• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1 Telur Ayam

Telur merupakan produk perunggasan yang sangat akrab dan banyak digemari, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Telur merupakan bahan makanan bagi masyarakat, karena mempunyai nilai protein yang tinggi, komposisi asam amino lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan bahan pangan yang sarat akan gizi dan harganya pun relatif lebih murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Kandungan protein dalam telur sangat tinggi dan mampu bersaing dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, kandungan protein telur sangat mudah dicerna dan diserap oleh tubuh, terutama untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan dalam tubuh.

Selain sebagai bahan pangan yang bermanfaat, telur dapat pula dijadikan sebagai media untuk memproduksi antibodi untuk menangkal berbagai penyakit infeksi, termasuk diare. Agar dapat terjadi proses netralisasi, antigen telur harus dikenal oleh antibodi. Antibodi terdiri dari beberapa imunoglobulin (Ig) yang merupakan substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul dalam serum yang mampu mengenali sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Selama ini imunoglobulin yang digunakan dihasilkan dari hewan mamalia seperti kelinci, mencit putih, tikus, babi dan hewan mamalia besar seperti kuda, kambing, domba dan sapi (Suartha et al. 2003).

Ayam kampung mulai bertelur pada umur 4-5 bulan (Anonim 2005). Namun perlu di sadari bahwa keragamannya besar, artinya antara rencana dengan kenyataan bisa berbeda. Karena ayam kampung tidak memiliki genetis yang seragam. Sebagian orang beranggapan kandungan gizi ayam kampung lebih baik dari ayam ras. Dapat dilihat dari perbandingan komposisi gizi telur dari berbagai jenis unggas dalam Tabel 1. Sedangkan kandungan gizi telur ayam kampung dalam setiap 100 gr bahan yang dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Komposisi Zat Gizi Telur Berbagai Jenis Unggas

Jenis Unggas Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Ayam ras 12.7 11.3 0.9 1.0 Ayam buras 13.4 10.3 0,9 1.0 Itik 13.3 14.5 0.7 1.1 Angsa 13.9 13.3 1.5 1.1 Merpati 13.8 12.0 0.8 0.9 Kalkun 13.1 11.8 1.7 0.8 Puyuh 13.1 11.1 1.0 1.1

Sumber : Anonim 2007a

Tabel 2 Kandungan zat gizi dalam telur per 100 g bahan yang dapat dimakan

Jenis zat Kuning telur Putih telur telur Bahan yang dapat dimakan (%) 100.0 100.0 90.0 Energi (kkal) 355.0 46.0 158.0 Energi (KJ) 1501.0 197.0 667.0 Air (g) 49.4 87.8 74.0 Protein (g) 16.3 10.8 12.8 Lemak (g) 31.9 0 11.5 Karbohidrat (g) 0.7 0.8 0.7 Mineral (g) 1.7 0.6 1.0 Kalsium (mg) 147.0 6.0 54.0 Fosfor (mg) 586.0 17.0 180.0 Besi (mg) 7.2 0.2 2.7 Vitamin A (retinol) (mcg) 600.0 0 270.0 Vitamin B (tiamin) (mg) 0.27 0.01 0.10 Vitamin C (asam askorbat) (mg) 0 0 0 Sumber : Nio 1997

2. 2 Imunoglobulin Y

Manusia dan mamalia lainnya dapat memberikan respon dengan cara membentuk dan mengeluarkan suatu molekul protein khusus yang disebut imunoglobulin (Ig) (Roitt 1991). Imunoglobulin merupakan fraksi protein yang mengandung zat anti komplek imun tertentu, disintesis oleh limfosit dan sel

plasma serta ditemukan dalam serum, cairan tubuh, serta jaringan tubuh lainnya (Ramali dan Pamoentjak 2003; Dorland 1995). Pada manusia terdapat lima kelas dari imunoglobulin, yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, IgE (Baret 1970). Pada unggas IgG dikenal sebagai IgY (Tarigan 2003).

Sistem kekebalan tubuh atau sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai benda asing atau antigen. Kata imun berasal dari bahasa Latin 'immunitas' yang berarti pembebasan atau kekebalan (Anonim 2007b). Istilah ini kemudian berkembang dan berubah arti menjadi perlindungan terhadap penyakit terutama penyakit menular. Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka akan terjadi respon tubuh membentuk zat anti yang disebut dengan antibodi. Reaksi pertama tubuh membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum memiliki "pengalaman". Namun pada reaksi kedua, ketiga dan seterusnya, tubuh telah memiliki memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi dapat terjadi dalam waktu lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Sistem kekebalan tubuh dapat diibaratkan ”prajurit” yang disiplin, teratur, cerdas, dan pekerja keras yang melindungi tubuh dari musuh luar dan dalam, khususnya ”musuh” seperti bakteri atau virus tertentu yang berupaya memasuki tubuh (Waspodo 2004).

Molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara limfosit B peka antigen dan antigen khusus adalah antibodi (Tizard 1988). Imunitas dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu imunitas non spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas non spesifik yang disebut juga imunitas bawaan dimiliki oleh hewan sejak lahir atau sebelum terpapar oleh suatu penyakit. Sedangkan imunitas spesifik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu imunitas aktif dan imunitas pasif. Pada imunitas pasif, antibodi tersedia dengan cepat tetapi memiliki masa hidup yang singkat dalam melawan penyakit. Anak hewan mendapatkan imunitas pasif dari induknya dari kolostrum (IgA) pada hewan mamalia atau dari kuning telur (IgY) pada reptil dan unggas. Kuning telur ayam telah diteliti mengandung lebih dari 200 antibodi yang berbeda. Antibodi ini berasal dari paparan mikroorganisme melalui vaksinasi maupun paparan alami. Antibodi ini akan diturunkan melalui

kuning telur dengan titer yang berbeda tergantung dari tingkat paparannya (Larsson et al. 1993).

Imunitas aktif didapatkan melalui imunisasi dimana tubuh aktif membentuk kekebalan dan bertahan lama dalam tubuh. Vaksin mengandung organisme yang telah mati atau dilemahkan. Vaksin akan merangsang sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap mikroorganisme tertentu dan selama proses tersebut berlangsung sistem imun membentuk sel memori terhadap paparan mikroorganisme. Antibodi akan terbentuk lebih banyak apabila ada paparan ulangan (Coleman 1996).

2. 3 Imunoglobulin pada unggas

Pada ayam terdapat tiga kelas imunoglobulin yang dapat disamakan dengan imunoglobulin mamalia yaitu IgA, IgM, dan IgY(IgG). Berat molekul, morfologi, dan mobilitas imunoelektroporetik serupa antara IgA dan IgM ayam terhadap IgA dan IgM mamalia. Imunoglobulin Y adalah serum imunoglobulin utama yang mempunyai berat molekul rendah pada hewan ovipar (bertelur). Imunoglobulin Y ayam lebih bersifat sistemik dan dapat juga ditemukan di bagian terkecil, usus, cucian trakhea dan seminal plasma. Penyebutan IgY dimaksudkan untuk membedakan dengan pembandingannya Ig yang terdapat pada mamalia. Dengan alasan bahwa rantai berat (H) dari molekul ini lebih besar dan secara antigenik berbeda. Selain itu, tidak ada persamaan imunologis antara IgY ayam dan IgG mamalia, dan urutan DNA IgY ayam lebih menyerupai urutan DNA pada IgE manusia (Carlender 2002).

Imunoglobulin Y ditransfer melalui epitel folikel dari ovari selama masa oogenesis, serupa transfer IgG melalui plasenta pada mamalia (Rose dan Orlans 1981). Ayam yang telah diimunisasikan dengan berbagai macam antigen diantaranya bovine serum albumin (Ermeling et al. 1992; Li et al. 1998), bakteri (Shimizu et al. 1988) akan merangsang pembentukan IgY yang spesifik terhadap antigen yang diimunisasikan.

2. 4 Sistem Kekebalan Unggas

Sistem imun ayam terdiri dari bursa fabrisius, sumsum tulang, limfa, timus, glandula Harderian, limfonodus, sirkulasi limfosit dan jaringan limfoid di traktus alimentarius. Sel pensintesa antibodi (sel B) diproduksi oleh bursa fabricius, sedangkan sumsum tulang memproduksi bursa dan timus stem sel. Limfa adalah pusat proliferasi plasma sel dan sel B memori. Unggas tanpa limpa akan mengalami penurunan produksi antibodi. Timus adalah pusat pematangan sel stem yang berdiferensiasi menjadi limfosit T. Aktivitas limfosit T pada unggas sama dengan aktivitas limfosit T pada mamalia (Larsson 1998). Mekanisme pembentukan antibodi pada ayam berbeda dengan mamalia sejak masa embrional karena pada ayam dipengaruhi oleh hiperkonversi somatik.

2. 5 Struktur Imunoglobulin Y (IgY)

Gambar 1 Imunoglobulin Y (Anonim 2007c).

Imunoglobulin G yang dihasilkan oleh bangsa unggas dinamakan imunoglobulin Y (IgY). Pada awalnya IgY (Gambar 1) unggas diduga menyerupai IgG mamalia karena rantai berat Y yang menyerupai IgG. Tetapi ternyata IgY unggas (IgG ayam) Ig kuning telur atau 7S IgG sangat berbeda dengan IgG mamalia. IgY dapat diperoleh dari hewan reptil, ampibi dan unggas (Szabo et al.

1998).

Secara keseluruhan struktur IgY menyerupai IgG mamalia, dengan dua rantai ringan dan dua rantai berat. Molekul ini mempunyai masa 167.250 Da, sedikit lebih besar dari IgG (~160 kDa) (Carlender 2002). Rantai ringan

immunoglobulin ayam mempunyai masa yang lebih ringan dibandingkan pada mamalia. Rantai berat IgY (65.105 Da) sering disebut dengan “upsilon”, υ, (huruf besar Y) mempunyai satu bagian variable (VH) dan empat bagian konstan (Cυ1, Cυ2, Cυ3, Cυ4) serta tidak memiliki daerah lengan. Rantai ringan (18.660 Da) tersusun atas satu bagian variable dan satu bagian konstan yang tetap. Sedang pada rantai berat IgG mengandung empat rantai yaitu tiga rantai konstan (Cγ1, Cγ2 dan Cγ3) dan satu rantai variable (VH). Perbandingan antara IgY dan IgG adalah terletak pada daerah Cγ2 dan Cγ3 dari IgG yang berhubungan erat dengan daerah Cυ3 dan Cυ4 dan ketika daerah Cυ2 absen dalam struktur IgG, maka digantikan oleh daerah lengan yang disebut hinge (Schade et al. 1999).

2. 6 Escherichia coli Klasifikasi ilmiah

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : E. coli

Gambar 2 Escherichia coli.

(Wikipedia 2007)

Escherichia coli (Gambar 2) merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk batang, termasuk ke dalam familia Enterobacteria. Escherichia coli

disebut juga coliform fecal karena ditemukan di dalam usus hewan dan manusia.

Escherichia coli sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran (Fardiaz 1989). Escherichia coli berukuran 0.5-1.0 x 1.0-3.0 m, motil, hidup secara anaerob fakultatif, cenderung bersifat patogen bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Kisaran suhu pertumbuhan Escherichia coli adalah antara 10 °C-40 °C dengan suhu optimum 30 °C. Kisaran pH antara 7.0-7.5 dengan nilai Aw (aktivitas air) minimum untuk pertumbuhan adalah 0.96. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas sehingga inaktif pada suhu pasteurisasi (70 °C-80 °C) (Fardiaz 1989). E. coli (Bacterium coli) pertama kali diuraikan oleh Escherich pada tahun 1886 dengan nama Bacterium coli commune dan umumnya ditemukan pada traktus intestinal dari manusia dan hewan tingkat tinggi (Burrows 1950). E. coli termasuk dalam kelompok enterobactericeae, bersifat gram-negatif, anerob-fakultatif, oksidase negatif, laktosa dan katalase positif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, fermentatif serta biasanya bergerak (Lay dan Hastowo 1992). Bakteri E. coli merupakan flora normal anaerob fakultatif pada saluran pencernaan manusia yang berperan penting dalam mempertahankan fisiologi usus, tetapi beberapa galur bersifat patogen dan dapat menyebabkan diare (Levine 1987). Di dalam saluran pencernaan, E. coli menghasilkan endotoksin yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit ke dalam lumen usus sehingga jaringan di luar usus akan kekurangan cairan dan elektrolit. Hal ini menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan larutan elektrolit yang berakibat turunnya fungsi sistem peredaran darah yang diikuti dengan stress dan kematian (Soebronto 1985).

Escherichia coli merupakan mikroflora normal tetapi beberapa serotipe tertentu dapat menimbulkan penyakit, diantaranya ETEC987P, EHEC, EPEC, K88, K99, O157:H7, O45 (Lee et al. 2000). Permukaan E. coli mengandung beberapa struktur antigen yaitu: antigen O (somatik), K (kapsel), dan H (flagella). Determinan antigen O terletak pada bagian lipopolisakarida, sedangkan antigen K merupakan polisakarida dan protein, dan antigen H mengandung protein. Kemampuan adhesi dari E. coli dipengaruhi oleh pili. Infeksi E. coli akan menyebabkan terbentuknya koloni pada lapisan epitel dari sel yang akan diperantarai oleh pilus sehingga mikroba dapat melekatkan diri pada permukaan lapisan epitel dan memproduksi toksin (Lay dan Hastowo 2000).

Escherichia coli sering ditemukan pada beberapa infeksi hewan. Mikroba tersebut dapat merupakan agensia primer maupun sekunder pada infeksi. Infeksi

E. coli yang parah menyebabkan bakteriaemia atau septikemia disebabkan oleh E. coli (Lay dan Hastowo 2000). Escherichia coli merupakan agen penyakit pada hewan peka yaitu hewan menyusui dan hewan muda terutama yang berumur kurang dari 1 minggu (Carter dan John 1990). Penyakit yang disebabkan oleh E. coli antara lain : infeksi intestinal dan mastitis pada sapi (Carter dan John 1990); diare neonatal, enteritis hemoragika dan edema pada babi (Supar et al. 1989); air sacculitis, Hjare’s disease, enteritis dan kelainan organ reproduksi pada unggas (Anonim 2003; Wiryawan 2003).

2. 7 Salmonella sp.

Menurut Lignieres (1900), klasifikasi ilmiah Salmonella sp. (Gambar 3) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria Class : Gamma Proteobacteria Order : Enterobacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella Spesies : Salmonella sp. Gambar 3 Salmonella sp. (Wikipedia 2007)

Salmonella adalah salah satu bakteri penyebab infeksi yang sangat umum terjadi di daerah-daerah dengan sanitasi dan kebersihan lingkungannya kurang terpelihara. Menurut Rhorer (1998) pada saat segar telur secara alami terkontaminasi dengan jumlah mikroba 10 CFU/ml. Namun pada studi mereka membuktikan bahwa Salmonella sp. yang terkandung dalam telur secara alami adalah 60 – 42 CFU Salmonella sp.perbutir telur. Sedangkan pada studi yang lain Humprey menemukan jumlah Salmonella sp. minimal 1 CFU dan maksimal 20 CFU pada telur yang besar. Pada umumnya infeksi Salmonella terjadi setelah memakan makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri tersebut dan jumlah 105 - 108. Hewan ternak, mamalia pengerat dan unggas secara alamiah terinfeksi dengan Salmonella dan mempunyai bakteri ini dalam jaringannya (daging), tinja atau telur (Burrows et al.dalam Yulianingsih 1997).

Salmonellosis adalah penyakit menular yang menyerang hewan dan atau manusia, yang disebabkan oleh Salmonella. Salmonellosis merupakan penyakit zoonosis, dan bersifat food borne disease karena dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya serta penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman (Gast 1997). Salmonella adalah bakteri gram negatif berbentuk batang langsing, tidak membentuk spora, tidak berkapsel, bersifat motil (kecuali

Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum) dan gram negatif. Bakteri

Salmonella pertama kali diisolasi oleh Salmon dan Smith (1885) dari kasus kolera babi dan diberi nama Bacillus cholerasuis yang kemudian disebut Salmonella cholerasuis. Setelah itu sejumlah peneliti lain berhasil mengisolasi bakteri

Salmonella dari penyakit hewan dan demam enterik, serta gastroentritis pada manusia (Dirjen Peternakan 1982).

Hampir semua hewan rentan terhadap salmonellosis terutama ayam dan babi. Derajat kerentanannya tergantung pada umur, kondisi tubuh induk semang serta keseimbangan flora dalam tubuh (karena pengobatan antibiotika terus menerus). Cara penularan salmonellosis terutama terjadi melalui saluran pencernaan yaitu akibat memakan atau meminum bahan makanan yang tercemari bakteri Salmonella. Selain itu salmonellosis juga ditularkan secara intra uterin dan melalui telur. Penyebaran bakteri Salmonella terjadi melalui tinja penderita.

Penderita salmonellosis masih mengeksresi bakteri Salmonella 3 – 4 bulan setelah sembuh dari sakit (Dirjen Peternakan 1982).

Telur yang terinfeksi ringan oleh Salmonella akan menghasilkan anak ayam yang bertahan hidup dan tumbuh menjadi besar (carrier). Namun bersifat

carrier yang mungkin terus mengeksresikan Salmonella (Pelzcar dan Chan 1981). Penyakit salmonellosis dapat terjadi apabila sejumlah besar bakteri tertelan dalam keadaan hidup, dan di dalam saluran pencernaan menimbulkan gejala gastroenteritis.

Kerugian yang terjadi akibat salmonellosis pada hewan antara lain : kematian, penurunan produksi ternak, abortus, kematian neonatal dan pengafkiran bahan makanan yang tercemar bakteri Salmonella. Salmonellosis pada unggas umumnya disebut pullorum karena disebabkan oleh Salmonella pullorum. Gejala klinis pada unggas ialah tinja berwarna putih atau coklat kehijauan, nafsu makan menurun, haus, lesu, sayap terkulai dan terjadi gangguan syaraf. Bahkan dapat menyebabkan kematian secara akut. Penyakit ini terutama menyerang unggas muda. Kelainan pasca kematian pada pullorum akut, ditandai hati membengkak dan hemorrhagis, serta sekum berisi massa perkejuan. Pada proses subakut terjadi pembesaran dan pembentukan sarang-sarang nekrosa pada jantung, hati, limpa dan paru-paru. Pada unggas dewasa penyakit ini dapat menyerang alat reproduksi dengan tanda-tanda lesi pada ovum, penyimpangan bentuk, pendarahan serta pembentukan siste pada ovum (Dirjen Peternakan 1982).

Menurut Jawetz et al.dalam Yulianingsih (1997) secara klinis infeksi oleh bakteri Salmonella dibagi atas 3 tipe yaitu :

1. Demam enterik; Salmonella yang tertelan akan mencapai usus halus dan masuk ke dalam kelenjar getah bening, dan melalui aliran darah diangkut ke berbagai organ lainnya, diantaranya hati dan limpa. Bakteri berkembang biak dalam jaringan limfoid dan diekskresikan dalam tinja.

2. Bakteriemia; invasi bakteri ke dalam darah setelah infeksi melalui mulut dan dapat menimbulkan lesi lokal di paru-paru, tulang dan selaput otak.

3. Gastroenteritis; gejala yang paling sering timbul dari infeksi Salmonella setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh Salmonella. Setelah 8–48 jam akan menimbulkan demam, rasa mual, sakit kepala, muntah dan diare

yang hebat. Untuk kejadian demam ringan biasanya dapat sembuh 2–3 hari. Terdapat lesi-lesi peradangan usus halus dan usus besar.

Salmonella sp.tidak dapat bertahan hidup pada lingkungan kering, apabila bakteri ini di letakkan di bawah sinar matahari ia akan mati dalam beberapa jam. Namun ia dapat bertahan hidup selama 20 hari dalam kamar gelap. Salmonella sp. mati pada suhu pasteurisasi pada 10-12 menit, dalam fenol 0.6%, 3 menit dalam KMnO4 1% dan HgCl2. Karakteristik biokimia Salmonella sp. antara lain : tidak mengurai glukosa, mannitol, maltose, tidak menghidrolisis urea, tidak mencairkan gelatin, tidak memproduksi indol, memproduksi asam dari glukosa serta tidak memproduksi asetyl metyl carbonil dari dextrose (Dirjen Peternakan 1982).

2. 8 Struktur Antigen Salmonella sp.

Antigen (Ag) adalah substansi pada tubuh inang dapat mendorong pembentukan antibodi. Pada umumnya antigen adalah protein, tetapi ada pula yang tersusun dari polisakarida/polipeptida (Jawetz et al. dalam Yulianingsih 1997). Salmonella memiliki 3 macam antigen, yaitu Ag simatik (O), Ag flagell (H) yang berbeda satu/dua fase dan Ag kapsul (Vi). Ag O dan Ag H adalah antigen utama Salmonella. Bakteri Salmonella membentuk Ag (O) dan AG (H) yang termostabil. Antigen (O) kodenya angka Romawi (I, II dsb). Antigen yang dihubungkan dengan sifat virulensi S. typhi diberi kode Vi, antigen ini tidak tahan panas. Identifikasi Salmonella dilakukan dengan uji sitrat, biokimia dan analisis antigenik (Buxton dan Frasel dalam Yulianingsih 1997).

Antigen O merupakan bagian di struktur pembentuk dinding sel bakteri. Sifat Ag ini ditentukan oleh lipopolisakarida yang tahan panas (100 °C), alkohol dan asam (Lay dan Hastowo, 1992; Jawetz et al. dalam Yulianingsih, 1997). Sebagian besar Salmonella spp. memiliki lebih dari satu Ag (O) (Buxton dan Fraser dalam Yulianingsih 1997). Antigen (O) ini ditulis dengan angka dimulai dari angka 1-65, contohnya S. enteritidis 1, 9, 12, yang artinya mempunyai Ag(O) : 1, 9, 12 (Holt 1979). Antigen (H) terdiri dari protein yang disebut flagellia (Buxton dan Fraser dalam Yulianingsih 1997). Antigen ini bersifat termolabil (Jawetz et al. dalam Yulianingsih 1997). Antigen menjadi tidak aktif pada suhu diatas 60 °C atau dalam suasana asam. Antigen (H) terdiri dari 2 fase yaitu tipe

monofase (kode huruf kecil:a, b dsb) dan tipe difase (kode angka Arab: 1, 2 dsb). Antigen (H) dibagi kedalam dua fase yaitu fase spesifik (fase 1) dan fase group (fase 2). Antigen fase 1 ditulis dengan huruf kecil (a, b, c, dst) dan untuk selanjutnya ditulis dengan huruf Z dan angka (1, 2, 3, dst). Variasi Ag ini digunakan sebagai dasar untuk membedakan serotipe dalam masing-masing group, contohnya S. paratyphi B mempunyai Ag (H): b: 1, 2 (Buxton dan Fraser

dalam Yulianingsih 1997).

Antigen (Vi) berasal dari kata “virulance”, berhubungan dengan virulensi bakteri (Volk dan Whecler 1990). Antigen (Vi) merupakan polisakarida yang terdapat pada permukaan sel bakteri. Antigen (Vi) dapat hancur pada inkubasi suhu 60 °C selama 1 jam, pada kondisi asam atau di dalam phenol (Volk dan Whecler 1990).

Jenis antigen lain pada Salmonella adalah S (Smooth), R (Rough), M (Mucoid) dan K (Kapsular). Identifikasi berdasarkan serotipe ini disusun dalam suatu bagan yang disebut “KAUPMAN – WHITE SCHEMA” (Dirjen Peternakan 1982).

Tabel 3. Struktur Antigen Salmonella spp. (Holt, 1979)

Ag H (flagella Group Spesies Ag O Fase 1 Fase 2 A S. paratyphi A 1, 2, 12 a - B S. paratyhphi B S. typhimurium S. derby 1, 4, 5, 12 1, 5, 6, 12 4, 12 b l f, g 1, 2 1, 2, 3 - C S. paratyphi C S. oramenburg S. Newport 6, 7 6, 7 6, 7 c m, t e, h 1, 5 - 1, 2, 3 D S. typhi S. enteritidis S. Dublin 9, 12 1, 9, 12 1, 9, 12 d g, m g, p - - - E S. landon S. anatum 3, 10 3, 10 l, v e, h 1, 6 1, 6

Strain bakteri Salmonella, S. enteritidis dan S. typhimurium merupakan penyebab salmonellosis yang paling sering dilaporkan. Di Amerika Serikat sekitar 50% kejadian salmonellosis pada manusia disebabkan oleh S. enteritidis, S. typhimurium dan S. heidelberg (Pasual et al. 1999). S. enteritidis biasanya mengkontaminasi telur yang dihasilkan oleh induk yang terinfeksi bakteri tersebut dan menjadi sumber penularan. Penularan S. enteritidis pada telur terjadi secara vertikal dan horizontal (Miyamoto et al. 1998). Penularan vertikal terjadi akibat kuning telur atau albumin tertular oleh bakteri tersebut yang terjadi didalam organ reproduksi induk yang terinfeksi. Sedangkan penularan horizontal terjadi akibat penetrasi S. enteritidis pada kerabang telur (Gast 1997).

2. 9 Prinsip Uji Presipitasi (sekunder)

Uji pengikatan sekunder meliputi dua tahap yaitu tahap pertama adalah interaksi antara antigen dengan antibodi, sedangkan tahap kedua ditentukan oleh keadaan fisik antigen tersebut. Antibodi yang dirangkaikan dengan antigen yang terlarut dalam larutan dengan kondisi tepat membentuk komplek, dan pada jumlah yang cocok dari larutan yang jernih suatu antigen yang telarut dicampur dengan antibodi yang homolog dan diinkubasi pada 37 °C, campuran tersebut akan menjadi keruh dalam waktu kurang lebih satu jam dan membentuk presipitat (Tizard 1988).

2. 10 Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang gelombang absorbsi suatu larutan atau suatu molekul dalam larutan. Absorbsi cahaya suatu molekul merupakan suatu bentuk interaksi antara gelombang cahaya (foton) dan molekul. Energi cahaya diserap oleh molekul dan digunakan oleh electron di dalam molekul tersebut untuk bertransisi ke tingkat energi elektronik (E) yang lebih tinggi (Anonim 2001). Macam-macam spektrofotometer diantaranya spektrofotometer ultraungu (UV), sinar tampak, dan inframerah. Sebuah sumber cahaya menghasilkan cahaya dari bagian spektrum elektromagnetik ditangkap oleh prisma (monokromator) untuk memisah cahaya tersebut dan gelombang tersebut melewati tabung sampel atau kuvet (Abidin dan

Hardjo 1978). Molekul organik dapat mengabsorbsi radiasi elektromagnetik dari spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu, tergantung pada struktur senyawanya. Prinsip spektrofotometer di tunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4 Spektrofotometri. (Anonim 2007d)

Pada spektrofotometer sinar tampak, molekul atau senyawa yang dianalisis tidak akan mengabsorbsi cahaya. Oleh karena itu, senyawa tersebut harus diikat oleh suatu senyawa kimia sehingga menghasilkan warna. Senyawa berwarna tersebut akan mengabsorbsi cahaya pada rentang panjang gelombang yang terbatas (Wilson dan Walker 2000). Metode pengukuran ini disebut sebagai dasar dari kolorimetri. Pelarut spektrofotometri yang dapat digunakan adalah semua cairan yang dapat diperoleh dalam bentuk murni dalam daerah ukur 220 nm sampai 800 nm serta yang tidak atau hanya sedikit menunjukan absorbsi sendiri dan dapat melarutkan dengan mudah senyawa yang hendak dianalisis. Letak maksimum absorbsi tergantung pada pelarut yang digunakan dan akan bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih panjang dengan bertambahnya polaritas pelarut (Mayasari 2005)

Dokumen terkait