• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumput Raja (Pennisetum purpureum Schumach x Pennisetum typhoides

Burm.)

Rumput raja merupakan hasil persilangan antara rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach) dengan Pennisetum typhoides Burm. Rumput raja adalah jenis tanaman perenial yang membentuk rumpun, daya adaptasi yang baik di daerah tropis, dapat tumbuh di dataran rendah dan tinggi (50-1200 m dpl), tumbuh baik pada tanah yang tidak terlalu lembab dengan curah hujan di atas 1000 mm per tahun dan didukung dengan irigasi yang baik. Pertumbuhan awal rumput raja lebih lambat dan memerlukan perawatan yang lebih intensif dibandingkan dengan rumput gajah, namun memiliki pertumbuhan yang cepat mengalahkan rumput gajah (BPTHMT Baturaden, 1989).

Rumput raja merupakan rumput potongan yang mempunyai bentuk rumpun yang terdiri dari 20-50 batang dengan diameter sekitar 2,5 cm. Tingginya dapat mencapai 2-3 m, lebar daun 2-3 cm, dan panjangnya 60-90 cm. Rumput ini mudah ditanam dengan menggunakan stek batang atau sobekan rumpun. Bibit rumput raja sebaiknya tidak terlalu muda atau terlalu tua karena dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat, bahkan tidak tumbuh. Stek batang yang baik berdiamter 1,5- 2 cm dengan panjang 25 cm dan memiliki 2-3 mata tunas. Bibit yang berupa sobekan rumpun terdiri dari 2-3 anakan (Kushartono, 1997).

Gambar 1. Rumput Raja

4 Pada umumnya rumput raja tumbuh baik pada curah hujan yang tinggi atau sebaliknya kurang tahan pada tanah yang kering karena rumput ini mengandung ± 80% air. Kebutuhan air yang cukup tinggi menjadi suatu acuan untuk penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan. Hujan memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan rumput raja. Bila hujan terus menerus maka pertumbuhan rumput akan berlangsung terus, sedang bila kekurangan air pertumbuhan akan terhambat. Penanaman dengan pengairan yang cukup akan menguntungkan karena dapat dilakukan sepanjang tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi cepat atau lambatnya bibit stek bertunas adalah kadar air yang terdapat di dalam mata tunas. Ketersediaan air yang cukup juga diperlukan untuk pertumbuhan batang (Kushartono, 1997).

Rumput raja memiliki ciri ukuran batang yang lebih besar dan lebih keras daripada rumput gajah, ukuran daun yang lebih lebar, dan terdapat banyak bulu-bulu kasar. Produksi bahan kering berkisar antara 40-63 ton/ha/tahun (Siregar, 1989). Kandungan nutrisi rumput raja dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrien Rumput Raja

Kandungan Nutrien (%) Bahan Kering* 22 Protein Kasar* 13,5 Serat Kasar* Ca** 34,1 0,37 Sumber: *) Soetanto, 2002 **) Yana, 2011

Pemotongan pertama pada rumput raja dilakukan pada umur 90 hari (tiga bulan). Interval pemotongan selanjutnya adalah 50 hari pada musim penghujan dan 60 hari pada musim kemarau. Pemotongan rumput dilakukan pada jarak 15-20 cm dari permukaan tanah. Pemotongan yang terlalu panjang akan menyebabkan sisa batang yang tinggal mengayu, sebaliknya jika terlalu rendah akan mengganggu pertumbuhan rumput untuk selanjutnya karena jumlah anakan (rumpun) yang tumbuh sedikit (Kushartono, 1997).

5

Rumput Taiwan (Pennisetum purpureum Schumachcv Taiwan)

Rumput taiwan merupakan salah satu varietas dari rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach). Rumput ini berasal dari Taiwan dan belum dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Walaupun rumput ini masih termasuk rumput gajah, tetapi karakteristik dari rumput taiwan ini sedikit berbeda. Perbedaannya terdapat pada ukuran batangnya yang lebih kecil dan lunak. Pada batang yang lebih muda pangkal batang yang paling bawah (dekat ke tanah) berwarna kemerah-merahan, tinggi rumput bisa mencapai 4-5 m, daun lebar, dan terdapat bulu-bulu lembut pada daunnya (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bidang Produksi Peternakan, 2010; Nurhayu et al., 2009).

Rumput taiwan dapat tumbuh pada lingkungan hawa panas yang lembab, tetapi tahan terhadap musim panas yang cukup tinggi dan tahan terhadap naungan. Rumput ini tidak tahan hidup di daerah hujan yang terus-menerus. Tanah tempat rumput ini ditanam harus subur, gembur, tidak bercadas, dan pH tanahnya 5-7. Pertumbuhannya akan terangsang jika diberikan pupuk nitrogen (urea) (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bidang Produksi Peternakan, 2010).

Gambar 2. Rumput Taiwan

Sumber: PNPM Agribisnis Perdesaan (SADI) Nusa Tenggara Timur (2009)

Produksi bahan kering rumput sekitar 35,45 ton/ha/tahun dan protein kasar 10,85% (Manurung et al., 2001). Produktivitas rumput taiwan cukup tinggi yaitu 300 ton/ha/tahun dengan pemupukan dan pemeliharaan optimal. Pemanenan pertama

6 dilakukan setelah rumput berumur minimal 60 hari. Pada musim hujan interval panen antara 30-40 hari dan musim kemarau 50-60 hari. Tinggi pemotongan 15-20 cm dari permukaan tanah (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bidang Produksi Peternakan, 2010).

Tabel 2. Kandungan Nutrien Rumput Taiwan

Kandungan Nutrien (%) Protein Kasar* 10,85 Serat Kasar** Ca** 30-32 0,24-0,31

Sumber: *) Manurung et al., 2002

**) Suyitman. 2003

Tanah Latosol

Tanah latosol adalah tipe tanah yang terbentuk melalui proses latosolisasi. Tanah ini merupakan tanah tua yang biasa dijumpai di daerah tropik. Area seluas 9% di Indonesia yaitu Jawa, Kalimantan, dan Sumatera memiliki jenis tanah latosol. Proses latosolisasi memiliki tiga proses utama, yaitu (1) pelapukan intensif yang terjadi terus menerus, (2) terjadi pencucian basa-basa yang mengakibatkan penumpukan seskuioksida, dan (3) terjadi penumpukan mineral liat kaolinit. Proses latosolisasi biasanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga gaya hancur bekerja lebih cepat (Soepardi, 1983).

Tanah latosol memiliki ciri berwarna merah, kuning ataupun cokelat. Kapasitas tukar kation rendah yang disebabkan rendahnya kadar bahan organik tanah dan sifat liat hidro-oksida. Kandungan aluminium (Al) dan besi (Fe) relatif tinggi dan kadar seskuioksida tinggi. Ciri-ciri ini dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Tanah latosol biasanya memberikan respon baik terhadap pemupukan dan pengapuran (Soepardi, 1983).

Tanah latosol dari daerah Dramaga pada umumnya sifat fisiknya sudah baik dengan ciri-ciri bertekstur liat berdebu, lempung berdebu sampai lempung berpasir. Bobot isi berkisar antara 0,90-0,97 g/cm3, porositas tanah berkisar antara 63%-68%. Pori drainase cepat tergolong sangat rendah sampai rendah, drainase dan tata udara tergolong baik, dan air tersedia rendah sampai sangat tinggi (Soeparto, 1982).

7 Tabel 3. Hasil Analisis Tanah Latosol

Jenis Pengukuran Nilai Keterangan

pH H2O 5,4 Asam C organic 1,23% Rendah N 0,11% Sangat rendah P 0,5 ppm Rendah K 0,10 me/100 g Rendah Ca 2,10 me/100 g Rendah Mg KTK 0,76 me/100 g 13,44 me/100 g Rendah Rendah

Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (1999)

Sumber : Feniara (2001)

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman dan abnormalitas warna daun adalah karena rendahnya pH tanah. Setelah mampu menghadapi kondisi pH yang rendah, kemudian tanaman memberi respon terhadap faktor-faktor lainnya seperti kehadiran aluminium (Al), mangan (Mn), rendahnya nitrogen (N), fosfor (P), molibdenum (Mo), dan kalsium (Ca) tanah. Rendahnya pH tanah menyebabkan tanaman keracunan Al dan Mn serta menurunkan ketersediaan P tanah. Sebaliknya jika pH tanah tinggi akan menurunkan ketersediaan P tanah pula dan menurunkan unsur mikro lainnya seperti zink (Zn) dan boron (B). Tidak semua tanaman tahan terhadap kondisi tanah yang seperti ini sehingga diperlukan tanaman yang dapat beradaptasi pada jenis tanah ini atau dilakukan perbaikan terhadap sifat tanah latosol (Kidd dan Proctor, 2001; Stevens et al., 2001).

Pengapuran

Pengapuran biasanya direkomendasikan untuk tanah-tanah yang bersifat masam (Soepardi, 1983; Stevens et al., 2001). Tujuan utama dari pengapuran adalah untuk meningkatkan pH tanah. Selain daripada itu, pemberian kapur dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisik tanah berhubungan dengan granulasi tanah, sifat kimia yang paling penting adalah menurunkan kemasaman tanah, dan sifat biologi adalah merangsang pertumbuhan jazad renik untuk meningkatkan proses enzimatik (Soepardi, 1983).

8 Tujuan utama pengapuran dilakukan untuk perbaikan sifat kimia tanah. Selain daripada meningkatkan pH, pengapuran dapat berfungsi untuk (1) menurunkan kadar keracunan dari besi (Fe), aluminium (Al), dan mangan (Mn) serta (2) memperbaiki serapan molibdenum (Mo), fosfor (F), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg) (Soepardi, 1983; Zambrano et al., 2007).

Sebelum melakukan pengapuran, ada beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan. Menurut Soepardi (1983) beberapa diantaranya adalah (1) perlu atau tidaknya kapur diberikan, (2) jenis kapur yang diberikan, dan (3) banyaknya kapur yang harus diberikan. Perlu tidaknya kapur diberikan tergantung dari keadaan kimia tanah yang ditentukan melalui pH dan kandungan aluminium tanah serta jenis tanaman yang akan ditanam. Pemilihan kapur yang tepat harus didasarkan pada lima faktor yaitu: (1) jaminan kimia dari kapur; (2) harga per ton; (3) kecepatan reaksi; (4) kehalusan bahan; dan (5) kemasan kapur. Menurut Hardjowigeno (1995) faktor- faktor yang menentukan banyaknya kapur yang diperlukan adalah pH tanah, tekstur tanah, kadar bahan organik tanah, mutu kapur, dan jenis tanaman. Apabila pemberian kapur melebihi pH tanah yang diperlukan akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan optimum tanaman dan tidak efisien (ekonomis), juga waktu dan cara pengapuran harus diperhatikan. Pada dasarnya kapur diberikan pada tanah bila diperkirakan hujan tidak akan turun pada saat pemberian kapur (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).

Dolomit

Kapur yang umum digunakan adalah dari golongan karbonat, yaitu kalsium karbonat (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Bila bahan tersebut tidak atau hanya

sedikit mengandung dolomit disebut kalsit. Bila jumlah magnesium meningkat disebut kapur dolomitik dan bila hanya mengandung sedikit kalsium karbonat dan hanya terdiri dari kalsium-magnesium-karbonat maka disebut dolomit. Kalsit dan dolomit merupakan kapur yang bersifat dingin sehingga dapat digunakan secara langsung pada tanaman (Soepardi, 1983).

Kapur dolomit memiliki sifat fisik berwarna putih keabu-abuan atau kebiru- biruan. Dolomit (CaMg(CO3)2) memiliki jumlah Ca dan Mg yang relatif seimbang,

tetapi kadang kala ada satu elemen yang lebih besar persentasenya daripada yang lain. Besi dan mangan terkadang ditemukan dalam jumlah kecil. Bentuk dolomit

9 yang paling umum dalam grup kecil ialah kristal rhombohedral dengan lengkungan, tampak seperti pelana. Dolomit memiliki sifat tembus transparan dan tembus cahaya dalam pecahan yang tipis serta memiliki ketahanan yang rapuh (Harjanti, 2009). Menurut Soepardi (1983) kapur dolomit bereaksi lebih lambat dengan tanah dibandingkan dengan kapur kalsit.

Bahan kapur yang diberikan ke dalam tanah akan mengalami reaksi sampai terbentuk keseimbangan baru. Reaksi yang terjadi pertama kali adalah penguraian bahan kapur membentuk ion CO3 serta ion-ion Ca dan Mg. Selanjutnya, ion CO3

yang terbentuk menarik ion H dari komplek jerapan dengan reaksi sebagai berikut:

(CaMg)CO3 (CaMg)2+ + CO32-

CO32- + H2X H2CO3 + X2-

(CaMg)2+ + X2- (CaMg) X, dimana X adalah komplek jerapan (adsorb)

Dengan demikian yang berperan sebagai agen pengapuran adalah CO3, sebab ion Ca

sendiri tidak sanggup melepaskan H+ dari komplek jerapan (Kussow, 1971).

Menurut Tisdale et al. (1985) penambahan bahan kapur ke dalam tanah dengan takaran yang tepat dapat meningkatkan pH tanah, ketersediaan dan efisiensi pemupukan fosfat, serta menurunkan kelarutan beberapa unsur seperti Al, Fe, dan Mn yang mencapai tingkat yang meracuni tanaman. Disamping itu, penggunaan dolomit dapat mensuplai Ca dan Mg tanah.

10

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kebun Mitra Tani Farm, Desa Tegal Waru, Ciampea, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Kementerian Pertanian, Cimanggu, Bogor. Analisis protein kasar dan serat kasar dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Analisis kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2011 sampai Mei 2012.

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Mitra Tani Farmberlokasi di Jl. Baru AMD No. 51 RT/RW 04/05 Desa Tegal

Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kecamatan Ciampea adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor tepatnya di bagian barat Kabupaten Bogor. Luas Kecamatan Ciampea adalah sekitar 55,63 km2, yang terdiri dari 13 desa dan terbagi menjadi 43 dusun, 120 rukun warga (RW), serta 470 rukun tetangga (RT). Batas-batas wilayah administrasi yang mengelilingi Kecamatan Ciampea adalah sebagai berikut:

1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kecamatan Kemang.

2) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya. 3) Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang.

4) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga.

Secara topografi, kecamatan Ciampea memiliki kontur yang terdiri dari dataran sampai berombak sekitar 45% dan berombak sampai berbukit sekitar 55%. Ketinggian wilayah sekitar 300 m di atas permukaan laut. Suhu udaranya berkisar antara 20 ºC – 30 ºC, curah hujan yang cukup tinggi sekitar 3614 mm/tahun, serta memiliki kelembaban udara 70%. Jenis tanah di Kecamatan Ciampea adalah latosol (Prihandoko, 2009).

11

Materi Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah cangkul, meteran dengan ketelitian 0,5 cm, timbangan manual, timbangan digital, pisau, gunting, label, dan oven 60 ºC untuk pengeringan sampel rumput.

Bahan-bahan yang digunakan adalah stek rumput raja (Pennisetum

purpureum Schumach x Pennisetum typhoides Burm.), stek rumput taiwan (Pennisetum purpureum Schumach cv taiwan), dolomit, pupuk kandang, dan pupuk urea.

Prosedur Persiapan Lahan

Persiapan lahan meliputi pembersihan lahan dan penggaruan untuk menggemburkan tanah. Pembersihan dilakukan terhadap semak belukar dan alang- alang. Lahan berukuran 75 m2 dibentuk menjadi petakan-petakan dengan ukuran yang sama yaitu 2 m x 2 m. Jarak antar tanaman dan jarak antar petak tanam adalah 50 cm. Lalu diberikan pupuk kandang sebagai pupuk dasar dengan dosis yang sama untuk semua petak tanam yaitu ± 40 ton/ha. Kemudian diberi perlakuan yaitu pemberian dolomit sebesar 0 kg (0 ton/ha), 5,2 kg (12,5 ton/ha), dan 10,4 kg (25 ton/ha) (Zain, 1998) sesuai petakan yang telah ditentukan.

50 cm 50 cm

50 cm 2 m

2 m

Gambar 3. Petak Tanam Rumput

X X X X X X X X X

12

Penanaman

Tanah dilubangi dengan kedalaman lubang tanam ± 5 cm dan jumlah lubang tanam per petak tanam adalah sembilan lubang. Setiap lubang ditanami bibit rumput sebanyak satu stek, sehingga terdapat sembilan tanaman per petak tanam. Setiap satu petak tanam ditanami jenis rumput yang sama.

Pemupukan

Pemberian pupuk berupa urea sebagai pupuk dasar dilakukan pada dua minggu setelah tanam (MST) dengan dosis 250 kg/ha (N = 100 kg). Urea ditabur di sekeliling tanaman dengan dosis yang sama untuk setiap petak tanamnya.

Penyiangan

Pembersihan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh di sekitar rumput. Pembersihan gulma dilakukan setiap minggu dengan cara mencabut gulma atau menggunakan cangkul.

Pemanenan

Pemanenan dilakukan pada 80 hari setelah tanam. Panen rumput dilakukan dengan memotong batang ± 10 cm dari permukaan tanah. Daun dan batang rumput dipisah, lalu dilakukan penimbangan terhadap berat masing-masing bagian.

Penghitungan Produktivitas Rumput

Berat Segar. Rumput dipotong ± 10 cm dari permukaan tanah. Kemudian daun dengan batang dipisah dengan menggunting daun pada ujung pelepahnya. Lalu ditimbang per bagiannya baik daun maupun batang untuk setiap petak tanamnya.

Berat Kering. Masing-masing daun dan batang dimasukkan ke dalam kantung kertas secara terpisah. Beri label sesuai dengan sampel yang telah dikeringkan. Sampel yang digunakan ± 100 g. Sebelum dikeringkan dalam oven, batang terlebih dahulu dibelah atau dipecah untuk memudahkan pengeringan. Sampel-sampel ini dimasukkan ke dalam oven 60 ºC selama ± 24 jam. Setelah 24 jam, sampel didinginkan hingga suhunya turun, lalu mulai ditimbang.

Analisis Kualitas Rumput

Protein Kasar. Sebanyak 0,25 g sampel dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml dan ditambahkan selenium 0,25 g dan 3 ml H2SO4 pekat. Kemudian lakukan

13 destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama satu jam sampai larutan jernih. Setelah dingin, tambahkan 50 ml aquadest dan 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna

merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan, destilasi dihentikan dan destilasi dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan juga terhadap blanko. Dengan metode ini diperoleh kadar nitrogen total yang dihitung dengan rumus:

Keterangan:

S = volume titran sampel (ml)

B = volume titran blanko (ml)

W = berat sampel kering (mg)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 5,18-6,38 (AOAC, 1980).

Serat Kasar. Sebanyak satu gram sampel dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1,25%,

dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit. Kemudian saring dengan kertas saring dan dengan bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih dan dengan 25 ml air sebanyak tiga kali. Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1,25% selama 30 menit. Lalu saring dengan cara seperti di atas dan dibilas berturut-turut dengan 25 ml H2SO4

1,25% mendidih, 25 ml air sebanyak tiga kali dan 25 ml alkohol. Residu dan kertas saring dipindahkan ke cawan porcelain dan dikeringkan dalam oven 130 ºC selama dua jam. Setelah dingin residu beserta cawan porcelain ditimbang (A), lalu dimasukan dalam tanur 600 ºC selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B).

Keterangan:

W = berat residu sebelum dibakar dalam tanur

= A – (berat kertas saring + cawan) : A: berat residu + kertas saring + cawan Wº = berat residu setelah dibakar dalam tanur

14

Preparasi Sampel untuk Analisa Mineral (Wet Ashing)

Sebanyak satu gram sampel rumput ditimbang, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 125 ml/100 ml. Tambahkan 5 ml HNO3 (p), lalu didiamkan selama

satu jam pada suhu ruang di ruang asam. Panaskan di atas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam). Biarkan semalam (sampel ditutup). Tambahkan 0,4 ml H2SO4 (p), lalu dipanaskan di atas hot plate sampai

larutan berkurang (lebih pekat), biasanya satu jam. Tambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4 : HNO3 (2:1). Sampel masih tetap di atas hot plate, karena

pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat kuning tua kuning muda (biasanya satu jam). Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Pindahkan sampel, didinginkan, dan ditambahkan 2 ml aquades dan 0,6 ml HCl (p). Panaskan kembali agar sampel larut

(±15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Apabila ada endapan disaring dengan glass wool. Hasil pengabuan basah bisa dianalisa di AAS atau spektrofotometer untuk analisa berbagai mineral. Sebelumnya dipreparasi dulu dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan dan penambahan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O) (Reitz et al., 1960).

Cara Penggunaan AAS (Atomic Absorption Spectrofotometer) Shimadzu AA- 680

Alat dihubungkan dengan listrik, lalu stabilizer dinyalakan. Gas asetilen dibuka. Kompresor dinyalakan dengan menekan tombol ON, semua kran udara yang ada di kompresor ditutup, ditunggu sampai tekanan berhenti pada angka 2. Tombol

power pada alat ditekan dan tunggu hingga muncul ”SHIMADZU AA-680 READY”

pada printer.

Tombol MODE ditekan, lalu tekan angka 2, ENTER. SIGNAL PROC ditekan, lalu tekan angka 3, ENTER. Untuk memilih lampu, misalnya kalsium, #HC LAMP ditekan, tekan angka 1, ENTER. ELEM ditekan, tekan angka 9, ENTER.

Tombol START ditekan dan ditunggu sampai keluar ”ANALYTICAL LINE

SEARCH” pada print out. START dimatikan dan ditunggu sampai 15 menit. +

15 Tahap pengukuran sample. LEAK CHK dimatikan dan IGNITE dihidupkan, ditekan sampai api pada pembakaran hidup. Tekan START. Selang pengisap sampel dimasukkan pada aquadest untuk menolkan alat (BLANKO). Tekan MEASURE, selama nyala pada MEASURE belum hilang, selang jangan diangkat. Setelah nyala pada MEASURE hilang, selang diangkat dan dicelupkan pada larutan standar. Demikian seterusnya untuk pengukuran pada sampel dilakukan hal yang sama. Pengulangan injek larutan standar dilakukan setelah pengecekan ± 12 sampel.

Setelah semua sampel diukur, EXTINGUISH ditekan. Pada tahap ini, bila akan ganti lampu katoda (untuk analisis mineral yang lain), dilakukan lagi dari mulai tahap MODE. Apabila selesai analisis, gas asetilen ditutup, lalu EXTINGUISH ditekan. Kompresor di OFF kan, dibuka semua kran yang awalnya ditutup, dibiarkan sampai tekanan turun pada angka 0. Tekan power untuk mematikan alat. Stabilizer di OFF kan. Lalu stop kontak dicabut (Shimadzu Corporation, 1993).

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial 2 x 3 dengan 3 ulangan.

Faktor pertama: jenis rumput

1. Rumput raja (Pennisetum purpureum Schumach x Pennisetum typhoides Burm.)

2. Rumput Taiwan (Pennisetum purpureum Schumach cv Taiwan)

Faktor kedua : dosis pemberian dolomit 1. Pemberian dolomit dosis 0 ton/ha (D0) 2. Pemberian dolomit dosis 12,5 ton/ha (D1) 3. Pemberian dolomit dosis 25 ton/ha (D2).

Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan pada faktor 1 taraf ke-i, faktor 2 taraf ke-j dan ulangan ke-k

µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh faktor 1 ke-i

βj = Pengaruh faktor 2 ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi dari faktor 1 ke-i dan faktor 2 ke-j

16 Data diolah menggunakan program SPSS 16, lalu jika signifikan dilakukan uji lanjut menggunakan kontras ortogonal (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Tinggi rumput tiap minggu mulai 3 MST, diukur dari permukaan tanah sampai daun bendera atau daun yang terpanjang.

2. Jumlah daun tiap minggu mulai 3 MST, dihitung jumlah daun untuk daun yang masih hijau, tidak termasuk bakal daun dan daun yang sudah menguning.

3. Berat segar dan berat kering daun dan batang rumput untuk setiap petak tanam. 4. Analisa protein kasar, serat kasar, Ca, dan Mg dari setiap ulangan.

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Rumput Jumlah Daun

Hasil penghitungan jumlah daun menunjukan terjadinya penurunan rataan jumlah daun pada 9 MST dan 10 MST untuk rumput raja perlakuan D0, sedangkan untuk perlakuan D2 terjadi penurunan dari 9-11 MST (panen). Penurunan rataan jumlah daun untuk perlakuan D1 terjadi lebih cepat daripada perlakuan D0 dan D2 yaitu pada 8 MST. Hal ini disebabkan karena jumlah daun yang tumbuh lebih sedikit daripada daun yang menguning sehingga menurunkan rataan jumlah daun. Daun tanaman yang menguning dapat disebabkan karena tanaman kekurangan nitrogen, dimana nitrogen merupakan bagian dari klorofil (zat hijau daun) yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis (Soepardi, 1983). Pada rumput taiwan tidak terjadi penurunan rataan jumlah daun dari pengamatan setiap minggunya.

Gambar 4. Perubahan Jumlah Daun Rumput Raja (A) dan Rumput Taiwan (B) pada Berbagai Dosis Pemberian Dolomit

Hasil penghitungan rataan jumlah daun pada 3 MST, 8 MST, dan 9 MST (Lampiran 2, 7, dan 8) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) pada jenis rumput. Rataan jumlah daun lebih banyak pada rumput taiwan untuk 3 MST, sedangkan pada 8 dan 9

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3 4 5 6 7 8 9 10 11 J um la h D a un (le m ba r ) Waktu A. Rumput Raja 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Pengamatan (MST) B. Rumput Taiwan 0 ton/ha (D0) 12,5 ton/ha (D1) 25 ton/ha (D2)

18 MST adalah pada rumput raja. Rataan jumlah daun ini menunjukan bahwa pertumbuhan awal rumput raja lebih lambat daripada rumput gajah (cv taiwan), namun pertumbuhannya yang cepat dapat mengalahkan rumput taiwan (BPTHMT

Dokumen terkait