• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Ekosistem Sungai

Sungai sebagai salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia termasuk untuk menunjang pembangunan perekonomian. Akan tetapi sebagai akibat adanya peningkatan kegiatan pembangunan di berbagai bidang maka baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempunyai dampak terhadap kerusakan lingkungan termasuk didalamnya pencemaran sungai (Yudo 2010). Ekosistem sungai sangat rentan terhadap pengaruh perubahan fisik, kimia dan bakteri. Perubahan-perubahan ini penting dalam perencanaan kawasan yang berpengaruh kepada kesehatan manusia yang bertempat tinggal di sekitar atau sepanjang sungpai (Niewolak 1999).

Perairan sungai adalah suatu perairan yang didalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir. Poi de Neiff et al. (2006) in Zilli et al. (2008) mengatakan pada habitat perairan sungai, vegetasi tepian (riparian dan makrofita) berperan penting sebagai sumber bahan organik, baik sebagai allochtonous dan autochthonous maupun sebagai faktor penyusun kestabilan komunitas makrozoobentos.

Chopra et al. (2012) mengatakan sungai mempunyai peran dalam membawa limbah industri, limbah perkotaan, pupuk dan air limpasan dari pertanian yang terbawa oleh arus. Welch (1980) arus mempengaruhi transport sedimen dan mengikis substrat dasar perairan sehingga dapat dibedakan menjadi substrat batu, pasir, liat, ataupun debu.

Odum (1994) mengatakan pH merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya. Effendi (2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 – 8,5. Pescod (1973) juga mengatakan bahwa nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, kandungan oksigen, dan adanya ion-ion. Dari hasil aktivitas biologi dihasilkan CO2 yang merupakan hasil respirasi, CO2 inilah yang akan membentuk buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil. Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan

4

dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Semakin tinggi suhu di perairan keberadaan oksigen (DO) semakin kecil, pada batas-batas tertentu dapat bersifat toksik.

Kondisi Kawasan Penelitian

Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2°57’ - 3°16’ LU dan 98°33’ - 99°27’ BT, dengan luas wilayah 2.497,72 Km2 dari luas Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Deli Serdang dikenal sebagai salah satu daerah dari 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang besar sehingga merupakan daerah yang memiliki peluang investasi cukup menjanjikan dan pemerintahannya berpusat di Kota Medan (PEMKAB Deli Serdang 2012). Kabupaten Deli Serdang terdapat 5 (lima) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Belawan, DAS Deli, DAS Belumai, DAS Percut, dan DAS Ular, dengan luas areal 378.841 ha, yang kesemuanya bermuara ke Selat Malaka dengan hulunya berada di Kabupaten Simalungun, dan Kabupaten Karo. Pada umumnya sub DAS ini dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan sebagai upaya peningkatan produksi pertanian (USAID & ESP 2006).

BPS Deli Serdang (2012) mengatakan bahwa ada berbagai industri di Kabupaten Deli Serdang baik industri skala besar, menengah dan kecil yang menjadi andalan di Kabupaten Deli Serdang, jumlah industri yang ada di Kabupaten Deli Serdang mencapai 12.397 unit. Untuk wilayah Kecamatan Tanjung Morawa diantaranya industri keramik, industri obat nyamuk dan mie instan, industri batu bata, Industri pembuatan kacamata, industri jam, industri mebel kayu, dan industri tekstil.

Pencemaran Perairan

Stein et al. (2002) mengatakan aktivitas manusia telah memiliki pengaruh besar pada sistem sungai di seluruh dunia. Pola perubahan sungai yang secara dramatis telah merubah pola aliran musiman, dan mengurangi hubungan antara sungai dan masukan dari daratan. Butiuc-Keul et al. (2011) mengatakan zat-zat beracun bisa masuk ke danau, sungai dan air lainnya, baik yang terlarut maupun yang mengendap di dasar yang mengakibatkan pencemaran perairan. Pencemaran bisa berasal dari limbah industri (timah, tembaga, nikel, pelastik dll), limbah rumah tangga, limbah pertanian dan perkebunaan. Selain itu, adanya fragmentasi habitat memberikan pengaruh terhadap proses keseimbangan ekosistem sungai (Zwick 1992).

Adibroto (2002) zat pencemar sungai dapat dibagi menjadi : 1) Organisme patogen (bakteri, virus dan protozoa), 2) Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi, 3) Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah perternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri) yang dalam proses dekomposisi oleh mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian menjadi zat-zat inorganik) memerlukan oksigen hingga nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) dari suatu badan air tinggi, 4) Bahan anorganik yang larut dalam air

5 (asam, garam, logam berat dan senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit dan sianida),5) Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (< 1 ppm), 6) Zat-zat / bahan-bahan radioaktif, 7) Pencemaran termal; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen 8) Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, Partikel yang melayang di dalam air disebut colloidal solid dan air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. Beberapa dari hasil penelitian, mengatakan bahwa tingginya tingkat pencemaran sungai lebih disebabkan oleh aktivitas di sekitar sungai. Trofisa (2011) mengatakan Sungai Ciliwung mengalami penurunan dari hulu ke hilir, sumber-sumber pencemar di DAS Ciliwung Kota Bogor yaitu limbah dari domestik/rumah tangga, industri, peternakan dan pertanian. Yeanny (2007) mengatakan adanya kegiatan pemukiman, industri, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pertambakan di Sungai Belawan mempengaruhi lingkungan sehingga mengganggu kehidupan organisme air, berdasarkan indeks keanekaragaman organisme makrozoobentos di sungai tersebut tergolong rendah. Asra (2009), mengatakan sebagian besar masyarakat mendirikan rumah di sepanjang aliran Sungai Kumpeh. Masyarakat memanfaatkan Sungai Kumpeh untuk kehidupan sehari-harinya, seperti kebutuhan air untuk minum, mandi, cuci dan kakus. Dari hasil pengamatan di lapangan diamati bahwa limbah rumah tangga penduduk mengalir ke sungai Kumpeh, hal ini menyebabkan kandungan bahan bahan pencemar pada sungai tersebut tinggi.

Jenis-jenis Pencemaran Sungai

Yudo (2010) mengatakan pencemaran sungai umumnya berasal dari limbah domestik maupun limbah non domestik seperti limbah dari perumahan, perkantoran, pabrik dan industri. Umumnya aktivitas antropogenik berpotensi mempengaruhi sistem kualitas lingkungan perairan, seperti limbah domestik, limbah padat, pertanian, industri dan aktivitas lainnya (Barros et al. 2008).

Air limbah dari sektor rumah tangga umumnya dibuang pada pagi hari hingga sore hari dan mencapai puncaknya pada sekitar pukul 07.00 – 10.00 dan 16.00 – 20.00. Sekitar 60% - 80% dari total air yang digunakan dalam rumah tangga dibuang sebagai limbah cair. Limbah tersebut secara langsung maupun tidak akan mencapai badan air, sehingga mempengaruhi kualitas badan air (Sudarmadji, 1995 in Nurmayanti, 2002). Pemakaian deterjen yang berlebihan akan mencemari lingkungan. Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan perairan yang dapat menimbulkan ganggunan kesehatan seperti kanker. Deterjen sulit terdegradasi dan akhirnya terakumulasi di alam, komposisi kimia deterjen umumnya terdiri dari beberapa bahan penyusun antara lain sulfaktan Alkil Benzen Sulfonat dan senyawa fosfat, yang dapat menurunkan nilai pH dan oksigen

6

terlarut diperairan dan pada akhirnya akan berdampak pada biota perairan (Susana dan Ricky 2009). Keberadaan deterjen yang berlebih diperairan sangat berbahaya bagi lingkungan karena bersifat karsinogen, menimbulkan bau dan menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai (Ariffin et al. 2007 in Maryani 2010).

Pratiwi (2010) mengatakan pencemaran lingkungan akibat industri tekstil adalah berupa pencemaran debu dan limbah cair yang berasal dari tumpahan dan air cucian tempat pencelupan larutan kanji dan proses pewarnaan. Kandungan limbah yang dihasilkan tergantung dari pewarna dan sulfur, limbah-limbah yang dihasilkan akan dialirkan ke kolam-kolam penampungan dan selanjutnya di buang ke sungai. Selain industri tekstil, industri kertas juga memberikan dampak terhadap pencemaran sungai. Industri kertas merupakan salah satu industri yang mengeluarkan air limbah dalam jumlah besar dan mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi. Namun disisi lain, industri kertas merupakan salah satu industri penting di indonesia yang cukup besar kontribusinya terhadap pendapatan negara dari nilai ekspornya (Kristaufan et al. 2010). Nurhayati dan Imam Mahmudin (2012) mengatakan limbah industri pulp dan kertas terdiri atas tiga fase yaitu fase cair, padat dan gas. Setiap fase limbah tersebut diolah dengan cara diminimalisasi konsentrasinya dengan berbagai metode pengolahan limbah. Pencemaran air oleh industri pulp dan kertas dapat merugikan di bidang ekonomi dan sosial, seperti adanya bahan-bahan pengotor pada perairan, sehingga menyebabkan perairan tersebut tidak dapat dimanfaatkan. Selanjutnya Isyuniarto

et al. (2007) mengatakan bahwa limbah cair industri kertas pada umumnya berwarna putih susu kecoklatan dengan busa yang memenuhi permukaan air sungai. Hal ini disebabkan karena limbah mengandung selulosa (bahan dasar

pulp), bila tertimbun di dasar sungai atau lahan terbuka akan menimbulkan bau busuk.

Makrozoobentos

Makrozoobentos memegang beberapa peran penting di suatu perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind 1985). Malmqvist (2002) mengatakan bahwa pergerakan hewan invertabrata di sungai dipengaruhi oleh sejumlah faktor dengan rentang yang berbeda-beda. Stein et al. (2002) mengatakan tingkat aktivitas manusia yang tinggi dapat mempengaruhi perubahan kondisi lingkungan. Perubahan hidrologi, geomorfologi dan biologi yang berubah terus menerus baik gangguan dari dalam maupun dari luar yang mempercepat penurunan kualitas air. Organisme dasar termasuk makrozoobentos memiliki peranan penting dalam menghubungkan antara proses kimia dan fisika pada sedimen-permukaan perairan dan kolom air, seperti proses degradasi bahan organik, metabolisme, dan penyebaran bahan pencemar seperti logam berat dan minyak (Wild et al. 2004).

Masing-masing jenis dari makrozoobentos akan memberikan respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan, namun spesies yang dapat hidup pada suatu kondisi ekstrim akan menderita stres fisiologi sehingga dapat digunakan sebagai indikator biologi (Sastrawijaya 1991). Selain itu Angradi dan Jicha (2010)menyatakan bahwa organisme makrozoobentos memberikan respon yang

7 berbeda terhadap perbedaan jenis masukan limbah ke perairan seperti logam berat, bahan organik, dan TSS.

Picard et al. (2003) menyatakan bahwa perbedaan musim mempengaruhi kepadatan spesies dan struktur komunitas makrozoobentos, hal ini dikarenakan perbedaan ketinggian permukaan air. Menurut Horsak et al. (2009) menyatakan bahwa, adanya kanalisasi dan perubahan fisik sungai lainnya juga mempengaruhi struktur komunitas makrozoobentos, hal ini dikarenakan proses kanalisasi mempengaruhi kondisi penumpukan sedimen, sehingga berpengaruh terhadap biota yang hidup di sedimen tersebut. Pengaruh interaksi antara biota makrozoobentos dengan bahan pencemar, terutama pestisida yang berasal dari buangan limbah pertanian dapat menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos (Pestana et al. 2009).

Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan

Makroinvertebrata yang hidup di sungai yang berdekatan dengan kawasan pertanian, sehingga secara terus-menerus mendapat masukan limbah pertanian berupa pestisida. Hal ini jika terjadi tanpa terkendali dalam jangka waktu yang panjang, akan mengakibatkan hilang biodiversitas perairan termasuk hilangnya komunitas makrozoobentos (Tilman et al. 2001). Keberadaan hewan avertebrata bentik tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor perairan, terutama fisika, kimia, dan biologis. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi sebaran dan jumlah hewan per-satuan luas tertentu. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi faktor pembatas dalam penggunaan hewan avertebrata bentik sebagai bioindikator (Wardhana 1999). Pengamatan kualitas air berdasarkan sistem biologi banyak menggunakan biota makrozoobentos, yang digunakan untuk mengkaji dan mengidentifikasi kualitas perairan. Identifikasi menggunakan biota mekrozoobentos relatif lebih sederhana dan mereka tersebar secara luas di banyak tipe sungai (Hering et al. 2003). Identifikasi makroinvertebrata perairan untuk tingkatan famili, sudah cukup dapat digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan lingkungan secara dini, yang kemudian di dukung melalui analisis kimia dan fisika perairan (Armitage et al. 1983).

Menurut Pastuchova (2006) perairan dengan kondisi oksigen yang baik ditemukan komunitas makrozoobentos yang lebih beragam. Wood et al. (2001) menyatakan bahwa perbedaan aliran sungai dan temperatur mempengaruhi struktur habitat dan komunitas makrozoobentos, karena biota merespon adanya perbedaan kondisi perairan. Organisme makrozoobentos memberikan respon yang berbeda terhadap perbedaan jenis masukan limbah ke perairan seperti logam berat, bahan organik, dan TSS (Angradi dan Jicha 2010).

Sebagai bioindikator pencemaran organik, kelompok hewan avertebrata, terutama yang berukuran makroskopis memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan organisme lainnya. Kelompok ini relatif hidup menetap dalam waktu yang cukup lama pada berbagai kondisi air. Beberapa jenis diantaranya dapat memberikan tanggapan terhadap perubahan kualitas air sehingga dapat memberikan petunjuk terjadinya pencemaran. Selain itu hewan bentik relatif mudah dikoleksi dan diidentifikasi (Wardhana 1999). Pestana et al.

(2009) pengaruh interaksi antara biota makrozoobentos dengan bahan pencemar, terutama pestisida yang berasal dari buangan limbah pertanian dapat

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai Belumai merupakan salah satu sungai di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatra Utara. Sungai ini melewati tiga kecamatan yaitu Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir (STM Hilir), Kecamatan Tanjung Morawa, dan Kecamatan Batang Kuis. Sepanjang aliran Sungai Belumai terdapat berbagai macam aktivitas seperti perumahan, perindustrian, maupun pertanian. Pembuangan limbah secara terus menerus dalam jumlah yang berlebih ke dalam perairan akan mempengaruhi kualitas perairan terutama kondisi fisik dan kimia perairan yang selanjutnya berdampak pada degradasi lingkungan perairan. Barros

et al. (2008) mengatakan bahwa aktivitas antropogenik berpotensi mempengaruhi sistem kualitas lingkungan perairan, seperti masuknya limbah domestik, limbah padat, kegiatan pertanian, kegiatan industri dan aktivitas lainnya. Angradi dan Jicha (2010) mengatakan terdapat banyak penyebab penurunan kualitas air di perairan sungai, yang berasal dari buangan industri dan perkotaan, berupa limbah logam berat, serta masukan nutrien yang berasal dari limbah pemukiman dan pertanian.

Tingginya masukan limbah yang masuk ke Sungai Belumai telah memberikan dampak terhadap perubahan kualitas perairan. Salah satu dampak terjadinya penurunan kualitas air di Sungai Belumai terlihat dari penggunaan masyarakat terhadap sungai tersebut. Hasil penelitian Batubara (2011) menunjukkan bahwa masyarakat yang sering memanfaatkan Sungai Belumai sebagai wadah untuk mandi, cuci, kakus (MCK) lebih rentan terjangkit penyakit. Selain dampak pada kesehatan masyarakat, degradasi kualitas fisika kimia perairan juga berdampak pada organisme perairan. Wawancara yang dilakukan kepada beberapa masyarakat yang ada disekitar Sungai Belumai, menghasilkan informasi bahwa telah terjadi penurunan dalam jumlah dan jenis organisme yang ada di Sungai Belumai. Nichols (2003) menyatakan bahwa adanya aktivitas manusia seperti masukan limbah ke dalam perairan mempengaruhi komposisi dan kelimpahan spesies makrozobentos yang terlihat relatif konstan.

Kualitas dari suatu perairan dapat dilihat dari dampak yang diberikan terhadap organisme yang ada di dalamnya. Salah satu organisme yang dapat dijadikan indikator untuk melihat kualitas lingkungan perairan adalah makrozoobenthos. Menurut Sauco et al. (2010) spesies dasar termasuk makrozoobentos dapat mendeteksi adanya stressor (pencemar) di perairan, dengan demikian makrozoobentos dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran perairan, yang berhubungan dengan pencemaran sedimen oleh bahan beracun dan berbahaya

Perumusan Masalah

Peningkatan aktivitas masyarakat yang ada di sekitar Sungai Belumai baik aktivitas industri, domestik maupun aktivitas pertanian telah meningkatkan jumlah limbah yang masuk ke perairan. Tingginya masukan limbah ke perairan tersebut diduga telah memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan. Dari aspek kesehatan, masyarakat telah merasakan adanya dampak dari perairan sungai

2

terhadap gangguan iritasi mata dan alergi yang timbul di sekitar daerah sungai, sedangkan dampak secara ekologi dapat dirasakan oleh masyarakat melalui penurunan hasil tangkapan ikan. Beberapa jenis ikan telah jarang ditemukan di Sungai Belumai. Akan tetapi selama ini belum dapat dipastikan apa yang menyebabkan perubahan kualitas air tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pemantauan terhadap status kualitas perairan sungai, sehingga dapat dijadikan landasan awal dalam pengelolaan sungai.

Makrozoobentos merupakan salah satu organisme perairan yang dapat dijadikan indikator dalam penentuan status kualitas perairan, hal ini dikarenakan sifat dari makrozoobentos yang cenderung hidup menetap di dasar perairan yang mobilitas pergerakannya relatif rendah, sehingga perubahan kualitas perairan akan memberikan dampak terhadap makrozoobenthos yang tergolong sensitif terhadap pencemaran. Hering et al. (2003) mengatakan dalam pengamatan kualitas air berdasarkan sistem biologi banyak menggunakan biota makrozoobentos, yang digunakan untuk mengkaji dan mengidentifikasi kualitas perairan. Identifikasi menggunakan biota mekrozoobentos relatif lebih sederhana dan mereka tersebar secara luas di banyak tipe sungai. Hubungan kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas makrozoobentos, diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi Sungai Belumai serta diharapkan dapat menduga sumber dari bahan pencemar yang memberikan dampak pada sungai. Sehingga dapat dijadikan langkah awal dalam pengelolaan perairan sungai dan meminimalisir pencemaran limbah (Gambar 1).

Gambar 1 Pendekatan masalah dalam mengkaji hubungan kondisi lingkungan terhadap struktur komunitas makrozoobentos

Kondisi Lingkungan Sungai Belumai (-) Hidrologi Kegiatan antropogenik

Kualitas Air Struktur komunitas

Makrozoobentos Substrat Makrozoobentos Lingkungan Perairan komunitas Makrozoobentos (+)

8

menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos.

3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Sungai Belumai Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Pengambilan sampel dilakukan dari bulan Maret sampai Mei 2013, di 4 stasiun sebanyak 3 kali pengulangan, selama 3 bulan dengan interval waktu 1 bulan. Penentuan stasiun, berdasarkan pertimbangan dari beban masukan yang berbeda dari setiap lokasi, sehingga ditetapkan tiga kecamatan yang menjadi lokasi pengambilan sampel, yaitu stasiun 1 di kecamatan STM Hilir, stasiun 2 dan di Kecamatan Tanjung Morawa dan stasiun 4 di Kecamatan Batang Kuis. Jarak antar stasiun ditentukan berdasarkan pertimbangan dari penentuan stasiun berdasarkan perbedaan beban masukan limbah (Tabel 1). Tabel 1 Lokasi stasiun penelitian berdasarkan karakteristik beban masukan ke

Sungai Belumai

Lokasi Koodinat Jarak antar stasiun Kriteria stasiun pengamatan Stasiun 1 3°26'6.27"LU-

98°44'23.55"BT

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km.

Merupakan daerah kawasan yang sedikit terdapat aktivitas. Stasiun ini digunakan sebagai kawasan yang dianggap masih sedikit mendapatkan beban masukan bahan pencemar. Berada di Kecamatan STM Hilir. Stasiun 2 3°31'4.03"LU- 98° 47'6.72" BT Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Merupakan daerah perkotan, perumahan, dan daerah lokasi Perusahaan Daerah Air Minum. Stasiun ini dijadikan perwakilan dari masukan bahan pencemar kegiatan aktivitas masyarakat. Berada di Kecamatan Tanjung Morawa.

Stasiun 3 3°32'58.45" LU- 98° 47'19.06"BT

Stasiun 3 ke stasiun 4 yaitu +

4,8 km.

Merupakan kawasan industri. Stasiun ini dijadikan perwakilan dari masukan bahan pencemar dari limbah industri. Berada di Kecamatan Tanjung Morawa.

Stasiun 4 3°34'23.43" LU- 98°48'13.49" BT

Merupakandaerah

permukiman penduduk dan pertanian. Stasiun ini dijadikan perwakilan dari masukan bahan pencemar dari limbah pertanian. Berada di Kecamatan Batang Kuis.

9 Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Sungai Belumai

10

Gambar 3. Lokasi stasiun penelitian

Stasiun 1

11

Stasiun 3

12

Metode dan Analisis Data

Parameter fisika yang diukur adalah suhu, arus, kedalaman, kekeruhan dan tipe substrat. Dengan pertimbangan bahwa suhu yang tinggi dapat menurunkan konsentrasi oksigen sedangkan peningkatan suhu dapat memicu organisme untuk mengkonsumsi oksigen lebih banyak. Kecepatan Arus air diukur untuk mengetahui kemampuan badan air membawa bahan pencemar. Tipe substrat dilihat untuk mengetahui jenis substrat apakah berlumpur, berpasir atau berbatu yang dihubungkan dengan keberadaan makrozoobentos, kecepatanan arus, kekeruhan dan kedalaman.

Parameter kimia yang diukur adalah pH, DO, COD dan TOM. Sebagian besar organisme di perairan sangat sensitif terhadap perubahan pH, DO merupakan jumlah oksigen yang terlarut di air dalam mg/l yang berasal dari proses fotosintesis maupun difusi dari udara. Penurunan oksigen terlarut, pH dan suhu dapat bersifat toksik terhadap lingkungan. Toksisitas NH3 akan meningkat jika terjadi penurunan oksigen terlarut, pH, dan suhu. Pengukuran parameter fisika, kimia merujuk pada standar metode pengukuran kualitas air dari American Public Health Association (2012), dan biologi menggunakan buku identifikasi dari Pennak (1953) dan Brinkhurst (1971). Pengukuran parameter fisika, kimia, biologi serta alat dan metode yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada masing-masing stasiun, dilakukan pengambilan sampel air dan sedimen baik parameter fisika, kimia dan biologi. Pengambilan parameter kualitas air pada setiap stasiun ditetapkan dua sub stasiun yang mewakili alur kiri dan kanan sungai sesuai dengan arah aliran air yang mengarah ke muara di 4 stasiun. Sampel air diambil 250 ml kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel dan diberi label. Pada label diberi keterangan mengenai nama sampel, lokasi pengambilan, tanggal, jam, dan kondisi cuaca.

Tabel 2 Metode pengukuran parameter fisika kimia dan biologi.

Parameter Satuan Alat/metode Keterang

Fisika :

- Suhu oC Termometer in situ

- Arus m/detik Benda terapung in situ

- Lebar Sungai M Tali meteran in situ

- Kedalaman M Tongkat berkala/visual in situ

- Kekeruhan NTU Turbidity ex situ

- Tipe substrat % Segitiga Miler ex situ

Kimia :

- pH air - pH meter in situ

- DO mg/L Titrimetrik-Winkler in situ

- COD mg/L Titrimetrik ex situ

- TOM (sedimen) % Gravimetrik ex situ

Dokumen terkait