• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jagung

Berdasarkan bukti genetik, antropologi, dan arkeologi diketahui bahwa daerah asal tanaman jagung adalah Amerika Tengah (Meksiko bagian selatan), kemudian dibawa ke Amerika Selatan (Ekuador) sekitar 7.000 tahun yang lalu, dan mencapai daerah pegunungan di selatan Peru sekitar 4.000 tahun yang lalu. Jagung mulai berkembang di Asia Tenggara pada pertengahan tahun 1500an dan pada awal tahun 1600an, yang berkembang menjadi tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, Filipina, dan Thailand (Iriany et al. 2008).

Secara umum, tanaman jagung dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi ± 1300 m dpl, suhu udara 13–38 oC, dan mendapat sinar matahari penuh. Di Indonesia tanaman jagung tumbuh dan berproduksi optimum di dataran rendah sampai ketinggian 750 m dpl. Suhu udara yang ideal untuk perkecambahan benih adalah 30–32 oC dengan kapasitas air tanah 25%-60%. Keadaan suhu rendah dan tanah basah sering menyebabkan benih jagung membusuk. Selama pertumbuhan, tanaman jagung membutuhkan suhu optimum 23–27 oC. Curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman jagung 100–200 mm per bulan. Curah hujan paling optimum adalah 100–125 mm per bulan dengan distribusi yang merata. Tanaman jagung membutuhkan penyinaran matahari penuh, maka tempat penanamannya harus terbuka. Ditempat yang terlindungi (ternaungi), pertumbuhan batang tanaman jagung menjadi kurus dan tongkolnya ringan sehingga produksinya cenderung menurun (rendah) (Rukmana 1997).

Jagung termasuk tanaman berakar serabut yang terdiri dari tiga tipe akar, yaitu akar seminal, akar adventif, dan akar udara. Akar seminal tumbuh dari radikula dan embrio. Akar adventif disebut juga akar tunjang. Akar ini tumbuh dari buku paling bawah, yaitu sekitar 4 cm di bawah permukaan tanah. Sementara akar udara adalah akar yang keluar dari dua atau lebih buku terbawah dekat permukaan tanah. Perkembangan akar jagung tergantung dari varietas, kesuburan tanah, dan keadaan air tanah (Purwono & Hartono 2007).

Menurut AAK (1993) biji jagung terletak pada tongkol (jenggel) yang tersusun memanjang. Pada tongkol/jenggel tersimpan biji-biji jagung yang

menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Pada tanaman jagung terbentuk 1-2 tongkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan bervariasi.

Menurut Purwono dan Hartono (2007) jagung termasuk tanaman yang tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus dalam penanamannya. Tanaman jagung dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol (berasal dari gunung berapi), Latosol dan Grumosol. Pada tanah bertekstur berat (Grumosol) masih dapat ditanami jagung dengan hasil yang baik, tetapi perlu pengolahan secara baik serta aerasi dan drainase yang baik. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (Latosol) merupakan jenis tanah terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur, dan kaya humus. Kemasaman tanah erat hubungannya dengan ketersediaan unsur hara tanaman. Kemasaman tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman jagung 5.6-7.5. Tanaman jagung membutuhkan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik. Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8%. Hal ini dikarenakan kemungkinan terjadi erosi tanah sangat kecil. Daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8% kurang sesuai untuk penanaman jagung.

Cendawan Mikoriza Arbuskula sebagai Bahan Biofertilizer

Biofertilizer adalah pupuk hayati, yang digunakan untuk menambah kesuburan tanah menggunakan diantaranya berbagai bentuk mikroba, dan bahan organik yang tidak tercemari oleh zat kimia yang sangat berguna untuk menambah kesuburan tanah. Menurut Goenadi et al. (1998), diacu dalam Goenadi dan Isroi (2003) pemanfaatan mikroba tanah untuk pertanian telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu pemanfaatan mikroba penambat nitrogen untuk meningkatkan kandungan hara N di dalam tanah. Mikroba tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer adalah mikroba pelarut hara, penambat hara, pengikat hara, dan/ atau pemantap agregat. Pada dasarnya biofertilizer bukan pupuk dalam pengertian konvensional, seperti urea, SP36, atau MOP, sehingga aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh hara yang dibutuhkan tanaman. Aplikasi

biofertilizer ke dalam tanah, dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, sehingga ketersediaan hara berlangsung optimum dan dosis pupuk konvensional dapat dikurangi tanpa menimbulkan penurunan produksi tanaman dan tanah.

Daya dukung sebagian lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal tergolong rendah sebagai akibat dari rendahnya bahan organik tanah. Bahan organik tanah sebagai sumber energi sangat penting artinya bagi aktivitas mikroba tanah. Sebagian dari mikroba tanah tersebut sangat berperan dalam mekanisme efisiensi pelarutan unsur hara di dalam tanah, baik hara yang berasal dari tanah maupun dari pupuk. Oleh karena kadar bahan organik yang rendah, maka aktivitas mikroba tersebut juga rendah. Akibatnya, pupuk kimia yang diberikan ke tanah untuk tanaman, sebagian besar terbuang oleh proses pencucian, penguapan, dan fiksasi. Oleh karena itu, apabila aktivitas mikroba tanah dan/atau bahan organik tanah ditingkatkan, maka efisiensi penyediaan unsur hara dapat ditingkatkan (Goenadi & Isroi 2003)

Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) merupakan salah satu bahan biofertilizer yang dapat digunakan dalam proses pelapisan atau coating benih. Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) merupakan asosiasi antara cendawan tertentu dengan akar tanaman dengan membentuk jalinan interaksi yang komplek. Mikoriza berasal dari kata miko (mykes= cendawan) dan rhiza yang berarti akar. Mikoriza dikenal dengan jamur tanah karena habitatnya berada di dalam tanah dan berada di area perakaran tanaman (rizosfer). Selain disebut sebagai jamur tanah juga biasa dikatakan sebagai jamur akar. Keistimewaan dari jamur ini adalah kemampuannya dalam membantu tanaman untuk menyerap unsur hara terutama unsur hara fosfat (P) (Syib’li 2008, diacu dalam Octavitani 2009).

Menurut Lestari (1998) infeksi yang terjadi karena cendawan mikoriza arbuskula pada tanaman dapat menyebabkan beberapa perubahan pada morfologi dan terutama fisiologi akar. Perubahan terjadi pada konsentrasi senyawa pengatur tumbuh, naiknya laju fotosintesis juga suplai fotosintat dari daun ke akar. Penggunaan cendawan mikoriza sebagai alat biologis dalam bidang pertanian dapat memperbaiki pertumbuhan, produktivitas dan kualitas tanaman tanpa menurunkan kualitas ekosistem tanah. Selain itu aplikasi cendawan mikoriza

arbuskula dapat membantu rehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan produktivitas tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan pada lahan-lahan marginal dan pakan ternak (Syah et al. 2007).

Pada bibit kelapa sawit, keefektifan pupuk dan serapan P dapat meningkat secara nyata dengan inokulasi CMA tersebut (Widiastuti et al. 2002). Widiastuti (2005) menambahkan bahwa adanya cendawan mikoriza arbuskula dapat mempengaruhi pertumbuhannya namun diperlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan respon inokulasinya.

Menurut Octavitani (2009) CMA dapat digunakan secara efektif dalam mengurangi penggunaan pupuk buatan yang merupakan sumberdaya alam tak terbaharukan. Penggunaan pupuk buatan, apalagi yang dilakukan secara tidak bijaksana dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang akan berakibat pada turunnya produksi pertanian. Pertumbuhan tanaman meningkat dengan adanya CMA karena meningkatkan serapan hara, ketahanan terhadap kekeringan, produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh, perlindungan dari patogen akar dan unsur toksik. Penggunaan pupuk hayati dari CMA merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi hasil pertanian.

Pada penelitian Khodijah (2009), CMA di-coating pada benih kedelai dengan bahan perekat dan pelapis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kombinasi bahan perekat tapioka 5% dan bahan pelapis gambut:gipsum 50:50 menghasilkan tinggi tanaman 3 MST, jumlah dan bobot kering bintil akar tertinggi.

Peranan Fosfat pada Tanaman

Tanaman akan menyerap fosfat dalam bentuk ion ortofosfat (H2PO4, HPO4).

Konsentrasi ion ortofosfat dalam tanah sangat tergantung pada kemasaman tanah (pH). Bentuk H2PO4 banyak dijumpai pada tanah masam, sedangkan HPO4

umumnya dijumpai pada tanah alkalis (pH di atas 7.0). Ketersediaan fosfat selain dipengaruhi oleh keasaman tanah, juga dipengaruhi oleh waktu, temperatur dan jumlah bahan organik yang tersedia dalam tanah.

Tanah-tanah pertanian dikawasan tropis di Indonesia mempunyai kandungan fosfat yang rendah. Selain dipengaruhi oleh kemasaman tanah, ikatan unsur-unsur lain dan lambatnya proses mineralisasi juga mempengaruhi ketersediaan unsur fosfat. Kondisi fosfat tanah dapat dikategorikan berdasarkan kriteria rendah (P2O5 < 140 ppm), sedang (P2O5 140-180 ppm) dan tinggi (P2O5 >

180 ppm). Pemberian pupuk fosfat dilakukan pada awal pertanaman, karena lambat tersedia dan kemasaman harus intermediate. Pupuk fosfat Ca3(PO4)2 dan

Fe3(PO4)2 lambat larut dalam air, sedangkan Amonium fosfat (NH4)2PO4 agak

cepat larut dalam air (Jumin 2005).

Unsur fosfat merupakan hara yang dapat bergerak bebas di dalam tanaman, dari akar ke daun, buah, dahan dan sebagainya. Unsur ini penting dalam proses pernafasan dan merupakan bagian dari DNA dan ATP (Darmawan & Baharsjah 2010).

Menurut Jumin (2005) unsur fosfat bermanfaat antara lain dalam 1) pembentukan sel-sel, lemak dan peningkatan albumin, 2) memperbaiki pembungaan, pembuahan dan pembentukan benih, 3) mempercepat pemasakan buah, sehingga dapat mengatasi pengaruh negatif pupuk nitrogen, 4) memperbaiki perkembangan perakaran, khususnya akar-akar lateral dan sekunder, 5) mengurangi kerontokan buah dan memperkuat jerami, 6) menambah ketahanan terhadap penyakit, dan 7) memperbaiki kualitas, khususnya tanaman rumput dan sayuran. Darmawan dan Baharsjah (2010) mengemukakan bahwa unsur fosfat merupakan penghambat pembentukan dari antocyanin yang mengakibatkan berubahnya warna daun menjadi lebih kuning.

Seed Coating

Seed coating merupakan salah satu pendekatan ekonomis untuk meningkatkan kinerja benih. Pelapisan benih akan menjadikan bentuk benih menjadi tidak jelas. Tujuan dari pelapisan benih ini adalah untuk menerapkan zat seperti fungisida, insektisida, safeners, mikronutrien dan senyawa lainnya untuk benih. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan benih untuk menyesuaikan benih yang diproduksinya agar dapat menghindari tekanan spesifik dari lingkungan tertentu (Copeland & McDonald 1995).

Proses pelapisan (coating) melibatkan semua aspek bahan yang menempel pada permukaan benih. Istilah “coated seed” telah diterapkan untuk benih, baik pellet, coated atau covered dengan film perekat. Cara seperti ini dapat digunakan untuk sekitar 90% spesies dengan benih yang berukuran kecil. Biaya dan manfaat dari proses pelapisan ini harus dievaluasi sebelum memilih benih yang akan di

coating. Beberapa benih, dengan nilai agregat yang tinggi, seperti benih bunga hibrida yang diperoleh dalam jumlah kecil, tidak perlu dicoating karena resiko dalam proses pelapisan cukup besar (Taylor & Harman 1990, diacu dalam Almeida et al. 2005). Almeida et al. (2005) menambahkan bahwa banyak benih dari spesies lain yang layak untuk dilakukan proses coating sehingga dapat meningkatkan kualitas dan melindungi benih selama penyimpanan. Perlakuan

coating juga dapat menurunkan infeksi cendawan, seperti perlakuan seed coating

dengan Benomil dan tepung curcuma yang berpengaruh nyata terhadap penurunan tingkat infeksi cendawan C. Capsisi pada benih dan hipokotil cabai (Setiyowati et al. 2007).

Menurut Kuswanto (2003) bahan pelapis (coating) yang akan digunakan untuk melapisi benih harus memiliki persyaratan antara lain dapat mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan, menghambat laju respirasi seminimal mungkin, tidak bersifat toxic terhadap benih, mudah pecah dan larut apabila terkena air sehingga tidak menghambat proses perkecambahan, terutama proses imbibisi namun tidak mudah mencair pula. Bahan coating juga bersifat porus, sehingga benih masih dapat memperoleh oksigen untuk respirasi, bersifat higroskopis, tidak bereaksi dengan pestisida, bersifat perambat dan penyimpan panas yang rendah serta harus mudah didapat dengan harga yang relatif murah, sehingga dapat menekan harga benih.

Bahan perekat adalah bahan yang digunakan sebagai media untuk merekatkan bahan biofertilizer pada benih. Bahan biofertilizer merupakan mikroorganisme yang juga membutuhkan kondisi yang baik selama melapisi benih, dan bahan perekat tersebut juga memberikan pengaruh selama periode penyimpanan. Ada beberapa bahan perekat yang dapat digunakan dalam proses coating, diantaranya natrium alginat, arabic gum dan tapioka. Keistimewaan dari bahan-bahan tersebut adalah memiliki daya rekat yang

tinggi, mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Bahan perekat tersebut telah dicobakan dengan konsentrasi yaitu narium alginat 0.083 g/ml pada benih kacang panjang (Sari 2009), arabic gum 0.25 g/ml pada benih buncis (Yuningsih 2009) dan benih kacang panjang (Sari 2009), dan tepung tapioka 0.05 g/ml pada benih kedelai (Khodijah 2009).

Natrium alginat merupakan salah satu bahan kimia yang banyak digunakan sebagai bahan baku makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, kertas, detergen, cat, tekstil, vernis, fotografi, kulit buatan dan lain-lain. Pada skala perdagangan natrium alginat merupakan salah satu komoditas ekonomi yang sedang meningkat permintaannya dari tahun ke tahun (Prasetya 2009).

Menurut An Ullman’s (1998), diacu dalam Syarif (2008) alginat merupakan salah satu kelompok polisakarida yang terbentuk dalam dinding sel algae coklat dengan kadar mencapai 40% dari total berat kering dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan sel algae. Alginat disintesa pertama kali oleh Stanford pada tahun 1880. Pada awalnya alginat dianggap sebagai suatu asam polimannuronat. Sejak tahun 1964 asam alginat telah dikenal sebagai kopolimer dari asam L-guluronat dan asam D-mannuronat. Pada

prinsipnya alginat terdiri dari 3 macam struktur yaitu homopolisakarida α-1,4-L-

guluronan dan β-1,4-D-mannuronan, serta heteropolisakarida yang merupakan

bentuk selang seling asam α-1,4-L-guluronat dan β-1,4-D-mannuronat.

Pada dunia industri dan perdagangan, algin dikenal dalam bentuk asam alginat atau garam alginat. Asam alginat adalah suatu getah selaput (membran mucilage) yang disebut juga gummi alami, sedangkan alginat adalah bentuk garam dari asam alginat, yang hakekatnya merupakan suatu polisakarida (Yunizal & Riyanto 2010).

Arabic gum adalah senyawa komplek yang terdiri dari senyawa arabinogalakta, oligosakarida, dan polisakarida. Keunggulannya adalah dapat larut dalam air dingin, kelarutannya dalam air cukup tinggi (>50%), pengemulsi dengan baik dan dapat menstabilkan emulsi, berviskositas rendah pada konsentrasi tinggi, dan memiliki pH berkisar antara 4.0–4.8 (Fennema 1996).

Menurut Tranggono (1990), diacu dalam Sulastri (2008) arabic gum atau gum arab dapat digunakan untuk memperbaiki kekentalan atau viskositas, tekstur

dalam bentuk makanan. Selain itu gum arab dapat mempertahankan flavor dari bahan yang dikeringkan dengan pengering semprot. Dalam hal ini gum arab membentuk lapisan yang dapat melapisi partikel flavor, sehingga melindungi dari oksidasi, evaporasi, dan absorbsi air dari udara. Didalam industri pangan gum arab digunakan sebagai pengikat aroma, penstabil, pengemulsi dalam pembuatan es krim.

Pada pelapisan benih dengan bahan perekat arabic gum dan isolat methylobacterium spp belum menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap vigor benih buncis selama periode penyimpanan 20 minggu (Yuningsih 2009). Berbeda dengan penelitian Sari (2009) yang menunjukkan bahwa penggunaan perekat arabic gum lebih baik dari pada natrium alginat, yang ditandai dengan rata-rata indeks vigor dan viabilitas benih kacang panjang yang masih tinggi di periode penyimpanan 12 minggu.

Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu. Tapioka yang diolah menjadi sirup glukosa dan destrin sangat diperlukan oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sop, makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain.

Ampas tapioka banyak dipakai sebagai campuran makanan ternak. Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi. Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu 1) warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna putih, 2) kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah, 3) banyaknya serat dan kotoran; usahakan agar banyaknya serat dan kayu yang digunakan harus yang umurnya kurang dari 1

tahun karena serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak, 4) tingkat kekentalan; usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi. Hindari penggunaan air yang berlebih dalam proses produksi ini (Radiyati & Agusto 1990).

Dokumen terkait