• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kajian Teori

1. Prestasi Belajar Matematika

a. Belajar

Seseorang belajar dapat secara sadar atau tidak disadari, dapat dalam aktivitas sederhana atau kompleks, dapat secara mandiri atau dengan bantuan orang lain, dapat belajar di sekolah, di rumah, di lingkungan kerja atau di masyarakat. Belajar sangat erat kaitannya dengan pengalaman, pengalaman seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain atau lingkungannya. Menurut Hanafiah (2009: 68) belajar tidak hanya menghafal, melainkan mengalami, di mana peserta didik dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, melalui partisipasi aktif secara inovatif dalam proses pembelajaran.

Definisi belajar menurut Jerome Bruner (dalam Trianto, 2010: 15) adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruksi) pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dalam pandangan konstruktivisme, belajar bukanlah semata-mata mentransfer pengetahuan yang ada di luar dirinya, tetapi belajar lebih pada bagaimana otak memproses dan menginterpretasikan pengalaman yang baru dengan pengetahun yang sudah dimilikinya dalam format yang baru.

Paul Suparno (1997: 61) mendefinisikan belajar sebagai proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pemahaman fisis, dan lain-lain. Selain itu Paul Suparno juga mendefinisikan belajar sebagai proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.

commit to user

Syaiful Sagala (2011: 12) menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku dan ketrampilan dengan cara mengolah bahan ajar. Lebih lanjut Menurut W.S. Winkel (2005: 59) belajar boleh dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses interaksi aktif dengan lingkungan untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap melalui latihan atau pengalaman. Siswa menghubungkan sendiri pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memperoleh pengalaman yang baru.

b. Matematika

Matematika merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang dipelajari di setiap jenjang pendidikan. Matematika adalah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak dengan simbol tertentu yang saling berkaitan satu sama lain. Menurut Johnson dan Myklebust (dalam Mulyono Abdurahman, 2010: 252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoretisnya untuk memudahkan berpikir. Lerner (dalam Mulyono Abdurrahman, 2010: 252) menambahkan bahwa matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkomunikasikan ide mengenai elemen dan kuantitas.

Menurut James dan James (dalam Erman Suherman dkk, 2003: 16) matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu

commit to user

aljabar, analisis, geometri. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir. Oleh karena itu logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika. Dan menurut Soedjadi (2000: 4) matematika adalah ilmu pengetahuan yang eksak terorganisasi secara sistematik tentang penalaran, logika dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan yang membantu orang lain dalam mengintepretasikan secara tepat berbagai ide dan kesimpulan.

Masih berkaitan dengan hal di atas, Cornelius (dalam Mulyono Abdurrahman, 2010: 253) juga mengemukakan bahwa lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan 1) sarana berpikir yang jelas dan logis, 2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, 4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan 5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap pengembangan budaya.

Jika ditinjau dari sudut pandang matematika sebagai pelajaran, Ebbut dan Straker dalam Depdiknas (2006: 3) mendefinisikan matematika sebagai berikut:

a. Matematika sebagai penulusuran pola dan hubungan.

b. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.

c. Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving).

d. Matematika sebagai alat berkomunikasi.

Sedangkan materi pada mata pelajaran matematika diklasifikasikan menjadi:

a. Fakta (fact).

b. Pengertian (concept). c. Keterampilan penalaran. d. Keterampilan algoritmik.

commit to user

f. Keterampilan melakukan penyelidikan (investigation).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang dapat mengekspresikan hubungan-hubungan yang logis sehingga memudahkan manusia untuk berpikir dalam penyelesaian masalah serta mengkomunikasikan suatu ide tertentu dengan bahasa simbolis.

c. Prestasi Belajar Matematika

Prestasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang ingin dicapai seseorang setelah melakukan suatu usaha. Apabila dikaitkan dengan belajar berarti menunjuk pada suatu prestasi yang dicapai oleh seseorang yang belajar dalam selang waktu tertentu. Sutrainah Tirtonegoro (2001: 43) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai setiap peserta didik dalam periode tertentu. Menurut Mulyono Abdurrahman (2009: 37) prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Selain itu menurut Arif Gunarso (dalam Hamdani, 2011: 138) prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar matematika dalam penelitian ini adalah kemampuan aktual yang berwujud penguasaan keterampilan atau pengetahuan, yang diperoleh selama mengikuti proses pembelajaran matematika dalam periode tertentu, yang dapat diukur tinggi rendahnya dengan jalan memberi tugas-tugas kepada siswa yang relevan dengan sasaran yang diinginkan, yang hasilnya ditunjukkan dengan nilai tes prestasi belajar.

2. Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

Terkait dengan pendekatan pembelajaran matematika, pendekatan matematika realistik saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, yang

commit to user

selanjutnya dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (RME). Pendekatan ini merupakan adaptasi dari pendekatan Realistic

Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di Belanda oleh

Freudenthal. Dalam kerangka Realistic Mathematics Education, Freudenthal menyatakan bahwa Mathematics is human activity, karenanya pembelajaran matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia (Erman Suherman, dkk, 2003: 146). RME merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan aktivitas insani, dalam pembelajarannya digunakan konteks yang sesuai dengan situasi di Indonesia. Dasar filosofi yang digunakan dalam RME adalah konstruktivisme yaitu dalam memahami suatu konsep matematika siswa membangun sendiri pemahaman dan pengertiannya.

Menurut Zulkardi dalam Atmini Dhoruri (2010), RME adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan keterampilan process of doing mathematics, berdiskusi, berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Hal ini diperkuat oleh pendapat Freudenthal dalam Ariyadi Wijaya (2012: 20) bahwa matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap pakai, melainkan suatu bentuk kegiatan dalam mengonstruksi konsep matematika.

Karakteristik dari pendekatan RME adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengkonstruksi atau membangun pemahaman dan pengertiannya tentang konsep yang baru dipelajarinya. Treffers dalam Ariyadi Wijaya (2012: 21) merumuskan lima karakteristik RME, yaitu:

a. Menggunakan konteks dunia nyata

Pendidikan matematika realistik menekankan pentingnya eksplorasi fenomena kehidupan sehari-hari. Pengetahuan informal yang siswa peroleh dari kehidupan sehari-hari digunakan sebagai

commit to user

permasalahan kontekstual untuk dikembangkan menjadi konsep formal matematika.

Penggunaan konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Dengan demikian, siswa dapat melibatkan dirinya dalam kegiatan belajar tersebut dan dunia nyata dapat menjadi alat pembentukan konsep. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

b. Menggunakan model-model (matematisasi)

Matematisasi bukan sekedar suatu kesatuan proses utuh dalam mencari maupun membangun matematika yang relevan dari suatu fenomena atau konteks. Dalam pandangan Frudenthal, yang lebih penting dari matematisasi dalam pembelajaran matematika adalah sebagai suatu proses peningkatan dan pengembangan ide matematika secara bertahap yang disebut level-raising. Suatu aktivitas pada suatu tahap akan menjadi objek analisis pada tahap selanjutnya.

RME dimulai dengan suatu hal yang nyata dan dekat dengan siswa, maka siswa dapat mengembangkan sendiri model matematika, sehingga dapat menambah pemahaman mereka terhadap matematika. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

Pengembangan pengetahuan informal siswa menjadi konsep formal matematika merupakan suatu proses yang bertahap. Proses tersebut dapat didukung dengan penggunaan model dan simbol. Simbol dan model tersebut akan lebih bermakna bagi siswa dan juga dapat dimanfaatkan untuk generalisasi dan abstraksi konsep matematika.

commit to user c. Menggunakan produksi dan konstruksi

Pendidikan matematika realistik merupakan pembelajaran yang terpusat pada siswa (student-centered) sehingga siswa didorong untuk lebih aktif dan kreatif dalam mengembangkan ide dan strategi. Untuk selanjutnya, ide dan strategi yang ditemukan dan dikembangkan oleh siswa digunakan sebagai dasar pembelajaran.

d. Menggunakan interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Salah satu prinsip pendidikan matematika realistik adalah mengembangkan interaksi antar siswa untuk mendukung proses sosial dalam pembelajaran sehingga memungkinkan terjadi komunikasi dan negosiasi antar siswa. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan.

e. Menggunakan intertwinement (keterkaitan)

Prinsip terakhir dari pendidikan matematika realistik adalah menghubungkan beberapa topik dalam satu pembelajaran. RME menempatkan keterkaitan antar konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, suatu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan (walau ada konsep yang dominan). Hal ini menunjukkan bagaimana manfaat dan peran suatu topik atau konsep terhadap topik yang lain.

Pembelajaran dengan pendekatan RME menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri. Menurut Gravemeijer dalam Tarigan (2006: 3) masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan

commit to user

dijadikan starting point dalam pembelajaran matematika. Konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa dengan memperhatikan konteks itu berlangsung dalam proses yang oleh Freudenthal dinamakan reinvensi terbimbing (guided reinvention).

Gagasan dasar reinvensi terbimbing lahir dari keyakinan Freudenthal yang memandang bahwa matematika bukan sebagai bahan pelajaran, melainkan sebagai kegiatan manusiawi (human activity). Demikian juga pandangan Freudenthal bahwa matematika terkait dengan realitas, dekat dengan dunia anak, dan relevan bagi masyarakat, sehingga apa yang harus dipelajari bukanlah matematika sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai suatu kegiatan, yakni proses matematisasi matematika. Menurut Marsigit (2010: 1) terdapat dua macam matematisasi, yaitu: (1) matematisasi horizontal dan (2) matematisasi vertikal. Matematisasi horisontal berproses dari dunia nyata ke dalam simbol-simbol matematika. Proses terjadi pada siswa ketika ia dihadapkan pada problematika situasi nyata. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi di dalam sistem matematika itu sendiri, misalnya: penemuan strategi menyelesaikan soal, mengkaitkan hubungan antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus.

Terkait dengan human activity di atas Freudenthal dalam Tarigan (2006: 3) menyatakan bahwa matematika sebagai kegiatan manusiawi adalah aktivitas pemecahan masalah, pencarian masalah, tetapi juga aktivitas pengorganisasian materi pelajaran. Ini dapat berupa materi-materi dari realitas yang harus diorganisasikan menurut pola-pola matematis, yaitu jika masalah dari realitas hendak dipecahkan. Dapat juga ini berupa materi matematika, baik yang baru maupun yang lama, baik yang diciptakan sendiri maupun oleh orang lain, yang harus ditata menurut gagasan baru agar lebih mudah dimengerti dalam konteks yang lebih luas, atau dengan pendekatan aksiomatik.

Dalam proses reinvensi terbimbing, siswa diberi kesempatan untuk mengalami proses yang mirip dengan penciptaan matematika, yaitu

commit to user

membangun sendiri alat dan gagasan matematika, menemukan sendiri hasilnya, serta memformalkan pemahaman dan strategi informalnya. Siswa didukung untuk mencipta ulang (to reinvent) matematika di bawah panduan guru dan bahan pelajaran. Untuk mencipta ulang matematika formal dan abstrak, siswa diarahkan bergerak secara bertahap dari penggunaan pengetahuan dan strategi penyelesaian informal, intuitif, dan konkret menuju ke arah yang lebih formal, abstrak dan baku.

Frans Moerland yang dikutip Atmini Dhoruri (2008: 4-5) memvisualisasikan proses matematisasi pembelajaran matematika realistik seperti pembentukan gunung es (iceberg). Proses pembentukan gunung es dilaut selalu diawali dari bagian dasar di bawah permukaan laut dan seterusnya akhirnya terbentuk puncak gunung es yang muncul di atas permukaan laut. Bagian dasar gunung es lebih luas dari pada puncaknya, dengan demikian konstruksi gunung es tersebut menjadi kokoh dan stabil. Proses ini diadopsi pada proses matematisasi dalam matematika realistik, yaitu dalam pembelajaran selalu diawali dengan matematisasi horizontal kemudian meningkat sampai matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal lebih ditekankan untuk membentuk konstruksi matematika yang kokoh sehingga matematisasi vertikal lebih bermakna bagi siswa.

Proses pembelajaran dengan pendekatan RME menggunakan masalah kontekstual sebagai titik awal dalam belajar matematika. Dalam hal ini siswa melakukan aktivitas matematika horizontal, yaitu siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasikan aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Siswa bebas mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Kemudian dengan atau tanpa bantuan guru, menggunakan matematika vertikal (melalui abstraksi maupun formalisasi) tiba pada tahap pembentukan konsep. Setelah dicapai pembentukan konsep, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika tersebut kembali pada masalah kontekstual, sehingga dapat memperkuat pemahaman konsep.

Dokumen terkait