• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribution and Diversity of Ectoparasite Mites on Geckos in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribution and Diversity of Ectoparasite Mites on Geckos in Indonesia"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN TUNGAU

EKTOPARASIT PADA CICAK DI INDONESIA

TARUNI SRI PRAWASTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Distribusi dan Keanekaragaman Tungau Ektoparasit pada Cicak di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

(4)
(5)

ABSTRACT

TARUNI SRI PRAWASTI. Distribution and Diversity of Ectoparasite Mites on Geckos in Indonesia. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and RIKA RAFFIUDIN.

Data on the diversity and dispersal of parasitic mites on house geckos in Indonesia are very scarce. In this work, the distribution and diversity of mites living on three species of house geckos, namely Cosymbotus platyurus, Hemidactylus frenatus, and H. garnotii collected throughout Indonesia, has been elaborated. Geckos and mites were captured and immediately preserved in 70% ethanol. Whole mount of the mites was prepared by clearing in lactophenol followed by mounting on polyvinyl lactophenol solutions. The SEM preparation was conducted to examine the detail morphological characters of the mites. The results showed that among 448 individuals of geckos, 221 geckos were infected by Geckobia mites. Prevalences of C. platyurus, H. frenatus, and H. garnotii infested by mites were 14.8%, 50.69%, and 79.6%, respectively. Three different spesies of Geckobia (G1, G2, and G3) could be differentiated; and based on similarities of their morphological characters to ones described in published literatures, Geckobia G2 is Geckobia glebosum and Geckobia G3 is Geckobia bataviensis while G1 could not be identified to the species level. The highest mean intensity of Geckobia G1 infestation was found on H. garnotii (I=7.0), G. glebosum infestation on H. frenatus (I=3.5), and G. bataviensis infestation on H. garnotii (I=11.8). In general, C. platyurus was infested by the least number of mites. Geckobia G1 were found living on the skin folds on the claws, G. glebosum were found mainly on the body and thigh, and G. bataviensis were found on almost all parts of the host’s body. Geckobia mites are distributed randomly throughout Indonesian Archipelago, following the pattern of distribution of their hosts. So it is concluded that Geckobia G1, G. glebosum, and G. bataviensis are sympatric.

(6)
(7)

RINGKASAN

TARUNI SRI PRAWASTI. Distribusi dan Keanekaragaman Tungau Ektoparasit pada Cicak di Indonesia. Di bawah bimbingan ACHMAD FARAJALLAH dan RIKA RAFFIUDIN.

Tungau dari Famili Pterygosomatidae hidup sebagai parasit pada cicak dan kadal Gekkonidae. Tungau ini dikenal sebagai parasit penghisap darah. Tungau Geckobia (Famili Pterygosomatidae) dilaporkan ditemukan pada cicak Famili Gekkonidae dan sebagai ektoparasit pada cicak Hemidactylus di Asia Tenggara.

Interaksi antara tungau parasit dengan cicak perlu diperhatikan, karena kebanyakan spesies cicak hidup di antara manusia. Tungau Geckobia naultina pada reptil Haplodactylus duvaocelli (Gekkonidae) di Selandia Baru ditemukan sebagai vektor pembawa Rickettsia. Data base penyakit infeksi global menunjukkan bahwa satwa liar berperan sebagai reservoir patogen untuk manusia dan hewan peliharaan / ternak.

Cicak Cosymbotus platyurus, Hemidactylus frenatus dan Hemidactylus garnotii merupakan cicak rumah yang sering dijumpai di sekitar manusia. Informasi mengenai tungau ektoparasit pada cicak di Indonesia sangat diperlukan untuk mengantisipasi adanya penyakit yang disebarkan akibat interaksi tersebut. Penelitian ini dilakukan berdasar pada data penyebaran cicak di Indonesia dan adanya interaksi antara cicak dengan tungau ektoparasit.

Cicak dikoleksi dari berbagai daerah di Indonesia atas bantuan banyak pihak. Cicak diidentifikasi dan disimpan dalam etanol 70% secara terpisah. Selanjutnya tungau yang menempel pada tubuh cicak diambil, dihitung, difiksasi dengan alkohol 70% dan disimpan terpisah. Analisis keberadaan tungau pada tubuh cicak dilakukan dengan menghitung nilai prevalensi, intensitas infestasi dan pola perlekatan tungau pada tubuh cicak. Distribusi tungau pada tubuh cicak dilakukan dengan menghitung jumlah tiap jenis tungau yang melekat pada tubuh cicak tersebut.

Sebanyak 448 ekor cicak yang dikoleksi dari duapuluh lima lokasi, diidentifikasi sebagai C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii; 221 ekor cicak terinfestasi tungau. Seluruh tungau yang menginfestasi cicak (2 494 tungau) diidentifikasi sebagai anggota famili Pterygosomatidae, Genus Geckobia.

Pengamatan terhadap bentuk tubuh, skutum dorsal, gnatosoma, tungkai dan penyebaran seta menunjukkan bahwa tungau yang ditemukan bisa dibedakan menjadi tiga spesies. Tungau Geckobia spesies 1 (G1) ditemukan sebanyak 676 individu, tungau Geckobia spesies 2 (G2) sebanyak 206 individu dan tungau Geckobia spesies 3(G3) sebanyak 1 612 individu.

Tungau Geckobia spesies 1 (G1) dengan ciri-ciri antara lain bentuk tubuh bulat meruncing ke posterior, skutum dorsal sempit dengan seta pendek, seta di posterior skutum panjang, runcing dan jarang, seta ventral pendek, jarang. Sampel ini tidak dapat diidentifikasi nama spesiesnya.

(8)

Tungau Geckobia spesies 3 (G3), dengan ciri-ciri bentuk membulat ke posterior, skutum dorsal lebar dengan seta pilosa, seta di posterior skutum panjang, rapat, seta ventral lebih pendek dan jarang, terdapat spur pada palpatarsus. Sampel ini diidentifikasi sebagai Geckobia bataviensis.

Persebaran cicak pada duapuluh lima lokasi penangkapan terlihat acak atau tidak berpola. Berdasar data keberadaan ketiga spesies cicak dan kemampuan ketiga spesies cicak tersebut hidup bersama pada satu lokasi, dapat dikatakan bahwa ketiga spesies cicak yang diteliti bersifat simpatrik dengan pola persebaran acak.

Cicak C. platyurus terinfestasi tungau ditemukan pada 8 lokasi, cicak H. frenatus terinfestasi tungau ditemukan pada 12 lokasi dan cicak H. garnotii terinfestasi tungau tungau ditemukan pada 18 lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran tungau ektoparasit yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii tidak merata atau menyebar secara acak.

Prevalensi rata-rata infestasi tungau terhadap H. garnotii 79,07%, tertinggi dibanding prevalensi pada ke dua spesies cicak yang lain. Pada umumnya prevalensi C. platyurus terinfestasi tungau pada setiap lokasi penangkapan adalah kecil. Kemungkinan struktur morfologi C. platyurus kurang memberi perlindungan terhadap keberadaan tungau. Perlu penelitian lebih lanjut apakah morfologi dan anatomi cicak serta struktur kelisera dan cakar tungau berpengaruh terhadap perlekatan tungau ke cicak.

Berdasar spesies inang, tungau G1 lebih banyak menginfestasi H. garnotii dengan intensitas infestasi 7,0. Tungau G. glebosum menginfestasi H. frenatus dengan intensitas infestasi 3,50 dan tungau G. bataviensis menginfestasi H. garnotii dengan intensitas infestasi 11,80. Ketiga spesies tungau ini bisa menginfestasi ketiga spesies cicak yang diteliti. Artinya, spesies tungau yang sama dapat menginfestasi spesies cicak yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa tungau G1, G. glebosum dan G. bataviensis tidak spesifik sebagai ektoparasit pada spesies cicak tertentu, menyebar secara acak dan bersifat simpatrik.

Tungau bisa menginfestasi semua bagian tubuh cicak dari moncong sampai kaudal, di ketiak, paha serta di bawah cakar. Tungau G1 melekat di bawah cakar jari tungkai depan dan tungkai belakang cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii. Tungau G. glebosum ditemukan pada badan dan paha ketiga spesies cicak tersebut. Sedang tungau G. bataviensis ditemukan hampir merata pada semua bagian tubuh cicak. Dapat dikatakan bahwa perlekatan tungau pada tubuh inang spesifik untuk beberapa spesies tungau.

Dapat disimpulkan bahwa tungau yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii adalah tungau Famili Pterygosomatidae, Genus Geckobia, Spesies Geckobia G1, Geckobia glebosum dan Geckobia bataviensis. Ketiga spesies cicak yang diteliti dan ketiga spesies tungau yang menginfestasi tidak memiliki pola distribusi yang spesifik; persebaran berlangsung secara acak dan bersifat simpatrik. Prevalensi infestasi tungau tertinggi pada cicak H. garnotii. Ketiga spesies tungau tidak spesifik sebagai ektoparasit pada spesies cicak tertentu. Pola perlekatan tungau pada tubuh inang spesifik untuk beberapa spesies tungau.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)
(11)

DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN TUNGAU

EKTOPARASIT PADA CICAK DI INDONESIA

TARUNI SRI PRAWASTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

Judul Tesis : Distribusi dan Keanekaragaman Tungau Ektoparasit pada Cicak di Indonesia

Nama : Taruni Sri Prawasti

NRP : G352090031-BSH

Disetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Pembimbing II

Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si.

Diketahui

Ketua Mayor Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian ini adalah tungau ektoparasit pada cicak, dengan judul ”Distribusi dan Keanekaragaman Tungau Ektoparasit pada Cicak di Indonesia“.

Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah memberi kesempatan dan membiayai studi Magister penulis di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Terimakasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Farajallah MSi dan Dr. Ir. Rika Raffiudin MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, masukan, kritik, waktu dan diskusi yang sangat berharga bagi penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Terimakasih disampaikan kepada Dr. Sri Sudarmiyati MSc. yang telah bersedia menjadi penguji bagi penulis. Kepada Ismayanti Soleha SSi, Andi Darmawan MSi dan Tini Wahyuni diucapkan terimakasih atas bantuannya di dalam preparasi preparat tungau pada penelitian ini. Ucapan terimakasih disampaikan kepada seluruh kolega di BSH: Dr. Deddy Duryadi, Dr. Bambang Suryobroto, Dr. Dyah Perwitasari, Dr. Tri Atmowidi, Ir. Tri Heru Widharto MSc, Berry Juliandi MSi dan Kanti Arum W MSi atas dukungan dan semangat yang diberikan.

Penghargaan dan ucapan terimakasih diberikan kepada teman-teman yang telah dengan senang hati membantu koleksi cicak dari seluruh Indonesia. BSH angkatan 2009, khususnya Jazzy, Uche, Gress, Rawati yang selalu membantu, mendukung dan memberi semangat, terimakasih atas persahabatan yang diberikan.

Kepada suami dan kedua anak penulis, diucapkan terimakasih yang tak terhingga atas bantuan, kesempatan, semangat dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan studi ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Keluarga Besar Condronegoro atas dorongan, semangat dan doa untuk penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(18)
(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Solo, 30 Nopember 1955 sebagai putri ke tiga dari KRH Condronagoro dan R. Ay. Haswini Sri Danarti Condronagoro. Pendidikan Sarjana di tempuh di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, lulus tahun 1981. Menikah dengan Dr. Ir. Budhi Priyanto M.Sc. dan dikaruniai 2 orang anak, Wirasmi Primadiyanti dan Rizky Wirastomo. Sejak tahun 1981 penulis bekerja di Bagian Zoologi, Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Matematika IPB (sekarang Bagian Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB), sebagai pengajar mata ajaran Avertebrata, Mikroteknik dan Biologi.

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Klasifikasi dan Morfologi Tungau ... 5

Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak ... 5

Klasifikasi dan Morfologi Cicak ... 7

Interaksi Tungau dengan Cicak ... 9

Prevalensi dan Intensitas Infestasi ... 9

BAHAN DAN METODE ... 11

Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Koleksi Cicak dan Tungau Ektoparasit ... 11

Pembuatan Preparat ... 12

Identifikasi Cicak dan Tungau Ektoparasit ... 12

Penghitungan dan Pengamatan Terhadap Tungau dan Cicak ... 12

Analisis Data ... 12

HASIL ... 15

Identifikasi Cicak ... 15

Inventarisasi Tungau Ektoparasit yang Menginfestasi Cicak ... 15

Identifikasi Tungau yang Menginfestasi Cicak ... 15

Prevalensi Infestasi Tungau pada Cicak ... 25

Intensitas Infestasi Tungau pada Cicak ... 25

Distribusi Tungau pada Bagian Tubuh Cicak ... 27

PEMBAHASAN ... 31

Pola Persebaran Cicak di Indonesia ... 31

Pola Persebaran Tungau Ektoparasit yang Menginfestasi Cicak ... 32

Tiga Spesies Tungau Geckobia Ditemukan pada Cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia ... 33

Prevalensi dan Intensitas Infestasi Tungau Geckobia pada Cicak ... 35

Pola Perlekatan Tungau pada Tubuh Cicak ... 37

SIMPULAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(22)
(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Sebaran tiga spesies cicak dan jumlah cicak yang terinfestasi tungau pada

duapuluh lima lokasi penangkapan di seluruh Indonesia ... 16

2 Jumlah seluruh cicak yang diperiksa dan jumlah tungau yang ditemukan

pada duapuluh lima lokasi penangkapan di Indonesia ... 16

3 Perbandingan ciri-ciri tungau Geckobia G1, G2, dan G3 ... 20

4 Perbandingan tungau Geckobia (G2) hasil penelitian dengan G. glebosum

(Bertrand et al. 1999) ... 23

5 Perbandingan tungau Geckobia (G3) hasil penelitian dengan G. bataviensis (Vitzthum 1926) ... 24

6 Prevalensi dan intensitas infestasi tungau pada tiga spesies di duapuluh lima lokasi penangkapan di seluruh Indonesia ... 26

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi tungau ... 6

2 Berbagai spesies cicak di Indonesia ... 8

3 Bagian tubuh cicak tempat pengambilan tungau ... 11

4 Persebaran tiga spesies cicak, C. platyurus, H. frenatus, dan H. garnotii, di

Indonesia ... 17

5 Geckobia spesies 1 (G1) ... 18

6 Geckobia spesies 2 (G2) ... 21

7 Geckobia spesies 3 (G3) ... 22

8 Morfologi Geckobia spesies 2 (G2) dan G. glebosum menurut Bertrand et al. (1999) ... 23

9 Morfologi Geckobia spesies 3 (G3) dan G. bataviensis menurut Vitzthum

(1926) ... 24

10 Prevalensi total infestasi tungau terhadap C. platyurus, H. frenatus, dan

H. garnotii ... 23

11 Distribusi (jumlah) tungau G1, G2, dan G3 pada bagian tubuh cicak

C. platyurus ... 28

12 Distribusi (jumlah) tungau G1, G2, dan G3 pada bagian tubuh cicak

H. frenatus ... 28

13 Distribusi (jumlah) tungau G1, G2, dan G3 pada bagian tubuh cicak

H. garnotii ... 29

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar kolektor cicak ... 47 2 Formula perekat polivinil laktofenol ... 48

3 Penyebaran spesies cicak di Indonesia ... 49

(28)
(29)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tungau menempati tipe habitat yang sangat beragam, seperti di darat, di air atau hidup pada organisme lain. Karena ukuran tubuh tungau relatif kecil dan plastis, tungau mampu beradaptasi pada berbagai habitat (Fain 1994). Semua taksa yang lebih besar daripada tungau, baik tumbuhan atau hewan lain telah dikolonisasi. Pada hewan, semua vertebrata darat menjadi inang simbiotik tungau. Pada hewan avertebrata seperti insekta, Arachnida (termasuk tungau lain), miriapoda, krustase, anelida telah diinfestasi oleh tungau (Walter dan Proctor 1999).

Tungau dapat menjadi simbion temporer atau permanen dan dapat bertindak sebagai komensal, mutualis, parasit atau parasitoid. Parasitisme adalah interaksi antara dua jenis organisme yang hidup bersama, yaitu salah satu organisme diuntungkan dan yang lain dirugikan. Kebanyakan spesies tungau adalah ektoparasit dan sebagian yang lain adalah endoparasit pada saluran pernafasan burung, mamalia dan lain sebagainya (Fain 1994). Ektoparasit adalah organisme parasit yang hidup pada permukaan tubuh inang, menghisap darah atau mencari makan pada rambut, bulu, kulit dan menghisap cairan tubuh inang (Triplehorn dan Johnson 2005). Sifat ektoparasit berlangsung paling tidak pada sebagian dari seluruh siklus hidup tungau di tubuh inang avertebrata maupun vertebrata. Tungau dapat berasosiasi dengan sejumlah hewan avertebrata maupun vertebrata. Reptil, dalam hal ini kura-kura, ular kadal dan cicak, berinteraksi dengan beragam jenis tungau, baik sebagai ektoparasit maupun endoparasit (Walter dan Proctor 1999).

(30)

Berdasar Kethley (1982), tungau termasuk anggota Filum Arthropoda, Sub Filum Chelicerata, dan Kelas Arachnida. Ciri yang membedakan tungau dengan Arachnida lain adalah struktur alat mulut (gnatosoma). Podosoma (toraks) dan opistosoma (abdomen) menyatu membentuk idiosoma. Segmen abdomen tidak ada atau tidak jelas. Tungau dewasa mempunyai empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma. Kelisera teradaptasi sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan mengunyah (Krantz 1978).

Tungau Famili Pterygosomatidae hidup sebagai parasit pada cicak dan kadal Gekkonidae (Bochkov dan Mironov 2000, Walter dan Shaw 2002). Menurut Schmaschke (1997) tungau Pterygosomatidae dikenal sebagai parasit penghisap darah. Oliver dan Shaw 1953 menyatakan bahwa tungau yang menginfestasi Hemidactylus garnotii adalah tungau Geckobia. Tungau Geckobia (Famili Pterygosomatidae) dilaporkan ditemukan pada cicak Famili Gekkonidae (Montgomery 1966) dan sebagai ektoparasit pada cicak Hemidactylus di Asia Tenggara (Krantz 1978). Menurut Bertrand et al. (1999) cicak Cosymbotus platyurus dan H. frenatus dapat diinfestasi oleh beberapa spesies Geckobia. Cicak H. mabouia merupakan inang dari tungau G. hemidactyli di Puerto Rico (Rivera et al. 2003), sedangkan tungau G. carcinoides merupakan ektoparasit pada cicak Gehyra oceanica di Polynesia (Bertrand dan Ineich 1989).

Beberapa jenis tungau menimbulkan kerugian langsung atau tidak langsung yaitu sebagai vektor beberapa penyakit pada manusia maupun hewan lain. Pada integumen reptil Uta stanbuliana liar ditemukan tungau Famili Trombiculidae yang dapat menimbulkan peradangan (Goldberg et al. 1991). Tungau G. naultina pada reptil Haplodactylus duvaocelli (Gekkonidae) di Selandia Baru ditemukan sebagai vektor pembawa Rickettsia, yaitu bakteri parasit (Barry et al. 2011). Interaksi antara tungau parasit dengan cicak perlu diperhatikan, karena cicak hidup di antara manusia. Data base penyakit infeksi global menunjukkan bahwa satwa liar berperan sebagai reservoir patogen untuk manusia dan hewan peliharaan atau ternak (Jones et al. 2011).

(31)

3

H. garnotii ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Rooij 1915).

Inventarisasi dan identifikasi tungau ektoparasit pada cicak di Bogor telah dilakukan oleh Soleha (2006) yang menunjukkan, bahwa tungau yang menginfestasi C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Bogor adalah tungau Geckobia. Vitzthum (1926) melaporkan bahwa G. bataviensis ditemukan pada cicak H. frenatus di Batavia (Jakarta). Belum ada laporan mengenai distribusi tungau ektoparasit yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia.

Analisis keberadaan ektoparasit pada tubuh inang dilakukan dengan menghitung nilai prevalensi, intensitas infestasi dan pola perlekatan ektoparasit pada tubuh inang. Menurut Barton dan Richard (1966), prevalensi adalah bagian dari populasi inang yang terinfestasi ektoparasit, sedang intensitas infestasi adalah kerapatan ektoparasit yang menginfestasi inang. Pola perlekatan inang diamati untuk mengetahui distribusi ektoparasit pada tubuh inang.

Berdasarkan pada data penyebaran cicak di Indonesia dan adanya interaksi antara cicak dengan tungau ektoparasit, penelitian ini akan mengeksplorasi distribusi geografis cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii, tungau ektoparasit yang menginfestasi ketiga spesies cicak tersebut, hubungan antara spesies inang dengan spesies tungau yang memparasit, serta menghitung nilai prevalensi dan intensitas infestasi tungau pada inang.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari distribusi dan keanekaragaman tungau ektoparasit yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia.

2. Menganalisis nilai prevalensi, intensitas infestasi dan perlekatan tungau ektoparasit pada badan cicak.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai:

(32)
(33)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Tungau

Kethley (1982) menempatkan tungau sebagai anggota Filum Arthropoda, Sub Filum Chelicerata, Kelas Arachnida, Sub Kelas Acari. Ciri yang membedakan tungau dengan Arachnida lain adalah segmen abdomen tidak ada atau tidak jelas. Walter dan Proctor (1999) membagi Sub Kelas Acari menjadi tiga ordo yaitu 1) Ordo Opilioacariformes yang terdiri dari Sub Ordo Opilioacarida dan Sub Ordo Notostigmata, 2) Ordo Parasitiformes yang terdiri dari Sub Ordo Holothyrida, Sub Ordo Mesostigmata dan Sub Ordo Ixodida, dan 3) Ordo Acariformes yang terdiri dari Sub Ordo Sarcoptiformes dan Sub Ordo Trombidiformes.

Berdasar morfologi, tubuh tungau terbagi menjadi dua bagian yaitu gnatosoma dan idiosoma. Gnatosoma terletak di bagian anterior tubuh, merupakan alat mulut yang terdiri atas kelisera dan pedipalpi. Pada gnatosoma terdapat stigmata, peritrema dan alat sensori. Stigmata dan peritrema berfungsi sebagai alat pernafasan. Kelisera berfungsi sebagai alat untuk menusuk, menghisap dan mengunyah sedang pedipalpi berfungsi sebagai alat bantu makan. Idiosoma pada tungau adalah podosoma dan opistosoma yang menyatu. Terdapat empat pasang tungkai yang terletak pada podosoma. Bagian posterior dari tubuh tungau adalah opistosoma yang terdiri dari organ sekresi dan organ genital (Gambar 1).

Karakterisasi dan Infestasi Tungau pada Cicak

(34)

Gambar 1 Morfologi tungau. a = gnatosoma; b = kapitulum; c = podosoma; d = opistosoma; e = idiosoma. T1, T2, T3, T4 = tungkai ke-1 hingga ke-4.

Tungau Geckobia (famili Pterygosomatidae) ditemukan pada cicak Famili Gekkonidae (Montgomery 1966) dan sebagai ektoparasit pada cicak Hemidactylus di Asia Tenggara (Krantz 1978). Rivera et al. (2003) menyatakan bahwa cicak H. mabouia merupakan inang dari tungau G. hemidactyli di Puerto Rico. Sedangkan G. carcinoides merupakan ektoparasit pada cicak Gehyra oceanica di Polynesia Perancis (Bertrand dan Ineich 1989).

Menurut Bertrand et al. (1999), cicak C. platyurus diinfestasi oleh tungau G. clelandi Hirst 1917, G. cosymboty Cuy 1979 dan G. glebosum n sp. Sedangkan cicak H. frenatus diinfestasi oleh tungau G. andoharonomaitsoensis Haitlinger 1988, G bataviensis Vitzhum 1926, G. cosymboty Cuy 1979, G. ifanadianaensis Haitlinger 1988, G. nepali Hiregaudar, Joshee & Soman 1959, G. philippinensis Lawrence 1953, G. samanbavijinensis Haitlinger 1988. Bochkov dan Mironov (1999) menyatakan bahwa cicak H. frenatus juga diinfestasi oleh G. himalayensis Hidegaudar et al. 1959. Oliver dan Shaw (1953) yang diacu dalam Rivera et al (2003) menyatakan bahwa tungau yang menginfestasi H. garnotii adalah tungau Geckobia.

(35)

7

(spur) (Lawrence 1936). Sedang ciri Geckobia berdasar kunci determinasi genus tungau dari famili Pterygosomatidae menurut Oedemans (1910) di dalam Montgomery (1966), antara lain adalah panjang tubuh sedikit lebih panjang dari lebarnya atau lebar sama dengan panjangnya, koksa 1 dan 2 menyatu, koksa 3 dan 4 menyatu, semua tungkai mengarah keluar, hipostom tidak menggembung di bagian ujung, koksa dilindungi oleh seta kaku atau spur, seta pada tarsus 1 tidak sama panjang, seta posterior lebih pendek.

Klasifikasi dan Morfologi Cicak

Berdasar Rooij (1915), cicak ditempatkan sebagai anggota Filum Chordata, Kelas Reptilia, Ordo Squamata, Sub Ordo Lacertilia dan Famili Gekkonidae. Cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut Rooij (1915), C. platyurus dan H. frenatus menyebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara, sedangkan H. garnotii menyebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan.

Ciri-ciri Famili Gekkonidae menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Badan pipih ke arah lateral, terdiri atas kepala, badan dan ekor. terdapat dua pasang tungkai, lidah pendek dan sedikit berlekuk di bagian anterior. Ukuran mata besar dengan pupil vertikal, tanpa kelopak mata atau kelopak mata tidak bisa digerakkan. Ekor rapuh, dorsal tubuh dengan sisik halus dengan tipe granular atau tuberkel, sisik ventral sikloid atau heksagonal. Bersifat arboreal atau terestrial. Makanan utama famili Gekkonidae adalah serangga dan hampir semua anggota Gekkonidae bersifat nokturnal.

(36)

ditemukan di lingkungan pemukiman manusia sehingga sering disebut sebagai cicak rumah.

Ciri-ciri C. platyurus menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu dengan garis putus-putus berwarna lebih tua, ekor pipih memanjang dengan pinggir bergerigi, diameter lubang telinga kurang dari setengah kali diameter mata, jari melebar, bagian ventral jari terdapat dua baris lamela yang berpasangan, terdapat lipatan kulit dikedua sisi tubuh mulai dari ketiak tungkai depan sampai dianterior lekuk paha tungkai belakang (Gambar 2a).

Ciri-ciri H. frenatus menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu kecoklatan, ekor bulat memanjang dengan enam sisik tuberkel. Jari melebar, tidak berselaput, bagian ventral jari dengan dua baris lamela berpasangan, jari ke 4 dengan 9-10 lamela, diameter lubang telinga kira-kira sepertiga diameter mata. Tidak terdapat lipatan kulit pada kedua sisi badannya (Gambar 2b).

Ciri-ciri H. garnotii menurut Rooij (1915) adalah sebagai berikut. Tubuh bagian dorsal berwarna abu-abu, kadang-kadang dengan garis-garis memanjang berwarna lebih tua, ekor agak pipih memanjang dengan tepi bergerigi. Jari tanpa selaput, ventral jari ke 4 tungkai belakang dengan 10-12 lamela. Diameter telinga kurang dari sepertiga diameter mata. Tidak terdapat lipatan kulit pada kedua sisi badannya (Gambar 2c).

(37)

9

Cook dan Richard (1999) menyatakan bahwa spesies cicak merupakan hewan yang mudah menyebar dan membentuk kelompok baru. Jesus et al. 2000 menduga bahwa kelompok-kelompok cicak berpindah antar pulau melalui kegiatan manusia. Kecepatan perkembangan populasi (kolonisasi) suatu spesies cicak pendatang bisa mengalahkan spesies residen (Meshaka 2000).

Interaksi Tungau Dengan Cicak

Salah satu cara mengkategorikan keragaman interaksi antar individu adalah dengan mengamati pengaruh suatu individu terhadap kehidupan individu lain. Pada kasus parasitisme, suatu individu parasit diuntungkan oleh interaksi yang terjadi dan individu yang lain (inang) dirugikan. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup, parasit tidak membunuh inang. Tungau berasosiasi dengan sejumlah besar vertebrata termasuk reptilia. Sejumlah famili dan sub famili Mesostigmata hanya berinteraksi dengan reptil (Walter dan Proctor 1999). Reptil terestrial biasanya dihinggapi banyak jenis caplak. Ular, kadal, cicak dan kura-kura berinteraksi dengan beragam jenis tungau, baik ektoparasit maupun endoparasit. Pada anggota prostigmata, tungau dari famili Pterygosomatidae hinggap sebagai parasit pada kadal.

Cicak (Reptilia) dapat terinfestasi oleh tungau karena adanya interaksi fisik inang; interaksi dapat berupa kontak seksual, perkelahian atau karena hidup bersama dalam satu sarang (Rivera et al. 2003). Gekkonidae yang melakukan aktifitas seksual, nilai prevalensi, intensitas infestasi dan kelimpahan tungau sangat tinggi. Brown et al. (1995) menyatakan, bahwa aktivitas seksual menaikkan resiko cicak tertular tungau. Perbedaan pola parasitisme pada anggota Gekkonidae mungkin berhubungan dengan morfologi dan variasi lipatan kulit (Carvalho 2006).

Prevalensi dan Intensitas Infestasi

(38)
(39)

11

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2009 sampai dengan Desember 2010 di Bagian Biosistematika dan Ekologi Hewan, Departemen Biologi FMIPA IPB.

Koleksi Cicak dan Tungau Ektoparasit

a. Koleksi Cicak

Cicak dikoleksi dari berbagai daerah di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara) selama tahun 2007 sampai dengan 2010. Koleksi dibantu oleh berbagai pihak; daftar kolektor disajikan dalam Lampiran 1. Cicak diawetkan dalam alkohol 70%, dan disimpan terpisah berdasarkan spesies dan lokasi penangkapan.

b. Koleksi Tungau

Tungau yang melekat pada setiap individu cicak yaitu pada bagian kepala, telinga, ketiak, badan, paha, ekor, jari depan dan jari belakang diambil dengan menggunakan jarum preparat, jumlah tungau pada setiap lokasi perlekatan dihitung dan disimpan terpisah di dalam alkohol 70% berdasar lokasi perlekatan tungau pada setiap individu cicak (Gambar 3).

(40)

Pembuatan Preparat

a. Preparat Utuh Tungau

Tungau yang telah difiksasi dengan alkohol 70% dijernihkan dengan laktofenol selama 24 jam. Selanjutnya tungau diletakkan pada gelas benda dan ditutup dengan perekat polifinil laktofenol (modifikasi metode Krantz 1978). Formula perekat polivinil laktofenol disajikan dalam Lampiran 2.

b. Preparat Scanning Electron Microscopy (SEM) Tungau

Tungau dalam alkohol 70% dipreparasi lebih lanjut sebagai preparat SEM di Laboratorium Mikroskop Elektron, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong.

Identifikasi Cicak dan Tungau Ektoparasit

Cicak diidentifikasi dengan menggunakan kunci determinasi Rooij (1915). Tungau diidentifikasi dengan kunci determinasi Krantz (1978) sampai tingkat famili dan Lawrence (1936) pada tingkat genus. Preparat SEM tungau digunakan untuk mengamati detail dari morfologi tungau.

Penghitungan dan Pengamatan Terhadap Tungau dan Cicak

Penghitungan dan pengamatan dilakukan untuk mengetahui:

1. Jumlah individu setiap spesies cicak yang ditangkap di setiap lokasi. 2. Jumlah cicak yang diinfestasi tungau.

3. Jumlah setiap spesies tungau yang menginfestasi setiap individu cicak.

4. Tempat perlekatan tungau pada cicak. 5. Spesies tungau yang menginfestasi cicak.

Analisis Data

(41)

13

menginfestasi per individu cicak yang terinfestasi tungau. Analisis dilakukan berdasar Barton dan Richard (1966).

a. Prevalensi

Prevalensi adalah persentase cicak yang terinfestasi tungau. b. Intensitas Infestasi

Intensitas infestasi adalah rata-rata jumlah tungau yang menginfestasi setiap individu cicak.

% (1)

Keterangan: P = prevalensi

I = intensitas infestasi tungau It = intensitas total

n = jumlah cicak yang terinfestasi tungau N = jumlah cicak yang diperiksa

ni = jumlah cicak yang terinfestasi tungau spesies i Ti= jumlah tungau spesies i yang menginfestasi cicak

T = jumlah total tungau yang menginfestasi cicak (2)

(3)

c. Distribusi Tungau pada Bagian Tubuh Cicak

(42)
(43)

15

HASIL

Identifikasi Cicak

Sebanyak 448 ekor cicak yang dikoleksi dari 25 lokasi di Indonesia, diidentifikasi sebagai C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii. Keberadaan ketiga spesies cicak pada duapuluh lima lokasi penangkapan sangat bervariasi; C. platyurus tersebar pada 18 lokasi penangkapan (178 ekor), H. frenatus pada 16 lokasi (84 ekor) dan H. garnotii pada 18 lokasi (186 ekor). Persebaran C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii pada 25 lokasi penangkapan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 4.

Inventarisasi Tungau Ektoparasit yang Menginfestasi Cicak

Tungau yang menginfestasi cicak sering disebut sebagai tungau merah karena berwarna merah jingga. Tungau ini melekat pada berbagai tempat di tubuh cicak. Dari 448 ekor cicak yang diperiksa, 221 ekor terinfestasi oleh tungau Jumlah setiap spesies cicak yang terinfestasi tungau pada 25 lokasi penangkapan diseluruh Indonesia tertera pada Tabel 1. Cicak dari lokasi penangkapan Pontianak dan Kolaka semua tidak terinfestasi oleh tungau.

Identifikasi Tungau yang Menginfestasi Cicak

Jumlah total tungau yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii sebanyak 2 494 tungau. Total tungau pada C. platyurus sebanyak 110 tungau, pada H. frenatus sebanyak 553 tungau dan pada H. garnotii sebanyak 1 831 tungau (Tabel 2).

(44)

Tabel 1 Sebaran tiga spesies cicak dan jumlah cicak yang terinfestasi tungau pada duapuluh lima lokasi penangkapan di seluruh Indonesia

Lokasi

P. Sidempuan = Padang Sidempuan Ktwrng Barat = Kotawaringin Barat

Tabel 2 Jumlah seluruh cicak yang diperiksa dan jumlah tungau yang ditemukan pada duapuluh lima lokasi penangkapan di Indonesia

Spesies Jumlah cicak Jumlah tungau

Total Terinfestasi G1 G2 G3 Total

C. platyurus 178 27 32 11 67 110

H. frenatus 84 46 119 41 393 553

H. garnotii 186 148 525 154 1 152 1 831

(45)

Gambar 4 Persebaran tiga spesies cicak, C.platyurus, H.frenatus dan H.garnotii, di Indonesia. Persentase tiap spesies disajikan pada

(46)

A

B

C

(47)

19

Ciri-ciri yang lain adalah terdapat skutum dorsal, mulut di anterior dorsal tubuh, koksa dengan seta kaku (spur), koksa tungkai 1 dan 2 menyatu, koksa tungkai 3 dan 4 menyatu, semua tungkai mengarah keluar, seta pada tarsus 1 bervariasi, dan panjang tubuh sedikit lebih panjang dari lebarnya atau panjang sama dengan lebarnya. Berdasar ciri-ciri yang ada, tungau tersebut adalah genus Geckobia.

Pengamatan terhadap bentuk tubuh, gnatosoma, skutum, tungkai serta jenis dan penyebaran seta dorsal menunjukkan, bahwa tungau Geckobia yang ditemukan dapat dibedakan menjadi tiga spesies yaitu Geckobia spesies 1 (G1), Geckobia spesies 2 (G2) dan Geckobia spesies 3 (G3).

Jumlah total tungau yang ditemukan pada 221 ekor cicak yang terinfestasi adalah 2 494 tungau. Geckobia spesies 1 (G1, Gambar 5)ditemukan sebanyak 676 individu, Geckobia spesies 2 (G2, Gambar 6) sebanyak 206 individu dan Geckobia spesies 3 (G3, Gambar 7) sebanyak 1 612 individu.

a. Deskripsi Geckobia Spesies 1 (G1)

Bentuk tubuh bulat meruncing ke posterior, panjang ±0,5 mm, lebar ±0,5 mm (Gambar 5A). Gnatosoma dengan palpus 4 segmen, segmen pertama menempel pada dinding tubuh, segmen bebas pertama dengan seta panjang ramping, palpatibia mempunyai seta panjang, palpatarsus bercakar dan dengan rambut-rambut yang tersusun menjari (Gambar 5C). Skutum dorsal kecil dengan seta pendek tersebar tidak rapat; seta di posterior skutum panjang ramping dan tersusun jarang; seta pada pada bagian ventral pendek, tersebar jarang di posterior gnatosoma dan koksa. Tungkai 4 pasang, pendek, tarsus bercakar dan dilengkapi dengan rambut-rambut yang tersusun menjari. Koksa 1 tidak terdapat spur, koksa 2 dan 3 dilengkapi dengan 2 spur di pangkal dan di ujung koksa, koksa ke-4 dengan 1 spur di pangkal.(Gambar 5B).

Deskripsi Geckobia Spesies 2 (G2)

(48)

(Gambar 6B). Skutum dorsal membesar di bagian anterior dengan spur berjumlah 12 - 14, seta dibelakang skutum pendek tebal dan tersusun sangat rapat, seta posterodorsal panjang tebal dan rapat. Tungkai 4 pasang dengan tungkai ke-4 panjang (2 kali panjang tungkai ke-1), tarsus dilengkapi dengan cakar dan rambut. Deskripsi Geckobia Spesies 3 (G3)

Bentuk tubuh membulat, bagian anterior lebih sempit daripada posterior, panjang ±0,5 mm, lebar ±0,4 mm (Gambar 7A). Gnatosoma dengan palpus empat segmen, segmen pertama menempel pada dinding tubuh, segmen bebas pertama dengan seta pendek dan tebal, palpatibia dengan 2 seta panjang dan ramping, ujung palpus (palpatarsus) bercakar dan berambut dengan satu spur pada ujung tarsus (Gambar 7C). Skutum dorsal lebar dengan seta pilosa (panjang bergerigi) agak jarang, seta di posterior skutum panjang dan rapat, ventral dengan seta lebih pendek dan jarang. Tungkai 4 pasang, bercakar, dilengkapi rambut-rambut yang tersusun menjari, koksa dengan 2 spur kecuali koksa tungkai pertama, tungkai ke 4 tidak lebih panjang dari tungkai yang lain (Gambar 7B).

Perbandingan ciri-ciri Geckobia spesies 1 (G1), Geckobia spesies 2 (G2) dan Geckobia spesies 3 (G3), dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan ciri-ciri tungau Geckobia G1, G2 dan G3

G1 G2 G3

Bentuk tubuh meruncing ke

posterior; panjang panjang 0,5 mm, lebar 0,4 mm

Skutum dorsal kecil; seta pendek,

tersebar tidak rapat

pendek, jarang pendek, tebal, rapat;

seta posterodorsal panjang, rapat

panjang, rapat

Seta ventral pendek, jarang - lebih pendek daripada

seta dorsal, jarang

Palpus segmen pertama: seta

panjang, langsing,

Tungkai lebih pendek dari

badan; spur pada koksa pendek dan kuat

tungkai ke-4 dua kali panjang tungkai pertama; spur pada koksa tidak terlihat

tungkai relatif panjang, tungkau ke-4 tidak lebih panjang daripada tungkai pertama; spur pada koksa pendek dan kuat

(49)

21

A

B Gambar 6 Geckobia spesies 2 (G2). A Tubuh tampak dorsal, B gnatosoma

(50)

A

B

C

Gambar 7 Geckobia spesies 3 (G3). A tubuh tampak ventral, B tubuh tampak dorsal; C gnatosoma tampak ventral. a skutum dorsal, b palpi,

(51)

23

Perbandingan ciri-ciri Geckobia spesies 2 (G2) hasil penelitian dan G. glebosum seperti yang diterangkan dalam Bertrand et al. (1999) disajikan dalam Tabel 4. Sedangkan perbandingan morfologi dari Geckobia spesies 2 (G2) dan G. glebosum disajikan dalam Gambar 8.

Tabel 4 Perbandingan tungau Geckobia (G2) hasil penelitian dengan Geckobia glebosum (Bertrand et al. 1999)

Geckobia (G2) Geckobia glebosum

(Bertrand et al. 1999)

Bentuk tubuh segitiga; panjang ±0,3 mm, lebar ±0,4 mm

hampir segitiga; panjang 0,35-0,42 mm, lebar 0,4-0,55 mm

Skutum dorsal besar dan menonjol; spur 12-14 membesar di anterior, ditutup seta pendek yang rapat

Seta di posterior skutum

pendek, tebal, rapat; seta posterodorsal panjang, rapat

lebih panjang dan rapat

Seta ventral -

Palpus segmen bebas pertama dengan spur, tibiatarsus dengan seta tebal

tibia dan tarsus dilengkapi dengan rambut yang sangat panjang

Tungkai tungkai ke-4 dua kali panjang tungkai pertama; spur pada koksa tidak terlihat

tungkau ke-4 dua kali panjang tungkai pertama

Gambar 8 Morfologi Geckobia spesies 2 (G2) (kiri) dan G. glebosum menurut Bertrand et al. (1999) (kanan).

(52)

Tabel 5. Sedangkan perbandingan morfologi dari Geckobia spesies 3 (G3) dan G. bataviensis disajikan dalam Gambar 9.

Tabel 5 Perbandingan tungau Geckobia (G3) hasil penelitian dengan Geckobia bataviensis (Vitzthum 1926)

Geckobia (G3) Geckobia bataviensis (Vitzthum 1926)

Bentuk tubuh membulat ke posterior; panjang 0,5 mm, lebar 0,4 mm

membulat di posterior; panjang 0,4 mm, lebar 0,35 mm

Skutum dorsal lebar; seta pilosa lebar; seta lebih pendek dan kuat daripada bagian posterior

Seta di posterior skutum

panjang, rapat semua seta dorsal lebih panjang dan langsing daripada seta skutum, seta anal lebih panjang

Seta ventral lebih pendek daripada seta dorsal, jarang

seperti dorsal, sedikit lebih pendek

Palpus segmen pertama: seta panjang, runcing, spur pada palpatarsus

seta segmen pertama panjang dan langsing Tungkai tungkai relatif panjang, tungkau

ke-4 tidak lebih panjang daripada tungkai pertama; spur pada koksa pendek dan kuat

panjang keempat pasang tungkai relatif sama; spur pada koksa pendek dan kuat

(53)

25

Prevalensi Infestasi Tungau pada Cicak

Prevalensi infestasi tungau pada tiga spesies cicak di duapuluh lima lokasi penangkapan di Indonesia tersaji pada Tabel 6. Berdasar jumlah total masing-masing spesies cicak yang ditangkap, H. garnotii merupakan cicak yang paling banyak diinfestasi oleh tungau. Prevalensi pada ke tiga spesies cicak yang diteliti infestasi tungau tersaji pada Gambar 10.

Prevalensi infestasi tungau sebesar 100% dijumpai pada H. frenatus dari Lamongan, Denpasar dan Pulau Kisar, serta pada H. garnotii dari Palembang, Serpong, Tuban dan Mataram.

Gambar 10 Prevalensi total infestasi tungau terhadap C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia.

Intensitas Infestasi Tungau pada Cicak

(54)

Lokasi penangkapan Pre-valensi

(%)

Jumlah tungau dan intensitas1

Pre-valensi (%)

Jumlah tungau dan intensitas1

Pre-valensi (%)

Jumlah tungau dan intensitas1

G1 G2 G3 Total G1 G2 G3 Total G1 G2 G3 Total

angka di depan adalah jumlah tungau dan angka di dalam kurung adalah intensitas; * tidak ditemukan cicak inang; - tidak ditemukan tungau

(55)

27

Tabel 7 Intensitas infestasi rata-rata dan intensitas infestasi total tungau G1, G2 dan G3 pada tiga spesies cicak di Indonesia

Spesies cicak Intensitas rata-rata Intensitas

total Tungau G1 Tungau G2 Tungau G3

C. platyurus 3,22 1,42 2,16 2,66

H. frenatus 4,92 3,50 11,61 11,90

H. garnotii 6,96 3,13 11,82 12,40

Distribusi Tungau pada Bagian Tubuh Cicak

Perlekatan tungau pada tubuh cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii diamati berdasar bagian-bagian tubuh cicak yang sudah ditentukan (Gambar 3), yaitu kepala, telinga, ketiak, badan, paha, ekor, jari depan dan jari belakang. Gambar 11, 12, 13 dan 14 menunjukkan distribusi (jumlah tungau) G1, G2 dan G3 yang melekat pada bagian tubuh cicak.

Perlekatan tungau G1, G2 dan G3 pada cicak C. platyurus dirinci menurut bagian tubuh cicak dapat dilihat pada Gambar 11. Tungau yang menginfestasi cicak C. platyurus terbanyak adalah tungau G3 dengan lokasi perlekatan yang cukup merata; sedangkan tungau G1 hanya melekat pada telinga, jari depan dan belakang dan tungau G2 hanya melekat pada paha dan badan dengan jumlah yang relatif kecil.

Perlekatan tungau G1, G2 dan G3 pada cicak H. frenatus dirinci menurut bagian tubuh cicak dapat dilihat pada Gambar 12. Lokasi perlekatan tungau G3 pada tubuh cicak H. frenatus ditemukan pada paha, jari depan dan jari belakang, tungau G1 hanya ditemukan di jari depan dan belakang sedang tungau G3 hanya ditemukan pada paha dan badan.

Perlekatan tungau G1, G2 dan G3 pada cicak H. garnotii dirinci menurut bagian tubuh cicak dapat dilihat pada Gambar 13. Cicak H. garnotii paling banyak diinfestasi oleh tungau. Tempat perlekatan tungau G1 hanya di jari depan dan belakang cicak, G2 ditemukan pada badan dan paha sedang G3 ditemukan melekat pada jari depan, jari belakang dan paha.

(56)

belakang cicak, tungau G2 hanya melekat pada badan dan paha cicak sedang tungau G3 mempunyai tempat perlekatan yang lebih luas.

Gambar 11 Distribusi (jumlah) tungau G1, G2 dan G3 pada bagian tubuh cicak C. platyurus.

(57)

29

Gambar 13 Distribusi (jumlah) tungau G1, G2 dan G3 pada bagian tubuh cicak H. garnotii.

(58)
(59)

31

PEMBAHASAN

Pola Persebaran Cicak di Indonesia

Identifikasi yang dilakukan terhadap cicak dari 25 lokasi penangkapan di Indonesia menghasilkan 178 ekor cicak C. platyurus yang tersebar pada 18 lokasi penangkapan, 84 ekor H. frenatus yang tersebar pada 16 lokasi penangkapan dan 186 ekor H. garnotii yang tersebar pada 18 lokasi penangkapan. Penyebaran cicak C. platyurus dan H. frenatus meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara; sedang H. garnotii tersebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan (Rooij 1915).

Ketiga spesies cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnoti ditemukan bersama pada lokasi penangkapan di Palembang, Serang, Serpong, Lamongan, Tuban dan Palangkaraya. Cicak H. frenatus dan H. garnotii ditemukan bersama pada lokasi penangkapan Kotawaringin, Sangatta dan Ambon. Cicak C. platyurus dan H. garnotii ditemukan bersama pada lokasi penangkapan Aceh, Padang Sidempuan, Pekalongan, Mataram dan P. Seram. Cicak C. platyurus dan H. frenatus ditemukan bersama pada lokasi penangkapan Bengkulu, Denpasar, Kupang, Kolaka, Makasar, Pontianak dan Manado. Pada penelitian ini diketahui bahwa ke tiga spesies cicak yang diteliti menyebar cukup luas.dan tidak berpola. Berdasar data tersebut, dapat dikatakan bahwa ketiga spesies cicak yang diteliti bersifat simpatrik.

(60)

Persebaran ketiga spesies cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia menunjukkan peningkatan persebaran yang cukup luas. Hal ini sesuai dengan Cook dan Richard (1999) yang menyatakan bahwa cicak merupakan hewan yang mudah menyebar dan membentuk kelompok baru. Jesus et.al. (2001) menduga bahwa kelompok-kelompok cicak berpindah antar pulau melalui kegiatan manusia. Menke (2003) menyatakan bahwa kegiatan manusia menimbulkan perubahan vegetasi dan memicu perpindahan berbagai spesies Gekkonidae. Berdasar pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa peluang perpindahan cicak sangat tinggi sehingga tidak dapat diketahui pola sebaran cicak secara khusus, pada umumnya cicak menyebar secara acak.

Meshaka (2000) pada penelitian di Florida menemukan bahwa kecepatan pertambahan populasi cicak pendatang (H. garnotii) bisa mengalahkan spesies residen (H. tursicus). Keberadaan H. garnotii di Indonesia bagian Timur mungkin merupakan salah satu fenomena tersebut, dimana kedatangan H. garnotii mendesak keberadaan cicak yang ada lebih dulu.

Pola Persebaran Tungau Ektoparasit yang Menginfestasi Cicak

Berdasar Tabel 1, dapat diketahui bahwa tidak semua lokasi penangkapan cicak ditemukan cicak yang diinfestasi oleh tungau. Cicak C. platyurus terinfestasi tungau hanya ditemukan pada delapan lokasi, cicak H. frenatus terinfestasi tungau ditemukan pada 12 lokasi dan H. garnotii terinfestasi tungau ditemukan pada 18 lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa persebaran tungau pada setiap lokasi penangkapan cicak tidak merata atau menyebar secara acak.

Rata-rata jumlah tungau per cicak pada C. platyurus, H. frenatus, dan H. garnotii, berturut-turutadalah 4,07; 12,02 dan 12,37 (Tabel 2). Jumlah tungau per cicak pada C. platyurus juga terendah yaitu 2,68, berdasarkan Soleha (2006) dari populasi cicak di Bogor. Sedangkan hasil yang berlawanan terdapat pada H. garnotii antara penelitian ini yaitu 12,37 dan sebesar 6,66 tungau per cicak berdasarkan Soleha (2006) . Hasil tersebut menunjukkan bahwa tungau pada cicak di Indonesia menyebar secara acak.

(61)

33

atau hidup dalam satu sarang. Semua cicak dari lokasi penangkapan Kolaka dan Pontianak tidak terinfestasi tungau. Belum dapat disimpulkan bahwa di kedua lokasi tersebut tidak ada cicak yang terinfestasi tungau. Hal ini karena penangkapan cicak dilakukan hanya pada titik tertentu dari lokasi tersebut.

Tiga Spesies Tungau Geckobia Ditemukan pada Cicak C. platyurus,

H. frenatus dan H. garnotii di Indonesia

Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang mengidentifikasi tungau pada cicak. Penelitian dilakukan pada duapuluh lima lokasi penangkapan cicak di Indonesia. Sebelumnya, Soleha (2006) melakukan inventarisasi dan identifikasi tungau ektoparasit di Bogor.

Jumlah total tungau yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii sebanyak 2 494 tungau. Total tungau yang menginfestasi ketiga spesies cicak pada duapuluh lima lokasi penangkapan di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Ciri-ciri umum yang terdapat pada seluruh tungau yang diperoleh, menurut Krantz (1978) adalah tungau anggota famili Pterygosomatidae. Ciri-ciri yang lain adalah adanya skutum dorsal, mulut, koksa dengan seta kaku (spur), sebaran seta pada tubuh, berdasar Lawrence (1936) tungau tersebut adalah genus Geckobia. Bersatunya koksa 1 dan 2 serta koksa 3 dan 4, variasi seta dari tarsus dan ukuran-ukuran tubuh yang ada, menurut Oedemans (1910) dalam Montgomery (1966) mempertegas bahwa tungau tersebut adalah Genus Geckobia. Jadi seluruh tungau yang ditemukan adalah tungau Geckobia.

(62)

Pengamatan terhadap bentuk tubuh, gnatosoma, skutum, tungkai serta bentuk dan penyebaran seta, menunjukkan bahwa tungau yang ditemukan dapat dibedakan menjadi 3 spesies. Jumlah tungau yang ditemukan pada 221 cicak yang terinfestasi tungau serta jumlah masing-masing spesies tungau yang ditemukan (tungau G1, G2 dan G3) dapat dilihat pada Tabel 2.

Ciri-ciri tungau G1 seperti yang tertera pada deskripsi tidak dapat diidentifikasi sampai spesies. Tungau G2 memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan tungau G. glebosum n sp berdasarkan karakter bentuk tubuh, skutum, dan panjang tungkai ke-4 (Bertrand et al. 1999). Sedang tungau G3 dengan ciri-ciri bentuk tubuh, skutum dorsal, seta ventral dan tungkai yang mirip dengan tungau G. bataviensis Vitzthum (1926) . Perbandingan ciri-ciri tungau Geckobia G1, G2 dan G3 terpapar pada Tabel 3.

Menurut Bertrand et al. (1999), cicak C. platyurus diinfestasi oleh tungau G. clelandi Hirst 1917, G. cosymboty Cuy 1979, dan G. glebosum n sp. Sedangkan cicak H. frenatus diinfestasi oleh G. andoharonomaitsoensis Haitlinger 1988, G. bataviensis Vitzthum 1926, G. cosymboty Cuy 1979, G. ifanadianaensis Haitlinger 1988, G. nepali Hiregaudar, Joshee & Soman 1959, G. philippinensis Lawrence 1953, G. samanbavijinensis Haitlinger 1988. Bochkov dan Mironov (1999) melaporkan bahwa cicak H. frenatus juga diinfestasi oleh G. himalayensis Hidegaudar et al. 1959. Sedangkan H. garnotii diinfestasi oleh tungau Geckobia (Oliver dan Shaw 1953).

Ciri-ciri tungau G2 sangat mirip dengan ciri-ciri tungau G. glebosum Bertrand et al. 1999. Perbandingan ciri-ciri tungau G2 dengan G. glebosum Bertrand et al. 1999 disajikan pada Tabel 4. Dengan demikian tungau Geckobia spesies 2 (G2) adalah G. glebosum, sesuai dengan laporan Bertrand et al. (1999) yang menyatakan bahwa tungau yang menginfestasi C. platyurus antara lain adalah G. glebosum.

(63)

35

Vitzthum 1926 dan kenyataan bahwa G. bataviensis yang diidentifikasi oleh Vitzthum berasal dari Batavia, maka tungau G3 adalah G. bataviensis.

Prevalensi dan Intensitas Infestasi Tungau Geckobia pada Cicak

Prevalensi adalah persentase cicak yang terinfestasi tungau, sedangkan intensitas infestasi adalah jumlah tungau yang menginfestasi individu cicak. Ruiz-Fons (2006) melaporkan bahwa prevalensi caplak menginfestasi rusa sebesar 41,3% dengan intensitas infestasi sebesar 13,9, sedangkan prevalensi caplak menginfestasi babi hutan sebesar 31% dengan intensitas infestasi 13,6; artinya prevalensi yang tinggi tidak selalu berkorelasi positif dengan intensitas infestasi.

Carvalho et al. (2006) mengkaji pola parasitisme tungau Eutrombicula pada tiga spesies kadal Tropidurus. Prevalensi infestasi tungau pada kadal T. itamber sebesar 88,2% dengan intensitas infestasi 36,67 sedang pada kadal T. oreadeus sebesar 87,6% dengan intensitas infestasi 15,38. Sama dengan hasil pengamatan Ruiz-Fons (2006) bahwa prevalensi tidak selalu berkorelasi positif dengan intensitas infestasi.

Prevalensi rata-rata infestasi tungau terhadap cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii pada duapuluh lima lokasi penangkapan di Indonesia disajikan pada Gambar 10. Prevalensi rata-rata infestasi tungau terhadap cicak G. garnotii tertinggi dibanding dua spesies cicak yang lain, yaitu 79,07%. Artinya 79,07% cicak H. garnotii yang ditangkap diinfestasi oleh tungau. Sedangkan cicak C. platyurus paling sedikit diinfestasi oleh tungau yaitu sebesar 14,29%. Soleha (2006) melaporkan bahwa prevalensi infestasi tungau pada cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii di Bogor berturut-turut adalah 32,6%, 88,9% dan 60,0%.

(64)

Pada umumnya prevalensi C. platyurus diinfestasi tungau pada setiap lokasi penangkapan adalah kecil. Hal ini sesuai dengan laporan Soleha (2006) bahwa prevalensi infestasi tungau terhadap cicak C. platyurus paling kecil dibanding dengan dua spesies yang lain. Kemungkinan struktur morfologi cicak C. platyurus kurang memberi perlindungan bagi keberadaan tungau. Sedang prevalensi infestasi tungau terhadap cicak H. frenatus dan H. garnotii di semua lokasi penangkapan pada umumnya lebih besar. Perlu penelitian lebih lanjut hubungan morfologi dan anatomi cicak dengan struktur kelisera dan cakar tungau terhadap perlekatan tungau ke cicak.

Intensitas infestasi rata-rata ketiga spesies tungau terhadap cicak tertinggi adalah pada cicak H. garnotii. Hal ini berarti lebih banyak tungau yang memparasit cicak H. garnotii dibanding dengan kedua spesies cicak yang lain. Banyaknya lipatan kulit dan lekukan pada cicak H. garnotii memberi perlindungan bagi tungau ektoparasit.

Bertrand dan Ineich (1989) melaporkan bahwa cicak Gehyra oceanica di Polynesia Perancis diinfestasi oleh tiga spesies tungau Geckobia yaitu G. gehirae, G. blanci dan G. carcinoides. Ditemukan bahwa tingkat infestasi tungau G. carcinoides terhadap cicak G. oceanica relatif tinggi pada tiap tingkatan umur tungau dan ditemukan pada semua daerah pengamatan. Dengan demikian di Polynesia G. carcinoides bersifat kosmopolitan.

Pada penelitian ini tidak satupun spesies tungau yang ditemukan pada seluruh lokasi penangkapan. Merujuk Tabel 3, tanpa melihat spesies cicak inang, tungau Geckobia G1 ditemukan pada 17 lokasi penangkapan, tungau G. glebosum pada 13 lokasi penangkapan dan tungau G. bataviensis ditemukan pada 21 lokasi penangkapan cicak. Jadi dapat dikatakan, bahwa penyebaran tungau G. bataviensis lebih merata dibanding dengan dua spesies tungau yang lain.

(65)

37

yang menyatakan bahwa spesies tungau yang sama dapat menginfestasi spesies cicak yang berbeda.

Intensitas infestasi tungau Geckobia G1, G. glebosum dan G. bataviensis terhadap cicak C. platyurus rendah. Struktur morfologi dan permukaan kulit yang tidak banyak mempunyai lipatan pada C. platyurus kurang memberi perlindungan terhadap keberadaan tungau. Ketiga spesies tungau Geckobia bisa menginfestasi ketiga spesies cicak yang diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa tungau Geckobia G1, G. glebosum dan G. bataviensis tidak spesifik sebagai ektoparasit pada spesies cicak tertentu.

Pada sebagian besar lokasi penangkapan, ditemukan cicak H. garnotii dengan intensitas infestasi tungau Geckobia G1, G. glebosum dan G. bataviensis yang tinggi. Prevalensi dan intensitas infestasi tungau rata-rata tertinggi di Indonesia (79,07 % dan 12,4) juga pada H. garnotii. Dengan demikian, pada duapuluh lima lokasi penangkapan cicak di Indonesia saat ini, H. garnotii merupakan cicak yang lebih banyak diinfestasi tungau dibanding cicak C. platyurus dan H. frenatus. Berdasar pada hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tungau Geckobia G1, G. glebosum dan G. bataviensis menyebar secara acak dan bersifat simpatrik.

Pola Perlekatan Tungau pada Tubuh Cicak

Tungau G. hemidactyli menginfestasi cicak H. mabouia hampir pada semua bagian tubuh, dari moncong sampai ekor serta pada ketiak dan paha (Rivera et al. 2003). Tungau G. himalayensis menginfestasi cicak H. frenatus di bawah cakar terutama cakar tungkai belakang (Bochkov dan Mironov 2000).

Pada cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii, tungau Geckobia G1 melekat pada jari tungkai depan dan tungkai belakang. Tungau melekat dibawah cakar. Tungau G. glebosum ditemukan pada badan dan paha ke tiga spesies cicak tersebut. Tungau G. bataviensis pada C. platyurus ditemukan pada telinga, badan, paha, jari depan dan jari belakang. Tungau G. bataviensis pada cicak H. frenatus dan H. garnotii ditemukan pada paha, jari depan dan jari belakang.

(66)

melekat di bagian badan dan paha pada ketiga spesies cicak yang diteliti. Tungau ini kecil, agak transparan, tungkai belakang panjang dan melekat tidak terlalu erat pada tubuh inang. Hal ini terlihat dari preparat utuh yang bersih pada bagian mulut. Hal yang berbeda terlihat pada tungau G. bataviensis yang melekat erat hampir pada semua bagian tubuh cicak inang. Selain itu, preparat utuh tungau G. bataviensis ini hampir selalu membawa sobekan kulit cicak di bagian kelisera.

(67)

39

SIMPULAN

Tungau yang menginfestasi cicak C. platyurus, H. frenatus dan H. garnotii adalah tungau dari Famili Pterygosomatidae, Genus Geckobia, Spesies Geckobia spesies 1 (G1), G. glebosum dan G. bataviensis.

Cicak C. platyurus, H. frenatus, H. garnotii dan tungau Geckobia G1, G. glebosum, dan G. bataviensis tidak memiliki pola distribusi yang spesifik di Indonesia; persebaran berlangsung secara acak dan bersifat simpatrik.

Prevalensi rata-rata infestasi tungau tertinggi (P=79,07) dan rata-rata intensitas infestasi total tertinggi (I=12,4) adalah pada H. garnotii. Intensitas infestasi rata-rata tungau Geckobia G1 tertinggi pada H. garnotii (I=7,0). Intensitas infestasi rata-rata tungau G. glebosum tertinggi pada H. frenatus (I=3,5) dan intensitas infestasi rata-rata tungau G. bataviensis tertinggi pada H. garnotii (I=11,8). Tungau Geckobia G1, G. glebosum, dan G. bataviensis tidak spesifik sebagai ektoparasit pada spesies cicak tertentu.

(68)
(69)

41

DAFTAR PUSTAKA

Barton DP, Richards SJ. 1996. Helminth infracommunities in Litoria

genimaculata (Amphibia: Anura) from Birthday Creek, an upland

rainforest stream in Northern Queensland, Australia. Int J Parasitol 26:1381-1385.

Barry M, Peirce MA, Heath ACG, Brunton DH, Barraclough RK. 2011. A new blood parasite within the relict endemic New Zealand gecko Hoplodactylus duvaucelii. Vet Parasitol 179:199-202.

Bauer AM, Jackman TR, Greenbaum E, Giri VB, de Silva A. 2010. South Asia supports a major endemic radiation of Hemidactylus geckos. Mol Phylogenet Evol 57:343–352.

Bauer AM, Russel AP, Dollahan. 1990. Skin folds in the gekkonoid lizard genus Rhocodactylus: a nature test of the damage limititation hypothesis of mite pocket function. Can J Zool 68:1196-1201.

Bansal R, Karanth KP. 2010. Molecular phylogeny of Hemidactylus geckos (Squamata: Gekkonidae) of the Indian subcontinent reveals a unique Indian radiation and an Indian origin of Asian house geckos. Mol Phylogenet Evol 57:459–465.

Bertrand M, Ineich I. 1989. Repartition des Pterygosomatidae du genre Geckobia Megnin, 1878 ectoparasites du gecko Gehyra oceanica (Lesson, 1826), en Polynesie Francaise. Acarologia 30:365-371.

Bertrand M, Paperna I, Finkelman S. 1999. Pterygosomatidae: Description et observations sur les genres Pterygosoma, Geckobia, Zonurobia et Hirstiella (Acari: Actinedida). Acarologia 60:277-304.

Bochkov AV, Mironov SV. 2000. Two new species of the genus Geckobia (Acari: Pterygosomatidae) from geckos (Lacertilia: Gekkonomorpha) with a brief review of host-parasit associations of the genus. Russ J Herpetol 7:61-68. Brown SG, Kwan S, Shero S. 1995. The parasitic theory of sexual reproduction:

parasitism in unisexual and bisexual geckos. Proc R Soc Lond B 260:317-320.

Carranza S, Arnold EN. 2006. Systematics, biogeography, and evolution of

Hemidactylus geckos (Reptilia: Gekkonidae) elucidated using

mitochondrial DNA sequences. Mol Phylogenet Evol 38:531–545.

Carvalho ALG de, de Araujo AFB, da Silva HR. 2006. Patterns of parasitism by Eutrombicula alfreddugesi (Oudemans) (Acari, Trombiculidae) in three species of Tropidurus Wied (Squamata, Tropiduridae) from Cerrado habitat of Central Brazil. Revista Brasileira de Zoologia 23:1010–1015. Cook S, Richard S. 1999. Colonisation and extinction patterns of two lizards

Mabuya multifasciata and Hemidactylus frenatus on Sertung Island, Krakatau Archipelago, Indonesia. Trop Biodiversity 6:209-214.

(70)

Fain A. 1994. Adaptation, specificity and host-parasite coevolution in mites (Acari). Int J Parasitol 24:1273-1283.

Goldberg SR, Bursey CR. 1991. Integumental lesions caused by ectoparasites in a wild population of the side-blotched lizard (Uta stansburiana). J Wildlife Diseases 27:68-73.

Jesus J, Brehm A, Pinheiro M, Harris DJ. 2001. Relationships of Hemidactylus (Reptilia: Gekkonidae) from the Cape Verde Islands: What mitochondrial DNA data indicate. J Herpetol 35:672-675.

Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global Trends in Emerging Infectious Diseases. Nature 451:990-994.

Kethley J. 1982. Acariformes Classification of Living Organisms. Vol. 2. New York: McGraw-Hill.

Krantz GW. 1978. A Manual of Acarology. Ed. ke-2. Covallis: Oregon Univ. Lawrence R.F. 1936. The prostigmatic mites of South African lizard. Parasitology

28:1-39.

Menke SB. 2003. Lizard community structure across a grassland – creosote bush ecotone in the Chihuahuan Desert. Can J Zool 81:1829–1838.

Meshaka WE Jr. 2000. Colonization Dynamics of Two Exotic Geckos (Hemidactylus garnotii and H. garnotii) in Everglades National Park. J Herpetol 34:163-168.

Montgomery DF. 1966. A taxonomic study of the lizard mites (Pterygosomidae) occuring in the Gulf of California area [thesis]. Lubbock: Texas Technological College.

Oliver JA, Shaw CE. 1953. The amphibians and reptiles of the Hawaiian Islands. Zoologica 38:65-69.

Rivera CCM, Negron AG, Bertrand M, Acosta J. 2003. Hemidactylus mabouia (Sauria: Gekkonidae), host of Geckobia hemidactyli (Actinedida: Pterygosomatidae), throughout the Caribbean and South America. Caribbean J Sci 39:321-326.

Rooij N de. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. I. Lacertilia, Chelonia, Emydosauria. Leiden: E.J. Brill, Ltd.

Ruiz-Fons F, Fernandez-de-Mera IG, Acevedo P, Höfle U, Vicente J, de la Fuente J, Gortazar C. 2006. Ixodid ticks parasitizing Iberian red deer (Cervus elaphus hispanicus) and European wild boar (Sus scrofa) from Spain: Geographical and temporal distribution. Vet Parasitol 140:133-142.

Schmäschke R von, Betke P,. Ribbeck R,. Decker J. 1997. Milben der familie Pterygosomidae als ektoparasiten bei echsen. Verh Ber Erkrg Zoonere 38:377-383.

(71)

43

Sorci G, de Fraipont M, Clobert J. 1997. Host density and ectoparasite avoidance in the common lizard (Lacerta vivipara). Oecologia 111:183-188.

Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study of Insect. Ed. 7. Belmont: Thomson Brooks/Cole.

Vitzthum HG. 1926. Malayische Acari. Treubia 8:1-198.

Walter DE, Proctor HC. 1999. Mites. Ecology, Evolution and Behaviour. Wallingford: CABI Publ.

Walter DE, Shaw M. 2002. First record of the mite Hirstiella diolii Baker (Prostigmata: Pterygosomatidae) from Australia, with a review of mites found on Australian lizards. Aust J Entomol 41:30-34.

(72)
(73)

45

(74)
(75)

47

Lampiran 1 Daftar kolektor cicak

Nama kolektor Lokasi penangkapan Arif Rahmatullah Lamongan

Atang Serpong

Budhi Priyanto Serang, Pekalongan, Manado Darlianis Aceh

Dakir Torang Kolaka Ednan Setriawan Palangkaraya

Inayat Makassar, Gorontalo, P. Seram, P. Kisar, Masohi, Ambon, Biak

Islamul Hadi Mataram, Kupang Ketut Yunita Denpasar

Kodri Mandang Palembang

Rahmudin Padang Sidempuan Ruth Normasari Tuban

Sipri Bengkulu

Tjatur Supriyono Sangatta

(76)

Lampiran 2 Formula perekat polivinil laktofenol

Formula polivinil laktofenol untuk 100 ml larutan perekat adalah sebagai berikut.

1. Larutkan 15 g polivinilalkohol dalam 100 ml akuades 2. Panaskan sambil diaduk

3. Setelah larut, larutan disaring dan filtrat diinapkan semalam hingga gelembung lenyap

Campuran perekat polivinil laktofenol dibuat dengan resep sebagai berikut.

Larutan polivinilalkohol 56 ml

Asam laktat 22 ml

(77)

49

Lampiran 3 Penyebaran spesies cicak di Indonesia

Lokasi penangkapan C. platyurus H. frenatus H. garnotii Sumatera

Aceh 16,67 0,00 83,33

Padang Sidempuan 34,78 0,00 65,22

Bengkulu 80,00 20,00 0,00

Palembang 50,00 30,77 19,23

Jawa

Serang 23,08 46,15 30,77

Serpong 45,00 35,00 20,00

Pekalongan 75,51 0,00 24,49

Tuban 88,89 5,56 5,56

Lamongan 47,83 21,74 30,43

Kalimantan

Pontianak 53,85 46,15 0,00

Kotawaringin Barat 0,00 83,33 16,67

Palangkaraya 38,46 23,08 38,46

Sangatta 0,00 33,33 66,67

Gambar

Gambar 3  Bagian tubuh cicak tempat pengambilan tungau. A = kepala; B = telinga; C = ketiak (depan dan belakang); D = badan; E = paha (depan dan belakang); F = ekor; G = jari depan; H = jari belakang
Tabel 1  Sebaran tiga spesies cicak dan jumlah cicak yang terinfestasi tungau pada duapuluh lima lokasi penangkapan di seluruh Indonesia
Gambar 4  Persebaran tiga spesies cicak, C.platyurus, H.frenatus dan H.garnotii, di Indonesia
Gambar 5  Geckobia spesies 1 (G1). A tubuh tarmpak dorsal, B tubuh tampak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan kimia yang disebabkan oleh penggenangan tanah sawah sangat mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara untuk tanaman padi..

 Menyajikan pengetahuan faktual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam tindakan

Perbandingan berbalik nilai yaitu perbandingan antara a dan b berbanding terbalik yang artinya jika nilai a naik maka nilai b turun demikian juga sebaliknya. No Banyaknya Mangga

Order Today and SAVE UP TO 80% OFF Sea stars , also know as starfish , are echinoderms belonging to the class Asteroidea , The names “sea star” and “starfish”

A (2010) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pemakai dalam pengembangan sistem informasi akuntansi pada Koperasi Setia Bhakti Wanita di Surabaya

Tiga informan yang ditemu bual menyatakan bahawa peranan Akta Keganasan Rumah Tangga adalah melindungi dan memberi perlindungan juga satu panduan untuk mangsa melakukan tindakan

Selanjutnya dalam dokumen Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) pada hutan alam unit manajemen PT SLJ II tahun 2006 dinyatakan bahwa untuk

Dalam pemilu 2004, lebih dari dua ratus orang etnis Tionghoa menerjunkan diri menjadi caleg, baik untuk DPR maupun DPRD. Namun pada umumnya mereka hanya digunakan oleh berbagai