Rumah Potong Hewan (RPH)
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH. RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan;
Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa syarat seperti : a. Berlokasi didaerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan keamanan;
c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan, dinding dan lantai kedap air, ventilasi yang cukup;
d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;
e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner, dan f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk
pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi, kerbau dan kambing.
Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu provinsi dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan daging di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II. Berdasarkan jenis kegiatan usaha pemotongan hewan, RPH terbagi menjadi 3 kategori yaitu: kategori I untuk usaha pemotongan hewan yang meliputi kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik sendiri di RPH milik sendiri, kategori II untuk usaha pemotongan hewan yang melaksanakan kegiatan menjual jasa pemotongan hewan atau melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain, dan kategori III untuk usaha pemotongan hewan yang berupa kegiatan melaksanakan pemotongan hewan milik orang lain.
Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
Standard sanitation operating procedure (SSOP) merupakan standar operasi suatu perusahaan yang mencakup kebijakan perusahaan, tahap kegiatan, nama petugas, cara pemantauan dan cara dokumentasi sebagai pertimbangan dalam melakukan inspeksi. SSOP memberikan manfaat dalam suatu unit usaha dalam menjamin sistem keamanan produk pangan antara lain memberikan jadwal prosedur sanitasi, memberikan landasan program monitoring berkesinambungan, mendorong perencanaan yang menjamin untuk proses koreksi, mengidentifikasi kecenderungan dan mencegah kontaminasi silang, menjamin setiap personil, mendemonstrasikan komitmen kepada pembeli dan inspektor serta meningkatkan
praktek sanitasi dan kondisi diunit usaha. Luning et al. (2003) menyatakan bahwa secara umum praktik higiene dan sanitasi dalam suatu industri atau perusahaan pangan meliputi higiene personal, bangunan, peralatan produksi, proses produksi, penyimpanan dan distribusi.
Tujuan SSOP menurut Winarno dan Surono (2002) adalah agar setiap karyawan teknis maupun administrasi mampu: (1) mengerti bahwa program kebersihan dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas dan keamanan produk yang ditandai dengan menurunnya tingkat kontaminasi, (2) mengetahui adanya peraturan good manufacturing practices (GMP) yang mengatur penggunaan zat tertentu yang dianggap aman dan efektif bagi program higiene dan sanitasi, (3) mengetahui tahapan proses higiene dan sanitasi, (4) mengetahui persyaratan minimum penggunaan sanitasi dan klorin pada air pendingin, khususnya pada industri pengolahan makanan, (5) mengetahui adanya faktor seperti pH, suhu dan konsentrasi disinfektan yang mempengaruhi hasil akhir suatu proses sanitasi dan (6) mengetahui masalah potensial yang mungkin timbul apabila sanitasi tidak dijalankan.
Good Slaughtering Practices (GSP)
Good slaughtering practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC 2004). Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang baik yaitu: (1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan harus higienis, (6) ekonimis dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland 1984).
Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk meminimalkan kontaminasi mulai dari pra-pemotongan, penanganan ternak dikandang, memandikan ternak,stunning, penyembelihan, bunging, skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas produksi, air yang digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan proses validasi.
Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan ternak yaitu a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan b) secara tidak langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas kulit dan karkas lebih baik.
Nomor Kontrol Veteriner (NKV)
Setiap unit usaha produk pangan hewan wajib memiliki nomor kontrol veteriner (NKV). NKV merupakan sertifikat kelayakan usaha yang merupakan registrasi usaha pemotongan, pengolahan dan pemasaran produk peternakan yang diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab menangani suatu unit usaha atau bidang kesehatan masyarakat veteriner. Usaha produk pangan asal hewan dapat dilakukan oleh perorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia dalam bentuk perusahaan daerah, perseroan terbatas atau koperasi. Unit usaha produk pangan asal hewan antara lain meliputi: usaha rumah potongahewan/unggas (RPH/RPU), usaha industri pengolahan produk pangan asal hewan, dan usaha importir/eksportir/penampung/distributor produk pangan asal hewan.
Menurut Direktorat Kesmavet (2001) untuk mendapatkan NKV pada unit usaha produk pangan asal hewan, harus memenuhi dua persyaratan utama yaitu persyaratan administrasi dan persyaratan teknis. Persyaratan teknis meliputi persyaratan lokasi, sarana, bangunan dan tata letak, peralatan, suplai air, higiene karyawan dan perusahaan, kendaraan produk pangan asal hewan, ruangan penyimpanan produk asal hewan, proses pengemasan, pengendalian hama, mampu telusur (traceability), penarikan produk kembali dan pengawasan kesehatan masyarakat. Tata cara pemberian NKV pada prinsipnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelas yaitu: kelas A untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi ekspor, dan kelas B untuk unit usaha produk pangan asal hewan klasifikasi non-ekspor (lokal).
Daging
Daging adalah salah satu komoditi pertanian khususnya sektor peternakan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan akan zat gizi seperti protein, lemak,mineral dan komponen lainnya. Secara umum konsumsi protein dalam menu masyarakat masih di bawah kebutuhan minimum, terutama protein yang
berasal dari hewani. Menurut “Food and Drug Administration” dalam Muchtadi et al. (2010) daging merupakan bagian tubuh yang berasal dari ternak sapi, babi, domba atau unggas yang dalam keadaan sehat dan cukup umur untuk dipotong, tetapi hanya terbatas pada bagian muskulus yang berserat yaitu yang berasal dari muskulus skeletal atau lidah, diafragma, jantung dan esofagus, tidak termasuk moncong, bibir, telinga dengan atau syaraf dan pembuluh darah. Soeparno (2005) dan Aberle et al. (2001) mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Berdasarkan SNI 3932:2008 disebutkan daging adalah bagian otot skeletal dari karkas sapi yang aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku.
Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional. Seperti halnya dengan komoditas susu ataupun daging unggas, daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging kambing/domba, dan daging dari ternak lainnya. Alasan–alasan konsumen menyukai daging sapi ini antara lain karena, pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner dan pengaruh budaya barat (Jonsen 2004), disamping itu tingkat kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001).
Tabrany (2004) menjelaskan bahwa komposisi kimia daging terdiri atas air (56%-72%), protein (15%-22%), lemak (5%-34%) dan substansi bukan protein terlarut (3.5%) yang meliputi karbohidrat, garam organik, substansi nitrogen terlarut, mineral dan vitamin. Hasbullah (2005) menyatakan bahwa terdapat
perbedaan komposisi zat gizi antara daging sapi, kerbau dan ayam seperti diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi zat gizi daging sapi, kerbau dan ayam per 100 g bahan
Zat gizi Daging
Sapi Kerbau Ayam
Air (gram) 66.0 84.0 - Protein (gram) 18.8 18.7 18.2 Energi (K) 207.0 84.0 302.0 Lemak (gram) 14.0 0.5 25.0 Kalsium (mg) 11.0 7.0 14.0 Besi (mg) 2.8 2.0 1.5 Vitamin A (SI) 30.0 0.0 810.0 Sumber : Hasbullah (2005).
Kualitas Fisik Daging
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging. Parameter spesifik untuk menilai kualitas fisik daging meliputi warna, nilai pH, daya mengikat air, susut masak, keempukan dan tekstur daging (Soeparno 2005).
Warna Daging. Faktor yang menentukan warna daging antara lain adalah bangsa ternak, spesies, umur, jenis kelamin, pakan, aktivitas ternak, tingkat stress, pH daging, tipe otot dan ketersediaan oksigen. Karakteristik warna daging merupakan salah satu parameter kualitas daging. Warna daging juga dipengaruhi oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis molekul dan status kimia mioglobin, serta kondisi kimia dan fisik yang terdapat dalam daging berperan besar dalam menentukan warna daging (Lawrie 2003; Jeong et al. 2009). Mioglobin sebagai salah satu dari protein sarkoplasmik terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal terikat disekeliling groupheme yang membawa oksigen. Group heme tersusun dari suatu atom Fe dan suatu cincin porfirin. Perbedaan warna daging antar spesies disebabkan konsentrasi mioglobin, yang akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur ternak (Soeparno 2005).
Warna daging yang disukai konsumen adalah merah cerah yang menunjukkan mutu daging. Perubahan warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor. Daging yang terekspos dengan udara (O2), mioglobin dan oksigen dalam
daging akan berwarna merah cerah. Apabila waktu kontak antara mioglobin dengan oksigen berlangsung lama, maka akan terjadi oksidasi membentuk ferric- metmyoglobin (MetMb), sehingga daging berwarna coklat dan tidak menarik (Aberle et al. 2001; Jeong et al. 2009).
Daya Mengikat Air (DMA). DMA oleh protein daging atau dikenal dengan water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnyapengaruh pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Absorbsi air atau kapasitas gel adalah kemampuan daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (Soeparno 2005). Jumlah air yang terikat dalam daging tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan pH serta jumlah denaturasi protein. Secara umum DMA dipengaruhi oleh faktor- faktor yang mengakibatkan diferensiasi dalam otot seperti spesies, umur dan fungsi otot (Forrest et al.1975).
Lawrie (2003) menyatakan bahwa DMA daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir maka penurunan DMA juga sedikit. DMA sangat penting dalam proses pengolahan daging sebagai protein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah larut. Daya mengikat air dari daging pada pH titik isoelektrik protein daging berkisar antara 5.0-5.1. Protein daging ini tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya minimal, sedangkan pada pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging, maka sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberikan lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkat atau menurunnya pH daging dari titik isoelektrik akan mengakibatkan meningkatnya kapasitas DMA dengan cara menciptakan ketidakseimbangan muatan.
pH Daging. Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5.1-7.2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan menghasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif
terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging post- mortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie 2003).
Temperatur lingkungan (penyimpanan) mempunyai hubungan yang erat dengan penurunan pH karkas post-mortem.Temperatur tinggi pada dasarnya meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH (Soeparno 2005). Nilai pH sangat penting untuk diperhatikan karena pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging yang berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum laju penurunan pH daging dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam waktu 6-8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.7. Pola penurunan seperti ini disebut pola penurunan pH secara normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5-6.8. Sifat daging yang dihasilkan berwarna gelap, keras dan kering atau dikenal dengan daging dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3-5.6. Sifat daging yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair atau dikenal dengan daging pale soft excudative (PSE).
Nilai pH daging akan berubah setelah ternak dipotong. Perubahan pH tergantung pada jumlah glikogen sebelum ternak dipotong. Apabila jumlah glikogen dalam tubuh ternak normal, maka menurut Aberle et al. (2001) akan mendapatkan daging yang berkualitas baik dan begitu sebaliknya. Henckle et al. (2000) menambahkan bahwa penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis otot yang berhubungan dengan produksi asam laktat atau kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP.
Cemaran Mikrobiologi Daging
Daging merupakan salah satu bahan pangan yang digolongkan sebagai perisable food atau bersifat mudah rusak. Daging juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme karena banyak mengandung air, kaya akan zat-zat gizi serta memiliki pH yang sangat menguntungkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Lawrie 2005). Nilai pH rendah berhubungan dengan reduksi air pada daging (Vada-Kovacs 1996). Selain itu, suhu penyimpanan, ketersediaan air dan oksigen berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Suhu optimum untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah 15-40 °C, tetapi beberapa organisme dapat tumbuh dengan baik pada suhu refrigerator bahkan tumbuh dengan baik pada suhu dibawah nol (Aberle et al. 2001).
Kontaminasi awal pada daging berasal dari mikroorganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan. Daging segar umumnya terkontaminasi dengan sejumlah besar bakteri termasuk bakteri patogen yang dapat mengkontaminasi makanan seperti Bacillus cereus,Clostridium perfringens, Clostridium jejuni, Eschericia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella sp dan Staphylococcus aureus (Mosupye & Holy 2005). Ternak yang dipotong secara higienis mengandung sekitar 103-104 koloni/cm2 yang terdapat pada permukaan daging. Jumlah awal dapat mencapai 106 koloni/cm2 setelah pemotongan (Bem & Hechelmann1995), dan menurut Buckle et al. (1986) jumlah bakteri pencemar pada daging adalah berkisar 102-104 koloni/cm2. Lebih lanjut Buckle et al. (2009) dan Mead (2007) menyatakan bahwa jumlah bakteri dalam daging akan terus meningkat tergantung penanganan dan pencemaran selanjutnya. Perkembangan bakteri pada daging umumnya dapat diketahui dengan adanya pembentukan lendir. Bakteri akan tampak berlendir, berbau busuk dan rusak jika jumlahnya mencapai 107-108 koloni/cm2. Dinyatakan juga bahwa timbulnya bau disebabkan produksi hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Bakteri patogen yang ditemukan dalam daging adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitico, Clostridium perfringens dan C. botulinum. Mikroba yang terdapat pada bagian dalam seperti koliform fekal dan streptokokus fekal yang sering ditemukan dalam daging menunjukkan bahwa isi usus merupakan sumber kontaminasi. Isolasi bakteri dipermukaan karkas
mendapatkan jenis bakteri Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter, Lactobacillus, Micrococcus, Brochotrix thermosphacta dan beberapa Enterobactericeae seperti Klebsiella, Yersinea, Serratia dan Proteus. Mikroba berbahaya yang meracuni makanan khususnya daging yang dikaitkan dengan kontaminasi saluran pencernaan adalah Salmonella, S. aureus dan enteropathogenic Eschericia coli (ICSMF 1980).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba pada Daging
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba pada daging adalah aktivitas air (aw), potensial oksidasi, pH dan temperatur. Parameter ini berperan pada saat otot berubah menjadi daging (Jay 2000). Menurut Garbutt (1997) dan Lawrie (2003) umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba di dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) faktor dalam (intrinsik) dan 2) faktor luar (ekstrinsik). Faktor intrinsik terdiri atas nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat.
Nutrisi daging. Disamping air dan oksigen, sebagian besar mikroba membutuhkan nutrien nitrogen, energi, mineral dan vitamin B untuk pertumbuhannya. Air dibutuhkan oleh semua makhluk hidup termasuk mikroba. Kadar air yang tersedia di dalam daging sangat menentukan tingkat pertumbuhan mikroba. Kebutuhan mikroba akan air dinyatakan sebagai aktivitas air atau disebut sebagai water activity (aw). Sejumlah mikroba tidak dapat tumbuh dengan
baik pada aw lebih kecil dari 0.91, tetapi aw minimum untuk pertumbuhan sangat
bervariasi misalnya aw minimum untuk Salmonella adalah 0.94 sedangkan aw
minimum untuk Staphylococcus mendekati 0.86. Pada kondisi normal, daging mempunyai aw 0.99 dan pH 5.3–5.7. Sebagian besar mikroba tumbuh optimal
pada pH kira-kira 7.0 (Garbutt 1997; Devies & Board 1998; Mead 2007).
Potensi oksidasi-reduksi. Sejumlah mikroba membutuhkan kondisi oksidasi dan sejumlah kondisi reduksi. Mikroba aerobik adalah mikroba yang dapat tumbuh pada potensial oksidasi reduksi yang tinggi. Mikroba anaerobik dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen, karena O2 dapat bersifat toksik pada
rendah. Mikroba anaerobik fakultatif dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen atau ada oksigen.
Substansi penghalang atau penghambat. Substansi penghambat dan jaringan proteolitik pada daging yang dapat menghambat aktivitas mikroba disebut bakteriostatik, sedangkan substansi yang merusak atau dapat membunuh mikroba disebut bakteriosidal. Lemak dan kulit pada karkas daging melindungi dari kontaminasi mikroba (Soeparno 2005).
Faktor ekstrinsik terdiri atas temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging. Temperatur sangat menentukan laju pertumbuhan dan jumlah mikroba pada daging. Berdasarkan temperatur maksimal dan optimum untuk pertumbuhan, mikroba dibagi menjadi tiga kelompok yaitu mesofilik, psikrofilik dan thermofilik. Mikroba mesofilik tumbuh paling baik pada temperatur 25-40 °C. Mikroba psikrofilik dapat tumbuh pada temperatur 0 °C tetapi pertumbuhan optimalnya adalah pada temperatur 20-30 °C. Mikroba termofilik memiliki pertumbuhan optimum pada temperatur 45-60 °C.
Kelembaban relatif. Pada umumnya makin tinggi temperatur penyimpanan, kelembaban relatif seharusnya makin rendah. Pada temperatur -1 °C sampai 3 °C, kelembaban relatif sebaiknya antara 88-92%. Kelembaban relatif yang terlalu tinggi, cairan akan berkondensasi pada permukaan daging, sehingga permukaan daging menjadi basah dan sangat baik untuk pertumbuhan mikroba. Jika kelembaban relatif terlalu rendah, cairan permukaan daging akan banyak yang menguap sehingga pertumbuhan mikroba terhambat oleh dehidrasi dan permukaan daging menjadi gelap yang menyebabkan nilai ekonomis daging akan menurun. Oksigen atmosfer sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba pada permukaan daging adalah mikroba aerobik dan anaerobik fakultatif, sedangkan bagian dalam daging dapat mengandung mikroba anaerobik dan anaerobik fakultatif. Keadaan fisik daging akan mampengaruhi aktivitas mikroba, misalnya besar kecilnya karkas, potongan karkas atau daging, bentuk daging cacahan, daging giling dan perlakuan selama pemrosesan (Lawrie 2003).
Batas Maksimum Cemaran Mikroba pada Daging
Syarat mutu mikrobiologis daging sapi mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologis daging sapi (SNI 3932:2008)
No. Jenis uji Satuan Persyaratan
1. Total Plate Count cfu/g maksimum 1 x 106
2. Coliform cfu/g maksimum 1 x 102
3. Staphylococcus aureus cfu/g maksimum 1 x 102
4. Salmonella sp per 25 g Negatif
5. Eschericia coli cfu/g maksimum 1 x 101
Sumber : BSN (2008)
Pengujian jenis mikroba pada permukaan daging sapi dan domba setelah proses pemotongan meliputi mikroba mesofilik aerobik, psikrotrofik dan E. coli TPC, koliform (Tabel 3).
Tabel 3 Jumlah mikroba pada daging setelah proses pemotongan
Daging Jenis uji Jumlah mikroba
Permukaan daging sapi dan domba
Mesofilik aerobik 103-105 per cm2
Psikrotrofik 0.1-10% dari mesofilik
Enterobacteriaceae, E. coli < 10 per cm2 Total Plate Count 103-105 per cm2
Koliform 101-102 per cm2
Psikrotrofik < 102 per cm2
Sumber : ICMSF (1980); Grau (1986)
Cemaran Kimia pada Daging Cemaran Logam Berat
Logam berat berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik maupun anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang mempunyai peran penting bagi peradapan manusia. Sejumlah logam juga terdapat dalam tubuh makhluk hidup baik pada tanaman, hewan bahkan pada tubuh manusia yang bersifat merugikan