Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu pengunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan dipandang sebagai kapasitas lahan untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum (Arsyad, 2000). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973) dalam Arsyad (2000) menggolongkan kedalam tiga kategori utama yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan lahan atau pengelolaan. 2.1.1. Kelas Kemampuan Lahan
Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai VIII. Lahan pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Lahan pada kelas V, VI dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon- pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal lahan kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti
buah-buahan, tanaman hias, dan beberapa jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Lahan dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad, 2006).
Kelas I. Lahan kelas I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput, hutan, dan cagar alam. Lahan dalam kelas I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut : (1) terletak pada topografi hampir datar, (2) ancaman erosi kecil, (3) mempunyai kedalaman efektif yang dalam, (4) umumnya berdrainase baik, (5) mudah diolah, (6) kapasitas menahan air baik, (7) subur atau responsif terhadap pemupukan, (8) tidak terancam banjir, dan (9) di bawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.
Kelas II. Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu kombinasi dari pengaruh berikut : (1) lereng yang landai, (2) kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, (3) kedalaman efektif agak dalam, (4) struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, (5) salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan.
Kelas III. Lahan dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang
memerlukan pengolahan tanah tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam kelas III membatasi lama penggunaan bagi tanaman semusim, waktu pengolahan tanah, pilihan tanaman atau kombinasi dari pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu beberapa hal berikut : (1) lereng yang agak miring atau bergelombang, (2) peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat, (3) seringkali mengalami banjir yang merusak tanaman, (4) lapisan bawah tanah yang berpermeabilitas lambat, (5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh (fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan simpanan air, (6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah, (8) salinitas atau kandungan natrium sedang, atau (9) hambatan iklim yang agak besar.
Kelas IV. Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar daripada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Lahan di dalam kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang pengembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) lereng yang miring atau berbukit, (2) kepekaan erosi yang besar, (3) pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase, (8)
salinitas atau kandungan natrium yang tinggi, dan (9) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.
Kelas V. Lahan di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan sehingga membatasi pilihan penggunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Tanah- tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir, atau berbatu-batu, atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut.
Kelas VI. Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : (1) terletak pada lereng agak curam, (2) ancaman erosi berat, (3) telah tererosi berat, (4) mengandung garam larut atau natrium, (5) berbatu-batu, (6) daerah perakaran sangat dangkal, dan (7) atau iklim yang tidak sesuai.
Kelas VII. Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuat terras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetative untuk konservasi tanah, disamping tindakan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan dan ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti (1) terletak pada lereng yang curam, (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit, dan (3) daerah perakaran sangat dangkal.
Kelas VIII. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada kelas VIII dapat berupa (1) terletak pada lereng yang sangat curam, atau (2) berbatu, atau (3) kapasitas menahan air sangat rendah.
Beberapa kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) adalah :
1. Iklim
Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian tempat dari permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah, agak kering, dan kering akan mempengaruhi kemampuan lahan.
2. Lereng, ancaman erosi dan erosi yang terjadi
Kerusakan tanah yang disebabkan oleh erosi sangat nyata mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan tanah. Kecuraman lereng, panjang lereng, dan bentuk lereng akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan.
Kecuraman lereng dikelompokkan sebagai berikut : A = 0 sampai 3% (datar)
B = 3 sampai 8% (landai atau berombak)
C = 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D = 15 sampai 30% (miring atau berbukit)
E = 30 sampai 45% (agak curam) F = 45 sampai 65% (curam) G = lebih dari 65% (sangat curam)
Kepekaan erosi tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut : KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah)
KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinggi) KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi)
Kerusakan erosi yang telah terjadi dikelompokkan sebagai berikut : E0 = tidak ada erosi
E1 = ringan : kurang dari 25% lapisan atas hilang E2 = sedang : 25 sampai 75% lapisan atas hilang
E3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang
E4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang E5 = sangat berat : erosi parit
3. Kedalaman tanah
Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah diklasifikasikan sebagai berikut :
K0 = lebih dari 90 cm (dalam) K1 = 90 sampai 50 cm (sedang) K2 = 50 sampai 25 cm (dangkal)
K3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) 4. Tekstur tanah
Tekstur tanah adalah salah satu factor penting yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menahan air dan permeabilitas tanah serta berbagai sifat fisik dan kimia tanah lainnya. Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah (30 – 60 cm) dikelompokkan sebagai berikut :
T1 T2 T3 = = =
tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat
tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu
T4
T5 =
=
berdebu, dan debu
tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus
tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir.
5. Permeabilitas
Permeabilitas tanah dikelompokkan sebagai berikut : P1 = lambat : kurang 0,5 cm/jam
P2 = agak lambat : 0,5 – 2,0 cm/jam P3 = sedang : 2,0 – 6,25 cm/jam P4 = agak cepat : 6,25 – 12,5 cm/jam P5 = cepat : lebih dari 12,5 cm/jam 6. Drainase
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut :
D0 D1 D2 D3 D4 D5 = = = = = =
berlebihan, air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan sangat mengalami kekurangan air.
baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.
agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran.
agak buruk, lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik. buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan. sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
7. Batuan dipermukaan
Batuan dipermukaan yaitu adanya bahan kasar atau batuan berdiameter 7,5 cm sampai 25 cm jika berbentuk bulat, atau sumbu panjangnya berukuran 15 cm sampai 40 cm jika berbentuk gepeng. Banyaknya batuan dipermukaan dikelompokkan sebagai berikut :
B0 B1 B2 B3 = = = =
tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah baik, tanah mempunyai peredaran udara baik.
sedang : 15 sampai 50% volume tanah, pengolahan tanah mulai agak sulit dan pertumbuhan tanaman agak terganggu.
banyak : 50 sampai 90% volume tanah, pengolahan tanah sangat sulit dan pertumbuhan tanaman terganggu.
sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah, pengolahan tanah tidak mungkin dilakukan dan pertumbuhan tanaman terganggu.
8. Batuan tersingkap
Penyebaran batuan tersingkap dikelompokkan sebagai berikut :
B0 B1 B2 B3 B4 = = = = =
tidak ada : kurang dari 2% permukaan tanah tertutup.
sedikit : 2% sampai 10% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman agak terganggu.
sedang : 10% sampai 50% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman terganggu.
banyak : 50% sampai 90% permukaan tanah tertutup; pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu.
sangat banyak : lebih dari 90% permukaan tanah tertutup; tanah sama sekali tidak dapat digarap.
2.1.2. Subkelas Kemampuan Lahan
Pengelompokan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat dan ancaman. Jadi subkelas merupakan pengelompokan unit kemampuan lahan yang mempunyai jenis hambatan atau ancaman dominan yang sama jika dipergunakan untuk pertanian sebagai akibat sifat-sifat tanah, relief, hidrologi, dan iklim. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu ancaman erosi, ancaman kelebihan air, pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim.
Subkelas e menunjukkan ancaman erosi atau tingkat erosi yang telah terjadi merupakan masalah utama. Ancaman erosi didapatkan dari kecuraman lereng dan kepekaan erosi tanah.
Subkelas w menunjukkan bahwa tanah mempunyai hambatan yang disebabkan oleh drainase buruk, atau kelebihan air dan terancam banjir yang merusak tanaman.
Subkelas s menunjukkan tanah mempunyai hambatan daerah perakaran. Termasuk dalam hambatan daerah perakaran adalah kedalaman tanah terhadap batu atau lapisan yang menghambat perkembangan akar, adanya batuan dipermukaan tanah, kapasitas menahan air yang rendah, sifat-sifat kimia yang sulit diperbaiki seperti salinitas atau kandungan natrium atau senyawa-senyawa kimia lainnya yang menghambat pertumbuhan dan tidak praktis dihilangkan. Subkelas c menunjukkan adanya faktor iklim (temperatur dan curah hujan) menjadi pembatas penggunaan lahan.
2.1.3. Satuan Kemampuan Lahan
Pengelompokan di dalam satuan kemampuan lahan adalah pengelompokan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usahatani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman yang sama dan memberikan keragaan yang sama terhadap berbagai alternative pengelolaan bagi tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang hasil tanaman yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman merupakan kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian pada dasarnya mengacu pada Klasifikasi Kemampuan Lahan USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961) atau Klasifikasi Kesesuaian Lahan yang dikembangkan oleh FAO (1976). Sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan menurut kerangka evaluasi lahan FAO pada saat ini banyak digunakan di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Metode FAO dapat dipakai
untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif, tergantung dari data yang tersedia. Kerangka dari sistem Klasifikasi Kesesuaian Lahan ini mengenal empat kategori, yaitu : (1) ordo, menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) kelas, menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; (3) sub-kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; dan (4) unit, menunjukkan perbedaan- perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas.
Pada tingkat ordo ditunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu. Dikenal dua ordo yaitu ordo S (sesuai) dan ordo N (tidak sesuai). Lahan yang termasuk ordo S adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelompokan lahan akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Lahan yang termasuk ordo N yaitu lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Kelas kesesuaian lahan yaitu pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis dibelakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya. Ada tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N. Kelas S1 artinya sangat sesuai (highly suitable) yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 artinya cukup sesuai (moderately suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan
mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3 artinya sesuai marginal (marginally suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Kelas N1 artinya tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Kelas N2 artinya tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable) yaitu lahan yang mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang (Ahamed, Rao, dan Murthy, 2000).
Subkelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih subkelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Dalam satu subkelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga symbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.3. Penurunan Kualitas Sumberdaya Lahan
Kegiatan pertanian sering disebut sebagai penyebab menurunnya biodiversitas, baik di atas maupun di dalam tanah, sehingga hal tersebut diduga menyebabkan produksi pangan dan layanan lingkungan seperti penyediaan air bersih, penyediaan habitat bagi fauna dan flora liar, dan kesehatan manusia menurun. Di lain pihak, kebutuhan pangan di Indonesia terus meningkat karena jumlah penduduk yang terus meningkat dengan cepat. Peningkatan produksi pertanian di Indonesia dari tahun 1995 hingga 2010 diperkirakan sekitar 1,3% setiap tahunnya (Simatupang, et al., 1995), dengan demikian produksi yang diperoleh tidak akan mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan pangan, pemerintah menggunakan 2 strategi dasar yaitu melalui peningkatan pendayagunaan lahan pertanian yang telah ada (intensifikasi)
dan melalui perluasan lahan pertanian (eksentifikasi). Pelaksanaan kedua strategi tersebut membutuhkan pemahaman pentingnya sumber daya lahan yang memadai agar keseimbangan ekosistem terjaga.
Dampak berkurangnya biodiversitas tanah terhadap layanan lingkungan dan produktivitas tanaman serta upaya mempertahankan biodiversitas pada berbagai skala (lahan, bentang lahan, regional, global) telah sering dibicarakan pada berbagai level, namun pelaksanaan dan implementasinya masih kurang mendapat perhatian yang serius (van Noordwijk dan Swift, 1999; Jackson et al., 2005). Hal tersebut dikarenakan tingkat pemahaman masyarakat akan keuntungan yang diperoleh dari usaha konservasi biodiversitas masih belum memadai.
Ekosistem mengalami ketidakseimbangan dimana pada musim penghujan terjadi banjir, erosi dan longsor, tetapi pada musim kemarau kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Gagal panen juga sering terjadi karena adanya serangan hama dan penyakit. Masalah-masalah ini menunjukkan adanya penurunan kualitas sumberdaya lahan, dan hal ini berhubungan dengan terganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas), menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah), menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO2,
N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan, berkurangnya tingkat
keindahan lansekap, berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas sumber daya lahan adalah adanya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebih (van Noordwijk dan Hairiah, 2006).
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa kelompok fungsional organisme tanah, karena berubahnya jenis dan kerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah sehingga berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan jenis masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah (Giller et al., 1997; Lavelle et al., 2001). Pada lahan-lahan pertanian umumnya ada tiga masalah pokok yang berhubungan dengan gangguan siklus atau ketersediaan hara, rusaknya kondisi fisik tanah, gangguan fungsi hidrologi
(tingkat DAS) dan serangan hama dan penyakit tanaman. Perubahan fungsi ekosistem terutama terjadi melalui penurunan kandungan bahan organik dan biodiversitas organisme tanah. Menurunnya fungsi ekosistem tersebut akan menurunkan produksi tanaman dan kualitas lingkungan seperti meningkatnya limpasan permukaan dan erosi, polusi udara, tanah dan air serta peledakan populasi hama (Jackson et al., 2005).
Hasil penelitian Basher dan Ross (2001) menyatakan bahwa terdapat perbedaan jumlah tanah yang tererosi antara lahan yang diolah dengan lahan yang tidak diolah pada petanaman bawang. Pada tanah yang diolah, erosi yang terjadi sebesar 1,1 ton/ha sedangkan pada tanah tanpa diolah, erosinya sebesar 21,3 ton/ha. Laju infiltrasi pada tanah yang diolah yaitu 1,3 x 10-4 m/detik sedangkan pada tanah tanpa pengolahan sebesar 2,2 x 10-7 m/detik. Selanjutnya Kurnia dan Suganda (1999) menyatakan bahwa pada lahan dengan kemiringan 35% dan curah hujan 978 mm, ternyata arah guludan berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi tanah. Pada pertanaman kentang dengan guludan searah lereng telah terjadi aliran permukaan 483 m3 dan erosi 16 ton/ha. Sedangkan pada lahan dengan guludan searah kontur, aliran permukaan yang terjadi adalah 333 m3 dan erosi