• Tidak ada hasil yang ditemukan

Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit ini (Kristina et al, 2004).

DBD adalah penyakit febril akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini terdiri dari empat serotipe dan disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Ibrahim et al, 2005).

Keempat tipe virus Dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga (Kristina et al, 2004).

Gejala

Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Kristina et al, 2004).

Tingkat kematian akibat penyakit Demam Berdarah Dengue relatif masih tinggi. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 jiwa atau case fatality rate (CFR) sebesar 1,53% (Kristina et al, 2004).

Salah satu penyebab tingginya tingkat kematian tersebut adalah keterlambatan diagnosis (Sutaryo 2004 diacu dalam Syafii 2006). Semakin cepat diagnosis dapat dilakukan, semakin cepat pula pertolongan bisa diberikan sehingga dapat mengurangi angka kematian tersebut. Penyakit DBD juga sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya (Kristina et al, 2004).

Diagnosis penyakit DBD berdasarkan hasil pemeriksaan klinis antara lain dilakukan oleh Syafii (2006) dengan menggunakan Adaptive Neuro Fuzzy Inference System (ANFIS). Akurasi model ANFIS yang dikembangkan Syafii (2006) mencapai 86,67%. Akurasi ini belum maksimal karena data yang digunakan pada penelitian Syafii (2006) lebih banyak berupa data nominal. Sementara itu salah satu syarat agar model ANFIS bisa digunakan secara efektif adalah data yang digunakan harus memiliki selang atau grade. Oleh karena itu pada penelitian ini digunakan algoritma klasifikasi Voting Feature Intervals (VFI5), karena algoritma ini bisa menangani data ordinal maupun data nominal dengan baik. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Iqbal (2007) dalam mengklasifikasi pasien Suspect Parvo dan Distemper. Dari 49 fitur yang digunakan, 47 fitur diantaranya berupa data nominal. Hasil akurasi yang diperoleh dalam pengklasifikasian pasien Suspect Parvo dan Distemper dengan menggunakan algoritma VFI5 adalah 90%. Demikian pula dengan penelitian yang telah dilakukan oleh HA

Güvenir, G Demiröz dan N Ilter (1998) dalam memprediksi penyakit erythemato-squamous. Akurasi yang dihasilkan dengan menggunakan algoritma VFI5 mencapai 96,2%. Dengan demikian terbukti bahwa algoritma VFI5 mampu memprediksi suatu penyakit dengan akurasi yang cukup tinggi.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerapkan algoritma klasifikasi VFI5 dalam diagnosa penyakit DBD.

Ruang Lingkup

Pada penelitian ini dilakukan pembatasan masalah pada :

1 Data yang digunakan adalah data sekunder penyakit DBD pada penelitian Syafii (2006).

2 Bobot (weight) setiap feature pada data diasumsikan sama.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat membantu semua pihak dalam deteksi dini penyakit DBD menggunakan algoritma VFI5.

TINJAUAN PUSTAKA

Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit DBD menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit ini (Kristina et al, 2004).

DBD adalah penyakit febril akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini terdiri dari empat serotipe dan disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Ibrahim et al, 2005).

Keempat tipe virus Dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga (Kristina et al, 2004).

Gejala

Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang

menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Beberapa pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, mual, muntah maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus (Kristina et al, 2004).

Kriteria klinis untuk diagnosa DBD antara lain (Kristina et al, 2004) :

a Demam tinggi yang mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari (38 °C- 40 °C) b Manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji

tornikuet positif dan terdapat salah satu bentuk pendarahan yaitu pandarahan pada kulit (petekia, purpura), pendarahan hidung (epitaksis), pendarahan gusi, muntah berdarah (hematemesis) dan berak berdarah (melena). c Hepatomegali (pembesaran hati).

dShock yang ditandai dengan nadi lemah, cepat, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.

e Trombositopenia, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000/mm3. f Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai

hematokrit.

gGejala-gejala klinis lainnya yang dapat menyertai : anoreksia (hilangnya nafsu makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang dan sakit kepala.

hRasa sakit pada otot dan persendian.

Berdasarkan kriteria klinis tersebut, maka WHO membagi derajat penyakit DBD dalam empat kategori yaitu (Hasan 1985 diacu dalam Syafii 2006) :

- Kategori (1) : dijumpai demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi pendarahan adalah uji tornikuet positif.

- Kategori (2) : kategori 1 disertai pendarahan spontan seperti petekia di kulit, epitaksis atau pendarahan lainnya.

- Kategori (3) : kategori 2 disertai kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah, cepat, tekanan darah menurun disertai kulit dingin, lembab dan penderita gelisah.

- Kategori (4) : kategori 3 disertai shock berat dengan nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

Secara alamiah penyakit DBD mengalami perjalanan empat tahap yaitu (Sutaryo 2004 diacu dalam Syafii 2006) :

1 masa inkubasi selama 5-9 hari, pada masa ini tidak dijumpai gejala.

2 masa akut selama 1-3 hari, pada masa ini akan muncul gejala subjektif (lemah, mual, muntah, nyeri kepala dan lain-lain) serta gejala objektif (demam, bercak merah, pendarahan spontan hidung, gusi, pencernaan, pembesaran hati)

3 masa kritis selama 1-3 hari, pada masa ini diikuti gejala shock, kesadaran menurun, ekstremitas dingin, kulit lembab dan tekanan darah turun.

4 masa penyembuhan selama 1-2 hari, pada masa ini cepat sekali membaik dan gejala hilang tetapi terkadang muncul bercak merah yang disebut rash rekovalesen.

Pemeriksaan uji tornikuet adalah menguji ketahanan kapiler darah dengan cara membendung pembuluh darah lengan atas dengan tekanan alat tensimeter yang dipompa sampai tekanan 100mmHg dan dipertahankan selama 10 menit kemudian dilepas (Gandasoebrata 1985 diacu dalam Syafii 2006). Setelah itu dicari adanya bercak-bercak merah kecil yang disebut petekia yang timbul dalam lingkaran bergaris 5 cm, kira-kira 4 cm di bawah lipatan dalam lengan (fossa cubiti). Uji tornikuet dinyatakan positif apabila ditemukan 10 petekia atau lebih dalam lingkaran (Syafii 2006).

Penularan

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang.

Orang yang beresiko terserang DBD adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab serta daerah kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis dan muncul pada musim penghujan (Kristina et al, 2004).

Penyebaran

Kasus penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun

kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut (Kristina et al, 2004).

Tabel 1 Jumlah kasus penyakit DBD Tahun Jumlah kasus Jumlah

kematian 1996 45.548 orang 1.234 orang 1998 72.133 orang 1.414 orang 1999 21.134 orang - 2000 33.443 orang - 2001 45.904 orang - 2002 40.377 orang - 2003 50.131 orang - 2004 (sampai

5 Maret) 26.015 orang 389 orang

Validasi Data

Validasi adalah meneliti kebenaran data dalam kondisi khusus. Dalam hal ini kondisi khusus tersebut adalah aturan (rule base) yang diperoleh dari pakar. Validasi dilakukan dengan cara meneliti konsistensi data terhadap aturan tersebut. Menurut pendapat pakar dijumpai demam tinggi yang mendadak disertai salah satu manifestasi pendarahan dapat dijadikan kesimpulan klinis penyakit DBD (Syafii 2006).

Metode k-Fold Cross Validation

Validasi silang (cross-validation) merupakan metode untuk memperkirakan eror generalisasi berdasarkan “resampling” (Weiss & Kulikowski 1991; Efron & Tibshirani 1993; Hjorth 1994; Plutowski et al. 1994; Shao & Tu 1995, diacu dalam Sarle 2004). Dalam k-fold cross validation, data dibagi secara acak menjadi k himpunan bagian yang ukurannya hampir sama satu sama lain. Himpunan bagian yang dihasilkan yaitu S1,S2,...,Sk digunakan

sebagai pelatihan dan pengujian.

Pengulangan dilakukan sebanyak k kali dan pada setiap ulangan disisakan satu subset untuk pengujian dan subset lainnya untuk pelatihan. Pada iterasi ke-i, subset Si diperlakukan sebagai

data pengujian, dan subset lainnya diperlakukan sebagai data pelatihan. Pada iterasi pertama S2,...Sk menjadi data pelatihan dan S1 menjadi

data pengujian. Selanjutnya pada iterasi kedua S1,S3,...,Sk menjadi data pelatihan dan S2

menjadi data pengujian, dan seterusnya.

Algoritma Voting Feature Intervals 5 (VFI5)

Salah satu algoritma yang digunakan untuk mengklasifikasikan data adalah Voting Feature Intervals. Algoritma ini dikembangkan oleh Gülşen Demiröz dan H. Altay Güvenir pada tahun 1997 (Demiröz dan Güvenir 1997).

Algoritma klasifikasi Voting Feature Intervals 5 (VFI5) merepresentasikan deskripsi sebuah konsep oleh sekumpulan interval nilai- nilai feature atau atribut. Pengklasifikasian instances baru didasarkan pada voting pada klasifikasi yang dibuat oleh nilai tiap-tiap feature secara terpisah. Algoritma tersebut termasuk dalam algoritma yang supervised, artinya memiliki target yang dalam hal ini adalah kelas-kelas data dari kasus yang ada. Selain itu juga bersifat non-incremental yang berarti semua instances pelatihan diproses secara bersamaan (Demiroz dan Güvenir 1997). Dari semua instances pelatihan tersebut, algoritma VFI5 membuat interval untuk setiap feature. Interval-interval yang dibuat dapat berupa range interval maupun point interval. Range interval terdiri atas nilai-nilai antara dua end point yang berdekatan tetapi tidak termasuk kedua nilai end point itu sendiri. Point interval terdiri atas seluruh end point secara berturut- turut.

Untuk setiap interval, nilai vote untuk setiap kelas pada interval tersebut akan disimpan. Dengan demikian, sebuah interval dapat merepresentasikan beberapa kelas dengan menyimpan nilai vote yang dimiliki setiap kelas. Oleh karena itu, algoritma VFI dikatakan sebagai multi-class feature projection based algorithms.

Keunggulan algoritma VFI5 adalah algoritma ini cukup kokoh (robust) terhadap feature yang tidak relevan namun mampu memberikan hasil yang baik pada real-world datasets yang ada. VFI5 mampu menghilangkan pengaruh yang kurang menguntungkan dari feature yang tidak relevan tersebut dengan mekanisme voting-nya (Güvenir 1998).

Algoritma VFI5 dikembangkan menjadi dua tahap yaitu pelatihan dan klasifikasi.

1 Pelatihan

Pada tahap pelatihan ini, pertama kali yang dilakukan adalah menemukan nilai end point setiap feature f pada setiap kelas data c. Ada dua jenis feature yang dikenal yaitu feature linier dan feature nominal. Feature linier adalah feature yang nilainya memiliki urutan atau bisa dibandingkan tingkatannya. Feature nominal adalah kebalikan dari feature linier yaitu feature yang nilainya tidak memiliki urutan dan tidak bisa dibandingkan tingkatannya. End point untuk feature linier tersebut merupakan nilai maksimum dan nilai minimum feature itu sendiri, sedangkan end point untuk feature nominal meliputi semua nilai yang berbeda

yang ada pada feature kelas yang sedang diamati.

Setelah nilai end point untuk setiap feature linier didapatkan maka langkah selanjutnya adalah mengurutkan nilai-nilai end point tersebut. Hasil pengurutan tersebut akan membentuk suatu interval bagi feature f. Jika feature tersebut merupakan feature linier yang memiliki nilai kontinu maka akan dibentuk dua interval yaitu point interval dan range interval. Jika suatu feature merupakan feature nominal maka hanya akan dibentuk point interval.

Batas bawah pada range interval (ujung paling kiri) adalah -∞ sedangkan batas atas range interval (ujung paling kanan) adalah +∞. Jumlah maksimum end point pada feature linier adalah 2k, sedangkan jumlah maksimum intervalnya adalah 4k+1, dengan k adalah jumlah kelas yang diamati.

Langkah selanjutnya adalah menghitung jumlah instances pelatihan setiap kelas c dengan feature f yang nilainya jatuh pada interval i dan direpresentasikan sebagai interval_class_count [f,i,c]. Untuk setiap instance pelatihan, dicari interval i dimana nilai feature f dari instance pelatihan e (ef) tersebut jatuh. Jika interval i

merupakan point interval dan nilai ef sama

dengan nilai pada batas bawah atau batas atas maka jumlah kelas instances tersebut (ef) pada

interval i ditambah 1. Jika interval i merupakan range interval dan nilai ef jatuh pada interval

tersebut maka jumlah kelas instances ef pada

interval i ditambah 1. Hasil dari proses tersebut merupakan jumlah vote kelas c pada interval i.

Untuk menghilangkan efek perbedaan distribusi setiap kelas, maka jumlah vote kelas c untuk feature f pada interval i dinormalisasi dengan cara membagi vote tersebut dengan jumlah instances kelas c yang direpresentasikan dengan class_count[c]. Hasil normalisasi ini dinotasikan sebagai interval_class_vote[f,i,c]. Kemudian nilai-nilai interval_class_vote[f,i,c] dinormalisasi sehingga jumlah vote dari beberapa kelas pada setiap feature f sama dengan 1. Normalisasi ini bertujuan agar setiap feature memiliki kekuatan voting yang sama pada proses klasifikasi yang tidak dipengaruhi oleh ukurannya.

2 Prediksi (klasifikasi)

Tahap klasifikasi pada algoritma VFI5 diawali dengan proses inisialisasi awal nilai vote masing-masing kelas dengan nilai 0. Untuk setiap feature f, dicari interval i dimana nilai ef

jatuh, dengan ef merupakan nilai feature f dari

instances tes e. Jika ef tidak diketahui (hilang),

maka feature tersebut tidak diikutsertakan dalam voting (memberi vote 0 untuk masing- masing kelas). Oleh karena itu, feature yang memiliki nilai tidak diketahui diabaikan.

Jika ef diketahui maka interval tersebut

dapat ditemukan. Interval tersebut dapat menyimpan instances pelatihan dari beberapa kelas. Kelas-kelas dalam sebuah interval direpresentasikan oleh vote kelas-kelas tersebut pada interval itu. Untuk setiap kelas c, feature f memberikan vote yang sama dengan interval_class_vote[f,i,c]. Notasi tersebut merepresentasikan vote feature f yang diberikan untuk kelas c.

Setiap feature f mengumpulkan vote- votenya dalam sebuah vektor

(feature_vote[f,C1],..., feature_vote[f,Cj], ...,

feature_vote[f,Ck]), dimana feature_vote[f,Cj]

merupakan vote feature f untuk kelas Cj dan k

adalah jumlah kelas. Kemudian d vektor vote, dimana d merupakan jumlah feature, dijumlahkan untuk memperoleh total vektor vote (vote[C1], ..., vote[Ck]). Kelas dengan

jumlah vote terbesar diprediksi sebagai kelas dari instances tes e. Pseudocode algoritma pelatihan dan klasifikasi VFI5 dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Dokumen terkait