EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI
(
Solanum americanum
Mill.) TERHADAP
TIKUS PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satmemperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: YERI MEI FERINA
NIM 121524052
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI
(
Solanum americanum
Mill.) TERHADAP
TIKUS PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH: YERI MEI FERINA
NIM 121524052
PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI
(
Solanum americanum
Mill.) TERHADAP
TIKUS PUTIH JANTAN
OLEH: YERI MEI FERINA
NIM 121524052
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal : 04 Februari 2015
Disetujui Oleh:
Pembimbing I, Panitia penguji,
Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.
NIP 130935857 NIP 195103261978022001
Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.
Pembimbing II, NIP 130935857
Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt.
NIP 195008221974121002 NIP 195304031983032001
Drs. Saiful Bahri, M.S, Apt. NIP 195208241983031001
Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara a.n Dekan,
Wakil Dekan I,
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa atas segala
limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera
Utara, yang berjudul “Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Ranti (Solanum
americanum Mill.) Terhadap Tikus Putih Jantan”.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Drs. Awaluddin
Saragih, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah membimbing dan
memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya
skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si.,
Apt., selaku Wakil Dekan I yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt.,
selaku Ketua Jurusan Program Studi Ekstensi Sarjana Farmasi USU Medan.
Terima kasih untuk Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Dra. Aswita Hafni
Lubis., M.Si., Apt serta Bapak Drs. Syaiful Bahri, M.S., Apt., selaku dosen
penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU
Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Ibu Marianne, S.Si, M.Si., Apt.,
selaku kepala Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi USU
v
Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis
sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, Bapak
Yusi Komar dan Mama Rostini atas doa, nasehat, dan pengorbanan baik moril
maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini dan adik saya Dwi
Oktariani, Tri Mulia, Raden Mulia, atas doa dan dukungan semangatnya. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Kak Voni Cherli, Astria Kurnia atas
bantuan kalian saya dapat menyelesaikan semuanya tepat waktu serta
teman-teman Farmasi Ektensi 2012 dan rekan-rekan penelitian atas doa dan
dukungannya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua.
Medan, Maret 2015 Penulis,
vi
EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI (Solanum americanum Mill.) TERHADAP
TIKUS PUTIH JANTAN
ABSTRAK
Diare merupakan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali sehari dengan feses cair. Data insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia 3,5%. Prevalensi diare di Provinsi Sumatera Utara yaitu 6,7%. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal. Tingginya angka kejadian dan bahayanya diare, oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan obat tradisonal. Salah satu
tanaman berkhasiat yang dikenal masyarakat adalah tanaman ranti (Solanum
americanum Mill.). Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun ranti.
Karakterisasi simplisia dilakukan untuk menetapkan parameter mutu simplisia dan dilakukan identifikasi kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun ranti. Ekstraksi dilakukan dengan cara perkolasi mengunakan pelarut etanol 70%. kemudian ekstrak diuji efek antidiare pada tikus jantan dengan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare dan suspensi norit 5% digunakan sebagai marker. Metode uji antidiare yang digunakan adalah uji aktivitas antidiare metode defekasi yang
diinduksi oleum ricini dan transit intestinal dengan menghitung persen lintasan
yang dilewati norit pada usus tikus.
Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti yaitu dengan hasil kadar air 4,69%, kadar sari larut air 18,59%, kadar sari larut etanol 15,32%, kadar abu total 6,43% dan kadar abu tidak larut asam 0,92%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti terdapat senyawa-senyawa golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, dan tanin.
Hasil penelitian ekstrak etanol daun ranti memiliki efek antidiare. Data analisis statistik persentase lintasan marker norit menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ranti dengan dosis 100 mg/kg bb 68,91 ± 0,65%, dosis 200 mg/kg bb 56,54 ± 1,11% dan 400 mg/kg bb 38,64 ± 0,95% berbeda signifikan (p < 0,05). Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb 42,49 ± 2,60% tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan ekstrak etanol daun ranti dosis 400 mg/kg bb. Sedangkan pada medote aktivitas antidiare yang diinduksi oleum ricini hasil analisis statistiknya menyatakan ada penurun jumlah bobot feses cair yang signifikan (p < 0,05) pada kelompok yang diberi ekstrak 200 dan 400 mg/kg bb.
Kata Kunci: Daun ranti, Solanum americanum Mill., metode transit intestinal,
vii
ANTIDIARRHOEAL EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT OF RANTI LEAF (Solanum americanum Mill.)
IN RATS WHITE MALE
ABSTRACT
Diarrhea is a bowel disorder that is characterized more than 3 times a day with liquid stools. The percentage of diarrhea incidence data for all age groups in Indonesia was 3.5%. The prevalence of diarrhea in North Sumatra province was 6.7%. Individuals who suffered severe diarrhea could be died due to the high number of incidence of diarrhea and the bad effect of diarrhea. Therefore, it is necessary to prevent the disease by promoting the use of traditional medicine. One
of the medicinal plants known by the public is ranti plant (Solanum americanum
Mill.). This experiment was done to scientifically prove the efficacy of antidiarrheal ethanol extract from ranti leaves.
The characterization of simplex ranti leaf to establish quality and
determination of chemical compounds. Extraction has be done perkolasi with solvent ethanol 70 percent. and unpack it tested stock exchange antidiarrhoeal in rats bull with the dose 100 mg/kg of body weight, 200 mg/kg of body weight and 400 mg/kg of body weight. Oleum ricini was used as an inducer of diarrhea and suspension norit 5% was used as a marker. Antidiarrheal test method used was the antidiarrheal activity induced defecation method oleum ricini and intestinal transit by calculating the percentage trajectory passed norit on rat intestine.
The results of the characterization of simplex ranti leaves were water content 4.65%, water-soluble extract 18.59%, content of ethanol-soluble extract 15.32%, total ash content 6.43% and acid insoluble ash content 0.92%. Results of phytochemical screening of simplex ranti leaves were compounds steroids/ triterpenoids, alkaloid, flavonoids, glycosides, saponins, and tannins.
The results of the study of extract ethanol of ranti leaf have antidiarrheal effects. Statistical analysis of the percentage of marker trajectories norit showed that the extract ethanol of ranti leaf a dose of 100 mg/kg bw 68.91 ± 0.65%, a dose of 200 mg/kg bw 56.54 ± 1.11% and 400 mg/kg bw 38.64 ± 0.95% was significantly different (p < 0.05). The dose of loperamide dose of 0.54 mg/kg bw 42.49 ± 2.60% did not different significantly (p > 0.05) with the ethanol extract of leaves ranti dose of 400 mg/kg bw. While the methods now antidiarrheal activity induced oleum ricini statistical analysis of the results stated there is lowering the amount of liquid stool weight and not uniform, which was significantly different (p < 0.05) in the group given the extract 200 and 400 mg/kg bw.
Key word: ranti leaves, Solanum americanum Mill., transit intestinal method,
viii DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Uraian Tumbuhan ... 6
2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 6
2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing ... 6
2.1.3 Morfologi Tumbuhan ... 7
2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan ... 7
ix
2.3 Ekstraksi ... ... 8
2.4 Cara – Cara Ekstraksi ... 8
2.5 Uraian Saluran Pencernaan Manusia ... 10
2.5.1 Rongga Mulut dan Faring ... 11
2.5.2 Esofagus ... 11
2.5.3 Lambung ... 11
2.5.5 Usus Halus ... 12
2.5.6 Usus Besar ... 12
2.6 Uraian Diare ... 13
2.6.1 Patofisiologi Diare ... 14
2.6.2 Obat-obat antidiare ... 15
2.7 Loperamid Hidroklorida ... 16
2.8 Oleum Ricini ... 17
BAB III METODE PENELITIAN ... 18
3.1 Alat dan Bahan ... 18
3.1.1 Alat-alat ... 18
3.1.2 Bahan-bahan ... 18
3.2 Pengumpulan dan Pengelolahan Bahan Tumbuhan ... 19
3.2.1 Pengambilan sampel ... 19
3.2.2 Identifikasi tumbuhan ... 19
3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 19
3.3 Pembuatan larutan pereaksi ... 20
3.3.1 Pereaksi Bouchardat ... 20
x
3.3.3 Pereaksi Mayer ... 20
3.3.4 Pereaksi besi (III) kloria 1% ... 20
3.3.5 Pereaksi Molisch ... 20
3.3.6 Pereaksi Lieberman - Bourchard ... 21
3.3.7 Pereaksi asam klorida 2 N ... 21
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 21
3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 21
3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 21
3.4.3 Penetapan kadar air ... 21
3.4.4 Penetapan kadar sari larut air ... 22
3.4.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 22
3.4.6 Penetapan kadar abu total ... 23
3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 23
3.5 Skrining Fitokimia ... 23
3.5.1 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 23
3.5.2 Pemeriksaan alkaloid ... 24
3.5.3 Pemeriksaan glikosida ... 24
3.5.4 Pemeriksaan flavonoid ... 25
3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 25
3.5.6 Pemeriksaan saponin ... 25
3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Leunca ... 26
3.7 Percobaan Efek Antidiare ... 26
3.7.1 Penyiapan hewan uji ... 26
xi
3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5% ... 27
3.7.2.2 Pembuatan suspensi serbuk tablet loperamid HCl ... 27
3.7.2.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun leunca 27
3.7.3 Pengujian efek antidiare ... 28
3.7.3.1 Metode transit intestinal ... 28
3.7.3.2 Aktivitas antidiare metode defekasi ... 28
3.8 Pengumpulan data ... 29
3.9 Analisis Data ... 29
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30
4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan ... 30
4.1.1 Identifikasi bahan tumbuhan ... 30
4.1.2 Karakterisasi simplisia ... 30
4.1.3 Skrining fitokimia serbuk simplisa ... 31
4.2 Pengujian Efek Antidiare ... 32
4.2.1 Metode transit intestinal ... 32
4.2.2 Pengujian aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair ... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1 Kesimpulan ... 40
5.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Hasil karakteristik simplisia daun ranti ... 31
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia daun ranti ... 32
Tabel 4.3 Persentase lintasan marker norit pada usus tikus kondisi
normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb ... 34
Tabel 4.4 Hasil uji beda rata – rata antar kelompok (uji ANAVA) .. 35
Tabel 4.5 Hasil uji Post Hoc Tukey HSD ... 35
Tabel 4.6 Jumlah bobot feses cair pada tikus diare, tikus yang diberi
EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb selama enam jam pengamatan ... 37
Tabel 4.7 Hasil uji beda rata – rata antar kelompok uji ... 38
Tabel 4.7 Hasil uji Post Hoc Tukey bobot feses cair tikus pada
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5
Gambar 4.3 Grafik persentase lintasan marker norit pada usus tikus kondisi normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan
loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb ... . 34
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 44
Lampiran 2. Gambar tanaman ranti ... 45
Lampiran 3. Simplisia dan serbuk simplisia daun ranti ... 46
Lampiran 4. Bagan kerja pembuatan ekstrak ... 47
Lampiran 5. Hasil penimbangan, rendemen dan susut pengeringan ... 48
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan mikroskopik ... 49
Lampiran 7. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia ... 50
Lampiran 8. Bagan pengerjaan uji efek antidiare pada tikus metode transit intestinal ... 55
Lampiran 9. Bagan pengerjaan uji efek antidiare metode defekasi ... 56
Lampiran 10. Data persentase lintasan marker norit ... 57
Lampiran 11. Gambar usus halus yang dilintasi marker norit ... 58
Lampiran 12. Gambar kandang tikus uji dan feses cair tikus ... 59
Lampiran 13. Volume maksimum sesuai jalur pemberian dan konversi dosis ... 60
vi
EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI (Solanum americanum Mill.) TERHADAP
TIKUS PUTIH JANTAN
ABSTRAK
Diare merupakan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali sehari dengan feses cair. Data insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia 3,5%. Prevalensi diare di Provinsi Sumatera Utara yaitu 6,7%. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal. Tingginya angka kejadian dan bahayanya diare, oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan obat tradisonal. Salah satu
tanaman berkhasiat yang dikenal masyarakat adalah tanaman ranti (Solanum
americanum Mill.). Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun ranti.
Karakterisasi simplisia dilakukan untuk menetapkan parameter mutu simplisia dan dilakukan identifikasi kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun ranti. Ekstraksi dilakukan dengan cara perkolasi mengunakan pelarut etanol 70%. kemudian ekstrak diuji efek antidiare pada tikus jantan dengan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare dan suspensi norit 5% digunakan sebagai marker. Metode uji antidiare yang digunakan adalah uji aktivitas antidiare metode defekasi yang
diinduksi oleum ricini dan transit intestinal dengan menghitung persen lintasan
yang dilewati norit pada usus tikus.
Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti yaitu dengan hasil kadar air 4,69%, kadar sari larut air 18,59%, kadar sari larut etanol 15,32%, kadar abu total 6,43% dan kadar abu tidak larut asam 0,92%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti terdapat senyawa-senyawa golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, dan tanin.
Hasil penelitian ekstrak etanol daun ranti memiliki efek antidiare. Data analisis statistik persentase lintasan marker norit menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ranti dengan dosis 100 mg/kg bb 68,91 ± 0,65%, dosis 200 mg/kg bb 56,54 ± 1,11% dan 400 mg/kg bb 38,64 ± 0,95% berbeda signifikan (p < 0,05). Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb 42,49 ± 2,60% tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan ekstrak etanol daun ranti dosis 400 mg/kg bb. Sedangkan pada medote aktivitas antidiare yang diinduksi oleum ricini hasil analisis statistiknya menyatakan ada penurun jumlah bobot feses cair yang signifikan (p < 0,05) pada kelompok yang diberi ekstrak 200 dan 400 mg/kg bb.
Kata Kunci: Daun ranti, Solanum americanum Mill., metode transit intestinal,
vii
ANTIDIARRHOEAL EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT OF RANTI LEAF (Solanum americanum Mill.)
IN RATS WHITE MALE
ABSTRACT
Diarrhea is a bowel disorder that is characterized more than 3 times a day with liquid stools. The percentage of diarrhea incidence data for all age groups in Indonesia was 3.5%. The prevalence of diarrhea in North Sumatra province was 6.7%. Individuals who suffered severe diarrhea could be died due to the high number of incidence of diarrhea and the bad effect of diarrhea. Therefore, it is necessary to prevent the disease by promoting the use of traditional medicine. One
of the medicinal plants known by the public is ranti plant (Solanum americanum
Mill.). This experiment was done to scientifically prove the efficacy of antidiarrheal ethanol extract from ranti leaves.
The characterization of simplex ranti leaf to establish quality and
determination of chemical compounds. Extraction has be done perkolasi with solvent ethanol 70 percent. and unpack it tested stock exchange antidiarrhoeal in rats bull with the dose 100 mg/kg of body weight, 200 mg/kg of body weight and 400 mg/kg of body weight. Oleum ricini was used as an inducer of diarrhea and suspension norit 5% was used as a marker. Antidiarrheal test method used was the antidiarrheal activity induced defecation method oleum ricini and intestinal transit by calculating the percentage trajectory passed norit on rat intestine.
The results of the characterization of simplex ranti leaves were water content 4.65%, water-soluble extract 18.59%, content of ethanol-soluble extract 15.32%, total ash content 6.43% and acid insoluble ash content 0.92%. Results of phytochemical screening of simplex ranti leaves were compounds steroids/ triterpenoids, alkaloid, flavonoids, glycosides, saponins, and tannins.
The results of the study of extract ethanol of ranti leaf have antidiarrheal effects. Statistical analysis of the percentage of marker trajectories norit showed that the extract ethanol of ranti leaf a dose of 100 mg/kg bw 68.91 ± 0.65%, a dose of 200 mg/kg bw 56.54 ± 1.11% and 400 mg/kg bw 38.64 ± 0.95% was significantly different (p < 0.05). The dose of loperamide dose of 0.54 mg/kg bw 42.49 ± 2.60% did not different significantly (p > 0.05) with the ethanol extract of leaves ranti dose of 400 mg/kg bw. While the methods now antidiarrheal activity induced oleum ricini statistical analysis of the results stated there is lowering the amount of liquid stool weight and not uniform, which was significantly different (p < 0.05) in the group given the extract 200 and 400 mg/kg bw.
Key word: ranti leaves, Solanum americanum Mill., transit intestinal method,
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare merupakaan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali
sehari dengan kelebihan bobot cair. Berat feses sebagian besar ditentukan oleh air
feses. Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses
(Goodman dan Gilman., 2012). Diare disebabkan oleh berbagai faktor antara lain
virus, bakteri, parasit, penyakit, obat-obatan dan keracunan makanan sehingga
terjadi peningkatan peristaltik usus yang menyebabkan pelintasan chymus (bubur
feses) sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air saat meninggalkan
tubuh sebagai tinja (Tan dan Rahardja, 2007).
Prevalensi insiden diare di Indonesia berdasarkan seluruh kelompok umur
yaitu 3,5% sedangkan di Provinsi Sumatera Utara 6,7%. Menurut Kemenkes RI
(2013), kasus kejadian diare di Kota Medan sepanjang tahun 2012 lebih kurang
sebanyak 29.769 kasus. Penyebab diare terbanyak akibat iritasi usus oleh patogen
yang mempengaruhi lapisan mukosa usus, sehingga terjadi peningkatan produk
sekretorik, termasuk mukus. Iritasi juga mempengaruhi peningkatan motilitas
usus. Peningkatan motilitas menyebabkan banyak air dan elektrolit terbuang.
Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal (Corwin, 2009). Karena
tingginya angka kejadian dan bahaya diare, perlu dilakukan upaya
penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan
2
tanaman ranti (Solanum americanum Mill.) dari suku Solanaceae merupakan
tanaman obat yang banyak tersebar di Indonesia.
Tanaman ranti yang memiliki rasa pahit ini digunakan secara empiris
sebagai obat disentri, tukak lambung, antigastritic dan infus daun segar efektif
sebagai antiinflamasi (Edmonds dan James, 1997). Selain itu ranti juga
merupakan tanaman obat yang memiliki aktivitas sebagai analgetik, antipiretik
dan antibakteri (Wijayakusuma, 2008). Ekstrak etanol daun ranti efektif sebagai
antibakteri penyebab diare yaitu bakteri E. Coli (Parameswari, et al., 2012).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Pronob dan Islam (2012) menunjukkan
bahwa kandungan mineral dan fitokimiadaun ranti mengadung senyawa golongan
alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. Kandungan kimia tanin dan flavonoid
diduga dapat memiliki khasiat sebagai antidiare.
Berdasarkan penggunaan secara empiris dan kandungan senyawa aktif daun
ranti memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi obat antidiare. Pengujian ini
dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun
ranti dengan metode transit intestinal yang bertujuan untuk mengukur perjalanan
norit sebagai parameter motilitas usus (Vogel, 2002) dan uji aktivitas antidiare
metode defekasi dengan parameter bobot feses cair.
Berdasarkan uraian diatas, maka telah dilakukan pengujian efek antidiare
ekstrak etanol daun ranti dengan menggunakan model pengujian antidiare pada
tikus putih jantan untuk menggali potensi tanaman yang dapat digunakan sebagai
penggobatan pada penderita diare. Penelitian ini dilakukan dengan variasi dosis
3 1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada penelitian
ini adalah:
a. apakah karakteristik simplisia daun ranti yang diteliti dapat ditentukan?
b. golongan senyawa kimia apakah yang terdapat pada simplisia daun ranti?
c. apakah ekstrak etanol daun ranti mempunyai efek sebagai antidiare pada
tikus putih jantan dengan metode transit intestinal dan uji aktivitas
antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis pada penelitian ini
adalah:
a. hasil karakteristik simplisia daun ranti yang diteliti dapat ditentukan.
b. golongan senyawa yang terdapat pada serbuk simplisia yaitu:
steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin
c. ekstrak etanol daun ranti mempunyai efek sebagai antidiare pada tikus
putih jantan dengan metode transit intestinal dan uji aktivitas antidiare
4 1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. untuk mengetahui karakteristik simplisia daun ranti.
b. untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk
simplisia daun ranti.
c. untuk mengetahui efek antidiare ekstrak etanol daun ranti.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
a. memberikan informasi ilmiah dasar penggunaan ekstrak etanol daun ranti
sebagai antidiare.
b. Menambah inventaris tanaman obat untuk menunjang pengembangan
5 1.6 Kerangka Pikir Penelitian
Variabel bebas Variabel Terikat Parameter
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Ekstrak etanol daun
ranti 100 mg/kg bb
Aktivitas antidiare dengan diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb
Loperamid HCL 0,54 mg/kg bb
Ekstrak etanol daun ranti 400 mg/kg bb Ekstrak etanol daun ranti 200 mg/kg bb
1. Persentase
lintasan marker norit
2. Bobot feses
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputih, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah,
nama asing, morfologi tumbuhan dan kandungan kimia.
2.1. 1 Sistematika Tumbuhan
Sistematika tumbuhan ranti berdasarkan hasil identifikasi Herbarium
Medanense adalah sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo :
Famili :
Genus :
Spesies : Solanum americanum Mill.
Sinonim : Solanum Nigrum L., Solanum nodiflorum Jacq. (Edmonds
dan James, 1997).
2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing
Nama daerah ranti: leunca badak, lenca manuk (Jawa); leunca hayam,
leunca pahit, leunca hayam, leunca piit (Sunda); rampai, ranti (Sumatera); anti,
boose, bobose (Maluku).
Nama asing ranti: long kui (Tiong Hoa), enab el-deeb (Arab),
7 2.1.3 Morfologi Tumbuhan
Tanaman ini termasuk ke dalam golongan semak, dengan tinggi lebih
kurang 1,5 m. Memiliki akar tunggang dengan warna putih kocoklatan. Batang
tegak, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau. Berdaun tunggal, lonjong, dan
tersebar dengan panjang 5-7,5 cm ; lebar 2,5-3,5 cm. Pangkal dan ujung daun
meruncing dengan tepi rata. Pertulangan daun menyirip. Daun mempunyai
tangkai dengan panjang ± 1 cm dan berwarna hijau. Bunga berupa bunga
majemuk dengan mahkota kecil, bangun bintang, berwarna putih, benang sari
berwarna kehijaunan dengan jumlah 5 buah. Tangkai bunga berwarna hijau pucat
dan berbulu. Buah berbentuk bulat, jika masih muda berwarna hijau, dan
berwarna hitam mengkilat jika sudah tua ukurannya kira-kira sebesar kacang
kapri. Biji berbentuk bulat pipih, kecil-kecil, dan berwarna putih (Dalimarta,
2008).
2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan
Kandunga kimia daun ranti yaitu steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida,
flavonoid, saponin dan tanin (Edmonds dan James, 1997). Buah ranti juga
mengadung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid (Hartati,
dkk., 2005).
2.2 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati,
8 2.3 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dengan pelarut air
atau cairan penyari. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif atau simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua pelarut atau hampir semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
2.4 Cara-cara Ekstraksi
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu:
1. Cara dingin
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses perendaman simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung bahan aktif. Zat aktif akan larut karena
adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel,
sehingga larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi secara
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan
di dalam sel (Ditjen POM, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
9
di tempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya di beri sekat
berpori. Cairan penyari di alirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut,
cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel - sel yang dilalui sampai
mencapai keadaan jenuh. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak),
terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).
2. Cara panas
Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari:
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk ekstraksi sempurna (Ditjen
POM, 2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk mengekstraksi
sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar. Kerugiannya adalah membutuhkan
volume total pelarut yang besar.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM,
2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur
10 c. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu umumnya pada
temperatur 40 – 50 ºC.
d. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia
nabati dengan pelarut air pada suhu 90ᵒC selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).
e. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.5 Uraian Saluran Pencernaan
Saluran cerna dimulai dari mulut sampai anus. Saluran cerna berfungsi
untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan, menyerap zat gizi
yang penting bagi tubuh, serta mengeksresi bagian makanan yang tidak diserap
dan sebagai hasil akhir metabolisme (Corwin, 2009).
Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, berlanjut ke esofagus
dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke
usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, yeyunum, dan
ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus,
dari usus halus makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon
dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung
11 2.5.1 Rongga Mulut dan Faring
Rongga mulut merupakan awal dari saluran cerna dan di sini makanan di
kunyah menjadi halus dan dicampur dengan ludah. Pada peristiwa mengunyah
yang berperan adalah gigi, otot pengunyah, lidah, pipi, dasar mulut, dan langit -
langit. Ludah di bentuk oleh tiga pasang kelenjar besar, glandula parotis (kelenjar
ludah telinga), glandula submandibularis ( kelenjar ludah rahang bawah), dan
glandula sublingualis (kelenjar ludah bawah lidah) dan kemudian melalui
saluran-salurannya akan masuk ke rongga mulut. Produksi ludah setiap hari sekitar 1,5
liter. Pada proses menelan yang dimulai secara sadar dan kemudian berlanjut
secara reflektoris, makanan yang dilapisi ludah akan masuk melalui faring ke
esofagus (Mutschler, 2010).
2.5.2 Esofagus
Esofagus berfungsi untuk menggerakkan makanan dari faring ke lambung
melalui gerak peristaltik. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus
untuk melumasi dan melindungi esofagus. Esofagus hanya berfungsi untuk
meneruskan makanan (Mutschler, 2010).
2.5.3 Lambung
Lambung terdiri atas tiga bagian yakni bagian atas (fundus), bagian tengah
(corpus), dan bagian bawah (antrum) yang meliputi pelepasan lambung (pylorus).
Selain otot penutup pylorus, dibagian atas lambung juga terdapat otot melingkar
lain yakni sfingter kerongkongan - lambung (katup gastro - esofagus). Sfingter
tersebut bekerja sebagai katup dan berfungsi menyalurkan makanan ke hanya satu
12 2.5.4 Usus halus
Panjang usus halus adalah 6 m dan di sini berlangsung hampir seluruh
proses pencernaan. Usus halus terdiri atas tiga bagian utama yakni duodenum
(usus dua belas jari) yang membentuk huruf C, jejenum (usus kosong), dan
akhirnya ileum (ujung usus - halus) yakni bagian tersempit dari usus halus (Tan
dan Rahardja, 2007).
Pada kerja motorik usus halus dibedakan atas gerakan mencampur dan
gelombang peristaltik dorong. Gerakan mencampur melakukan pencampuran
intensif khimus dengan getah pankreas, empedu dan sekret dari kelenjar usus
halus, sedangkan gerakan peristaltik mendorong adonan makanan. Gerakan ini
dapat timbul dengan adanya relaksasi dinding usus halus dan dikendalikan saraf
melalui plexus myentericus (Mutschler, 2010).
Proses pencampuran yang menyeluruh selama segmentasi memastikan
khimus bereaksi dengan enzim pencernaan dan kembali kontak dengan dinding
usus sehingga memfasilitasi absorpsi (Corwin, 2009).
2.5.5 Usus besar
Usus besar yang merupakan bagian akhir dari saluran cerna dapat dibagi
menjadi: cecum (usus buntu sekum) dengan apendix vermiformis (umbai cacing),
colon (usus besar) dan rektum. Di usus besar dengan pengentalanm isi usus
terbentuk feses (Mutschler, 2010). Laju kontraksi usus besar lebih lambat
dibandingkan dengan usus halus. Hal ini berarti makanan yang masuk ke dalam
usus besar perlu waktu seharian untuk berjalan menyusuri seluruh bagian struktur
usus besar (Corwin, 2009). Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan
13
maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif. Karena
gerakan kolon tersebut lambat, bakteri memiliki cukup waktu untuk tumbuh dan
menumbuk di usus besar (Sherwood, 2001).
Bakteri yang terdapat di kolon meliputi Escherichia coli, Enterobacter
aerogenes, Bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja
(Ganong, 2008). Esherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam
saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E.coli menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E.coli berasosiasi dengan
entero patogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Toksin yang
dihasilkan oleh E.coli merangsang sekresi Na+ dan air di usus halus (Ganong,
2008).
2.6 Uraian Diare
Diare merupakan pengeluran feses dengan kelebihan bobot cair yang
terlalu cepat, untuk orang dewasa yang sehat maksimum berat air normal dalam
feses adalah 200 g/hari. Karena berat feses sebagian besar ditentukan oleh air
feses. Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses.
Kandungan bersih cairan feses mengambarkan keseimbangan antara input lumen
(ingesti dan sekresi air dan elektrolit) dan output sepanjang saluran
gastrointestinal (Goodman & Gilman, 2012).
Kebanyakan kasus diare disebabkan gangguan transpor air dan elektrolit di
usus, secara mekanik diare dapat disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan
osmotik di dalam usus (sehingga menyebabkan retensi air di dalam lumen);
14
dan cairan dari mukosa; dan perubahan motilitas usus sehingga mempercepat
transit. Pada umumnya, terjadi berbagai proses yang saling mempengaruhi, yang
mengarah pada peningkatan volume dan berat feses yang disertai persen
kandungan air (Goodman & Gilman, 2012).
Diare merupakan gangguan resorpsi disebabkan oleh meningkatnya
peristaltik usus, sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih
mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tan dan
Rahardja, 2007).
2.6.1 Patofisiologi Diare
Berdasarkan tinjauan patofisiologi dibedakan beberapa mekanisme
penyebab diare sebagai berikut:
a. kurangnya absorpsi zat osmotik dari lumen usus ( diare osmotik)
b. meningkatnya sekresi elektrolit dan air ke dalam lumen usus (diare
sekretorik)
c. naiknya permeabilitas mukosa usus
d. terganggunya motilitas usus (Mutschler, 2010).
Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik yaitu:
1. Diare osmotik, dapat disebabkan oleh sindroma malcerna (maldigesti) atau
malabsorpsi serta akibat pemasukan zat yang sukar diabsorpsi (dibandingkan
osmolaksansia). Jika makanan dihentikan, diare osmotik akan berhenti.
2. Diare sekretorik, disebabkan oleh toksin bakteri yang mengaktifkan adenilat
siklase dalam sel mukosa, sehingga cAMP akan dibentuk lebih banyak.
Disamping toksin kolera, toksin dari Salmonella dan Shigella juga
15
perjalanan disebabkan oleh toksin Eschericia coli. Penyebab lain diare
sekretorik ini adalah zat endogen, misalnya polipeptida usus vasoaktif
(Vasoaktif Intestinal Polypeptide, VIP). Berbeda dengan diare osmotik, diare
sekretorik tetap terjadi pada pasien yang puasa.
3. Peningkatan permeabilitas mukosa usus dapat terjadi karena penyakit pada
usus halus dan usus besar (misal colitis ulcerosa atau karsinoma kolon) atau
karena tidak terabsorpsinya asam empedu. Diare kologen semacam ini
ditemukan setelah sekresi ileum, yang merupakan tempat utama reabsorpsi
kembali asam empedu. Asam empedu yang masuk ke kolon akan
memperbesar masuknya air dan elektrolit ke lumen usus dan disini akan
menyebabkan diare. Jika kehilangan asam empedu melampaui kapasitas
sintesis dihati, terjadi pengurangan absorpsi lemak sehingga timbul feses
berlemak (steatorea).
4. Peningkatan motilitas intestine yang merupakan penyebab diare yang di
temukan misalnya pada hipertireosis (Mutschler, 2010).
2.6.2 Obat-obat antidiare
Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah :
1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab
diare seperti antibiotika, sulfonamide, dan senyawa kinolon.
2. Obstipansia untuk terapi simptomatis, yang dapat menghentikan diare dengan
beberapa cara, yakni:
a. Zat-zat yang menghambat peristaltik sehingga memberikan lebih banyak
16
dan alkaloidnya, derivat petidin (loperamid), dan antikolinergika
(atropine, ekstrak belladonna) (Tan dan Rahardja, 2007).
b. Adstringensia, merupakan senyawa yang dengan protein dalam larutan
netral atau asam lemah akan membentuk endapan yang tak larut, terasa
kesat dan jika diberikan pada mukosa akan bekerja menciutkan. Zat ini
akan menyebabkan perapatan dan penciutan lapisan selaput lendir usus,
dan menghambat sekresi jaringan yang meradang. Contohnya preparat
yang mengandung tanin dan tannalbin, garam-garam bismuth dan
aluminium (Mutschler, 2010).
c. Absorbensia, misalnya carbo adsorben yang pada permukaannya dapat
menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau
yang adakalanya berasal dari makanan. Termasuk disini juga
mucilagines, zat - zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan
luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, umpamanya kaolin, pektin, dan
garam bismuth serta aluminium (Tan dan Rahardja, 2007).
3. Spasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang
seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare misalnya papaverin (Tan dan
Rahardja, 2007).
2.7 Loperamid Hidrokloridum
Loperamid bekerja terutama melaluai reseptor µ-opioid perifer dan lebih
disukai daripada obat lain karena keterbatasannya untuk berpenetrasi ke SSP.
Obat ini meningkatkan waktu transit usus halus dan juga waktu transit dari mulut
17
secara terapeutik untuk pasien yang tidak dapat mengontrol anal. Selain itu
loperamid memiliki aktivitas antisekretori untuk melawan toksin kolera dan
beberapa bentuk toksin E. Coli. Dosis lazim untuk dewasa 4 mg untuk permulaan
dan diikuti 2 mg tiap kali selesai defekasi hingga 16 mg/hari (Goodman &
Gilman, 2012).
2.8 Oleum Ricini
Oleum ricini atau minyak jarak diperoleh dari biji tanaman jarak Ricinus
communis, dan kaya akan kandungan trigliserida asam risinoleat. Trigliserida
dihindrolisis di usus halus oleh lipase menjadi gliserol dan zat aktifnya, yakni
asam risinoleat yang terutama bekerja di usus halus menstimulasi sekresi cairan
dan elektrolit serta mempercepat transit usus. Jika 4 ml minyak jarak diminum
pada saat perut kosong dapat menghasilkan efek laksantif dalam waktu 1-3 jam.
Namun dosis lazim efek katartik adalah 15 – 60 ml untuk dewasa (Goodman &
Gilman, 2012).
Minyak jarak ini merupakan iritan lokal yang meningkatkan motilitas
usus. Awal kerjanya cepat dan berlanjut hingga senyawa tersebut diekskresikan
melalui kolon (Katzung, 2010). Minyak jarak sebagai laksantif stimulan memiliki
efek langsung terhadap enterosit, neuron enterik dan otot. Zat ini kemungkinan
menginduksi sedikit radang pada usus halus dan usus besar secara terbatas untuk
meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dan menstimulasi motilitas usus
18
Pasricha, Pankaj.J., dan Jafri, Syed. (2012). Goodman & Gilmen Dasar
Farmakologi Terapi Vol 2 Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal.
19 BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Penelitian ini
meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan, pengolahan
bahan tumbuhan, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, penyiapan hewan uji
dan pengujian efek antidiare dengan metode transit intestinal dan metode defekasi
yang diinduksi oleum ricini pada hewan uji. Data hasil penelitian dianalisis secara
ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Post Hoc
Tukey HSD menggunakan program SPSS (Statistikal product and service
solution) versi 20.
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas
laboratorium, blender (Panasonic), rotary evaporator (Buchi), oven listrik
(Fischer scientific), mikroskop (boeco), tanur, gelas ukur (Pyrex), kandang tikus,
lemari pengering, neraca listrik (Vibra), neraca hewan (Presica Geniweigher
GW-1500), oral sonde, seperangkat alat destilasi, stopwatch, spuit 1 ml, spuit 3 ml
(Terumo), seperangkat alat bedah hewan dan kertas saring.
3.1.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan
dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun ranti (Solanum
20
akuades, toluena (p.a), kalium iodida, merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam
nitrat, iodium, α-naftol, asam asetat pekat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III)
klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, metanol
(teknis), eter minyak tanah (teknis), etilasetat (p.a), serbuk seng, serbuk
magnesium, isopropanol, etanol 70%, karboksi metil selulosa (CMC), norit,
loperamid HCl (tablet Imodium®) dan oleum ricini .
3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan
3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan
Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif. Bahan tumbuhan yang
digunakan adalah daun ranti (Solanum americanum Mill.). Sampel diambil dari
Pasar Sore Padang Bulan Medan.
3.2.2 Identifikasi bahan tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense, Universitas
Sumatera Utara.
3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan
Daun ranti dicuci hingga bersih dan ditiriskan, kemudian dikering anginkan,
selanjutnya ditimbang hasilnya 3000 gram. Bahan dimasukkan ke dalam lemari
pengering dengan temperatur 30 - 45oC hingga kering, yang ditandai apabila
dipatahkan telah rapuh, lalu ditimbang sehingga diperoleh berat keringnya 420
gram. Simplisia kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender, serbuk
diayak terlebih dahulu lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan di
21 3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi
Pembuatan larutan pereaksi menurut Materia Medika Indonesia Edisi VI
(1995):
3.3.1 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air
suling ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling
hingga 100 ml.
3.3.2 Pereaksi Dragendorff
Sebanyak 0,8 g bismuth (II) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain ditimbang 27,2 g kalium iodida lalu
dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian campurkan kedua larutan dan
diamkan sampai memisah sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan
air suling hingga 100 ml.
3.3.3 Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida
lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kemudian keduanya dicampur dan
ditambahkan air suling hingga 100 ml.
3.3.4 Peraksi Besi (III) Klorida 1%
Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air
hingga 100 ml.
3.3.5 Pereaksi Molisch
Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat
22 3.3.6 Pereaksi Lieberman - Bourchard
Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrida dan 1 bagian asam sulfat
pekat.Kemudian ditambah etanol hingga 50 ml.
3.3.7 Pereaksi Asam Klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dalam air suling hingga
100 ml.
3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia
Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi makroskopik, mikroskopik,
penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut
dalam asam, penetapan kadar sari larut dalam etanol, dan penetapan kadar sari
larut dalam air (Ditjen POM, 1995).
3.4.1 Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, bau
dan rasa dari simplisia daun ranti dan daun ranti segar.
3.4.2 Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan
cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek dan ditetesi dengan
kloralhidrat kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu dilihat dibawah
mikroskop.
3.4.3 Penetapan kadar air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluen).
Cara penetapan: ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml
23
pada tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan 5 g serbuk
simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati – hati selama 15 menit.
Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur, kurang lebih 2 tetes tiap detik,
hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4
tetes tiap detik. Setelah semua tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan
toluena yang telah jenuh. Penyulingan dilanjutkan selama 5 menit, kemudian
tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena
memisah sempurna, volume dibaca. Selisih kedua volume air dibaca sesuai
dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992).
3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml
air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu
bersumbat sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan
selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai
kering dalam cawan penguap yang beralas datar telah dipanaskan pada suhu
105ᵒC dan ditara, panaskan sisa pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam
persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(Kemenkes RI, 2009).
3.4.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol
Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml
etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam
pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindari
penguapan etanol, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan
24
pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang
larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
(Kemenkes RI, 2009).
3.4.6 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah
dipijar dan ditara. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang
masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring
bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat
ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan (Kemenkes RI, 2009).
3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas,
dipijarkan dalam krus hingga bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang
sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap
berat bahan uji (Kemenkes RI, 2009).
3.5 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan
senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan
25 2.5.1 Pemeriksaan steroid/triterpenoid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml nheksan
selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya
ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila
terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau
menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).
3.5.2 Pemeriksaan alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml
asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2
menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid.
Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada
masing-masing tabung reaksi:
a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat
c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff
Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga
percobaan diatas (Ditjen POM, 1995).
3.5.3 Pemeriksaan glikosida
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml
campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2
jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling
dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit, lalu
disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2)
26
tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol untuk larutan
percobaan. 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas penangas air, pada sisa
ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml
asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan, menunjukkan
adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).
3.5.4 Pemeriksaan flavonoid
Sebanyak 1 g serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, didihkan
selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat
ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil
alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Positif mengandung flavonoid jika
terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol
(Fransworth, 1966).
3.5.5 Pemeriksaan tanin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring,
filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml
larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi
warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen
POM, 1995).
3.5.6 Pemeriksaan saponin
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok
kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak
kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam
27 3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Ranti
Sebanyak 300 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana tertutup,
etanol 70% dituangkan ke dalam bejana sampai seluruh simplisia terendam,
diaduk, dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Dipindahkan massa sedikit
demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, dituangkan
cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia
masih terdapat selapis cairan penyari, ditutup perkolator, dibiarkan selama 24 jam.
Keran dibuka, dibiarkan cairan menetes dengan kecepatan 20 tetes per menit.
Pelarut dialirkan secara kontinu dari atas dengan kecepatan yang sama dengan
menggunakan reservoar yang berisi pelarut hingga selalu terdapat selapis cairan
diatas simplisia. Perkolasi dihentikan setelah tetesan terakhir perkolat tidak
berwarna lagi atau apabila sebanyak 500 mg cairan perkolat diuapkan di atas
penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan
alat penguap vakum putar (rotary evaporator).
3.7 Percobaan Efek Antidiare
Percobaan efek antidiare meliputi penyiapan hewan uji, bahan uji, obat
pembanding (loperamid HCl), oleum ricini, dan pengujian efek antidiare.
3.7.1 Penyiapan hewan uji
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur wistar dengan
berat badan 150-200 g sebanyak 30 ekor, dibagi dalam 6 kelompok, setiap
kelompok terdiri dari 5 ekor tikus pada pengujian dengan metode transit intestinal
28
feses cair digunakan sebanyak 30 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, setiap
kelompok terdiri dari 6 ekor tikus putih jantan.
Dua minggu sebelum pengujian dilakukan, hewan uji dipelihara dengan
tujuan untuk menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba
sama sehingga dianggap memenuhi syarat untuk penelitian.
3.7.2 Penyiapan bahan
Penyiapan bahan-bahan meliputi larutan suspensi CMC 0,5%, suspensi norit
5%, air suling, oleum ricini, etanol 70%, suspensi ekstrak etanol daun ranti,
suspensi loperamid.
3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%
Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling
panas sebanyak 20 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh
masa yang transparan, digerus lalu diencerkan dengan air suling hingga 100 ml
(Anief, 1997).
3.7.2.2 Pembuatan suspensi serbuk tablet loperamid HCl
Tablet Imodium® mengandung 2 mg loperamid HCl, ditimbang sebanyak
20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 30,33 mg. serbuk
dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na CMC 0,5% sedikit
demi sedikit sambil digerus homogen lalu ditambahkan suspensi Na CMC 0,5%
hingga 10 ml, dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 61.
3.7.2.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun ranti
Ekstrak etanol daun ranti dibuat konsentrasi 5%, yaitu ditimbang sebanyak
2,5 g ekstrak etanol daun ranti, lalu ditambahkan suspensi CMC 0,5% sedikit
29
0,5% hingga 50 ml. Disetiap melakukan penelitian, suspensi ekstrak etanol daun
ranti dibuat baru dengan konsentrasi yang sama.
3.7.3 Pengujian efek antidiare
3.7.3.1 Metode transit intestinal
Semua kelompok diberi perlakuan secara per oral. Pada t = 0 tikus
kelompok I (kontrol) diberi suspensi norit 5% sebanyak 1 ml. Kelompok II diberi
oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb dan suspensi norit 5% sebanyak 1 ml dan
kelompok III, IV, dan V diberi suspensi ekstrak etanol daun ranti 5% dosis 100
mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb. Kelompok VI sebagai pembanding
diberikan suspense loperamid dosis 0,54 mg/kg bb. EEDR dan suspensi loperamid
diberikan pada saat t = 0 menit, kemudian setelah 60 menit semua hewan
diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb. pada t = 120 menit semua hewan
diberi suspensi norit 5% sebanyak 1 ml. pada t = 180 menit semua hewan
dikorbankan secara dislokasi tulang leher. Usus dikeluarkan secara hati-hati.
Diukur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pylorus sampai katup
ileosekal dari masing-masing hewan. Kemudian dari masing-masing tikus
dihitung persen lintasan yang dilalui oleh marker norit terhadap panjang usus
seluruhnya (Chitme, dkk., 2004).
Untuk menghitung persentase lintas norit:
= panjang usus yang dilalui marker norit
panjang usus seluruhnya x100%
3.7.3.2 Aktivitas antidiare metode defekasi
Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 18
jam dengan tetap diberi minum untuk mengosongkan usus agar mempermudah
30
oleum ricini 2 ml/200 g bb (Sumarny, dkk., 2013). Sediaan uji diberikan satu jam
setelah induksi dengan oleum ricini. Tikus masing- masing diletakkan kedalam
kandang yang dialasi nampan plastik dengan dilapisi kertas saring yang
sebelumnya telah ditimbang dan dilakukan pengamatan selama enam jam,
muculnya diare ditandai dengan adanya feses cair. Selanjutnya kertas saring yang
ditempeli feses cair ditimbang. Penilain efek antidiare berdasarkan
penurunan/pengurangan yang bermakna bobot feses kelompok uji dibandingkan
kelompok kontrol selama enam jam. Kelompok I diberi oleum ricini 2 ml/200 g
bb, kelompok II suspensi loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb, kelompok III-V
diberi EEDR dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb.
3.8 Pengumpulan Data
Nilai rasio kemudian dirata-rata untuk masing-masing kelompok, dan nilai
dari masing-masing kelompok tersebut dibandingkan dengan kelompok lainnya.
3.9 Analisis Data
Data hasil pengamatan persen lintas marker norit dan bobot feses cair
dianalisis secara statistik dengan metode ANAVA pada tingkat kepercayaan 95%
dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata antar
kelompok perlakuan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS
31 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan
4.1.1 Identifikasi bahan tumbuhan
Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di “Herbarium Medanense”, Fakultas
MIPA Biologi USU menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah
tumbuhan ranti (Solanum amiricanum Mill.) suku Solanaceae. Hasil identifikasi
dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 44.
4.1.2 Karakterisasi simplisia
Hasil pemeriksaan makroskopik daun ranti segar yaitu berwarna hijau,
berdaun tunggal dan tersebar dengan panjang 2,5 - 8,5 cm dan lebar ± 2,5 cm dan
permukaan merata. Bentuk daun jorong, pangkal daun membundar, ujung
runcing, tepi daun rata, pertulangan daun menyirip. Daun mempunyai tangkai
dengan panjang ± 1 cm. Gambar dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 45.
Makroskopik simplisia daun ranti yaitu berwarna
hijau kecoklatan, agak menggulung keatas, bertulang menyirip, berbau khas
dan rasa sedikit pahit. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun ranti
terlihat adanya fragmen pembuluh kayu, stomata tipe anisositik dan rambut
penutup berbentuk kerucut panjang yang dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman
49.
Menurut Kemenkes RI, suatu simplisia yang akan digunakan sebagai bahan
baku obat harus memenuhi persyaratan mutu yang tercantum dalam monografi
32
akan tetapi monografi simplisia daun ranti belum ada. Hasil pemeriksaan
karakterisasi serbuk simplisia daun ranti dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti
No Karakteristik serbuk simplisia Kadar (%)
1 Kadar air 4,65
2 Kadar sari yang larut dalam air 18,59
3 Kadar sari yang larut dalam etanol 15,32
4 Kadar abu total 6,43
5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,92
Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti menunjukkan bahwa kadar
air 4,65%. Persyarakan kadar air ini memberikan batas kandungan air yang masih
dapat ditolerir untuk menjaga stabilitas simplisia, karena simplisia yang
mengadung kadar air tinggi atau lebih dari 10% maka akan menjadi media yang
baik untuk pertumbuhan mikroba dan jamur. Penetapan kadar sari dilakukan
untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang larut dalam air dan dalam
etanol. Hasil kadar sari yang larut dalam air yaitu 18,59% sedangkan kadar sari
yang larut dalam etanol 15,32%. Penetapan kadar abu total bertujuan untuk
mengetahui kadar senyawa - senyawa anorganik seperti oksida logam Mg, Ca, Pb,
dan Si. Penetapan kadar abu tidak larut asam untuk mengetahui senyawa
anorganik yang tidak larut asam seperti silikat. Besarnya kandungan logam
tersebut, dapat membahayakan kesehatan. Hasil yang didapat untuk kadar abu
total adalah 6,43% dan kadar abu tidak larut asam adalah 0,92%.
4.1.3 Skrining fitokimia serbuk simplisia
Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti menunjukan hasil dapat
33
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia
No Pemeriksaan Serbuk simplisia
1 Steroid/ Triterpenoid +
(+) : Mengandung senyawa metabolit sekunder (-) : Tidak mengandung senyawa metabolit sekunder
4.2 Pengujian Efek Antidiare
4.2.1 Metode transit intestinal
Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 18
jam dengan tetap diberi minum untuk mengosongkan usus agar mempermudah
proses absorpsi pada saluran cerna dan mempermudah dalam pengukuran lintasan
marker norit pada usus tikus. Tikus yang digunakan dalam pengujian memiliki
berat badan 150 - 200 g. Tikus putih jantan dengan berat badan 150 - 200 g
termasuk rentang berat badan tikus dewasa (Dare, et al., 2012).
Suspensi norit digunakan sebagai marker dalam pengukuran metode transit
intestinal. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare pada hewan uji
karena mengandung trigliserida dari asam risinoleat yang dihidrolisis dalam usus
oleh enzim lipase pankreas menjadi asam risinoleat, dimana zat ini bekerja
menghambat absorpsi cairan dan elektrolit serta meningkatkan motilitas usus
(Lembo dan Camilleri, 2003). Volume pemberian oleum ricini pada tikus dewasa
sebagai penginduksi adalah 2 ml/200 g berat badan secara oral (Sumarny, dkk.,
2013). Loperamid digunakan sebagai pembanding karena bekerja memperlambat
34
menyebabkan ketergantungan (Neal, 2006). Dosis lazim loperamid untuk dewasa
adalah 2 - 8 mg per hari, maksimum 16 mg per hari. Dosis yang digunakan dalam
pengujian adalah 6 mg yang kemudian dikonversikan sehingga dosis suspensi
loperamid yang diberikan pada tikus dewasa 0,54 mg/kg bb. Semua perlakuan
diberikan secara oral. Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok di mana tiap
kelompok terdiri dari 5 ekor. Kelompok I diberi suspensi norit 1 ml, kelompok II
diberi oleum ricini 2 ml/200 g berat badan dan suspensi norit 1 ml, kelompok III,
IV, V diberi suspensi EEDR masing-masing dosis 100, 200, dan 400 mg/kg bb.
Kelompok VI diberi suspensi loperamid masing-masing dosis 0,54 mg/kg bb.
Hasil uji efek antidiare dari ekstrak etanol daun ranti pada tikus putih jantan
pada pemberian suspensi norit sebanyak 1 ml, diperoleh persen lintasan marker
norit 74,03 ± 0,32 yang menggambarkan kondisi normal usus tikus tanpa induksi
oleum ricini. Pemberian oleum ricini 2 ml/200 g bb dan suspensi norit 5% 1 ml
diperoleh persen lintasan marker norit 91,63 ± 0,59 yang menggambarkan kondisi
diare. Namun pada pemberian suspensi EEDR dengan dosis 100 mg, 200 mg, dan
400 mg/kg bb pada tikus dewasa yang dikondisikan diare dengan diinduksi oleum
ricini 2 ml/200 g bb, menunjukkan penurunan lintasan marker norit, yaitu pada
dosis 100 mg (68,91 ± 0,65), dosis 200 mg (56,54 ± 1,11), dosis 400 mg (38,64 ±
0,95).
Suspensi EEDR dosis 400 mg/kg bb memiliki persen lintasan marker norit
yang paling rendah bila dibandingkan dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Hal
ini menunjukkan suspensi EEDR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek antidiare
yang paling kuat dari dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Sedangkan
35
dikondisikan diare dengan diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb, menunjukkan
penurunan lintasan marker norit, yaitu 42,49 ± 2,60. Data hasil tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Persentase lintasan marker norit pada usus tikus kondisi normal, tikus diare, dan tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.
Hewan
Gambar 4.1 Grafik persentase perubahan lintasan marker norit pada usus tikus kondisi normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan tikus yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.