TINJAUAN PUSTAKA
A. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya.
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan (Arikunto & Jabar, 2009:2). Kurikulum diartikan sebagai rancangan dan proses pendidikan yang dikembangkan oleh pengembang kurikulum sebagai jawaban terhadap tantangan komunitas, masyarakat, bangsa dan umat manusia yang dilayani kurikulumtersebut. (Hasan, 2008: 103)
Evaluasi memiliki arti dan makna yang luas, tetapi dalam penelitian ini evaluasi diartikan khusus berkaitan dengan evaluasi pendidikan yang di dalamnya mencakup evaluasi kurikulum, yang digunakan untuk melakukan penilaian bagi seseorang yang melakukan program, yaitu guru dalam mengelola kelas, materi pembelajaran dan bahan ajar kepada peserta didik.
Evaluasi kurikulum sebagai usaha sistematis mengumpulkan informasi mengenai suatu kurikulum untuk digunakan sebagai pertimbangan mengenai nilai dan arti dari kurikulum dalam suatu konteks (Hasan,2008:1). Menurut Tyler (1949) yang dikutip oleh Hasan, tujuan dari evaluasi adalah untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi. Sehingga dalam penelitian ini dapat diketahui apakah peserta didik mengalamai perubahan dalam nilai maupun kemampuan pengetahuan yang diperoleh.
Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut. Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti.
Dengan melihat perkembangan zaman kurikulum tidak mungkin berlaku sepanjang masa karena itu ada keterbatasan dalam konteks waktu. Oleh karena itu kurikulum selalu berubah sesuai dengan kemajuan yang ditandai oleh kurun waktu dimana kurikulum itu direncanakan. Kurikulum itu sendiri semakin berkembang seiring berjalannya waktu dan praktik pendidikan yang harus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju pula. Karena kurikulum itu sendiri bersifat dinamis maka dalam praktik dan perkembangannya membutuhkan evaluasi. Melalui evaluasi kurikulum dapat
menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik.
B. Tujuan dan Fungsi Evaluasi Kurikulum
Pada prinsipnya tujuan evaluasi kurikulum harus dirumuskan dengan titik tolak tujuan kurikulum itu sendiri yang akan dievaluasi. Secara mendasar tujuan suatu pekerjaan evaluasi kurikulum dan evaluasi lainnya, bersifat praktis. Hasan mengatakan, secara mendasar tujuan suatu evaluasi kurikulum dan evaluasi lainnya bersifat praktis. Hasan mengelompokan tujuan dari evaluasi sebagai berikut (Hasan, 2008: 42 - 43) :
a. Menyediakan informasi mengenai pelaksanaan pengembangan dan pelaksanaan suatu kurikulum sebagai masukan bagi pengambilan keputusan. b. Menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan suatu kurikulum serta faktor-faktor yang berkontribusi dalam suatu lingkungan tertentu.
c. Mengembangkan berbagai alternative pemecahan masalah yang dapat digunakan dalam upaya perbaikan kurikulum.
d. Memahami dan menjelaskan karakteristik suatu kurikulum dan pelaksanaan suatu kurikulum.
Scriven (Hasan, 2008: 46-50) mengemukakan bahwa secara garis besar fungsi penelitian evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yakni:
1. Evaluasi formatif
Evaluasi formatif difungsikan untuk memberikan informasi dan pertimbangan yang berkenaan dengan upaya untuk memperbaiki suatu kurikulum. Perbaikan itu dapat saja dilakukan pada waktu konstruksi kurikulum yang menghasilkan suatu dokumen kurikulum dan pada waktu implementasi kurikulum. Fungsi formatif hanya dapat dilakukan ketika kurikulum masih dalam proses pengembangan.untuk proses pengembangan.konstruksi kurikulum maka fungsi evaluasi hanya dapat dilakukan pada waktu pengembangan dokumen kurikulum belum selesai atau masih dalam keadaan fluid
2. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif difungsikan untuk memberikan pertimbangan terhadap hasil pengembangan kurikulum. Hasil pengembangan kurikulum dapat berupa dokumen kurikulum, hasil belajar ataupun dampak kurikulum terhadap sekolah dan masyarakat. Berdasarkan fungsi sumatif ini maka evaluator dapat memberikan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dilanjutkan karena keberhasilannya dan masih dianggap relevan dengan perkembangan serta tuntutan masyarakat.
C. Model-Model Evaluasi Kurikulum
Model evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah merupakan suatu elemen dalam proses sosial yang dihubungkan dengan perkembangan pendidikan. Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar evaluasi.
Model evaluasi dibuat untuk mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Terdapat beberapa model evaluasi sebagai strategi atau pedoman kerja pelaksanaan evaluasi kurikulum (Hasan, 2008:179-255)
1. Model Evaluasi Kuantitatif
Model-model evaluasi kuantitatif menekankan peran penting metodologi kuantitatif dan penggunaan tes.
a. Model Black Box Tyler
Model black box dikembangkan oleh Tyler. Dinamakan black box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Model ini dibangun atas dua dasar,yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum serta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Dengan kedua dasar ini, Tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan dimensi hasil belajar. Dalam pelaksanaannya Tyler mengemukaan ada tiga prosedur utama yang harus dilakukan, yaitu :
a) Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
b) Menentukan situasi peserta didik mendapatkan kesempatan untuk memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan
c) Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
Model Taylor dan Maguire ini lebih mendasarkan dirinya pada pertimbangan teoritik suatu model evaluasi kurikulum. Dengan pertimbangan teoritik, Taylor dan Maguire mencoba menerapkan apa yang seharusnya secara teoritik terjadi dalam suatu proses pelaksanaan evaluasi kurikulum. Misalnya, model ini melibatkan variabel dan langkah yang ada dalam proses pengembangan kurikulum sebagai variabel dan langkah yang juga harus ada dalam evaluasi. Unsur-unsur yang ada dalam model ini seperti sumber sosial tujuan, tujuan yang dikembangkan berdasarkan pendekatan behavioral, pengembangan strategi, dan semangat psikometrik kiranya. Dalam menggunakan model ini, secara tegas ada dua kegiatan utama yang harus dilakukan evaluator. Pertama, mengumpulkan data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan, lingkungan, personalia, metode dan konten, serta hasil belajar, baik hasil belajar langsung maupun hasil belajar dalam jangka panjang. Kedua, pengumpulan data yang merupakan hasil pertimbangan individual terutama mengenai kualitas tujuan, masukan, dan hasil belajar.
b. Model pendekatan sistem Alkin
Alkin termasuk salah seorang yang aktif dalam evaluasi. Pendekatan yang ia lakukan selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Dalam model yang dinamakan dengan pendekatan sistem (sistems approach) Alkin telah memasukan variabel perhitungan ekonomi dalam modelnya. Dalam masa-masa kemudian bahkan ia banyak menggunakan pendekatan ekonomi mikro yang lebih murni dalam evaluasi yang dilakukannya. Pengaruh psikometrik atau ekonometrik sangat terasa dalam model pendekatan
sistem yang dikemukakan Alkin ini. Pengukuran dan kontrol variabel merupakan dua hal yang penting yang harus diperhatikan evaluator. Besar kecilnya unit yang akan diukur harus diperhitungkan agar suatu pekerjaan evaluasi berhasil. Demikian pula dengan control Alkin beranggapan bahwa evaluator tidak harus puas dengan control pilihan acak tetapi harus puas menerapkan control statistic terutama apabila unit yang akan dievaluasi sangat kecil.
c. Model Countenance Stake
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya pada evaluasi formal, dimana dikatakannnya sebagai suatu kegiatan evaluasi yang sangat tergantung pada pemakaian “checklist, structured visitation by peers, controlled comparisons, and standardized testing of student”. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh pihak luar yang tidak terlibat dalam evaluan. Model ini dikembangkan atas keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Model countenance stake terdiri atas dua matriks, yaitu: (Hamid, Hasan 2008: 208-214)
1) Matriks deskripsi
Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan pengembang kurikulum atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. Sedangkan program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk uatu kegiatan kelas tertentu. Melihat apakah persyaratan
tersebut berhubungan dengan peserta didiknya seperti minat, kemampuan, pengalaman dan lain sebagainya yang biasa diistilahkan dengan entry behaviors dari peserta didik.
Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan apa yang sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan pada kategori yang pertama. Kategori observasi ini terdiri atas antecedents, transaksi dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi dan hasil yang ada di suatu satuan pendidikan.
2) Matriks Pertimbangan
Terdiri atas kategori standar dan pertimbangan, fokus antecendents, transaction dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program. Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki kurikulum, tetapi dapat juga dari yang lain. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori yang pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks Deskripsi diselesaikan. Matriks Deskripsi terdiri atas kategori rencana dan observasi. Matriks Pertimbangan terdiri atas kategori standar dan pertimbangan.
Cara kerja model evaluasi Stake yaitu evaluator mengumpulkan data mengenai apa yang diinginkan pengembang program baik yang berhubungan dengan kondisi awal, transaksi dan hasil. Data dapat dikumpulkan melalui studi
dokumen dapat pula melalui wawancara. Analisis logis diperlukan dalam memberikan pertimbangan mengenai keterkaitan antara prasyarat awal, transaksi dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan apakah prasyarat awal yang telah dikemukakan pengembang program akan tercapai dengan rencana transaksi yang dikemukakan. Atau sebetulnya ada model transaksi lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang diharapkan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis logis tapi data yang digunakan adalah data empirik. Pekerjaan evaluator berikutnya adalah mengadakan analisis congruence (kesesuaian) antara apa yang dikemukakan dalam tujuan dengan apa yang terjadi dalam kegiatan (observasi). Perlu diperhatikan apakah yang telah direncanakan dalam tujuan sesuai dengan pelaksanaanya di lapangan atau terjadi penyimpanganpenyimpangan. Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan mengenai program yang sedang dikaji, untuk itu evaluator memerlukan standar.
Dalam melakukan evaluasi sebelum melakukan pengumpulan data, maka evaluator harus membuat kerangka acuan yang berhubungan dengan masukan, transaksi dan hasil. Hal tersebut dilakukan tidak hanya untuk memperjelas tujuan evaluasi tetapi juga untuk melihat apakah model Countenance Stake’s konsisten terhadap transactions, antecedent dan outcome.
d. Model CIPP (Arikunto, 2009)
Model evaluasi CIPP merupakan model yang paling banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Model CIPP dikembangkan oleh Stufflebeam, dkk
(1967) di Ohio State University yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2009). CIIP merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu context, input, process, product. Keempat kata tersebut merupakan sasaran evaluasi yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan.
a. Evaluasi Konteks
Evaluasi Konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek.
b. Evaluasi Input
Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi masukan atau sering disebut input. Evaluasi masukan atau input merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan program.
c. Evaluasi Proses
Evaluasi proses dalam model CIPP merupakan evaluasi yang dirancang dan diaplikasikan dalam praktik implementasi kegiatan disebut dengan evaluasi proses. Untuk melihat apakah pelaksanaan program sudah sesuai dengan strategi yang telah dilaksanakan tersebut, maka perlu diadakannya evauasi. Evaluasi tersebut dinamakan evaluasi proses. Evaluasi proses termasuk mengidentifikasi permasalahan prosedur pada pelaksanaan kejadian dan aktivitas
d. Evaluasi Produk
Evaluasi mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Evaluasi dapat juga bertujuan mengumpulkan deskripsi dan penilaian terhadap iuran (outcome) dan
menghubungkan itu semua dengan objektif, konteks,input,dan informasi proses, serta untuk menginterpretasikan kelayakan dan keberhargaan program.
2. Model Ekonomi Mikro
Levin (1983) adalah tokoh yang banyak bekerja dalam model evaluasi ekonomi mikro. Menurut Levin ada empat model di lingkungan ekonomi mikro yaitu cost effectiveness, cost-benefit, cost utility, dan cost feasibility. Dari keempat model ini maka model cost effectiveness dianggap lebih sesuai untuk evaluasi kurikulum. ( Hasan, 2008: 223 - 226 )
Uraian mengenai ke empat model tersebut adalah sebagai berikut : a. Cost effectiveness.
Dalam model ini evaluator harus dapat membandingkan dua progam atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Hasil dari perbandingan ini akan dimasukkan bagi para pembuat keputusan. Dalam model ini unit pengukuran hasil belajar menggunakan angka (score).
b. Cost-benefit.
Dalam model ini unit pengukurannya menggunakan unit uang dalam mengukur hasil. Berapa besar uang yang diterima setelah seseorang bekerja untuk jangka waktu tertentu sebagai akibat dari pendidikan yang dialaminya.
c. Cost utility.
Dalam model ini evaluator diberikan peluang untuk menggunakan baik data kuantitatif maupun kualitatif. Dengan peluang tersebut evaluator tidak dibatasi ruang geraknya atas suatu jenis data saja. Model cost utility ini menggunakan
skala kegunaan. Skala ini dapat bergerak dari 0 – 10 tapi dapat pula bergerak dari 1-4, atau skala lainnya.
d. Cost feasibility.
Dalam model ini didesain untuk menjawab pertanyaan evaluasi apakah biaya yang diperlukan memang tersedia. Artinya, setelah ide suatu kurikulum dapat dirumuskan, perhitungan biaya untuk pelaksanaan kurikulum harus dilakukan. 3. Model Evaluasi Kualitatif
Model evaluasi kualitatif menggunakan metodologi kualitatif dalam pengumpulan data evaluasi. Menurut Richard, Cook dan Patton metodologi kualitatif berkembang dari filsafat fenomenologi. Selain penggunaan metodologi kualitatif, ciri khas lain dari model evaluasi kualitatif adalah selalu menempatkan proses pelaksanaan sebagai fokus utama evaluasi. Oleh karena itu, kurikulum dalam dimensi kegiatan atau proses lebih mendapatkan perhatian dibandingkan dengan dimensi lain suatu kurikulum walaupun harus dikatakan bahwa perhatian utama terhadap proses tidak menyebabkan model kualitatif mengabaikan evaluasi terhadap dimensi lain (Hasan, 2008 : 226 - 228).
a. Model studi kasus
Model studi kasus memusatkan perhatiannya kepada kegiatan pengembangan kurikulum di satu satuan pendidikan. Dalam bahasa kuantitatif dikatakan bahwa studi kasus adalah studi dimana n = 1. Dengan demikian, persoalan pemilihan sampel dengan prosedur yang tidak sederhana dalam suatu evaluasi kuantitatif bukan merupakan persoalan dalam evaluasi model studi kasus.
b. Model illuminative
Model illuminative sebenarnya sudah dilaporkan penggunaan tahun 1969 oleh Hanley tetapi menjadi terkenal karena tulisan Parlett dan Hamilton (1976). Model evaluasi illuminative mendasarkan dirinya pada paradigma antropologi social. Model illuminative memberikan perhatian terhadap lingkungan luas dan bukan hanya kelas dimana suatu inovasi kurikulum dilaksanakan. Model evaluasi illuminative dikembangkan atas dua dasar konsep utama, yaitu sistem intruksi dan lingkungan belajar. Sistem intruksional disini diartikan sebagai “katalog, perspektus, dan laporan-laporan kependidikan secara khusus berisi berbagai macam rencana dan pernyataan yang resmi berhubungan dengan pengaturan suatu pengajaran” Parlett dan Hamilton (Hasan, 2008: 233 - 236)
c. Model responsive
Model responsive dikembangkan oleh Stake. Model ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari model countenancenya. Terdapat beberapa perbedaan model ini dengan model countenance, yang pertama model countenance mempunyai fokus yang lebih luas dibandingkan dengan model responsive. Fokus model responsive adalah pada kurikulum dalam dimensi proses. Apa yang terjadi di lapangan dalam pengembangan proses kurikulum dijadikan dasar dalam mengembangkan model ini. Perbedaan kedua ialah dalam pendekatan pengembangan kriteria. Model responsive tidak berbicara tentang pemakaian instrumen standar. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang berbau standar dihindari model responsive. Model responsive memberikan perhatian terhadap interaksi antara evaluator dengan pelaksana kurikulum.
Karena pada penelitian ini hanya membatasi terhadap evaluasi RPP mata pelajaran Ekonomi yang disusun oleh guru, pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan oleh guru menggunakan pendekatan saintifik, persepsi siswa pada guru mata pelajaran Ekonomi dalam menerapkan pendekatan saintifik, oleh karena itu deskriptif kuantiatif dipandang lebih tepat untuk digunakan pada penelitian ini. D. Kurikulum 2013
Istilah kurikulum memiliki berbagai pengertian yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin, yakni curriculae. Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa (Hamalik, 2007:17). Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013, kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang menjadi rujukan inti pelaksanaan sistem pendidikan nasional.
Perkembangan kurikulum di Indonesia terjadi mulai tahun 1947, 1964, 1968, 1973, 1975, 1984, 1994, 1997, 2004, 2006 dan sampai pada Kurikulum 2013. kurikulum mengacu pada Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 yaitu ke arah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Landasan pengembangan kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep tersebut, pengembangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut (Hamalik, 2007:19) :
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk meumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karakteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi, lingkungan kebudayaan termasuk iptek, dan lingkungan hidup, serta lingkungan alam.
5. Kebutuhan pembangunan yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai kemanusiawian serta budaya bangsa.
Dalam kurikulum terdapat empat aspek yaitu aspek spiritual, sosial, pengetahuan dan aspek keterampilan. Selanjutnya pada tiap jenjang pendidikan mengacu pada SKL (Standar Kompetensi Lulusan). SKL selanjutnya akan dijabarkan menjadi Kompetensi Inti dan Kompetensi Inti akan dijabarkan menjadi Kompetensi Dasar. Pencapaian SKL tersebut juga didasarkan pada Standar Proses, Standar penilaian dan standar lainnya dalam SNP (Standar Nasional Pendidikan).
Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari Kurikulum 2006. Pengembangan dari kurikulum tersebut yaitu lima pengalaman pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik :
No KBK dan KTSP Kurikulum 2013
1 Standar Kompetensi lulusan diturunkan dari standar isi
Standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan
2 Standar Isi dirumuskan berdasarkan Tujuan Mata Pelajaran (Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran) yang dirinci menjadi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Standar Isi diturunkan dari Standar Kompetensi Lulusan melalui
Kompetensi Inti yang bebas mata pelajaran
3 Pemisahan antara mata pelajaran pembentuk sikap, pembentuk keterampilan, dan pembentuk pengetahuan
Semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan, dan pengetahuan,
4 Kompetensi diturunkan dari mata pelajaran Mata pelajaran diturunkan dari
kompetensi yang ingin dicapai
5 Mata pelajaran lepas satu dengan yang lain, seperti sekumpulan mata pelajaran terpisah
Semua mata pelajaran diikat oleh kompetensi inti (tiap kelas)
Sumber: Permendikbud, 2014 E. Pendekatan Saintifik
Menurut Peraturan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan no 103 tahun 2014, langkah-langkah pembelajaran dan pendekatan saintifik meliputi kegiatan pembuka, kegiatan inti (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, mengkomunikasikan) serta kegiatan penutup.
1. Kegiatan Pendahuluan
a. Mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan.
b. Mendiskusikan kompetensi yang sudah dipelajari dan dikembangkan sebelumnya berkaitan dengan kompetensi yang akan dipelajari dan dikembangkan.
c. Menyampaikan kompetensi yang akan dicapai dan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari
d. Menyampaikan garis besar cakupan materi yang akan dilakukan
2. Kegiatan Inti (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, megkomunikasikan)
Langkah Pembelajaran Deskripsi Kegiatan Bentuk Hasil Belajar Mengamati (observing) mengamati dengan indra
(membaca, mendengar, menyimak, melihat, menonton, dan
sebagainya) dengan atau tanpa alat perhatian pada waktu mengamati suatu objek/membaca suatu tulisan/mendengar suatu penjelasan, catatan yang dibuat tentang yang diamati, kesabaran, waktu (on task) yang digunakan untuk mengamati Menanya (questioning) membuat dan mengajukan
pertanyaan, tanya jawab, berdiskusi
tentang informasi yang belum dipahami, informasi tambahan yang ingin diketahui, atau sebagai klarifikasi.
jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan yang diajukan peserta didik (pertanyaan faktual, konseptual,