahzab Analitis yang terdiri dari teori Klasik, Teori Neo Klasik, Teori Keynesian, dan Teori Schumpeter (Anonymous 2012) dalam Indra (2013).
Teori Pertumbuhan Keynessian
Mankiw (2007) menyatakan bahwa teori Keynessian adalah nama suatu teori ekonomi yang diambil dari John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris yang hidup antara tahun 1883 sampai 1946. Beliau dikenal sebagai orang pertama yang mampu menjelaskan secara sederhana penyebab dari Great Depression. Teori ekonominya berdasarkan atas hipotesis siklus arus uang, yang mengacu pada ide bahwa peningkatan belanja (konsumsi) dalam suatu perekonomian, akan meningkatkan pendapatan yang kemudian akan mendorong lebih meningkatnya lagi
belanja dan pendapatan. Teori Keynes ini menyebabkan banyak intervensi kebijakan ekonomi pada era terjadinya Great Depression.
Teori Keynes kemudian menyimpulkan bahwa ada alasan pragmatis untuk pendistribusian kemakmuran: jika segmen masyarakat yang lebih miskin diberikan sejumlah uang, mereka akan cenderung membelanjakannya daripada menyimpannya; yang kemudian mendorong
pertumbuhan ekonomi. Ide pokok dari teori Keynes ini adalah “Peranan Pemerintah” yang tadinya diharamkan dalam Teori Ekonomi Klasik. John
Meynard Keynes menjelaskan teori ekonominya dalam buku karangannya
berjudul “The General Theory of Employment, Interest and Money”
Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi
situasi makro), agar mendekati posisi “Full Employment”-nya. Permintaan Agregat adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Barang dan jasa diartikan sebagai barang dan jasa yang diproduksikan dalam tahun tersebut (barang bekas atau barang yang diproduksikan tahun-tahun sebelumnya atau barang yang tidak diproduksikan seperti tanah, tenaga
kerja dan faktor produksi lain, tidak termasuk dalam pengertian “barang dan jasa” dimaksud disini). Dalam perekonomian tertutup permintaan
agregat terdiri dari 3 unsur:
1 Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C) 2 Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I)
3 Pengeluaran Pemerintah (G), Pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi.
= � + � + �
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menyatakan bahwa
= � + � + � + − �
Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variable-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat. Variabel G menyatakan pengeluaran pemerintah (Government expenditures), I merupakan Investment, X-M adalah net ekspor. Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta mengamatinya dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat atau pendapatan nasional. Dengan ini, dapat dianalisis seberapa penting peranan pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pemerintah sebagai salah satu pelaku ekonomi (rumah tangga pemerintah), memiliki fungsi penting dalam perekonomian yaitu berfungsi sebagai stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
1. Fungsi Stabilisasi, yakni fungsi pemerintah dalam menciptakan kestabilan ekonomi, sosial politik, hukum, pertahanan, dan keamanan. 2. Fungsi Alokasi, yakni fungsi pemerintah sebagai penyedia barang dan
jasa publik seperti pembangunan jalan raya, gedung sekolah, penyediaan fasilitas penerangan, dan telepon.
3. Fungsi Distribusi, yakni fungsi pemerintah dalam pemerataan atau distribusi pendapatan masyarakat.
Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial (Suharto 1997).
1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman 1981).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall 1965).
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein 1970).
4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill 1986) Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung kepada penambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan akumulasi modal dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini didasarkan kepada anggapan yang mendasari analisis klasik, yaitu perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan kata lain, sampai dimana perekonomian akan berkembang tergantung kepada pertambahan penduduk, akumulasi capital, dan kemajuan teknologi.
Menurut teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio) bisa berubah. Untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda pula. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit. Sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit, maka lebih banyak tenaga kerja yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan output tertentu.
Y = F K, L
Y� = GDP (PDRB) pada tahun t
K� = jumlah stok barang modal pada tahun t
L� = jumlah tenaga kerja pada tahun t
Y/L (output per pekerja) adalah fungsi dari K/L (jumlah modal per pekerja). Dengan asumsi besarnya perekonomian yang diukur dengan jumlah pekerja tidak mempengaruhi hubungan output perkapita dengan modal per pekerja, jadi Y/L=y dan K/L=k.
Konsep dan Teori Kemiskinan Konsep Kemiskinan
Kemiskinan menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Badan Pusat Statistik (2014) dalam mengukur tingkat kemiskinan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Metode yang digunakan BPS adalah menghitung garis kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Penghitungan GK dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. GKM merupakan suatu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. GKBM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
k=K/L y=Y/L y i K f(k) y=f(k) i=sf(k)
Selama periode September 2013-Maret 2014, garis kemiskinan naik sebesar 3,34 persen, yaitu dari Rp. 292.951,- per kapita perbulan pada September 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan pada Maret 2014. Sementara pada periode Maret 2013-Maret 2014, Garis Kemiskinan naik sebesar 11,45 persen, yaitu dari Rp. 271.626,- per kapita per bulan pada Maret 2013 menjadi Rp. 302.735,- per kapita per bulan Maret 2014. (BPS, 2014)
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan, perlu dilakukan suatu pemetaan kemiskinan. Pemetaan