• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi O. rhinoceros L.

Klasifikasi kumbang badak menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Coleoptera Family : Scarabaidae Genus : Oryctes Spesies : O. rhinoceros L.

Bentuk telur lonjong, warna putih, panjang 3-4 mm, lebar 2-3 mm. Rata-rata lamanya telur 12 hari. Telur diletakan pada sampah membusuk, tumpukan serbuk gergaji/sekam, pohon yang lapuk, kotoran hewan (Gambar 1) (Lekahena, 2011).

Gambar 1. Telur O. rhinoceros

Larva atau uret berwarna putih bersih, semakin tua warna berubah semakin kekuningan dengan panjang 75-100 mm. uret mempunyai tiga pasang tungkai pada dadanya, kepala berwarna coklat tua. Ujung perutnya membesar dan terdapat

susunan bulu yang khas (Gambar 2). Umur larva mencapai 99-121 hari (BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 2. Larva O. rhinoceros

Sumber: Foto langsung

Larva instar terakhir masuk ke tanah sedalam ± 30 cm dan tidak aktif selama 8-13 hari (masa prapupa). Pra pupa berada dalam kokon yang terbuat dari tanah atau bagian tanaman. Warna pupa putih kekuningan dengan panjang 5-9 cm (Gambar 3) (BPTP Yogyakarta, 2005).

Gambar 3. Pupa O. rhinoceros

Panjang kumbang dewasa 35-45 mm, dengan sayap berwarna hitam mengkilat kumbang jantan mempunyai tanduk yang membengkok pada pangkalnya sepanjang 8-10 mm. sedangkan kumbang betina bertanduk lebih pendek atau hampir tidak bertanduk (Gambar 4). Kumbang dewasa aktif pada

malam hari yaitu pukul 18.00-21.00 dengan jarak terbang sejauh 9 km (BPTP Yogyakarta, 2005).

Siklus hidup O. rhinoceros berlangsung selama 4-9 bulan, menghasilkan

lebih dari 1 generasi dalam setahun. Daya hidup imago sekitar 3 bulan (Howard dkk, 2001).

Gambar 4. Imago O. rhinoceros

Sumber: Foto Sendiri

Gejala Serangan

Kumbang dewasa biasanya terbang ke tajuk kelapa pada malam hari, dan masuk melalui salah satu ketiak pada bagian atas tajuk. Pada dasarnya ketiak pelepah ketiga, empat atau lima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling di sukai. Jika tanaman kelapa baru berumur satu tahun atau kurang, maka titik masuk pada pangkal batang di permukaan tanah. Setelah kumbang menggerek ke batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun muda yang sedang

berkembang. karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas gigitn akan menyebabkan daun seperti tergunting dan jelas terlihat setelah pelepah daun terbuka (Gambar 5) (Mawikere dkk, 2007).

Kumbang O. rhinoceros merupakan stadia yang merusak tanaman kelapa. Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian dalam ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan memakan helaian daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong/ tergunting membentuk huruf “V” bila telah membuka. Gejala ini merupakan ciri khas serangan hama O. rhinoceros (Wibawanti, 2011).

Pelepah daun putus

Gambar 5. Gejala Serangan O. rhinoceros Sumber: www.google.com

Metode Pengendalian O. rhinoceros

Pengendalian terhadap hama O. rhinoceros dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Sanitasi

Membersihkan tempat perkembangbiakan larva O. rhinoceros seperti tanaman mati membusuk, tunggul kelapa dipotong-potong kemudian dibakar agar tidak menjadi sarang O. rhinoceros

2. Mekanis

Mengumpulkan larva/pupa kemudian dimusnahkan dan menebang serta memusnahkan pohon yang telah mati.

3. Kultur Teknis

Batang yang tidak dimanfaatkan ditutup dengan tanaman penutup tanah seperti Centrosema pubescens atau Pueraria phaseoloides.

4. Biologi

Menggunakan jamur antagonis Metarhizium anisopliae. Jamur ini tidak hanya efektif untuk mengendalikan larva namun juga dapat menginfeksi kumbang. Selain itu juga bisa menggunakan Baculovirus oryctes.

5. Penggunaan Feromon

Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, mangsanya, tanaman inang dan tempat berkembangbiaknya. Komponen utama feromon sintetis O. rhinoceros adalah etil-4 metil oktanoat. Penggunaan feromon akan optimal apabila dipadukan dengan komponen pengendalian lainnya.

Biologi Steinernema spp.

Klasifikasi Steinernema spp. menurut Hunt (2007) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Nematoda Class : Secermenteae Ordo : Rhabditida Family : Steinernematidae Genus : Steinernema Spesies : Steinernema spp.

Steinernematidae memiliki kutikula yang halus dibagian lateralnya, esophagus memiliki tiga bagian termasuk metacorpus dan menyebabkan warna karamel hingga coklat tua pada uji kutikula serangga inang. Panjang tubuhnya berkisar antara 221-676 μm dengan lebar 19-28 μm. Lubang eksretori dan nerve ring larva infektif di bagian anterior. Setelah dewasa jantan memiliki testis tunggal, sepasang spikula dan terdapat gubernaculums (Erningtyas, 2006).

Menurut Tanada dan Kaya (1993) jenis kelamin nematoda biasanya terpisah. Jantan memiliki sistem reproduksi yang berkembang masuk ke rektum dan membentuk kloaka. Jantan dewasa dicirikan dengan keberadaan satu atau dua testis dan spikula yang bergabung dengan kloaka, sedangkan betina sistem

reproduksinya tersusun atas satu atau dua ovari dan vulva yang terletak ventral (Widianingsih dkk, 2009).

Steinernema jantan mempunyai panjang tubuh 1000 – 1900 μm, lebar

90 – 200 μm, panjang stoma 4,5 – 7 μm, lebar stoma 4 – 5 μm, panjang ekor 19 – 27 μm, panjang spikula 72 – 89 μm, gubernakulum 57 – 70 μm, panjang

mucron 2,8 – 4,5 μm. Steinernema betina, panjang tubuh 3020 – 3972 μm, lebar

153 – 192 μm, panjang stoma 7 – 12 μm, lebar stoma 5,0 – 8,5 μm, panjang ekor

30 – 47 μm, lebar vulva 49 – 54 μm. Untuk stadia ‘Infective juvenile” : panjang

tubuh 500 – 570 μm, lebar 15 – 25 μm, panjang ekor 47 – 54 μm (Stock, 1993).

Nematoda entomopatogen terdiri atas 2 famili penting yaitu famili Steinernematidae yang terdiri atas 2 genus yaitu Steinernema dan Neosteinernema dan famili Heterorhabditidae yang mempunyai 1 genus yaitu Heterorhabditis. Juvenil infektif (JI) dari genus Steinernema mempunyai panjang total tubuh

berkisar 700 μm dan terdiri atas 25 spesies (Adams dan Nguyen, 2002).

Menurut Tanada dan Kaya (1993) di dalam perkembangannya, nematoda entomopatogen Steinernema spp. mempunyai siklus hidup sebagai berikut : telur, juvenil dan dewasa. Sebelum mencapai dewasa, nematoda entomopatogen ini akan mengalami empat kali ganti kulit, baik yang terjadi di dalam telur, dalam lingkungan atau di dalam tubuh inangnya (Widianingsih dkk, 2009).

Siklus hidup Steinernema spp. ini dapat juga dibagi dalam siklus reproduktif dan infektif. Stadium infektif nematoda dinamakan juvenil infektif (JI). Juvenil nematoda yang infektif adalah J3, masuk ke dalam serangga lewat lubang-lubang alami (mulut, spirakel dan anus) dan penetrasi ke dalam homocoel. J3 ini dalam tubuhnya membawa simbion mutualistik bakteri Xenorhabdus spp. Bakteri masuk dalam body cavity (lubang dalam tubuh) serangga, berbiak dan mampu membunuh serangga dalam waktu 48 jam. Nematoda kemudian memakan sisa-sisa tubuh serangga yang sudah mati (oleh bakteri) kemudian berbiak dan berpencar (Uhan, 2008).

Steinernema spp. dasarnya mempunyai stadia utama dari perkembangan telur, juvenil dan dewasa. Secara morfologis larva infektif (Juvenil 3 atau J3) teradaptasi untuk tetap hidup dalam jangka waktu lama di lingkungan sambil menunggu serangga inang. Pada umumnya mengalami empat kali pergantian kulit sebelum mencapai dewasa dan pergantian kulit dapat saja terjadi di dalam telur, di

lingkungan dan di dalam tubuh serangga inangnya (Kaya dan Gaugler, 1993 dalam Erningtyas, 2006).

Dalam rangka untuk menyergap mangsa, beberapa spesies Steinernema mengejapkan mata, atau mengangkat tubuh mereka dari permukaan tanah sehingga mereka lebih siap untuk memparasit serangga lewat, yang ukurannya jauh lebih besar (Campbell dan Lewis, 2002 )

Ada beberapa strategi NEP dalam mencari inangnya (foraging behaviour) antara lain :

1) Teknik Ambushers, contohnya Steinernema carpocapsae dan S. scapterisci yang menggunakan strategi "diam dan menunggu". Strategi ini adalah untuk menyerang serangga sangat mobile sehingga akan mudah terinfeksi oleh jenis NEP ini. Strategi ambushers umumnya efektif dalam menginfeksi serangga yang berada di permukaan tanah.

2) Teknik Cruiser, contohnya nematoda Steinernema glaseri dan S. kraussei . Strategi ini adalah dengan cara NEP bergerak aktif dalam mencari inang yang mempunyai kecenderungan diam atau tidak bergerak aktif dan NEP akan cenderung menyebar ke seluruh tanah. Strategi Cruiser biasanya lebih merespon karbon dioksida yang dilepaskan oleh serangga inang sebagai isyarat.

3) Strategi Intermediate atau strategi gabungan antara Ambusher dan Cruiser, contohnya Steinernema feltiae dan S.riobrave. NEP yang menggunakan strategi ini akan menyerang inang baik yang bergerak aktif atau diam/kurang aktif bergerak, dan yang berada dipermukaan tanah maupun yang ada jauh di dalam tanah.

Gejala Serangan Steinernema spp.

Patogenitas nematoda entomopatogen Steinernema spp. terjadi karena adanya simbiosis mutualistik dengan bakteri Xenorhabdus spp. Kompleks simbion bakteri-nematoda entomopatogen dapat menghancurkan sistem kekebalan serangga inang dengan toksin yang di hasilkannya, dimana bakteri berbiak dengan cepat menghasilkan toksin dalam hemolimfa serangga hingga fase stasioner. Jaringan serangga akan terurai oleh toksin, hingga menyebabkan kematian serangga dalam kurun waktu 24-48 jam (Burnell dan Stock, 1999).

Setelah nematoda melakukan penetrasi ke dalam tubuh larva, sistem pencernaan nematoda yang semula tertutup mulai aktif membuka dan mengeluarkan bakteri simbion ke dalam haemolympa yang mengakibatkan kematian pada serangga hama akibat toksin intraseluler dan ekstraseluler yang

dihasilkan oleh bakteri simbion dalam waktu 24–48 jam (Chaerani dan Nurbaeti,1996).

Setelah masuk tubuh serangga, Steinernema spp. akan melepaskan bakteri Xenorhabdus spp yang dapat membunuh serangga dengan cepat dan membuat kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi nematoda di dalam tubuh serangga yang mati (Korlina, 2011).

Bakteri simbion mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti antibiotik, bakteriosin, dan fages yang dapat menghambat perkembangan

mikroorganisme sekunder yang ada di dalam tubuh serangga inang (Boemare et al., 1996). Menurut Ehlers (1996) selama perbanyakan nematoda,

juvenil, kemudian bakteri disimpan kembali oleh dauer juvenil (Widianingsih dkk, 2009).

Senyawa antimikroba ini mampu menghasilkan lingkungan yang sesuai untuk reproduksi nematoda dan bakteri simbionnya sehingga mampu menurunkan dan mengeliminasi populasi mikroorganisme lain yang berkompetisi mendapatkan sumber makanan di dalam serangga mati. Keadaan demikian memungkinkan nematoda entomopatogen menyelesaikan siklus perkembangannya dan

meminimalkan terjadinya pembusukan serangga inangnya

(Burnell dan Stock, 2000).

Menurut Sulistyanto (1999) meskipun toksin yang dikeluarkan bakteri simbion memiliki peranan penting dalam meracuni serangga inang namun simbiosis antara bakteri dan nematoda merupakan syarat mutlak yang hampir tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Dalam hal ini bakteri tidak pernah dapat masuk ke dalam tubuh serangga inang tanpa nematoda. Sehingga antara bakteri

simbion dan nematoda saling menguntungkan satu dengan lainnya (Erningtyas, 2006).

Gejala serangan terhadap inang yang mati karena serangan Steinernema spp. dengan bakteri simbionnya Xenorhabdus spp., dapat dikenali

dengan adanya perubahan warna menjadi hitam kecoklatan/karamel, karena pigmen yang dihasilkan oleh bakteri pada serangga inangnya. (Zahro’in, 2010).

Tubuh larva yang mati berwarna coklat karamel, lunak, tidak berbau busuk dan apabila dibedah didalamnya terdapat nematoda. Warna coklat karamel pada tubuh serangga menunjukkan ciri khas serangan dari nematoda entomopatogen Steinernema spp. (Nugrohorini, 2010).

Menurut Boemare dkk (1996), gejala hama yang terinfeksi Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel karena bakteri Xenorhabdus spp.

yang bersimbiosis dengan nematoda Steinernema spp. menghasilkan enzim lekitinase, protease serta entomotoksin (eksotoksin dan endotoksin) yang mempengaruhi proses kematian pada hama. Bakteri Xenorhabdus spp. termasuk bakteri gram negatif, katalase negatif dan bioluminenscens negatif sehingga gejala larva yang terinfeksi nematoda Steinernema spp. berwarna kecoklatan/karamel. Menurut Jarozs (1996) tidak adanya bau busuk pada larva yang terserang nematoda Steinernema spp. diduga karena adanya aktifitas antibiotik yang dihasilkan bakteri Xenorhabdus spp. dan dapat menghambat aktifitas mikroorganisme lain (Nugrohorini, dkk, 2009).

Setelah larva mati, nematoda memperbanyak diri dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di dalam tubuh larva tersebut. Selanjutnya induk nematoda menghasilkan 2-3 generasi baru di dalam tubuh inangnya tersebut. Setelah nutrisi di dalam tubuh larva tersebut habis maka nematoda melakukan migrasi dengan cara keluar dari tubuh larva dan mencari inang lain (Wibawanti, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi patogenitas Steinernema spp.

Faktor penentu patogenitas nematoda entomopatogen terletak pada bakteri mutualistiknya, yaitu dengan diproduksinya toksin intraseluler dan ekstraseluler yang dihasilkan bakteri dalam waktu 24-48 jam (Kaya dan Gaugler, 1993), sedangkan menurut Akhrust dan Boemere (1990) patogenitas Xenorhabdus bergantung pada kemampuan masuknya nematoda ke hemocoel serangga inang,

juga kemampuan bakteri memperbanyak diri di haemolimpa serta kemampuannya untuk melawan mekanisme pertahanan serangga inang (Uhan, 2008).

Patogenitas nematoda secara umum melalui beberapa tahap antara lain invasi, evasi dan toksikogenitas. Tahapan tersebut di atas akan dilalui secara berurutan, mulai saat nematoda berhasil mempenetrasi serangga inang hingga bakteri simbion nematoda keluar menuju bagian dalam tubuh serangga. Masing-masing tahapan tersebut sangat di pengaruhi oleh enzim, pH, suhu dalam tubuh serangga, dan suhu lingkungan (Erningtyas, 2006).

Nematoda tidak tahan terhadap faktor luar (kekeringan dan ultraviolet). Untuk dapat berkembang dengan baik nematoda entomopatogen memerlukan lingkungan fisik dan biotik yang mendukung kehidupannya. Nematoda ini memiliki ketahanan yang rendah terhadap lingkungan fisik yang ekstrim, khususnya kelembaban, kekeringan, cahaya matahari, dan suhu. Menurut Molyneux (1985) umumnya batas suhu terendah untuk Steinernema masih tetap aktif berkisar antara 4-14o C (Uhan, 2008).

Suhu lingkungan yang kurang menguntungkan akan menggagalkan proses penetrasi nematoda ke dalam tubuh serangga, dan akan menyebabkan nematoda mengalami kematian (Griffin, 1996). Demikian pula dengan pH dalam tubuh serangga yang tidak mendukung perkembangbiakan bakteri simbion nematoda akan menghambat perkembangbiakan bakteri simbion nematoda dalam tubuh serangga inang (Schiroki dan Hague, 1997). Menurut Strauch dan Ehlers (1998) perkembangbiakan bakteri simbion yang lambat juga akan memperlambat kematian serangga inang (Arinana, 2002).

Kematian larva lebih banyak di tentukan oleh aktivitas bakteri simbion sehingga sejumlah kecil nematoda yang masuk sudah dapat menyebabkan kematian larva (Uhan, 2008).

Shannag dan Capinera (1995) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan populasi nematoda menyebabkan semakin tinggi pula efektivitas nematoda entomopatogen dalam mengendalikan serangga hama.

Potensi Steinernema spp. Sebagai Agens Pengendali Hayati

Menurut Gaugler dan Kaya (1990) komplek simbiosis nematoda entomopatogen-bakteri simbion sangat ideal dikembangkan sebagai agensia pengendalian hayati serangga hama, karena beberapa faktor yang menguntungkan, antara lain : aktif mencari mangsa, memiliki virulensi tinggi, kisaran inang luas, mudah dibiakkan di media buatan, mudah diaplikasikan, tidak bersifat racun terhadap lingkungan, dan bersifat kompatibel dengan beberapa jenis pestisida sintetik (Suryadi, dkk, 2008).

Weiser (1991) juga mengemukakan bahwa nematoda entomopatogen merupakan parasit yang potensial bagi serangga-serangga yang hidup di dalam tanah atau di atas permukaan tanah. Kelebihan lain menurut Ehlers (1996) yaitu nematoda entomopatogen dapat membunuh inangnya dengan cepat (24–72 jam), mempunyai kisaran inang yang luas, tidak berbahaya bagi organisme bukan sasaran, dapat diproduksi secara masal baik dalam media in vitro maupun in vivo dengan biaya yang relatif murah, dapat diaplikasikan dengan mudah, serta kompatibel dengan agens pengendali hayati lain (Nugrohorini, 2007).

Poinar (1979) melaporkan bahwa nematoda entomopathogenik dari kelompok Steinernematidae dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai hama. Serangga yang terserang oleh nematoda akan mati dua sampai tiga hari setelah terjadi infestasi (Subagya, 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shannag dan Capinera (1995) diketahui bahwa nematoda Steinernema spp. dapat menyebabkan mortalitas pada ulat melon (Diaphania hyalinata L.). Uhan dan Sastrosiswojo (1996) melaporkan bahwa di sentra produksi tanaman sayuran dataran tinggi ditemukan nematoda yang dapat membunuh hama-hama dari golongan Lepidoptera, yaitu Crocidolomia pavonana, Plutella xylostella L., Helicoverpa armigera, Spodoptera sp., dan Agrotis ipsilon (Uhan, 2005).

Pengujian di laboratorium yang dilakukan dengan metode kertas saring dalam cawan petri, memberikan hasil bahwa nematoda entomopatogen

Steinernema feltiae dapat mematikan serangga Otiorhynchus sulcatus dengan

LD50 = 40 juvenil infektif (JI), sedangkan nematoda S. rudividae dapat mematikan serangga yang sama dengan LD50 = 250 JI. Steinernema spp. lebih

efektif untuk mengendalikan larva dari ordo Lepidoptera (LD50 = 50 JI) (Uhan, 2005).

Nematoda entomopatogen sangan potensial mengendalikan serangga hama ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Diptera (Nugrohorini dan Windriyanti, 2009).

Klein (1990) melaporkan bahwa pada kepadatan populasi 250 JI/ml, S. carpocapsae dapat menyebabkan mortalitas C. borealis sebesar 48%. Menurut

Poinar (1979), S. anomali pada kepadatan 200–400 JI/ml dapat menyebabkan mortalitas Anomala dubia sebesar 24–60%. Epsky dan Capinera (1994)

menyatakan bahwa Steinernema spp. pada kepadatan populasi 800 JI/ml dengan media tanah pasir dalam cawan petri dapat menyebabkan mortalitas larva Spodoptera litura instar ke-3 sebesar 100% (Uhan, 2005).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) saat ini merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang menduduki posisi penting di sektor pertanian umumnya, dan sektor perkebunan khususnya, hal ini disebabkan dari sekian banyak tanaman yang menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi terbesar per hektarnya di dunia (Khaswarina, 2001).

Saat ini Indonesia telah menjadi negara yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang terluas di dunia (sekitar 6,5 juta ha pada tahun 2007) dan menjadi produsen terbesar menggeser Malaysia. Pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia saat ini sangat pesat dan diperkirakan masih akan berlangsung dalam tahun-tahun mendatang (PPKS, 2010).

Budidaya kelapa pada saat ini menghadapi masalah yang cukup pelik yaitu adanya gangguan hama dan penyakit terutama kumbang badak. Pada areal persemaian kelapa sawit serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya

masa berproduksi sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25 %. Kumbang O. rhinoceros menyerang tanaman kelapa sawit yang baru

ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun.

Hama O. rhinoceros merupakan hama penting tanaman kelapa yang menimbulkan kerugian cukup besar dan menyerang tanaman kelapa di seluruh Indonesia. Kerusakan tanaman kelapa sawit akibat serangan kumbang tersebut dapat terjadi pada tanaman belum menghasilkan, maupun tanaman menghasilkan.

Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan kumbang ini cukup besar karena kumbang jantan dan betina yang menggerek selalu berpindah-pindah dari pohon yang satu ke pohon sekitarnya (Lekahena, 2011).

Berbagai pestisida kimia telah digunakan tanpa pandang bulu sejak beberapa dekade untuk mengendalikan serangga hama pada tanaman pertanian. Dampak jangka panjang dari bahan kimia pada organisme bukan target, perkembangan resistensi serangga terhadap pestisida kimia dan efek berbahaya terhadap manusia dan lingkungan merangsang minat para ilmuwan untuk mengukur kontrol alternatif melalui kontrol bio berarti untuk menghancurkan serangga hama untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Nematoda entomopatogen telah dianggap sebagai sangat potensial dan efektif sebagai bio-agen kontrol memiliki sifat non polusi (Tabassum dan Shahina, 2004).

Menurut Gaugler (2006) nematoda entomopatogen (NEP) merupakan parasit serangga yang berada di dalam tanah. Istilah entomopatogen, entomon berasal dari kata Yunani, yang berarti serangga, dan patogen, yang berarti menyebabkan penyakit. Meskipun banyak nematoda parasit lainnya menyebabkan penyakit pada tanaman, ternak, dan manusia, nematoda entomopatogen hanya menginfeksi serangga. Merek a menginfeksi berbagai jenis serangga tanah, larva lepidoptera, kumbang, dan lalat, serta jangkrik dewasa dan belalang. NEP telah ditemukan di semua benua dan hidup di berbagai habitat ekologis yang beragam. Genera paling sering dipelajari adalah yang berguna dalam pengendalian hayati serangga hama, yaitu Steinernrematidae dan Heterorhabditidae (Zahro’in, 2010).

Steinernema spp. menjadi harapan baru bagi petani, karena diketahui sebagai nematoda entomopatogen yang efektif untuk mengendalikan beberapa

hama penting komoditas pertanian. Khususnya untuk komoditas perkebunan, nematoda ini telah di uji cobakan untuk mengendalikan hama uret tebu yang

selama ini menjadi musuh petani tebu terutama di lahan berpasir (Wibawanti, 2011).

Sehubungan dengan berkembangnya pemanfaatan musuh alami dalam menekan populasi hama, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pengujian efektifitas nematoda entomopatogen Steinernema spp. terhadap O. rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabidae) di laboratorium.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efektifitas nematoda entomopatogen Steinernema spp. terhadap O. rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabidae) di laboratorium

Hipotesis Penelitian

Nematoda entomopatogen Steinernema spp. diduga efektif dalam mengendalikan larva O. rhinoceros L.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat melakukan penelitian di Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRACT

Selly Khairunnisa, “Efficacy Test of Entomopathogenic Nematodes

Steinernema spp. as a Controller of Coconut Palm Rhinoceros Beetle Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) in the Laboratory”, under

supervised by Mukhtar Iskandar Pinem dan Fatimah Zahara. This research was conducted to determine the effectiveness of entomopathogenic nematodes

Steinernema spp. as a controller of O. rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabidae) in the Laboratory. This research was carried out in the Laboratory of Pests and

Plant Diseases, Agroecotechnology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra from January to March 2013. The method of this research was Completely Randomized Design (CRD) non-Factorial which consist of 6 treatments and 3 replications. Treatments being tested were 6 levels of population density Infective Juvenile (JI) of nematodes Steinernema spp. (0, 50, 100, 150, 200, 250 JI/ml).

The results of this research showed that with population density of Steinernema spp. 200 JI/ml and 250 JI/ml at 144 hours after the application is effective for controlling larva mortality O. rhinoceros L. for 85.71% and 100%. The fastest ’s larval mortality time was found with population density of Steinernema spp 250 JI/ml at 56 hours after the application.

ABSTRAK

Selly Khairunnisa, “Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen

Steinernema spp. Sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera : Scarabaidae) di Laboratorium”, di bawah

bimbingan Mukhtar Iskandar Pinem dan Fatimah Zahara. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui efektifitas nematoda entomopatogen Steinernema spp. terhadap O. rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabidae) di laboratorium. Penelitian ini

dilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara mulai bulan Januari-Maret 2013. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) non Faktorial yang terdiri dari 6 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diuji yaitu 6 tingkat kepadatan populasi Juvenil Infektif (JI) nematoda Steinernema spp. (0, 50, 100, 150, 200, 250 JI/ml).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan kepadatan populasi Steinernema spp. 200JI/ml dan 250JI/ml pada 144 jam setelah aplikasi efektif dalam mengendalikan larva O. rhinoceros L. dengan mortalitas 85.71% dan 100%. Waktu kematian larva O. rhinoceros L. tercepat terdapat pada perlakuan 250 JI/ml yaitu 56 jam setelah aplikasi.

UJI EFEKTIFITAS NEMATODA ENTOMOPATOGEN Steinernema spp.

Dokumen terkait