• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi dan Morfologi Tungau

Kethley (1982) menempatkan tungau sebagai anggota Filum Arthropoda, Sub Filum Chelicerata, Kelas Arachnida, Sub Kelas Acari. Ciri yang membedakan tungau dengan Arachnida lain adalah segmen abdomen tidak ada atau tidak jelas. Walter dan Proctor (1999) membagi Sub Kelas Acari menjadi tiga ordo yaitu 1) Ordo Opilioacariformes yang terdiri dari Sub Ordo Opilioacarida dan Sub Ordo Notostigmata, 2) Ordo Parasitiformes yang terdiri dari Sub Ordo Holothyrida, Sub Ordo Mesostigmata dan Sub Ordo Ixodida, dan 3) Ordo Acariformes yang terdiri dari Sub Ordo Sarcoptiformes dan Sub Ordo Trombidiformes.

Berdasar morfologi, tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian yaitu gnatosoma dan idiosoma. Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh, merupakan alat mulut yang terdiri atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata, peritrema dan alat sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat pernafasan. Kelisera berfungsi sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan mengunyah sedang pedipalpi berfungsi sebagai alat bantu makan. Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang menyatu. Terdapat empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma. Bagian posterior dari tubuh tungau adalah opistosoma yang terdiri dari organ sekresi dan organ genital (Gambar 1).

Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak

Menurut Womersley (1941), tungau famili Pterygosomatidae biasanya ditemukan pada pada reptil famili Gekkonidae, Agamidae, Zonuridae dan Gerrhosauridae. Tungau famili Pterygosomatidae mempunyai kanal podocephalic yang berfungsi sebagai saluran hasil sekresi (Krantz 1978). Rivera et al. (2003) menyatakan bahwa tungau Pterygosomatidae ditemukan pada berbagai bagian tubuh inang, dari bagian kepala sampai ekor, pada lipatan kulit, bagian bawah cakar dan sebagainya.

Gambar 1 Morfologi tungau. a = gnatosoma; b = kapitulum; c = podosoma; d = opistosoma; e = idiosoma. T1, T2, T3, T4 = tungkai ke-1 hingga ke-4.

Tungau Geckobia (famili Pterygosomatidae) ditemukan pada cicak Famili Gekkonidae (Montgomery 1966) dan sebagai ektoparasit pada cicak Hemidactylus di Asia Tenggara (Krantz 1978). Rivera et al. (2003) menyatakan bahwa cicak H. mabouia merupakan inang dari tungau G. hemidactyli di Puerto Rico. Sedangkan G. carcinoides merupakan ektoparasit pada cicak Gehyra oceanica di Polynesia Perancis (Bertrand dan Ineich 1989).

Menurut Bertrand et al. (1999), cicak C. platyurus diinfestasi oleh tungau G. clelandi Hirst 1917, G. cosymboty Cuy 1979 dan G. glebosum n sp. Sedangkan cicak H. frenatus diinfestasi oleh tungau G. andoharonomaitsoensis Haitlinger 1988, G bataviensis Vitzhum 1926, G. cosymboty Cuy 1979, G. ifanadianaensis Haitlinger 1988, G. nepali Hiregaudar, Joshee & Soman 1959, G. philippinensis Lawrence 1953, G. samanbavijinensis Haitlinger 1988. Bochkov dan Mironov (1999) menyatakan bahwa cicak H. frenatus juga diinfestasi oleh G. himalayensis Hidegaudar et al. 1959. Oliver dan Shaw (1953) yang diacu dalam Rivera et al (2003) menyatakan bahwa tungau yang menginfestasi H. garnotii adalah tungau Geckobia.

Ciri-ciri tungau Geckobia antara lain adalah memiliki skutum dorsal, mulut seluruhnya tampak di permukaan anterior tubuh, koksa dilindungi oleh seta kaku

7

(spur) (Lawrence 1936). Sedang ciri Geckobia berdasar kunci determinasi genus tungau dari famili Pterygosomatidae menurut Oedemans (1910) di dalam Montgomery (1966), antara lain adalah panjang tubuh sedikit lebih panjang dari lebarnya atau lebar sama dengan panjangnya, koksa 1 dan 2 menyatu, koksa 3 dan 4 menyatu, semua tungkai mengarah keluar, hipostom tidak menggembung di bagian ujung, koksa dilindungi oleh seta kaku atau spur, seta pada tarsus 1 tidak sama panjang, seta posterior lebih pendek.

Klasifikasi dan Morfologi Cicak

Berdasar Rooij (1915), cicak ditempatkan sebagai anggota Filum Chordata, Kelas Reptilia, Ordo Squamata, Sub Ordo Lacertilia dan Famili Gekkonidae. Cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut Rooij (1915), C. platyurus dan H. frenatus menyebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara, sedangkan H. garnotii menyebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

Ciri-ciri Famili Gekkonidae menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Badan pipih ke arah lateral, terdiri atas kepala, badan dan ekor. terdapat dua pasang tungkai, lidah pendek dan sedikit berlekuk di bagian anterior. Ukuran mata besar dengan pupil vertikal, tanpa kelopak mata atau kelopak mata tidak bisa digerakkan. Ekor rapuh, dorsal tubuh dengan sisik halus dengan tipe granular atau tuberkel, sisik ventral sikloid atau heksagonal. Bersifat arboreal atau terestrial. Makanan utama famili Gekkonidae adalah serangga dan hampir semua anggota Gekkonidae bersifat nokturnal.

Bauer et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa spesies cicak Hemidactylus menyebar luas ke berbagai benua. Cicak Hemidactylus merupakan golongan reptil yang sangat akrab dengan kehidupan manusia dan banyak ditemukan hidup di lingkungan atau habitat yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia, sehingga dikenal sebagai spesies komensal (Carranza dan Arnold 2006). Carranza dan Arnold (2006) mengelompokkan C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii ke dalam Klad Asia Tropika. Bansal dan Karanth (2010) menyatakan bahwa H frenatus berasal dari India dan bersama dengan H. garnotii dan C. platyurus menyebar luas ke Asia Tenggara hingga Pasifik Tropika. Ketiga spesies tersebut umumnya

ditemukan di lingkungan pemukiman manusia sehingga sering disebut sebagai cicak rumah.

Ciri-ciri C. platyurus menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu dengan garis putus-putus berwarna lebih tua, ekor pipih memanjang dengan pinggir bergerigi, diameter lubang telinga kurang dari setengah kali diameter mata, jari melebar, bagian ventral jari terdapat dua baris lamela yang berpasangan, terdapat lipatan kulit dikedua sisi tubuh mulai dari ketiak tungkai depan sampai dianterior lekuk paha tungkai belakang (Gambar 2a).

Ciri-ciri H. frenatus menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu kecoklatan, ekor bulat memanjang dengan enam sisik tuberkel. Jari melebar, tidak berselaput, bagian ventral jari dengan dua baris lamela berpasangan, jari ke 4 dengan 9-10 lamela, diameter lubang telinga kira- kira sepertiga diameter mata. Tidak terdapat lipatan kulit pada kedua sisi badannya (Gambar 2b).

Ciri-ciri H. garnotii menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu, kadang-kadang dengan garis-garis memanjang berwarna lebih tua, ekor agak pipih memanjang dengan tepi bergerigi. Jari tanpa selaput, ventral jari ke 4 tungkai belakang dengan 10-12 lamela. Diameter telinga kurang dari sepertiga diameter mata. Tidak terdapat lipatan kulit pada kedua sisi badannya (Gambar 2c).

Gambar 2 Berbagai spesies cicak di Indonesia. a = C. platyurus, b = H. frenatus, c = H. garnotii.

9

Cook dan Richard (1999) menyatakan bahwa spesies cicak merupakan hewan yang mudah menyebar dan membentuk kelompok baru. Jesus et al. 2000 menduga bahwa kelompok-kelompok cicak berpindah antar pulau melalui kegiatan manusia. Kecepatan perkembangan populasi (kolonisasi) suatu spesies cicak pendatang bisa mengalahkan spesies residen (Meshaka 2000).

Interaksi Tungau Dengan Cicak

Salah satu cara mengkategorikan keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme, suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, parasit tidak membunuh inang. Tungau berasosiasi dengan sejumlah besar vertebrata termasuk reptilia. Sejumlah famili dan sub famili Mesostigmata hanya berinteraksi dengan reptil (Walter dan Proctor 1999). Reptil terestrial biasanya dihinggapi banyak jenis caplak. Ular, kadal, cicak dan kura-kura berinteraksi dengan beragam jenis tungau, baik ektoparasit maupun endoparasit. Pada anggota prostigmata, tungau dari famili Pterygosomatidae hinggap sebagai parasit pada kadal.

Cicak (Reptilia) dapat terinfestasi oleh tungau karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang (Rivera et al. 2003). Gekkonidae yang melakukan aktifitas seksual, nilai prevalensi, intensitas infestasi dan kelimpahan tungau sangat tinggi. Brown et al. (1995) menyatakan, bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko cicak tertular tungau. Perbedaan pola parasitisme pada anggota Gekkonidae mungkin berhubungan dengan morfologi dan variasi lipatan kulit (Carvalho 2006).

Prevalensi dan Intensitas Infestasi

Menurut Barton dan Richard (1966), persentase inang terinfestasi ektoparasit disebut sebagai prevalensi. Sedangkan intensitas infestasi adalah jumlah ektoparasit yang menginfestasi individu inang. Sorci et al. (1997) melaporkan, bahwa prevalensi infestasi tungau pada kadal Lacerta vivipara tergolong tinggi (56-80%). Prevalensi infestasi tungau pada inang tidak selalu

berkorelasi positif dengan intensitas infestasi. Misalnya, prevalensi rusa terinfestasi tungau sebesar 41,3% dengan I sebesar 13,1%, sedangkan pada babi hutan, prevalensi infestasi tungau sebesar 31% dengan I=13% (Ruiz-Fons 2006).

11

Dokumen terkait