• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan iklim

Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi memanas. Kejadian pemanasan bumi tersebut sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global yang terjadi disebut juga Efek Rumah Kaca dan gas yang menimbulkannya disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan kondisi iklim yaitu terjadinya peningkatan intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi yang berpengaruh terhadap banjir, kekeringan, dan penurunan produksi pertanian. Meningkatnya suhu di atmosfer akan berpengaruh terhadap

kelembaban udara. Pada daerah-daerah beriklim tropis akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan, sehingga meningkatkan curah hujan rata-rata sekitar 1 % untuk setiap 1oC peningkatan pemanasan. Para ahli telah memperkirakan perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara, bahwa presipitasi di Asia Tenggara akan meningkat 3,6% di tahun 2020-an dan 7,1% di tahun 2050 serta 11,3% di tahun 2080-an (Santoso dan Forner 2007).

Selanjutnya Santoso dan Forner (2007) menjelaskan bahwa iklim di Indonesia dipengaruhi oleh iklim tropis, iklim laut dan iklim muson. Beriklim panas (tropis) karena Indonesia berada di sekitar garis khatulistiwa, sehingga otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Indonesia juga merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan menyebabkan curah hujan yang tinggi. Iklim muson yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu angin musim barat daya (Muson Barat) dan angin musim timur laut (Muson Timur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang bersifat basah sehingga menyebabkan musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau. Atas dasar sebab terjadinya angin muson barat ataupun muson timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan bahwa wilayah kejadiannya relatif tetap. Perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah, intensitas dan durasi hujannya.

Hasil analisa spasial diketahui bahwa di daerah Selatan Khatuslistiwa curah hujan rata-rata tahunan secara umum cenderung berkurang atau menurun sedangkan dibagian Utara Khatulistiwa cenderung bertambah. Pada wilayah dengan jumlah curah hujan meningkat, terdistribusi dalam waktu makin singkat akan menyebabkan terjadinya banjir, sedangkan di wilayah dengan potensi hujan yang menurun dengan distribusi hujan pendek dan musim kemarau memanjang akan menyebabkan bahaya kekeringan yang intensitas dan dampaknya makin kuat. Perubahan iklim ini diramalkan memiliki dampak yang paling parah terhadap pasokan air. Kekurangan air di masa depan kemungkinan akan mengancam produksi pangan, mengurangi mutu sanitasi, menghambat pembangunan ekonomi dan kerusakan ekosistem. Hal ini menyebabkan perubahan suasana lebih ekstrim antara banjir dan kekeringan.

Sebagai salah satu negara tropis Indonesia akan paling menderita terkena dampak pemanasan global. Dampak pemanasan global di lapangan ditandai dengan munculnya bencana alam terutama berkaitan dengan adanya penurunan sumber daya alam (SDA) baik ditingkat lokal, nasional maupun global, yang penanganannya memerlukan pemahaman yang mendalam. Penurunan SDA yang dihadapi di tingkat nasional umumnya berhubungan dengan (1) air, baik kuantitas maupun kualitasnya, (2) biodiversitas flora dan fauna, (3) keindahan lansekap, dan (4) kualitas udara.

Dampak-dampak perubahan pola cuaca, intensitas hujan dan musim kering yang banyak menyebabkan bencana makin terasa baik intensitas, waktu kejadian, sebaran dan dampak yang ditimbukannya makin tinggi. Untuk meredam bencana

tersebut maka kebijakan pengelolaan lahan baik kehutanan maupun pertanian harus bersifat adaptif terhadap iklim baru yang bersinergi dengan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim global. Pengembangan dam parit dan teknik panen hujan lainnya baik secara vegetatif maupun teknik sipil merupakan salah satu kegiatan adaptasi yang dilakukan untuk menekan dampak perubahan iklim secara antisipatif (Hairiah 2009).

Banjir dan kekeringan Banjir

Banjir dan kekeringan merupakan dua kejadian ekstrimitas berbeda yang kejadiannya silih berganti, bahkan diperkirakan tidak akan dapat diatasi dalam jangka menengah. Fakta sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa besaran banjir dan kekeringan baik intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang ditimbulkan terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Sedangkan untuk kekeringan, luas sawah yang mengalami kekeringan pada tahun 1998 seluas 161.601 ha dan meningkat tajam pada tahun 2006 dengan luas sawah yang mengalami kekeringan mencapai 267.088 ha (60%). Tahun 2007 merupakan kejadian ekstrim dengan adanya fenomena El-Nino kuat, sehingga lahan sawah yang terkena kekeringan mencapai 517.614 ha (BP DAS 2009).

Dari aspek pertanian, banjir adalah kejadian tergenangnya lahan pertanian selama periode genangan dengan kedalaman tertentu, sehingga menurunkan produksi pertanian. Sedangkan kekeringan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan air untuk mendukung proses produksi pertanian secara optimal, sehingga menurunkan produksi pertanian.

Dari aspek hidrologis, banjir adalah suatu kejadian meluapnya volume air yang relatif tinggi dari jalur aliran sungai atau saluran karena volume aliran melebihi kapasitas tampung sungai atau saluran tersebut. Banjir adalah suatu bencana yang mengganggu kehidupan manusia berupa genangan air dari yang terkecil sampai terbesar yang disebabkan faktor-faktor baik manusia maupun alam atau aliran air yang tinggi, dan tidak tertampung oleh aliran sungai dan air itu meluap ke daratan yang lebih rendah dan inilah yang disebut banjir.

Menurut Ansori (2009), banjir di Indonesia terbagi dalam tiga jenis, yaitu: 1) sungai yang meluap, yaitu banjir yang terjadi akibat debit air sungai yang mengalir dari segmen sungai atasnya melampaui kapasitas tampung sungai, 2) banjir lokal, yaitu terjadi karena meluapnya air yang berasal dari sekitar areal tersebut karena kondisi lingkungan itu sendiri, seperti tersumbatnya jalur aliran air oleh endapan hasil erosi atau sampah, dan 3) banjir pasang surut air laut, yaitu banjir akibat tingginya pasang air laut menyebabkan aliran air di bagian muara tertahan dan meluap ke segala arah.

Perubahan kondisi curah hujan dan kerusakan lingkungan menyebabkan masalah banjir hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah banjir tersebut justru mengindikasikan semakin meningkat, baik intensitas, frekuensi maupun sebarannya. Banjir merupakan salah satu jenis

bencana hidrometeorologi yang frekuensi kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun, bahkan intensitas dan sebarannya pun juga semakin meningkat. Selain dipengaruhi oleh perubahan iklim global, khususnya curah hujan, juga dipengaruhi oleh adanya perubahan penggunaan lahan, pemanfaatan bantaran sungai untuk permukiman dan industri, kerusakan DAS dan sebagainya. Kondisi demikian banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia, dimana sebagian besar kota berkembang di dataran banjir dan dataran rendah, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar dan sebagainya. Banjir di hilir Sungai Ciliwung (Jakarta) seolah merupakan banjir yang rutin dimana hampir setiap musim penghujan selalu terjadi di daerah tersebut. Sejarah mencatat bahwa bencana banjir besar yang pernah terjadi di Jakarta adalah pada tahun 1621, 1654, 1918, 1942, 1976, 1996, 2002, dan 2007. Perbedaan antara banjir yang pernah terjadi selama tahun-tahun tersebut adalah dimensi penyebab dan akibat banjir yang ditimbulkannya. Pada periode sebelum tahun 1970-an, penyebab utama adalah faktor alam. Sesudah periode tersebut penyebab banjir menjadi semakin kompleks, bukan hanya faktor alam, tetapi faktor sosial ekonomi dan budaya serta akibat yang ditimbulkannya juga berbeda (Nugroho 2008).

Dimensi banjir menjadi lebih besar akibat adanya perkembangan kawasan yang tidak didukung dengan teknologi pengendalian banjir yang memadai. Hal ini terlihat dari rendahnya kemampuan drainase mengeringkan kawasan terbangun dan rendahnya kapasitas seluruh prasarana pengendali banjir, seperti sungai, pintu pengatur, bendung, situ, dan sebagainya. Selain itu secara geomorfologis Jakarta terletak pada dataran banjir dimana terdapat 13 sungai, yaitu: Sungai Cakung, Jatikramat, Buaran, Sunter, Cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke dan Mookervart. Banyaknya sungai tersebut bila dikelola dengan baik merupakan aset jalur drainase yaitu untuk membuang kelebihan air di daratan menuju ke pantai, namun karena tidak dikelola dengan baik maka sungai-sungai tersebut dianggap sebagai penyebab banjir. Rata-rata curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 2500 - 3500 mm/tahun dan daerah pengaruh pasang surut laut mencapai 40% (24.000 ha) dari luas keseluruhan 64.000 ha. Banjir besar dan berdampak luas di Jakarta akan terjadi pada saat curah hujan intensitas tinggi terjadi bersamaan dengan pasang air laut. Volume aliran yang tinggi dari jalur sungai tersebut yang berasal dari masing-masing daerah tangkapan air di tahan oleh pasang air laut yang telah memenuhi kapasitas tampung jalur aliran, maka banjir akan terjadi dengan intensitas tinggi dan sebarannya sangat luas.

Fenomena banjir besar di Jakarta pada periode Februari 2007 merupakan contoh kejadian banjir yang disebabkan oleh besaran debit jalur aliran akibat intensitas hujan tinggi di wilayah daratan yang bertepatan dengan kejadian naiknya pasang tinggi. Kejadian banjir tersebut menyebabkan 79 orang meninggal dunia, 1 orang hilang. Pengungsi akibat banjir tersebut tercatat 2.349 orang di DKI Jakarta, 106.406 orang di Provinsi Jawa Barat, dan 52 orang di Provinsi Banten. Banjir tersebut juga menyebabkan kerusakan dan kerugian aset yang terkena banjir, baik aset milik pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang diperkirakan senilai Rp 5,16 triliun. Selain itu, berdasarkan perkiraan yang dilakukan oleh APINDO dan penilaian yang dilakukan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), diperkirakan kerugian ekonomi yang harus ditanggung selama sekitar 1 (satu) minggu kejadian bencana banjir di wilayah Jabodetabek sebesar

US$ 400 juta (sekitar Rp 3,6 triliun), yang mencakup kerugian dan kerusakan perumahan, kendaraan bermotor, bangunan industri dan fasilitas perdagangan. Nilai ini tidak hanya karena kerusakan aset fisik akan tetapi juga karena

'opportunity loss' atau hilangnya peluang karena aktivitas, terutama kegiatan

ekonomi, yang tidak dapat dilakukan akibat banjir. Nilai perkiraan sebesar US$400 juta (Bappenas 2007).

Kejadian banjir tersebut terulang pada bulan Januari 2009 dimana areal banjir meliputi seluruh wilayah Jakarta, dengan ketinggian air hingga 275 cm, dengan jumlah pengungsi sebanyak 2.683 jiwa, penduduk yang mengalami kebanjiran sebanyak 8.908 kepala keluarga atau 24.317 jiwa. Wilayah yang mengalami genangan dengan ketinggian air lebih dari 50 cm adalah Petamburan, Bukit Duri, Manggarai, Rawajati, Bintaro, Kampung Melayu, Cipinang Besar Utara, Cawang, Rawa Terate, Tegal Alur, dan Rawa Buaya. Walaupun intensitas curah hujan dan debit air dari Katulampa jauh melebihi kejadian banjir tahun 2007, namun banjir tahun 2009 tidak separah pada tahun 2007. Hal ini selain karena kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menghadapi banjir akibat pengalaman tahun 2007, juga kejadian banjir ini tidak bersamaan waktunya dengan pasang tinggi air laut dan telah berfungsinya saluran drainase Banjir Kanal Timur (Asrian 2009).

Kekeringan

Menurut Bakornas PBP (2007) kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Kekeringan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu kekeringan alamiah dan antropogenik.

Kekeringan alamiah meliputi 4 aspek yaitu:

• Kekeringan Meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.

• Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.

• Kekeringan Pertanian/Agronomis berhubungan dengan kekurangan kandungan air di dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah tertentu pula.

• Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat kekeringan meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

Kekeringan antropogenik disebabkan karena ketidakpatuhan pada aturan yang ada, yang dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:

• Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidakpatuhan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air.

• Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat ulah manusia. Berdasarkan data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscilation). Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola yaitu: 1) akhir musim kemarau mundur dari normal, 2) awal masuk musim hujan mundur dari normal, 3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan 4) deret hari kering semakin panjang.

Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan sehingga pada musim hujan menjadi mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi. Gejala kekeringan dapat didetekasi melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

• Kekeringan Meteorologis, yaitu berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Gejala ini merupakan pertanda awal dari suatu kejadian kekeringan.

• Kekeringan hidrologis adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kondisi ini menandakan kekeringan akan berdampak luas terhadap kekurangan pasokan air bagi pertanian ternak dan domestik.

• Kekeringan agronomis ditandai dengan kekurangan lengas tanah pada lahan pertanian, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan air bagi jenis tanaman, selama periode waktu dan wilayah tertentu.

Selanjutnya Bakornas (2007) menjelaskan gejala terjadinya kekeringan seperti berikut:

• Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya bencana kekeringan.

• Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan.

• Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi kering.

Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan

Menurut Chapman (1991) berbagai bentuk teknik panen hujan (rainfall/

water harvesting) telah digunakan secara tradisional selama berabad-abad. Teknik

panen hujan telah dilakukan di Wilayah Timur Tengah dengan memanen air dengan teknik pengalihan aliran di musim hujan ke lahan pertanian pada jalur aliran "wadi" (sungai intermiten). Di Gurun Negev Israel, sistem panen hujan telah dimulai sejak 4.000 tahun yang lalu dengan memanen air secara vegetatif dengan menanam tanaman di lahan perbukitan untuk meningkatkan aliran, yang kemudian aliran tersebut dipanen secara teknik sipil yang airnya dialirkan ke lahan pertanian di wilayah dataran. Pemanenan air telah dipraktekkan di daerah Gurun Arizona dan barat laut New Mexico selama minimal 1.000 tahun terakhir oleh Orang Indian Hopi di Dataran Tinggi Colorado untuk irigasi ladang pada dataran kipas alluvial. Teknik ini juga telah dilaksanakan di Tunisia pada abad kesembilan belas, sebagai sumber air yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian pada beberapa microcatchment.

Teknologi panen hujan dan aliran permukaan dapat merubah distribusi curah hujan menurut ruang dan waktu (spatially dan temporally). Aplikasi teknik panen hujan dan aliran permukaan yang sederhana melalui pengembangan Dam Parit (channel reservoir) dapat mendukung pengembangan pertanian di lahan kering melalui upaya peningkatan ketersediaan air, disamping untuk mengantisipasi resiko banjir pada musim hujan. Peningkatan ketersediaan air melalui pemanfaatan aliran permukaan dapat mendukung sistem usahatani lahan kering dengan tanaman bernilai ekonomi tinggi (Balitklimat 2010).

Program panen hujan dan aliran permukaan di wilayah Baalback, Libanon dilaksanakan tahun 2003, kerjasama antara Pemerintah Libanon dan UNDP dan GTZ diperuntukan untuk pengendalian banjir dan kekeringan. Lokasi ini merupakan lahan dengan curah hujan yang jarang, bentuk wilayah berbukit dengan lereng yang curam, tanah dangkal dan tutupan lahan yang buruk. Banjir sering terjadi di akhir musim semi atau awal musim gugur dan menyebabkan hancurnya jalan, infrastruktur, kerusakan pertanian, ternak dan dan kadang-kadang peternakan serta erosi tanah yang parah di sepanjang sungai Orontos.

Program ini dilaksanakan dengan membangun bendungan berdinding batu, menanami lahan dengan tanaman sesuai garis kontur untuk mengurangi erosi tanah dan meningkatkan kelembaban tanah. Selain itu juga dibangun Dam Parit

(channel reservoir) untuk memanen hujan, salju mencair dan runoff. Jumlah,

ukuran dan lokasi dari reservoir akan ditentukan berdasarkan survei dari daerah dengan mempertimbangkan sumber daya air yang tersedia, luas lahan pertanian, jumlah penerima manfaat, karakteristik tanah, jumlah curah hujan, kepemilikan tanah dan sosial ekonomi.

Pengembangan sistem panen hujan dilakukan baik secara vegetatif maupun teknik sipil. Secara Vegetatif dilakukan dengan penanaman pohon buah sebanyak 20.000 pohon. Sedangkan secara teknik sipil dilaksanakan dengan membangun 185 bendungan dinding batu dan dam parit di wilayah berombak sampai berbukit, dan di bagian bawahnya dibangun 10 bendung dengan kapasitas tampung total + 400.000 m3. Hasil pembangunan tersebut adalah 1) Mengurangi resiko banjir, erosi dan meningkatkan kelembaban tanah meningkatkan aliran dasar sungai di wilayah Aarsal dan Fakhe, 2) Meningkatkan cadangan air tanah yang akan dipanen melalui mata air yang timbul akibat pembangunan 185 dam parit dan bendungan dinding batu, dan 3) Meningkatkan produktivitas pertanian di wilayah Arsal.

Di Nairaobi, Kenya kini telah tumbuh kesadaran bahwa banjir dapat dikendalikan dengan cara sederhana yaitu dengan memanen air hujan dan aliran permukaan di wilayah hulu dengan membangun bangunan untuk menampung dan dan mengarahkan air limpasan ke sistem saluran yang akan mengisi ulang cadangan air tanah. Hal ini disemangati oleh kejadian banjir yang terjadi pada tahun 2001 yang menewaskan 21 orang (MWRMD and KRA 2004).

Di Indonesia pengembangan teknologi sistem panen hujan dan aliran permukaan telah dikembangkan di berbagai daerah. Panen hujan dan aliran permukaan dimaksudkan untuk menurunkan volume aliran permukaan dan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah, mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun, dan menyediakan air di musim kemarau (Rejekiningrum dan Haryati 2002). Sistem panen hujan yang dilakukan terdiri dari beberapa teknik panen hujan baik secara vegetatif

maupun teknik sipil. Secara vegetatif dilakukan dengan menanam pohon atau jenis tanaman seperti penghijauan, penanaman sejajar garis kontur, penanaman rumput dan lain-lain. Sedangkan secara teknik sipil dikembangkan di lahan (rorak, embung, lebung, kolam dan sumur resapan) dan di jalur aliran (dam, dam pengalih, cek dam, situ dan dam parit (Sawiyo et all. 2008). Contoh jenis teknik panen hujan yang sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Contoh jenis teknik panen hujan dan aliran permukaan

Studi di Sub DAS Kalisidi di Kabupaten Semarang telah membangun 4 buah Dam Parit dengan kapasitas tampung masing-masing 67,2 m3, 67 m3, 4,1 m3, dan 50 m3 dengan luas daerah irigasi 26,2 ha. Potensi aliran permukaan yang dapat dipanen diestimasi berdasarkan fluktuasi debit yang datanya direkam di Stasiun Automatic Water Level Recorder (AWLR) Keji sebesar 4% (216.640 m3). Volume aliran permukaan yang cukup besar tersebut sangat potensial untuk dioptimalkan pemanfaatannya guna keperluan irigasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahannya. Hasil pengamatan teknik panen hujan di lahan dengan rorak diketahui dapat mengurangi koefisien aliran permukaan dari 0,63% menjadi 0,31% .

DAS Ciliwung Hulu

DAS Ciliwung Hulu merupakan DAS yang penting karena berhilir di Ibukota Negara Indonesia (Jakarta). Kerusakan dan penanganan DAS Ciliwung Hulu akan berpengaruh terhadap wilayah tengah (Depok) dan hilir (Jakarta). Oleh karena itu penanganan DAS Ciliwung Hulu menjadi penting untuk menjaga kelestarian sumber air bersih, menanggulangi bahaya banjir dan menjaga aliran dasar sungai Ciliwung.

DAS Ciliwung termasuk salah satu DAS prioritas 1 di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 328/Menhut-II/2009 tahun 2009 tanggal 12 Juni 2000 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas.

Kerusakan DAS Ciliwung dari tahun ke tahun semakin memprihatinkan. Hal itu seiring dengan dengan bertambahnya luas kerusakan hutan akibat degradasi lahan dan air di dalam DAS yang mempunyai luas + 15.418 ha ini. Berdasarkan analisis citra tahun 2003 penggunaan lahannya terdiri dari hutan seluas 5.072,2 ha atau 32,90 %, kebun teh seluas 1.330 ha atau 8,62%, sawah 2.283 ha atau 14,81% kebun campuran, perumahan dan tegalan seluas 6.733 ha atau 43,67%. Secara geologis termasuk formasi Qvb berupa bahan volkan. Bentuk wilayah datar sampai bergunung. Klasifikasi tanahnya didominasi oleh subgrup

Udhorthents, Dystrandepts, Hapludepts, dan Endoaquepts. Wilayah ini terbagi ke dalam 6 sub DAS yaitu Sub DAS Ciliwung, Ciesek, Ciseuseupan, Cibogo, Cisukabirus dan Cisarua. Dalam Sub DAS tersebut telah dibangun 107 buah Dam Parit dalam periode 2005-1010 (Sawiyo 2009).

Di wilayah DAS Ciliwung telah dibangun sejumlah Dam Parit bertingkat selama periode 2006-2009 oleh Balai Besar Pengelolaan Sungai Ciliwung Cisadane dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. DAS ini mempunyai Stasiun Iklim (BMG, Stasiun Citeko) dan Stasiun Pencatat Tinggi Muka Air, baik

Dokumen terkait