• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIPELIHARA SECARA SEMI INTENSIF

TINJAUAN PUSTAKA Domba

Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu, diantaranya berdasarkan perbandingan banyak daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan asal ternak (Kammlade dan Kammlade, 1955). Domba diklasifikasikan menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata Class : Mammalia Ordo : Artiodactyla Family : Bovidae Species : Ovis aries

Domestikasi domba dimulai di daerah Aralo Caspian dan menyebar ke Iran, lalu ke arah timur yaitu ke anak benua India dan Asia Tenggara, Asia Barat dan bahkan sampai ke Eropa dan Afrika. Pada saat yang bersamaan, terjadi penyebaran domba ke Amerika, Australia, dan beberapa pulau kecil di daerah Oseania (Williamson dan Payne, 1993). Food and Agriculture Organization atau FAO (2004) menyatakan telah ditemukan tiga jenis domba yang berkembang di Indonesia yaitu domba garut, domba ekor tipis dan domba ekor gemuk. Menurut Bradford dan Inounu (1996), secara umum di temukan dua jenis domba di Indonesia yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis dengan beberapa variasi di tiap daerah terutama untuk domba ekor tipis. Domba-domba tersebut dapat beradaptasi terhadap iklim tropis.

Domba Garut

Domba priangan merupakan salah satu jenis domba yang berada di Indonesia dan banyak tersebar di daerah Jawa Barat, terutama di daerah Garut sehingga disebut juga domba garut. Domba garut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan yang jantan bertanduk besar melingkar serta pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu. Bentuk badannya tergolong bagus dan yang jantan mempunyai tubuh lebar, besar dan

3 kekar, kaki kokoh, daun telinga berada dibelakang tanduk, telinga rumpung dan mempunyai bulu halus dan panjang (Dinas Peternakan Jawa Barat, 1994).

Natasasmita et al. (1986) menyatakan domba garut adalah nama lain yang lebih popular dari domba Priangan. Domba ini mempunyai ciri-ciri berbadan agak besar, lebar dengan leher yang kuat, biasa digunakan sebagai domba aduan, jantan bertanduk besar dangan pangkal tanduk kanan-kiri hampir bersatu, yang betina tidak bertanduk dan bertelinga lebar domba garut juga merupakan salah satu domba yang mempunyai angka produktivitas yang tinggi (Hardjosubroto, 1994). Dinas Peternakan Jawa Barat (2000) menyatakan bahwa rataan sifat-sifat kuantitatif domba garut Jawa barat dewasa jantan memiliki bobot badan 57,74±11,96 kg dan bobot badan betian dewasa adalah 36,89±9,35 kg.

Pencukuran Bulu Domba

Pencukuran bulu domba merupakan pekerjaan musiman, meskipun pencukuran dapat dilakukan setiap saat. Pencukuran akan kurang baik apabila dilakukan pada musim dingin, kecuali di daerah-daerah yang beriklim lebih panas. Pencukuran dapat dilakukan dengan alat cukur tangan atau dengan mesin. Pencukuran dengan mesin umumnya lebih cepat dan lebih rapat ke kulit sehingga akan dihasilkan wol yang lebih panjang (Soeprijono et al., 1973).

Menurut Williamson dan Payne (1978) warna dan ketebalan bulu merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Bulu yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas. Selanjutnya dikatakan oleh Yeates et al. (1975) bahwa bulu pendek, warna terang, tekstur halus dan meminimalkan penyerapan panas oleh tubuh ternak. Pencukuran bulu sebenarnya dapat mempengaruhi kondisi domba, terutama hubungannya dengan adaptasinya terhadap lingkungan. Hafez (1968) berpendapat bahwa pencukuran bulu dapat menaikan toleransi panas pada musim dimana suhu lingkungan tinggi, dan sebaliknya berkurang bila musim dingin. Disebutkan lebih lanjut bahwa pada dasarnya bulu berfungsi sebagai pelindung terhadap radiasi panas sinar matahari, sebagai insulator dan sebagai penangkap panas. Oleh karena itu pencukuran bulu dapat mempengaruhi baik keadaan fisiologi maupun produktivitas ternak. Menurut Hafez (1968) mencukur bulu

4 domba dapat menurunkan insulas bulu dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas

Pencukuran bulu juga biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk tujuan menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Di Jawa Barat biasanya melakukan pencukuran setiap 4-5 bulan sekali (Zulfikli dan Zulfikar,1980). Menurut Tomazweska et al.(1993) pencukuran bulu domba yang dipelihara dalam kandang tertutup tidak mempengaruhi pertumbuhan bobot badan, konsumsi air atau pakan, suhu rectal, kecepatan pernafasan atau denyut nadi. Selanjutnya Tomazweska et al. (1993) menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan investasi ektoparasit kalau ternak tersebut dikandangkan

Lingkungan Domba

Ames dan Brink (1977) mendefinisikan lingkungan sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi produktifitas ternak. Lingkungan ternak tersebut adalah temperatur ambang, lama penyinaran, bunyi, kontaminan lingkungan, pengganggu fisiologis dan sistem manajemen. Suhu udara yang tinggi dan konstan dapat menghambat metabolisme tubuh, mempengaruhi konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan. Ketinggian tempat juga mempengaruhi iklim, vegetasi tanaman serta kehidupan sosial masyarakatnya. Lebih lanjut Ramdan (2007) menyatakan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban lingkungan dapat menyebabkan penurunan terhadap konsumsi pakan sehingga semakin tinggi suhu dan kelembaban udara pada suatu tempat cenderung menurunkan produktivitas ternak, produktivitas terutama pertambahan bobot badan yang lambat disebabkan oleh tidak efisiennya penggunaan energi untuk pertumbuhan, karena sebagian energi tersebut banyak digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisiologis diantaranya respirasi.

Pengaruh Suhu dan Kelembaban Udara terhadap Domba

Menurut Yousef (1982) ternak melakukan adaptasi terhadap suhu yang tinggi dengan respon tingkah laku, respon fisiologis dan respon morfologis. Suhu optimal untuk domba di daerah tropis berkisar antara 24–26 oC. (Kartasudjana, 2001). Keadaan optimal tersebut tidak terjadi di Indonesia karena suhu rataan harian wilayah Indonesia adalah 29 oC pada musim hujan dan 30-32 oC pada

5 musim kemarau. Selanjutnya Yousef (1985) mengatakan bahwa jika suhu lingkungan naik maka tubuh ternak akan melakukan respon fisiologis dengan peningkatan denyut jantung dan laju respirasi. Hal ini menyebabkan panas tubuh akan cepat dialirkan oleh pembuluh darah dan dikeluarkan oleh tubuh melalui konduksi, konveksi maupun radiasi.

Morfometrik dan Ukuran Tubuh

Morfologi adalah ilmu tentang ukuran ataupun bentuk, yang bersama sifat eksternal termasuk juga warna diartikan secara luas, bahkan hampir disamakan dengan anatomi. Doho (1994) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh juga dapat digunakan untuk menggambarkan eksterior hewan sebagai ciri khas suatu bangsa. Menurut Natasasmita (1985) bahwa ukuran-ukuran tubuh ternak dapat digunakan untuk membuat rumus pendugaan bobot badan.

Penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik maupun lingkungan (Diwyanto, 1982). Menurut Mulliadi (1996), ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Pengukuran ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi.

Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya keragaman pada pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Keragaman merupakan suatu sifat populasi yang sangat penting dalam pemuliaan terutama dalam seleksi. Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman yang tinggi (Martojo, 1990). Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa ukuran tubuh dewasa pada domba lokal untuk betina adalah tinggi badan 57 cm, bobot badan 25-35 kg, sedangkan pada jantan tinggi badan mencapai 60 cm dan bobot badan 40-60 kg.

Mulliadi (1996) melaporkan bahwa rataan lingkar dada adalah 61,34±5,75 cm pada domba lokal garut 1-5 tahun. Salamahwati (2004) melaporkan bahwa

6 lingkar dada pada jantan tangkas dan pedaging umur kurang dari 1 tahun adalah 54,97±6,73 cm dan 54,30±14,65 cm, sedangkan untuk betina tangkas dan pedaging usia kurang dari 1 tahun lingkar dadanya adalah 53,02±13,19 cm dan 52, 48±11,28 cm. Setiawan (2003) melaporkan bahwa lingkar dada pada betina tangkas dan betina pedaging usia kurang dari 1 tahun adalah 58,64±5,91 cm dan 61,61±4,12 cm. Takaendengan (1998) menyatakan bahwa lingkar dada merupakan bagian tubuh domba yang mengalami pembesaran kearah samping. Nurhayati (2004) menyatakan bahwa lingkar dada mempunyai hubungan yang lebih erat dengan bobot badan dibandingkan dengan panjang badan, tinggi pundak, serta dalam dan lebar dada pada domba priangan jantan tipe pedaging dan tangkas Takaendengan (1998) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan seekor hewan, bertambah besar pula hewan tersebut karena bertambahnya bobot badan dan besar badan kearah samping nyata.

Mulliadi (1996) melaporkan bahwa rataan panjang badan domba lokal garut pada umur 1-5 tahun adalah 51,83±4,73 cm. Sedangkan Salamahwati (2004) melaporkan rataan panjang badan domba garut jantan tipe tangkas pada umur kurang dari 1 tahun adalah 42,52±12,82 cm dan untuk tipe pedaging panjang badannya adalah 47,91±8,26 cm, sedangkan untuk betina tangkas dan pedaging pada usia kurang dari 1 tahun adalah 44,15±9,88 cm dan 44,19±7,51 cm. Setiawan (2003) melaporkan betina tipe tangkas dan pedaging usia kurang dari 1 tahun panjang badannya adalah 44,44±4,96 cm dan 45,44±3,10 cm.

Salamahwati (2004) melaporkan bahwa tinggi pundak dari jantan tipe tangkas dan pedaging pada usia kurang dari 1 tahun adalah 52,07±12,42 cm dan 51,51±8,38 cm. Sedangkan betina tipe tangkas dan pedaging pada usia kurang dari 1 tahun adalah 47,88±13,40 cm dan 48,13±9,33 cm. Setiawan (2003) melaporkan bahwa betina tipe tangkas dan pedaging usia kurang dari 1 tahun memiliki tinggi pundak yaitu 55,52±2,99 cm dan 56,53±1,79 cm.

Pertumbuhan dan Perkembangan

Kata pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor ternak maupun populasi. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan dapat dinilai sebagai peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan

7 mendapat tempat berlindung yang layak. Peningkatan sedikit saja pada ukuran tubuh akan menyebabkan peningkatan yang proposional dari bobot tubuh karena bobot tubuh merupakan fungsi dari volume.

Ensminger (1977) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah pertambahan dari urat daging, tulang, organ-organ internal serta bagian lain pada tubuh. Pertumbuhan merupakan hal terpenting pada ternak karena hasil akhir yang diharapkan dari pertumbuhan adalah pertumbuhan bobot hidup per unit waktu (Berg dan Butterfield, 1976). Pertumbuhan mempunyai dua aspek, yaitu : menyangkut peningkatan massa per satuan waktu, dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan komposisi sebagai akibat dari pertumbuhan differensial komponen-komponen tubuh (Berg dan Butterfield, 1976)

Pertumbuhan ternak menunjukan peningkatan ukuran linear, bobot, akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Hafez dan Dyer (1969) menyatakan bahwa konsep pertumbuhan adalah sebagai peningkatan massa dalam waktu yang tidak terbatas secara umum, mula-mula terjadi peningkatan massa tubuh yang cepat kemudian menurun secara perlahan-lahan sampai suatu organisme mencapai fase dewasa. Menurut konsep pertumbuhan, tulang lebih dulu berkembang kemudian disusul oleh otot dan yang terakhir adalah lemak (Berg dan Butterfield, 1976). Pertumbuhan pada semua jenis hewan umumnya sama yaitu pada awalnya berlangsung lambat kemudan semakin lama semakin cepat, akan tetapi pertumbuhan tersebt kembali lambat pada saat ternak itu mendekati kemasakan tubuh. Namun kecepatan pertumbuhan tidak lepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Hammond et al. (1976) menyatakan bahwa pada ternak yang sedang tumbuh terdapat dua hal yang terjadi yaitu: (1) pertambahan bobot badan sampai domba mencapai dewasa tubuh yang dinamakan pertumbuhan; (2) perubahan bentuk tubuh dan beberapa fungsi organ menjadi sempurna yang dinamakan perkembangan

Ensminger (1977) menyatakan bahwa ternak betina mengalami pertumbuhan lebih dahulu dibandingkan jantan. Hal ini dikarenakan betina menyiapkan pertumbuhannya pada organ reproduksi. Pertumbuhan akan meningkat bila mendekati pubertas atau kematangan, dan akan berhenti bila telah

8 mencapai kematangan (Taylor dan Thomas, 2004). Setelah mengalami kemasakan pertumbuhan otot dan tulang akan berhenti (Herren. 2000).

Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi tiga periode, yaitu ovum, periode embrio dan periode fetus. Menurut Black (1983), pada domba periode ovum dimulai saat ovulasi sampai terjadi implantasi; terjadi periode embrio dimulai dari implantasi sampai berbentuk organ-organ utama seperti otak, kepala, jantung, hati dan saluran pencernaan, setelah itu periode fetus berlangsung sejak hari ke-34 masa kebuntingan sampai kelahiran terjadi.

Pada pertumbuhan pasca lahir pertumbuhan ternak lambat sekali pada masa parental, kemudian cepat semalama bulan ketiga, keempat dan kelima sebelum menurun kembali pada saat dewasa kelamin Hafez dan Dyer (1969). Pada domba, pertumbuhan pra sapih dipengaruhi oleh genotip, bobot lahir, produksi susu induk, litter size, umur induk, jenis kelamin anak dan umur penyapihan. Pertumbuhan pasca sapih (lepas sapih)sangat ditentukan oleh bangsa, jenis kelamin, mutu pakan yang diberikan, umur dan bobot sapih serta lingkungan misal suhu udara, kondisi kandang, pengendalian parasit dan penyakit lainnya (Aberle et al., 2001).

Pada pertumbuhan terdapat dua fase, yaitu: self accelerating phase, pada fase ini kecepatan tumbuh meningkat dan self inhibiting phase yang pada fase ini pertambahan bobot badan per unit waktu turun sampai pertambahan bobot badan tersebut menjadi nol dan dalam keadaan ini bobot badan telah tercapai. Titik antara kedua fase ini disebut titik balik (inlection point) kemasakan tubuh. Namun kecepatan pertumbuhan tidak lepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994). Menurut Berg dan Butterfield (1976) pertumbuhan ternak bergerak kearah belakang (antero posterior) atau bagian depan tumbuh lebih awal. Hafez dan Dyer (1969) menyatakan bahwa pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, terutama manajemen pemeliharaan, jenis pakan, bobot badan dan iklim.

9

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Domba Indocement Citeurep. Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 10 minggu mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2010.

Materi Ternak

Materi penelitian ini adalah domba garut yang berada di peternakan domba PT Indocement sebanyak 20 ekor, yang terdiri dari 10 ekor jantan dan 10 ekor betina. Domba berusia I0 atau dibawah satu tahun.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan gantung kapasitas 100 kg dengan skala terkecil 0,2 kg, tongkat ukur dengan skala terkecil 0,5 cm, pita ukur dengan skala terkecil 0,1 cm, sliding calliper dengan skala terkecil 0,1 cm, gunting cukur wol, thermohigrometer, dan alat tulis

Prosedur

Penelitian diawali dengan menyiapkan peralatan di kandang seperti memasang thermohigrometer, pembersihan kandang, serta pengambilan data domba sebelum dilakukan perlakuan. Ternak diberi perlakuan pencukuran dan tidak dicukur. Sehingga didapatkan lima ekor jantan dicukur (JC), lima ekor jantan tidak dicukur (JTC), lima ekor betina yang dicukur (BC), dan lima ekor betina yang tidak dicukur (BTC)

Minggu pertama ternak tidak dilakukan pencukuran dan diambil data pertumbuhannya untuk mengetahui pertumbuhan dari domba sebelum dilakukan pencukuran. Pada minggu kedua diambil kembali data pertumbuhannya dan dilakukan pencukuran pada ternak. Pencukuran domba hanya dilakukan satu kali selama penelitian. Pencukuran dimuai dari perut bagian bawah, kemudian keatas, kedepan dan kebelakang sampai daerah kepala dan kaki. Setelah di domba di cukur dilakukan pengukuran kembali. Pengambilan data meliputi, Panjang Badan (PB), Tinggi Badan (TB), Tinggi Pinggul (TPG), Lingkar Dada (LID), Dalam Dada (DD), Lebar Dada (LED), Panjang Pinggul (PPG),Lebar Pinggul (LPG).

10 Pengukuran dilakukan setiap dua minggu sekali, pada pagi hari sebelum ternak diberikan makan.

Rancangan

Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2x2 dan lima ulangan. Faktor A yaitu pencukuran yang terdiri dari cukur dan tidak cukur. Faktor B yaitu jenis kelamin terdiri dari jantan dan betina.

Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) adalah:

Yijk = µ + Pi + Yj + PYij + € ijk

Keterangan :

Yijk : Variabel respon akibat pengaruh Pencukuran ke-I dan taraf kondisi morfologi ke-j pada ulangan ke-k

µ : Nilai tengah umum

Pi : Pengaruh Pencukuran level ke-i Yi : Pengaruh Jenis kelamin level ke-j

PYij : Pengaruh interaksi antara pencukuran ke-i dengan jenis kelamin domba ke-j

ijk : Pengaruh galat percobaan dari pencukuran wol ke-i , jenis kelamin

domba ke-j dan ulangan ke-k

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Jika terdapat perbedaan yang nyata atau sangat nyata dilanjutkan dengan uji Duncan.

Analisis Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis laju perkembangan morfometrik pada tubuh domba. Analisis ini dilakukan dengan menghitung nilai rataan ( ), dan simpangan baku (s). dengan prosedur statistik berikut (Steel dan Torrie, 1993).

11 Keterangan : = nilai rataan

Xi= ukuran ke i dari peubah X

n = jumlah contoh yang diambil dari Populasi s = simpangan baku.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik fenotipik yang berkaitan dengan sifat kuantitatif yakni:

1. Panjang Badan (PB) adalah jarak garis lurus dari tepi depan luar tulang Scapula sampai benjolan tulang lapis (tulang duduk/Os ischium), diukur dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

2. Tinggi Badan (TB) adalah jarak tertinggi badan sampai alas ternak berdiri, diukur dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

3. Tinggi Pinggul (TPG) adalah jarak tertinggi pinggul sampai alas ternak berdiri, diukur dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

4. Lingkar Dada (LID) diukur melingkari rongga dada di belakang sendi bahu (Os scapula) menggunakan pita ukur (cm).

5. Dalam Dada (DD) adalah jarak tertinggi antara badan dengan tulang dada, diukur dengan menggunakan tongkat ukur (cm).

6. Lebar Dada (LED) merupakan jarak antara tonjolan sendi bahu (Os scapula) kiri dan kanan, diukur dengan menggunakan sliding calliper (cm).

7. Lebar Pinggul (LPG) merupakan jarak antara tonjolan pinggul kiri dan kanan, diukur dengan menggukan sliding calliper (cm).

8. Panjang Pinggul (PPG) adalah jarak antara penonjolan pinggul bagian atas sampai penonjolan tulang lapis (tulang duduk/Os ischium), diukur dengan menggunakan pita ukur (cm).

12 Gambar 1. Cara Pengukuran Ukuran-Ukuran Tubuh (Hafiz,2009)

Keterangan gambar :

1. Panjang Badan (PB) 5. Dalam Dada(DD) 2. Tinggi Badan (TB) 6. Lebar Dada (LED) 3. Tinggi Pinggul (TPG) 7. Lebar Pinggul (LPG) 4. Lingkar Dada(LID) 8. Panjang Pinggul (PPG)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Lokasi Penelitian

Peternakan domba Indocement berlokasi di kampung Legok Ratih, Desa Tajur, Kabupaten Bogor adalah sebuah peternakan yang memanfaatkan lahan bekas penambangan bahan semen. Peternakan ini berdiri pada Oktober 2008 bekerja sama dengan Fakultas Peternakan IPB.

Gambar 2. Kandang di Peternakan Domba Indocement.

Peternakan domba Indocement memiliki 3 kandang utama dan 1 kandang isolasi. Kandang bertipe kandang panggung. Kandang panggung dicirikan dengan adanya tiang penyanggah sehingga kandang berada diatas tanah (sekitar 0,5–1 m) dan berbentuk panggung. Alas lantai kandang terbuat dari bilah bambu yang dipasang dengan sedikit celah sehingga memudahkan kotoran jatuh kebawah kandang. Kandang ini memiliki lantai kolong yang bersemen dan miring ke arah selokan sehingga memudahkan dalam pembersihan kotoran. Atap kandang bertipe monitor dan berbahan genteng.

14

Kondisi Klimat

Rataan suhu dan kelembaban lingkungan dari Peternakan Domba Indocement selama sepuluh minggu yang diamati pada dalam kandang dan luar kandang dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara di Lokasi Penelitian

Lokasi Waktu Suhu (oC) Kelembaban (%) Dalam Kandang Pagi 25,06 ± 2.27 81,63 ± 12,70

Siang 32,04 ± 3,23 53,00 ± 16,65 Sore 28,55 ± 1,28 69,25 ± 11,25 Luar Kandang Pagi 28,49 ± 4,89 73,88 ± 17,59 Siang 40,25 ± 5,02 32,88 ± 11,61 Sore 29,29 ± 2,16 69,88 ± 9,96 Keterangan : pagi (07.30) WIB, siang (13.30) WIB, sore (17.30) WIB

Kondisi cuaca di Peternakan Domba Indocement di dalam kandang lebih rendah dibandingkan dengan diluar kandang baik pagi, siang dan sore. Selain itu kelembaban didalam kandang juga lebih tinggi yaitu 81,63%±12,70%. Kelembaban didalam kandang juga pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan siang dan sore hari. Suhu diluar kandang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu didalam kandang. Suhu diluar kandang 40,25±5,02 oC. Rataan curah hujan selama penelitian atau selama 10 minggu adalah 22,39 mm/hari.

Suhu optimal untuk domba di daerah tropis berkisar antara 24-26 oC (Kartasudjana, 2001). Hal ini menunjukan bahwa suhu diluar kandang peternakan Indocement berada diatas suhu nyaman domba. Suhu siang hari di dalam kandang adalah 32,04±3,23 oC dan di luar kandang adalah 40,25±5,02 oC yang artinya kisaran suhu pada siang hari berada diatas suhu nyaman domba. Ramdan (2007) menyatakan bahwa peningkatan suhu dan kelembaban lingkungan dapat menyebabkan penurunan terhadap konsumsi pakan sehingga semakin tinggi suhu dan kelembaban udara pada suatu tempat cenderung menurunkan produktivitas ternak, terutama pertambahan bobot badan yang lambat disebabkan oleh tidak efisiennya penggunaan energi untuk pertumbuhan, karena sebagian energi tersebut banyak digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisiologis diantaranya respirasi.

15

Kondisi Ternak Penelitian

Kondisi Fisiologis. Suhu tubuh dapat diukur melalui suhu rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Oktameina (2011) melaporkan suhu tubuh pagi hari, domba yang dicukur lebih rendah (37,97±0,28 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,47±0,31 0C). Pada siang hari suhu tubuh yang dicukur lebih rendah (38,45±0,20 0C) dibandingkan dengan yang tidak dicukur (38,70±0,25 0C). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat cekaman atau beban panas yang dialamin oleh domba yang tidak dicukur lebih tinggi jika dibandingkan dengan domba yang dicukur. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0C.

Oktameina (2011) melaporkan bahwa denyut jantung pada sore hari jantan (86,72±6,47 kali/menit) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (81,24±4,12 kali/menit). Hal ini disebabkan domba garut jantan bersifat lebih agresif dan sangat kuat dibandingkan dengan betina. Sehingga aktivitas jantan lebih banyak yang menyebabkan denyut jantungnya pun lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Denyut jantung domba pada sore hari meningkat seiring dengan peningkatan suhu tubuh, selain itu aktivitas yang dilakukan oleh ternak pada sore lebih tinggi dibandingkan siang ataupun pagi hari. Sore hari ternak dimasukkan ke dalam kandang setelah digembalakan sehingga ternak berlari-larian yang dapat menyebabkan denyut jantung domba berdetak lebih cepat (Oktameina, 2011). Denyut jantung domba 70-80 kali/menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Oktameina (2011) melaporkan bahwa laju respirasi pada pagi hari, domba jantan (24,08±2,78 kali/menit) lebih rendah dibandingkan dengan betina (28,16±2,20 kali/menit). Respirasi domba yang dicukur (24,46±2,90 kali/menit) lebih rendah dibandingkan dengan yang

Dokumen terkait