• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Ikan Nila Oreochromis niloticus

Ikan nila (Gambar 1) adalah ikan yang tergolong ke dalam famili Cichlidae genus Oreochromis dan memiliki nama latin spesies Oreochromis niloticus (Trewavas, 1983). Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan yang diintroduksikan dari luar negeri. Ikan tersebut berasal dari Afrika bagian timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya, lalu dibawa oleh orang ke Eropa, Amerika, negara-negara Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia benih ikan nila secara resmi didatangkan dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 1969 (Suyanto, 1994 dalam Saputra, 2007).

Gambar 1. Ikan nila Oreochromis niloticus

Ikan nila memiliki karakteristik sebagai ikan parental care yang merawat anaknya dengan menggunakan mulut (mouth breeder) (Effendie, 1997). Ikan ini dicirikan dengan garis vertikal yang berwarna gelap pada sirip ekornya sebanyak 6 buah. Selain pada sirip ekor, garis tersebut juga terdapat pada sirip punggung dan sirip anal (Suyanto, 1994 dalam Saputra, 2007).

Keunikan lain dari ikan nila ditunjukkan dari bentuk telurnya yang lonjong serta perkembangan embriogenesisnya (Lampiran 1) yang mencapai 90-110 jam pasca pembuahan, seperti yang dilaporkan oleh Fujimura & Okada (2007).

Selain merupakan salah satu komoditas air tawar penting yang dimanfaatkan untuk konsumsi (FAO, 2004), ikan nila juga sering digunakan dalam berbagai penelitian tentang proses fisiologi (Wright & Land, 1998), endorinologi (Melamed et al., 1998), molekular genetik dan transgenik

(Majumdar & McAndrew, 1986; Kocher et al., 1998; Oliveira & Wright, 1998; McConnell et al., 2000; Maclean et al., 2002; Lee et al., 2003; Katagiri et al. 2005; Lee et al., 2005; Santini & Bernardi, 2005; Fujimura & Okada, 2007; Kobayashi et al., 2007). Ikan nila merupakan salah satu ikan konsumsi yang menjadi target dari pengembangan rekayasa transgenik selain ikan mas, salmon dan channel catfish (Alestrom, 2007).

2.2 Teknologi Transgenesis dengan Mikroinjeksi

Teknologi transgenesis atau teknologi transfer gen ini merupakan suatu proses mengintroduksi DNA eksogenus atau DNA asing ke embrio dengan tujuan untuk memanipulasi struktur genetiknya (Glick & Pasternak, 2003). Dalam usaha budidaya perikanan teknologi transgenik ini berguna untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan dan krustase (Devlin et al., 1995), meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Dunham, 2004), mengurangi laju konsumsi oksigen pada ikan (Cook et al., 2000), serta untuk memproduksi protein farmaseutika/nutraseutika yang berguna bagi akuakultur dan kesehatan manusia (Kinoshita & Ozato, 1995; Fletcher & Davies, 1991; Collas et al., 2000). Sebagai contoh aplikasi teknologi transgenesis yang telah berhasil diantaranya adalah peningkatan daya tahan terhadap bakteri patogen dengan mengintroduksikan peptida cecropin-B pada channel catfish transgenik (Dunham, et al., 2000 dalam Dunham, 2004); peningkatan laju pertumbuhan pada ikan salmon Pasifik (Devlin et al., 1995), ikan mud loach (Nam et al., 2001), dan ikan nila (Kobayashi et al., 2007).

Kinoshita dan Ozato (1995) menjelaskan bahwa teknologi transgenesis tidak hanya berperan dalam kegiatan produksi, melainkan juga memiliki peranan dalam studi terkait fungsi, proses dan pola ekspresi dari suatu konstruksi gen. Garcia et al. (1998) dalam Ath-thar (2007) menjelaskan bahwa transfer DNA eksogenus ke dalam embrio ikan maupun hewan lainnya memiliki dua tujuan utama yaitu terkait studi tentang fungsi pengaturan gen selama perkembangan dan manipulasi genetika dari ikan komersial untuk memproduksi galur transgenik yang memiliki nilai komersial yang lebih tinggi.

Ada beberapa teknik transfer gen yang telah diaplikasikan pada ikan seperti mikroinjeksi, elektroporasi dan lipofeksi (Hackett, 1993). Iyengar et al.

(1996) menyebutkan bahwa pada saat ini, mikroinjeksi DNA asing ke dalam sitoplasma adalah metode yang paling banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Hackett (1993) menambahkan bahwa mikroinjeksi adalah teknik yang paling sering digunakan pada ikan.

Pada teknik mikroinjeksi guna memastikan material genetik masuk ke pronuklei, konsentrasi yang tinggi dari konstruksi DNA (104-107 kopi) biasanya diinjeksikan ke dalam sitoplasma dari telur yang telah dibuahi (Ath-thar, 2007). Injeksi dengan jumlah kopi DNA yang tinggi meningkatkan integrasi transgen (DNA yang ditransfer), tetapi hal itu meningkatkan resiko kematian pada embrio (Ath-thar, 2007; Purwanti, 2007). Integrasi transgen pada DNA inang umumnya tidak terjadi pada fase satu sel, sehingga tidak semua sel ikan membawa transgen. Kejadian tersebut dikenal dengan istilah mozaik (Zbikowska, 2003).

Keterbatasan metode ini antara lain telur harus diperlakukan satu persatu dan injeksi secara langsung ke nukleus tidak mungkin dilakukan pada ikan, tidak seperti pada mamalia. Mikroinjeksi ke sitoplasma memerlukan jumlah kopi gen yang banyak. Hal ini yang menyebabkan tingginya kejadian mozaik (Ath-thar, 2007). Mikroinjeksi juga memiliki resiko tinggi terhadap kelangsungan hidup embrio (Zbikowska, 2003; Ath-thar, 2007). Namun metode mikroinjeksi memiliki kelebihan yaitu efisiensi penggunaan DNA dan adanya kemungkinan untuk dapat mengontrol letak injeksi pada telur. Untuk telur dari jenis ikan yang sulit untuk didekorionasi mikroinjeksi dilakukan melalui lubang mikrofil. Pada metode ini secara umum telur langsung diinjeksi pada blastodisk. Tempat injeksi yang acak ini sangat berpengaruh terhadap gerakan transfer DNA dari yolk atau sitoplasma ke nukleus. Transfer DNA lebih cepat ketika telur diinjeksi pada blastodisk yang berlawanan arah dengan vegetal-pole (Collas et al., 2000).

2.3 Promoter

Pada umumnya DNA mempunyai 2 fungsi utama yaitu untuk menyandi protein atau sebagai elemen struktural dan sekuen pengatur transkripsi (Hackett, 1993). Promoter adalah bagian dari DNA yang merupakan tempat menempelnya RNA polimerase dan mengarahkannya agar proses transkripsi terjadi (Glick & Pasternak, 2003) sehingga efektivitas promoter suatu konstruksi gen berperan

penting dalam menentukan keberhasilan transgenesis (Alimuddin et al., 2008; Nugrahani, 2008).

Promoter merupakan sekuen DNA yang terletak di hulu (upstream, terminal 5) dari lokasi dimulainya transkripsi (Hackett, 1993). Daerah promoter adalah cis-acting (faktor transkripsi); promoter mempengaruhi transkripsi dalam segmen DNA yang sama dimana promoter tersebut berada. Sekuen ini dikenali oleh RNA polimerase yang kemudian menempel dan mengendalikan proses transkripsi (Hacket, 1993; Glick & Pasternak, 2003). Promoter merupakan salah satu penentu/pengatur spatial-temporal ekspresi gen, sehingga promoter bisa dianalogikan sebagai switch suatu gen.

Beberapa promoter telah diisolasi dan dilakukan proses pengujian oleh beberapa peneliti, antara lain cytomegalovirus (CMV) dari virus manusia (Dunham, 2004);  actin dari ikan mas (Liu et al., 1990), ikan medaka (Takagi et al., 1994), ikan zebra (Higashijima et al., 1997), ikan mud loach (Noh et al., 2003), ikan kerapu bebek (Nugrahani, 2008) dan ikan nila (Alimuddin et al.,2008).

Efektivitas suatu promoter dipengaruhi oleh kesesuaian cis-acting promoter dan trans-acting inang (Iyengar et al., 1996; Alimuddin, 2003) sehingga dalam penerapannya sering kali digunakan promoter yang homolog dengan hewan uji (Kawamoto et al., 1989). Keberadaan sekuen pemicu aktivitas (enhancer) pada konstruksi gen dapat pula memberikan pengaruh positif terhadap efektivitas suatu promoter (Iyengar et al., 1996). Penggunaan promoter yang tidak sesuai dapat berakibat terhambatnya proses ekspresi gen, sebaliknya apabila promoter yang digunakan sesuai maka dapat meningkatkan derajat integrasi dan tingkat ekspresi gen tersebut pada sel inang (Dunham, 2004).

Untuk mengetahui efektivitas suatu promoter, pada umumnya dilakukan dengan menyambungkan promoter dengan suatu gen lalu mengamati ekspresi sementara (transient) yang terjadi pada hewan uji (Iyengar et al., 1996; Winkler et al., 1990; Yazawa et al., 2005; Ath-thar, 2007; Purwanti, 2007).

2.4 Promoter Keratin

Promoter keratin merupakan promoter yang diisolasi dari ikan flounder Jepang Paralichthys olivaceus (Hirono et al., 2003). Pada awalnya promoter keratin merupakan promoter yang digunakan pada teknologi transgenesis yang terkait dengan sistem imun, karena efektivitasnya yang tinggi pada jaringan kulit (Gong et al., 2002). Namun Giordano et al. (1990) menyebutkan bahwa efektivitas promoter keratin tidak hanya terbatas pada jaringan kulit dan epitel, tapi juga terdapat pada sel yang sedang berkembang dan sel saraf tertentu. Sedangkan Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa promoter keratin yang diujikan pada ikan zebra mampu bersifat dapat aktif dimana-mana atau tidak spesifik jaringan tertentu (ubiquitous) dan dapat aktif kapan saja diperlukan (house keeping).

Para peneliti telah melakukan karakterisasi promoter keratin pada berbagai jenis ikan, antara lain pada ikan rainbow trout (Markl & Franke, 1988; Markl et al., 1989), ikan koki (Giordano et al., 1990; Druger et al.,1992), catfish (Arenas et al., 1995), common carp (Groff et al., 1997), ikan hiu (Schaffeld et al., 1998), serta ikan zebra (Conrad et al., 1998; Yazawa et al.,2005).

Gambar 2. Sekuens promoter keratin (Yazawa et al., 2005)

Sekuen promoter keratin (Gambar 2) dilaporkan oleh Yazawa et al. (2005) memiliki panjang 1288 bp. Ekson pertama ditunjukkan dengan huruf besar,

coding region dan asam amino ditunjukkan dengan huruf yang dicetak tebal, bagian awal transkripsi ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan bagian predictive transcriptional factor binding ditunjukkan dengan garis bawah.

2.5 Promoter Heatshock

Promoter heatshock merupakan promoter yang diisolasi dari ikan rainbow trout (Kawamura & Yoshizaki, tidak dipublikasikan) dan dikonstruksi oleh Yamamoto dan Yoshizaki (tidak dipublikasikan), diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 2008 oleh Dr. Alimuddin. Promoter heatshock memiliki kesamaan karakter dengan beberapa promoter, antara lain promoter hsp90α & hsp90β

(Krone & Sass, 1994; Krone et al., 1997; Milioni et al., 2001), hsp70 (Yeh & Hsu, 2002), hsp16.6 (Feng Fang, 2003), hsf (Ian Birch-Martin et al., 2005), hsf1 (Bajac & Shaham, 2007), hsp27 (Wu et al., 2007).

Promoter ini tergolong sebagai inducible promoter, yaitu suatu promoter yang aktivasi dan efektivitas optimalnya bergantung pada pengaruh rangsangan yang berasal dari lingkungan (Ojima, 2007). Kemampuan tersebut sering dimanfaatkan oleh para peneliti untuk mendeteksi suatu kondisi lingkungan yang menyimpang (biodetector) serta proses studi biologi suatu organisme (Milioni et al., 2001;Wu et al., 2007).

Aktivitas promoter ini pernah diuji pada Cyanobacterium (Feng Fang, 2003), Caenorhabditis elegans (Bacaj & Shaham, 2007), Drosophila (Ian Birch-Martin et al., 2005) dan ikan zebra (Krone & Sass, 1994; Krone et al., 1997; Lele et al., 1997: Yeh & Hsu, 2002; Wu et al., 2007).

Pada pengujian yang dilakukan pada ikan zebra promoter heatshock dapat pula mengekspresikan gen secara aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon (constituve) namun ekspresi tersebut terjadi dalam waktu yang singkat (Krone & Sass, 1994; Krone et al., 1997; Lele et al., 1997: Yeh & Hsu, 2002). Promoter heatshock dapat mengekspresikan gen pada jaringan kulit, otot dan hati (Wu et al., 2007) sehingga promoter heatshock tergolong ubiquitous (Hackett, 1993).

2.6 Gen Green Fluorescent Protein (GFP)

Gen GFP (Green Fluorescent Protein) adalah gen berpendar hijau yang diisolasi dari Aequorea victoria (Felts et al., 2001), gen ini memiliki kandungan protein yang dapat berpendar dan divisualisasikan ekspresinya pada sel dengan menggunakan bantuan sinar UV atau mikroskop fluoresen (Chalfie, 1994 dalam Iyengar et al., 1996). GFP memiliki kelebihan yaitu untuk mendeteksi ekspresinya tidak memerlukan substrat tambahan, sehingga dapat digunakan sebagai marker (penanda) dalam pengujian efektivitas suatu promoter (Chou et al., 2001; Gong et al., 2002; Yazawa et al., 2005), dan dapat pula berperan sebagai gen target dalam pembuatan ikan hias berpendar yang berwarna-warni (Gong et al., 2002).

Pengujian promoter dengan menggunakan GFP sudah banyak dilaporkan berhasil pada beberapa jenis promoter dan spesies yang berbeda antara lain pengujian promoter β-actin pada ikan rainbow trout (Boonanuntanasarn et al., 2002; Yoshizaki, 2001), ikan nila (Kobayashi, 2007), ikan zebra (Williams et al., 1996; Alimuddin et al., 2005), ikan lele (Ath-thar, 2007) dan ikan mas (Purwanti, 2007); pengujian promoter hsp70 (Seok et al., 2007), hsp27 (Wu et al., 2007), dan promoter TNF (Tumor Necrosis Factor), C3, gelatinaseB, keratin (Yazawa et al., 2005) pada ikan zebra.

2.8 Ekspresi Gen Sementara (Transient Gene Expression)

Ekspresi yang dihasilkan oleh suatu gen berhubungan dengan keberadaan dari sekuen intron (Betancourt et al., 1993 dalam Hackett, 1993). Lebih lanjut Betancourt et al. (1993) dalam Hackett (1993) menjelaskan bahwa penggunaan kombinasi intron atau promoter yang tidak sesuai dapat mengakibatkan pemotongan RNA yang salah, sehingga berpengaruh terhadap penghambatan transkripsi dan instabilitas pada mRNA.

Houdebine & Chourrout (1991) dalam Dunham (2004) menjelaskan bahwa ketika DNA asing diinjeksikan ke dalam sitoplasma, maka DNA asing tersebut mengalami proses replikasi dan dapat terekspresi dengan baik seiring dengan perkembangan embrio, namun kemudian perlahan ekspresi tersebut hilang pada fase perkembangan larva, pola ekspresi seperti ini pada umumnya disebut ekspresi sementara (transient). Ekspresi sementara sering terjadi pada beberapa

penelitian transgenik, diantaranya pada ikan kakap Sparus auratus (Garcia-Pozo et al., 1998), ikan zebra (Higashijima et al., 1997; Meng et al., 1999), ikan medaka (Winkler et al., 1991; Hamada et al., 1998; Chou et al., 2001), ikan lele (Volckaert et al., 1997; Ath-thar, 2007), dan ikan mas (Purwanti, 2007).

Ath-thar (2007) menyebutkan bahwa ekspresi transgen mulai muncul pada saat embrio memasuki fase gastrula awal atau fase permulaan adanya epiboly. Sedangkan Iyengar et al., (1996) menyebutkan bahwa ekspresi tertinggi pada perkembangan embrio, umumnya terjadi pada fase gastrula. Kondisi ini diakibatkan akumulasi DNA yang diinjeksikan yang berlanjut pada peningkatan replikasi pada fase pembelahan (cleavage) dan akumulasi dari enzim RNA polymerase II yang menyebabkan dimulainya transkripsi pada fase MBT (Mid Blastula Transition) (Iyengar et al., 1996; Ath-thar, 2007). Pada pengujian yang dilakukan pada ikan medaka (Hamada et al.,1998) disebutkan bahwa ekspresi gen wtGFP (wild type GFP) dan mtGFP (mutant GFP) dimulai pada fase midblastula dan ekspresi terkuat terjadi sampai dengan fase gastrula akhir.

Dokumen terkait