• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputih, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan kandungan kimia.

2.1. 1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan ranti berdasarkan hasil identifikasi Herbarium Medanense adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Solanum americanum Mill.

Sinonim : Solanum Nigrum L., Solanum nodiflorum Jacq. (Edmonds

dan James, 1997). 2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing

Nama daerah ranti: leunca badak, lenca manuk (Jawa); leunca hayam, leunca pahit, leunca hayam, leunca piit (Sunda); rampai, ranti (Sumatera); anti, boose, bobose (Maluku).

Nama asing ranti: long kui (Tiong Hoa), enab el-deeb (Arab), Kama-kamatisan (Philipina), ranti (Melayu) (Dalimarta, 2008).

7 2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Tanaman ini termasuk ke dalam golongan semak, dengan tinggi lebih kurang 1,5 m. Memiliki akar tunggang dengan warna putih kocoklatan. Batang tegak, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau. Berdaun tunggal, lonjong, dan tersebar dengan panjang 5-7,5 cm ; lebar 2,5-3,5 cm. Pangkal dan ujung daun meruncing dengan tepi rata. Pertulangan daun menyirip. Daun mempunyai tangkai dengan panjang ± 1 cm dan berwarna hijau. Bunga berupa bunga majemuk dengan mahkota kecil, bangun bintang, berwarna putih, benang sari berwarna kehijaunan dengan jumlah 5 buah. Tangkai bunga berwarna hijau pucat dan berbulu. Buah berbentuk bulat, jika masih muda berwarna hijau, dan berwarna hitam mengkilat jika sudah tua ukurannya kira-kira sebesar kacang kapri. Biji berbentuk bulat pipih, kecil-kecil, dan berwarna putih (Dalimarta, 2008).

2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan

Kandunga kimia daun ranti yaitu steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin (Edmonds dan James, 1997). Buah ranti juga mengadung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid (Hartati, dkk., 2005).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Ditjen POM, 2000).

8 2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dengan pelarut air atau cairan penyari. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif atau simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

2.4 Cara-cara Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu: 1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: a. Maserasi

Maserasi adalah proses perendaman simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung bahan aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, sehingga larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Ditjen POM, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya di lakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia

9

di tempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya di beri sekat berpori. Cairan penyari di alirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel - sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk ekstraksi sempurna (Ditjen POM, 2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat di atur.

10 c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu umumnya pada temperatur 40 – 50 ºC.

d. Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia

nabati dengan pelarut air pada suhu 90ᵒC selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.5 Uraian Saluran Pencernaan

Saluran cerna dimulai dari mulut sampai anus. Saluran cerna berfungsi untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan, menyerap zat gizi yang penting bagi tubuh, serta mengeksresi bagian makanan yang tidak diserap dan sebagai hasil akhir metabolisme (Corwin, 2009).

Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, yeyunum, dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus, dari usus halus makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung empedu dan apendiks (Corwin, 2009).

11 2.5.1 Rongga Mulut dan Faring

Rongga mulut merupakan awal dari saluran cerna dan di sini makanan di kunyah menjadi halus dan dicampur dengan ludah. Pada peristiwa mengunyah yang berperan adalah gigi, otot pengunyah, lidah, pipi, dasar mulut, dan langit - langit. Ludah di bentuk oleh tiga pasang kelenjar besar, glandula parotis (kelenjar ludah telinga), glandula submandibularis ( kelenjar ludah rahang bawah), dan glandula sublingualis (kelenjar ludah bawah lidah) dan kemudian melalui saluran-salurannya akan masuk ke rongga mulut. Produksi ludah setiap hari sekitar 1,5 liter. Pada proses menelan yang dimulai secara sadar dan kemudian berlanjut secara reflektoris, makanan yang dilapisi ludah akan masuk melalui faring ke esofagus (Mutschler, 2010).

2.5.2 Esofagus

Esofagus berfungsi untuk menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltik. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus untuk melumasi dan melindungi esofagus. Esofagus hanya berfungsi untuk meneruskan makanan (Mutschler, 2010).

2.5.3 Lambung

Lambung terdiri atas tiga bagian yakni bagian atas (fundus), bagian tengah

(corpus), dan bagian bawah (antrum) yang meliputi pelepasan lambung (pylorus). Selain otot penutup pylorus, dibagian atas lambung juga terdapat otot melingkar

lain yakni sfingter kerongkongan - lambung (katup gastro - esofagus). Sfingter

tersebut bekerja sebagai katup dan berfungsi menyalurkan makanan ke hanya satu jurusan yaitu arah usus (Tan dan Rahardja, 2007).

12 2.5.4 Usus halus

Panjang usus halus adalah 6 m dan di sini berlangsung hampir seluruh

proses pencernaan. Usus halus terdiri atas tiga bagian utama yakni duodenum

(usus dua belas jari) yang membentuk huruf C, jejenum (usus kosong), dan

akhirnya ileum (ujung usus - halus) yakni bagian tersempit dari usus halus (Tan

dan Rahardja, 2007).

Pada kerja motorik usus halus dibedakan atas gerakan mencampur dan gelombang peristaltik dorong. Gerakan mencampur melakukan pencampuran intensif khimus dengan getah pankreas, empedu dan sekret dari kelenjar usus halus, sedangkan gerakan peristaltik mendorong adonan makanan. Gerakan ini dapat timbul dengan adanya relaksasi dinding usus halus dan dikendalikan saraf melalui plexus myentericus (Mutschler, 2010).

Proses pencampuran yang menyeluruh selama segmentasi memastikan khimus bereaksi dengan enzim pencernaan dan kembali kontak dengan dinding usus sehingga memfasilitasi absorpsi (Corwin, 2009).

2.5.5 Usus besar

Usus besar yang merupakan bagian akhir dari saluran cerna dapat dibagi menjadi: cecum (usus buntu sekum) dengan apendix vermiformis (umbai cacing), colon (usus besar) dan rektum. Di usus besar dengan pengentalanm isi usus

terbentuk feses (Mutschler, 2010). Laju kontraksi usus besar lebih lambat

dibandingkan dengan usus halus. Hal ini berarti makanan yang masuk ke dalam usus besar perlu waktu seharian untuk berjalan menyusuri seluruh bagian struktur usus besar (Corwin, 2009). Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak propulsif, gerakan secara berlahan mengaduk isi kolon melalui gerakan

13

maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif. Karena gerakan kolon tersebut lambat, bakteri memiliki cukup waktu untuk tumbuh dan menumbuk di usus besar (Sherwood, 2001).

Bakteri yang terdapat di kolon meliputi Escherichia coli, Enterobacter

aerogenes, Bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja

(Ganong, 2008). Esherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam

saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E.coli menghasilkan

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E.coli berasosiasi dengan

entero patogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Toksin yang

dihasilkan oleh E.coli merangsang sekresi Na+ dan air di usus halus (Ganong,

2008).

2.6 Uraian Diare

Diare merupakan pengeluran feses dengan kelebihan bobot cair yang terlalu cepat, untuk orang dewasa yang sehat maksimum berat air normal dalam feses adalah 200 g/hari. Karena berat feses sebagian besar ditentukan oleh air feses. Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses. Kandungan bersih cairan feses mengambarkan keseimbangan antara input lumen (ingesti dan sekresi air dan elektrolit) dan output sepanjang saluran gastrointestinal (Goodman & Gilman, 2012).

Kebanyakan kasus diare disebabkan gangguan transpor air dan elektrolit di usus, secara mekanik diare dapat disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan osmotik di dalam usus (sehingga menyebabkan retensi air di dalam lumen); sekresi elektrolit dan air yang berlebihan ke dalam lumen usus; eksudasi protein

14

dan cairan dari mukosa; dan perubahan motilitas usus sehingga mempercepat transit. Pada umumnya, terjadi berbagai proses yang saling mempengaruhi, yang mengarah pada peningkatan volume dan berat feses yang disertai persen kandungan air (Goodman & Gilman, 2012).

Diare merupakan gangguan resorpsi disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tan dan Rahardja, 2007).

2.6.1 Patofisiologi Diare

Berdasarkan tinjauan patofisiologi dibedakan beberapa mekanisme penyebab diare sebagai berikut:

a. kurangnya absorpsi zat osmotik dari lumen usus ( diare osmotik)

b. meningkatnya sekresi elektrolit dan air ke dalam lumen usus (diare

sekretorik)

c. naiknya permeabilitas mukosa usus

d. terganggunya motilitas usus (Mutschler, 2010).

Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik yaitu:

1. Diare osmotik, dapat disebabkan oleh sindroma malcerna (maldigesti) atau

malabsorpsi serta akibat pemasukan zat yang sukar diabsorpsi (dibandingkan osmolaksansia). Jika makanan dihentikan, diare osmotik akan berhenti.

2. Diare sekretorik, disebabkan oleh toksin bakteri yang mengaktifkan adenilat

siklase dalam sel mukosa, sehingga cAMP akan dibentuk lebih banyak. Disamping toksin kolera, toksin dari Salmonella dan Shigella juga menyebabkan diare sekretorik, sebagian besar diare musim panas dan diare

15

perjalanan disebabkan oleh toksin Eschericia coli. Penyebab lain diare

sekretorik ini adalah zat endogen, misalnya polipeptida usus vasoaktif (Vasoaktif Intestinal Polypeptide, VIP). Berbeda dengan diare osmotik, diare sekretorik tetap terjadi pada pasien yang puasa.

3. Peningkatan permeabilitas mukosa usus dapat terjadi karena penyakit pada

usus halus dan usus besar (misal colitis ulcerosa atau karsinoma kolon) atau karena tidak terabsorpsinya asam empedu. Diare kologen semacam ini ditemukan setelah sekresi ileum, yang merupakan tempat utama reabsorpsi kembali asam empedu. Asam empedu yang masuk ke kolon akan memperbesar masuknya air dan elektrolit ke lumen usus dan disini akan menyebabkan diare. Jika kehilangan asam empedu melampaui kapasitas sintesis dihati, terjadi pengurangan absorpsi lemak sehingga timbul feses berlemak (steatorea).

4. Peningkatan motilitas intestine yang merupakan penyebab diare yang di

temukan misalnya pada hipertireosis (Mutschler, 2010). 2.6.2 Obat-obat antidiare

Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah :

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab

diare seperti antibiotika, sulfonamide, dan senyawa kinolon.

2. Obstipansia untuk terapi simptomatis, yang dapat menghentikan diare dengan

beberapa cara, yakni:

a. Zat-zat yang menghambat peristaltik sehingga memberikan lebih banyak

16

dan alkaloidnya, derivat petidin (loperamid), dan antikolinergika (atropine, ekstrak belladonna) (Tan dan Rahardja, 2007).

b. Adstringensia, merupakan senyawa yang dengan protein dalam larutan

netral atau asam lemah akan membentuk endapan yang tak larut, terasa kesat dan jika diberikan pada mukosa akan bekerja menciutkan. Zat ini akan menyebabkan perapatan dan penciutan lapisan selaput lendir usus, dan menghambat sekresi jaringan yang meradang. Contohnya preparat yang mengandung tanin dan tannalbin, garam-garam bismuth dan aluminium (Mutschler, 2010).

c. Absorbensia, misalnya carbo adsorben yang pada permukaannya dapat

menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan. Termasuk disini juga mucilagines, zat - zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, umpamanya kaolin, pektin, dan garam bismuth serta aluminium (Tan dan Rahardja, 2007).

3. Spasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang

seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare misalnya papaverin (Tan dan Rahardja, 2007).

2.7 Loperamid Hidrokloridum

Loperamid bekerja terutama melaluai reseptor µ-opioid perifer dan lebih disukai daripada obat lain karena keterbatasannya untuk berpenetrasi ke SSP. Obat ini meningkatkan waktu transit usus halus dan juga waktu transit dari mulut ke sekum. Loperamid juga meningkatkan tonus sfingter anal, efek yang berguna

17

secara terapeutik untuk pasien yang tidak dapat mengontrol anal. Selain itu loperamid memiliki aktivitas antisekretori untuk melawan toksin kolera dan

beberapa bentuk toksin E. Coli. Dosis lazim untuk dewasa 4 mg untuk permulaan

dan diikuti 2 mg tiap kali selesai defekasi hingga 16 mg/hari (Goodman & Gilman, 2012).

2.8 Oleum Ricini

Oleum ricini atau minyak jarak diperoleh dari biji tanaman jarak Ricinus

communis, dan kaya akan kandungan trigliserida asam risinoleat. Trigliserida dihindrolisis di usus halus oleh lipase menjadi gliserol dan zat aktifnya, yakni asam risinoleat yang terutama bekerja di usus halus menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit serta mempercepat transit usus. Jika 4 ml minyak jarak diminum pada saat perut kosong dapat menghasilkan efek laksantif dalam waktu 1-3 jam. Namun dosis lazim efek katartik adalah 15 – 60 ml untuk dewasa (Goodman & Gilman, 2012).

Minyak jarak ini merupakan iritan lokal yang meningkatkan motilitas usus. Awal kerjanya cepat dan berlanjut hingga senyawa tersebut diekskresikan melalui kolon (Katzung, 2010). Minyak jarak sebagai laksantif stimulan memiliki efek langsung terhadap enterosit, neuron enterik dan otot. Zat ini kemungkinan menginduksi sedikit radang pada usus halus dan usus besar secara terbatas untuk meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dan menstimulasi motilitas usus (Goodman & Gilman, 2012).

18

Pasricha, Pankaj.J., dan Jafri, Syed. (2012). Goodman & Gilmen Dasar Farmakologi Terapi Vol 2 Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal. 1009,1011-1012, 1018-1019.

19

Dokumen terkait