• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Antenatal Care (ANC)

2.2.1 Pengertian Antenatal Care

Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) (Depkes, 2010). Pengawasan sebelum lahir (antenatal) terbukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kesehatan mental dan fisik kehamilan, untuk menghadapi persalinan. Dengan pengawasan hamil dapat diketahui berbagai komplikasi ibu yang dapat memengaruhi kehamilan atau komplikasi hamil sehingga segera dapat diatasi (Manuaba,1999).

2.1.2 Pelayanan Antenatal Care

Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan dan perawat bidan) untuk ibu selama masa kehamilannya, sesuai dengan standar minimal pelayanan antenatal (Rhezvolution, 2009). Pelayanan Antenatal sangat penting untuk mendeteksi sedini mungkin komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil selama kehamilan.

2.1.3 Tujuan Pelayanan Antenatal Care

Menurut Wiknjosastro (2005), tujuan pengawasan wanita hamil ialah menyiapkan ia sebaik-baiknya fisik dan mental, serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan postpartum sehat dan

normal, tidak hanya fisik akan tetapi juga mental, ini berarti dalam antenatal care harus diusahakan agar :

a. Wanita hamil sampai akhir kehamilan sekurang kurangnya harus sama sehatnya atau lebih sehat.

b. Adanya kelainan fisik atau psikologi harus ditemukan dini dan diobati.

c. Wanita melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang dilahirkan sehat pula fisik dan mental.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) tujuan pelayanan antenatal adalah: 1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh

kembang janin.

2. Meningkatkan serta mempertahankan kesehatan fisik, mental, sosial ibu dan janin.

3. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan.

4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu maupun bayi dengan trauma seminimal mungkin.

5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI Eksklusif.

6. Mempersiapkan peran ibu dan kelurga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh kembang secara normal.

Menurut Dewi dan Sunarsih (2011) dengan melakukan ANC, kehamilan dan persalinan akan berakhir dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Ibu dalam kondisi selamat selama kehamilan, persalinan, dan nifas tanpa trauma fisik maupun mental yang merugikan.

2. Bayi dilahirkan sehat, baik fisik maupun mental.

3. Ibu sanggup merawat dan memeberikan ASI kepada bayinya.

4. Suami istri telah ada kesiapan dan kesanggupan untuk mengikuti keluarga berencana setalah kelahiran bayinya.

Hasil-hasil penelitian yang dikaji oleh WHO yang dikutip oleh Dewi dan Sunarsih (2011), menunjukkan hal-hal berikut ini:

1. Pendekatan risiko dilakukan bila terdapat prediksi buruk karena kita tidak bisa membedakan ibu yang akan mengalami komplikasi dan yang tidak. Hasil studi di Kasango (Zaire) membuktikan bahwa 71% ibu yang mengalami partus macet tidak terprediksi sebelumnya dan 90% ibu yang diidentifikasi sebagai ibu berisiko tinggi tidak pernah mengalami komplikasi.

2. Banyak ibu yang digolongkan dalam kelompok risiko tinggi pernah mengalami komplikasi, walaupun mereka telah memakai sumber daya yang cukup mahal dan jarang didapat. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian asuhan khusus pada ibu yang tergolong dalam kategori risiko tinggi terbukti tidak dapat mengurangi komplikasi yang terjadi.

3. Banyak ibu yang tergolong kelompok risiko rendah mengalami komplikasi, tetapi tidak pernah diberitahu bagaimana cara mengetahui dan apa yang dapat dilakukannya, seperti kurangmya informasi tanda-tanda bahaya selama

kehamilan (perdarahan pervaginam, sakit kepala lebih dari biasa, gangguan penglihatan, pembengkakan pada wajah/tangan, nyeri abdomen (epigastrik), janin tidak bergerak sebanyak biasanya.

Pelajaran yang dapat diambil dari pendekatan risiko adalah bahwa setiap ibu hamil berisiko mengalami komplikasi yang sangat tidak bisa diprediksi sehingga setiap ibu hamil harus mempunyai akses asuhan kehamilan dan persalinan yang berkualitas. Oleh karena itu, fokus ANC perlu diperbarui (refocused) agar asuhan kehamilan lebih efektif dan dapat dijangkau oleh setiap wanita hamil.

2.1.4 Fungsi Antenatal

Menurut Fitrihanda (2012), fungsi antenatal adalah sebagai berikut :

a. Promosi kesehatan selama kehamilan melalui sarana dan aktifitas pendidikan. b. Melakukan screning, identifikasi wanita dengan kehamilan risiko tinggi dan

merujuk bila perlu.

c. Memantau kesehatan selama hamil dengan usaha mendeteksi dan menangani masalah yang terjadi.

Perilaku antenatal care penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri, sementara faktanya masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati, mereka merasa tidak perlu memeriksakan kehamilannya secara rutin ke Bidan atau tenaga kesehatan sehinga menyebabkan tidak terdeteksinya faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka (Maas, 2004).

2.1.5 Standar Pelayanan Antenatal

Menurut Clinical Practice Guidelines yang dikutip oleh Nurmawati (2010) Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna sebagai batas penerimaan minimal. Standar pelayanan kebidanan dapat digunakan untuk menentukan kompetensi yang diperlukan oleh bidan dalam menjalankan praktek sehari-hari.

Menurut Kemenkes RI (2011), pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar pelayanan antenatal dimulai dengan :

a. Ukur tinggi badan

b. Timbang berat badan dan Lingkar Lengan Atas (LILA) c. Ukur Tekanan Darah

d. Ukur Tinggi Fundus Uteri (TFU) e. Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) f. Pemberian Tablet besi (fe) g. Tanya/Temu wicara

Menurut Dewi dan Sunarsih (2011) terdapat enam standar dalam pelayanan asuhan antenatal. Standar tersebut merupakan bagian dari lingkup standar pelayanan kebidanan:

Standar 1 Identifikasi ibu hamil

Bidan melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk memberikan penyuluhan dan memotivasi ibu, suami, dan anggota keluarganya agar mendorong ibu untuk memeriksakan kehamilannya sejak dini secara teratur.

Standar 2 Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal

Bidan memberikan sedikitnya 4 kali pelayanan antenatal. Pemeriksaan meliputi anamnesis, perkembangan janin, mengenal kehamilan resiko tinggi, imunisasi, nasihat, dan penyuluhan kesehatan.

Standar 3 Palpasi Abdominal

Bidan melakukan palpasi untuk memperkirakan usia kehamilan, memeriksa posisi, bagian terendah janin, dan masuknya kepala janin ke dalam rongga panggul untuk mencari kelainan.

Standar 4 Pengelolaan Anemia pada Kehamilan

Bidan melakukan tindakan pencegahan, penemuan, penanganan, dan/atau rujukan semua kasus anemia pada kehamilan.

Standar 5 Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan

Bidan menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan, mengenali tanda dan gejala preeklamsia lainnya, mengambil tindakan yang tepat, dan merujuknya.

Standar 6 Persiapan Persalinan

Bidan memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami, dan keluarganya pada trimester ketiga untuk memastikan bahwa persiapan persalinan bersih dan aman, serta suasana yang menyenangkan.

Pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut.

2.1.6 Kunjungan Pelayanan Antenatal Care

Menurut Manuaba (1999), kehamilan berlangsung dalam waktu 280 hari (40 minggu). Kehamilan wanita dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Trimester pertama ( 0-12 minggu) b. Trimester kedua (13-28 minggu) c. Trimester ketiga (29-40 minggu)

Menurut Saifuddin (2002), setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang bisa mengancam jiwanya. Oleh karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal, yaitu :

a. 1 kali kunjungan selama trimester pertama (sebelum minggu ke 14 ) b. 1 kali kunjungan selama trimester kedua (antara minggu 14-28)

c. Dan 2 kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28-36 dan sesudah minggu ke 36)

Sungguh sangat ideal bila tiap wanita hamil mau memeriksakan diri ketika haidnya terlambat sekurang-kurangnya satu bulan (Sarwono, 2005). Menurut Departemen kesehatan RI (2002), kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dengan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal standar untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Hasil pencapaian program pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator cakupan K1 dan K4, yaitu :

a. Pemeriksaan kehamilan yang pertama (K1)

K1 adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan pada trimester 1, dimana usia kehamilan 1 sampai 12 minggu

b. Pemeriksaan kehamilan yang keempat (K4)

K4 adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.

2.1.7 Cakupan Pelayanan Antenatal Care

Cakupan Pelayanan antenatal care adalah persentase ibu hamil yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja.

Hasil pencapaian program pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator cakupan K1 dan K4 yang dihitung dengan membagi jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan (untuk perhitungan indikator K1) atau jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali sesuai standar oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (untuk perhitungan indikator K4) dengan jumlah sasaran ibu hamil yang ada di wilayah kerja dalam 1 tahun (Depkes RI, 2010).

Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) KIA adalah alat manajemen untuk memantau cakupan, seperti kunjungan K1, kunjungan K4, deteksi dini Risiko Tinggi (Resti) ibu hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, serta Kunjungan Neonatal (KN) di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun (Departemen Kesehatan RI,

2.1.8 Kebijakan Pelayanan Antenatal 1. Kebijakan Program

Dalam Depkes RI (2009) yang dikutip oleh Fitrihanda (2012), Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan AKI dan AKB pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Motherhood” yaitu meliputi : Keluarga Berencana, ANC, Persalinan Bersih dan Aman, dan Pelayanan Obstetri Essensial.

Pendekatan pelayanan obstetri dan neonatal kepada setiap ibu hamil ini sesuai dengan pendekatan Making Pregnancy Safer (MPS), yang mempunyai 3 (tiga) pesan kunci yaitu :

1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.

2. Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat. 3. Setiap perempuan dalam usia subur mempunyai akses pencegahan dan

penatalaksanaan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganannya komplikasi keguguran.

2. Kebijakan Teknis

Pelayanan/asuhan antenatal ini hanya dapat di berikan oleh tenaga kesehatan profesional dan tidak dapat di berikan oleh dukun bayi. Untuk itu perlu kebijakan teknis untuk ibu hamil secara keseluruhan yang bertujuan untuk

mengurangi resiko dan komplikasi kehamilan secara dini. Kebijakan teknis itu dapat meliputi komponen-komponen sebagai berikut:

1. Mengupayakan kehamilan yang sehat.

2. Melakukan deteksi dini komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta rujukan bila diperlukan.

3. Persiapan persalinan yang bersih dan aman.

4. Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan rujukan jika terjadi komplikasi.

Menurut Fitrihanda (2012), beberapa kebijakan teknis pelayanan antenatal care rutin yang selama ini dilaksanakan dalam rangka peningkatan cakupan pelayanan antara lain meliputi :

1. Deteksi dini ibu hamil melalui kegiatan P4K dengan stiker dan buku KIA, dengan melibatkan kader dan perangkat desa serta kegiatan kelompok Kelas Ibu Hamil. 2. Peningkatan kemampuan penjaringan ibu hamil melalui kegiatan kemitraan Bidan

dan Dukun.

3. Peningkatan akses ke pelayanan dengan kunjungan rumah. 4. Peningkatan akses pelayanan persalinan dengan rumah tunggu.

2.1.9 Intervensi Pelayanan Antenatal

Intervensi dalam pelayanan Antenatal Care adalah perlakuan yang diberikan kepada ibu hamil setelah dibuat diagnose kehamilan. Adapun intervensi dalam pelyanan Antenatal Care menurut Fitrihanda (2012) adalah :

a. Intervensi Dasar

1. Pemberian Tetanus Toxoid, yang diberikan untuk melindungi janin dari tetanus neonatorum yang diberikan sekurang-kurangnya 2 kali selama kehamilan dengan interval minimal 4 minggu, apabila ibu belum pernah mendapatkan suntikan TT sebelumnya.

2. Pemberian Vitamin Zat Besi, yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan Fe pada ibu hamil dan nifas karena pada masa kehamilan dan nifas kebutuhan meningkat, diberikan sesegera mungkin setelah rasa mual hilang. Minimal 90 tablet, dan diminum sebaiknya tidak bersama teh atau kopi, karena dapat mengganggu penyerapan.

b. Intervensi Khusus

Intervensi khusus adalah melakukan khusus yang diberikan kepada ibu hamil sesuai dengan risiko dan kelainan yang ditemukan, meliputi :

1. Faktor risiko

a. Umur, terlalu muda yaitu dibawah 20 tahun dan terlalu tua yaitu diatas 35 tahun

b. Paritas, paritas 0 (primi gravidarum, belum pernah melahirkan) dan paritas >3

c. Interval, yaitu jarak persalinan terakhir dengan awal kehamilan sekurang-kurangnya 2 tahun.

d. Tinggi badan kurang dari 145 cm e. Lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm 2. Komplikasi Kehamilan

a. Komplikasi obstetri langsung, seperti perdarahan, preeklamsi/eklamsi, kelainan letak lintang atau sunsang primi gravida, anak besar atau hidramion atau kelainan kembar, ketuban pecah dini dalam kehamilan.

b. Komplikasi obstetri tidak langsung, seperti penyakit jantung, hepatitis, TBC (tuberkolosis), anemia, malaria, diabetes melitus.

c. Komplikasi yang berhubungan dengan obstetri, komplikasi akibat kecelakaan (kendaraan, keracunan, kebakaran) (Mochtar, 2005).

2.2 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Supriyarto (1998), bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah penggunaan pelayanan yang telah diterima pada tempat atau pemberi pelayanan kesehatan. Menurut Azwar (2002) bahwa, pelayanan kesehatan sendiri adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan per orangan, kelompok, keluarga, dan ataupun masyarakat.

Menurut Anderson (1968) dalam Notoatmodjo (2003) bahwa, ada delapan faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu: faktor demografi, (jumlah, penyebaran, kepadatan, pertumbuhan, struktur umur, dan rasio jenis kelamin), tingkat pendapatan, faktor sosial budaya (tingkat pendidikan dan status kesehatan) aksesbiliti terhadap pelayanan kesehatan, produktifitas dan teknologi kesehatan.

1. Faktor sistem pelayanan kesehatan yang bersangkutan: tipe organisasi, kelengkapan program kesehatan, tersedianya tenaga pelayanan kesehatan dengan masyarakat dengan adanya asuransi kesehatan serta adanya faktor kesehatan lainnya.

2. Faktor dari konsumen yang menggunakan pelayanan kesehatan: faktor sosio demografi (umur, jenis kelamin, status kesehatan, besar kelurga) faktor sosial psikologis (sikap/persepsi terhadap pelayanan kesehatan pengetahuan dan sumber informasi dari pelayanan kesehatan dan tabiat terhadap pelaksana pelayanan kesehatan sebelumnya), faktor status sosial ekonomi (meliputi: pendidikan, pekerjaan, pendapatan/penghasilan), dapat digunakan pelayanan kesehatan yang meliputi jarak antar rumah dengan tempat pelayanan kesehatan, variabel yang menyangkut kebutuhan (mobilitas, gejala penyakit yang dirasakan oleh yang bersangkutan dan lain sebagainya).

Menurut Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengembangkan model sistem kesehatan berupa model kepercayaan kesehatan (health belief model) yang didasarkan teori lapangan (field theory) dari Lewin (1954). Dalam model Anderson ini, terdapat 3 (tiga) kategori utama dalam pelayanan kesehatan yaitu :

1. Komponen predisposisi, menggambarkan kecenderungan individu yang berbeda-beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan seseorang. Komponen terdiri dari: a. Faktor-faktor demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar

keluarga dan lain-lain)

b. Faktor struktural sosial (suku bangsa, pendidikan dan pekerjaan) c. Faktor keyakinan/kepercayaan (pengetahuan, sikap dan persepsi)

2. Komponen enabling (pemungkin/pendorong), menunjukkan kemampuan individual untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Di dalam komponen ini termasuk faktor-faktor yang berpengaruh dengan perilaku pencarian :

a. Sumber keluarga (pendapatan/penghasilan, kemampuan membayar pelayanan, keikutsertaan dalam asuransi, dukungan suami, informasi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan).

b. Sumber daya masyarakat (suatu pelayanan, lokasi/jarak transportasi dan sebagainya).

3. Komponen need (kebutuhan), merupakan faktor yang mendasari dan merupakan stimulasi langsung bagi individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan apabila faktor-faktor predisposisi dan enabling itu ada. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi:

a. Kebutuhan yang dirasakan/persepsikan (seperti kondisi kesehatan, gejala sakit, ketidakmampuan bekerja)

b. Evaluasi/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh petugas kesehatan (tingkat beratnya penyakit dan gejala penyakit menurut diagnosis klinis dari dokter)

Menurut pendapat Azwar (2009), pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial budaya, dan sosial ekonomi. Bila tingkat pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi baik maka secara relatif pemanfaatan pelayanan kesehatan akan tinggi.

Teori WHO menyatakan bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena 4 alasan pokok.

1. Pemikiran dan Perasaan (Thoughts and Feeling)

Pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap kesehatan. 2. Orang penting sebagai referensi (Personal reference)

Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh, seperti alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, orang yang dituakan.

3. Sumber-sumber daya (Resources)

Sumber daya ini mencakup fasiltas-fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupu negatif. Misalnya pelayanan puskesmas, dapat berpengaruh positif terhadap perilaku pengguna tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.

4. Kebudayaan (Culture)

Kebudayaan terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama, itu terbentuk karena sebab atau latar belakang yang berbeda-beda. Misalnya, alasan-alasan masyarakat tidak mau berobat ke puskesmas. Mungkin karena tidak percaya terhadap puskesmas, mungkin karena tidak punya uang untuk pergi ke puskesmas, mungkin tidak tahu fungsi puskesmas, dan lain sebagainya.

Komponen Health Belief Model oleh Becker (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan ada 4 hal yang memotivasi tindakan :

1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakit, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut.

2. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong ppula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Misalnya perdarahan dalam kehamilan akan dirasakan lebih serius dari pada pusing pada masa kehamilan.

3. Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (perceived benafits and barriers) Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu.

4. Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan, maka diperlukan isyarat-isyarat faktor eksternal. Misalnya pesan pada media massa, nasihat dari anggota keluarga, penyuluhan dari petugas kesehatan.

Model kepercayaan kesehatan ini dapat diilustrasikan pada gambar dibawah ini :

Gambar 2.1 Health Belief Model oleh Backer (1974) dalam Notoatmodjo (2003) 2.3 Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfatan Antenatal Care

2.3.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih bersifat langgeng (Friedman, 2005). Pentingnya aspek pengetahuan dalam pemanfaatan dalam pemanfaatan Antenatal Care (ANC) dapat dilihat dari pendapat Cholil (2004) yang dikutip oleh Sihombing (2012), yang menyatakan bahwa pemanfaatan Antenatal Care (ANC)

-Variabel demografis (umur, jenis kelamin, bangsa kelompok etnis).

-Variabel groups, kepribadian, pengalaman sebelumnya).

-Variabel struktur (kelas sosial, akses ke pelayanan kesehatan dan sebagainya).

Kecenderungan yang dilihat (perceived) mengenai gejala/penyakit.

syaratnya yang dilihat mengenai gejala dan penyakit

Pendorong (cues) untuk bertindak (kampanye media, peringatan dari dokter gigi, tulisan dalam surat kabar, majalah)

Ancaman yang dilihat mengenai gejala dan penyakit

Manfaat yang dilihat dari pengambilan tindakan dikurangi biaya (rintangan) yang dilihat dari pengambilan tindakan

Kemungkinan mengambil tindakan tepat untuk perilaku sehat/sakit

perlu dilakukan upaya peningkatan kesehatan ibu saat pemeriksaan kehamilan berdampak pada ibu hamil tidak memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan.

Pengetahuan terdiri atas kepercayaan tentang kenyataan (reality). Salah satu cara untuk mendapatkan dan memeriksa pengetahuan adalah dari tradisi atau dari yang berwewenang di masa lalu yang umumnya dikenal, seperti Aritoteles. Pengetahuan juga mungkin diperoleh berdasarkan pengumuman sekuler atau kekuasaan agama, negara, atau gereja. Cara lain untuk mendapatkan pengetahuan dengan pengamatan dan eksperimen (metode ilmiah). Pengetahuan juga diturunkan dengan cara logika secara tradisional, otoratif atau ilmiah atau kombinasi dari mereka, dan dapat atau tidak dapat dibuktikan dengan pengamatan dan pengetesan. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Dari pengetahuan dan penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki ibu tentang pelayanan Antenatal Care (ANC) dan pentingnya pemeriksaan kehamilan berdampak pada ibu hamil akan memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan (Depkes RI, 2008).

2.3.2 Paritas

Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram atau lebih yang pernah dilahirkan, hidup atau mati. Bila berat badan tidak diketahui maka dipakai batas umur kehamilannya 24 minggu, berdasarkan pengertian diatas maka

paritas memengaruhi kehamilan. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Makin tinggi paritas ibu maka makin kurang baik endometriumnya (Wiknjosastro, 2005).

Ibu yang baru pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan. Sebaliknya ibu yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu orang mempunyai anggapan bahwa ia sudah berpengalaman sehingga tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilannya (Wiknjosastro, 2005).

Menurut Sastrawinata (1993) yang dikutip Widawati (2008) paritas dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

a. Primipara adalah wanita yang telah melahirkan 1 kali, seorang anak cukup besar untuk hidup didunia luar.

b. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan 2 kali – 4 kali, lebih dari seorang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar.

c. Grande multipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 kali atau lebih, lebih dari 5 orang anak yang cukup besar untuk hidup di dunia luar.

2.3.3 Dukungan Petugas Kesehatan

Menurut Depkes RI (2005), tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Menurut Sarfino (2002) dikutip oleh Saragih (2012), dukungan petugas kesehatan merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informasi, dimana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas

kesehatan) memberikan informasi yang jelas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kehamilan.

Menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor ketersediaan pelayanan mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Poloklinik, Posyandu, Polindes, Puskesdes, Dokter atau Bidan Praktek Swasta, dan sebagainya. Hal ini dapat juga dijelaskan, untuk berperilaku sehat, masyarakat

Dokumen terkait