• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi

Partisipasi masyarakat (Community participation) adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi perhatian dan bahan kajian sosiologi dan beberapa disiplin ilmu lain. Sebagai suatu istilah, partisipasi mempunyai berbagai pengertian dan batasan. Dusseldorp (1981) yang dikutip oleh Saardi (2000) menyatakan bahwa partisipasi di tingkat masyarakat perdesaan adalah bentuk interaksi dan komunikasi khas, yaitu berbagi dalam kekuasaan dan tanggung jawab. Selanjutnya dikatakan bahwa partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama (taking part in joint action).

Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan. Partisipasi tidak hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan secara fisik tetapi juga keterlibatan secara kejiwaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Swasono (1995) bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggagas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan.

Budiono (2002) menyatakan terdapat beberapa unsur penting yang merupakan eksistensi dari partisipasi, yaitu: (1) dalam partisipasi terdapat unsur keterlibatan mental dan emosional individu yang berpartisipasi; (2) dalam partisipasi terdapat unsur ketersediaan memberikan kontribusi atau sumbangan untuk mencapai tujuan bersama, dan dilakukan secara suka rela; (3) dalam partisipasi diikuti oleh rasa tanggung jawab terhadap kegiatan yang dilakukan dalam usaha mencapai tujuan bersama; dan (4) tingkat partisipasi ditentukan oleh kadar keterlibatan masyarakat untuk menentukan segala sesuatu sendiri, tidak ditentukan oleh pihak lain.

Partisipasi dalam lingkup sosial dan masyarakat adalah pengembangan sejumlah metode partisipasi yang lebih luas untuk penilaian, perencanaan, pemantauan, pelatihan dan pembangunan kesadaran. Tekanannya lebih pada pentingnya partisipasi bukan saja agar pihak lain bertanggung gugat tidak sekedar memberikan laporan tetapi juga menyertakan pembuktian atas segala sesuatu yang

dikerjakan. Partisipasi juga merupakan suatu proses pengembangan diri, mulai dari artikulasi kebutuhan tingkat bawah dan prioritasnya, serta membangun bentuk organisasi rakyat. Partisipasi mencakup bidang pengetahuan dan tindakan langsung, bukan sekadar perwakilan dan pertanggunggugatan (akuntabilitas), (Rosni, 2003).

Pengertian partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1977) adalah keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan yang telah ditetapkan melalui sumbangan sumberdaya atau bekerja sama dalam suatu organisasi, keterlibatan masyarakat menikmati manfaat dari pembangunan serta dalam evaluasi pelaksanaan program.

Definisi di atas mengacu pada pengertian partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat pada 4 (empat) tahap kegiatan yang dimulai dari tahap proses pengambilan keputusan tentang rencana kegiatan, tahap pelaksanaan kegiatan, tahap menikmati hasil, dan tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan. Biasanya keterlibatan aktif masyarakat dalam bentuk keterlibatan fisik, material dan sikap (Cohen dan Uphoff, 1977).

Partisipasi dalam tahap pengambilan keputusan/perencanaan dibedakan atas 3 (tiga) kegiatan yakni: (1) pada saat penentuan keputusan awal mengenai kegiatan dengan memperhatikan keperluan dan prioritas kegiatan yang akan dikerjakan; (2) ikut serta secara terus menerus dalam setiap proses pengambilan keputusan; serta (3) ikut serta dalam merumuskan keputusan mengenai rencana kerja. Partisipasi dalam tahap pelaksanaan dibedakan dalam 3 (tiga) kegiatan yakni: (1) sumbangan sumberdaya yang berupa sumbangan tenaga dengan ikut bekerja dalam program, sumbangan materi dan atau informasi, (2) terlibat dalam kegiatan administrasi dan koordinasi, serta (3) ikut serta sebagai peserta dari program yang dilaksanakan. Partisipasi dalam tahap evaluasi merupakan tahap yang penting bagi para pengambil keputusan untuk memperoleh masukan mengenai pelaksanaan program. Partisipasi dalam tahap menikmati manfaat mencakup: (1) keuntungan materiil yang berupa meningkatnya pendapatan dan konsumsi, baik dalam bentuk jumlah maupun distribusinya merata, (2)

keuntungan sosial antara lain meningkatnya pendidikan dan terberantasnya buta huruf; (3) keuntungan perorangan, antara lain berupa kemampuan status sosial seseorang serta meningkatnya kekuasaan politik (Cohen dan Uphoff, 1977).

Selain tahap partisipasi, terdapat pula tiga dimensi partisipasi yang harus diperhatikan antara lain (1) bentuk partisipasi apa yang dilakukan (What), (2) siapa yang terlibat dalam kegiatan partisipasi (who), dan (3) bagaimana partisipasi itu berlangsung (How) (Cohen dan Uphoff, 1977). Menurut Dusseldorp seperti yang dikutip oleh Slamet (1993), partisipasi dapat diklasifikasikan berdasarkan sembilan dasar yang terpisah satu sama lainnya yaitu (1) partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan yang terbagi atas partisipasi bebas dan partisipasi terpaksa, (2) partisipasi berdasarkan cara keterlibatan yang terbagi atas partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung, (3) partisipasi berdasarkan keterlibatan di dalam berbagai tahap dalam proses pembangunan terencana, terdiri atas enam langkah yaitu perumusan tujuan, penelitian, persiapan rencana, penerimaan rencana, pelaksanaan dan penilaian, (4) partisipasi berdasarkan tingkatan organisasi, terbagi atas partisipasi yang terorganisasi dan partisipasi yang tidak terorganisasi, (5) partisipasi berdasarkan intensitas dan frekuensi kegiatan, (6) partisipasi berdasarkan lingkup liputan kegiatan, terbagi atas partisipasi tidak terbatas, dan partisipasi terbatas, (7) partisipasi berdasarkan efektifitas, terbagi atas partisipasi efektif dan partisipasi tidak efektif, (8) partisipasi berdasarkan siapa yang terlibat.

Partisipasi dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan dan ikut serta dalam memanfaatkan hasil, serta menikmati hasil-hasil pembangunan yang nyata. Partisipasi masyarakat sangat mutlak demi berhasilnya pembangunan. Slamet (1993) menyatakan bahwa, berdasarkan pengertian tentang partisipasi dalam pembangunan, maka partisipasi dalam pembangunan dapat dibagi menjadi 5 (lima) jenis:

1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya.

2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya

3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung.

4. Menikmati /memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input. 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya Tanpa partisipasi masyarakat, setiap pembangunan dinilai tidak berhasil. Oleh karena itu penting sekali untuk memikirkan dan mengusahakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan dengan cara meningkatkan keterlibatan warga secara langsung dalam pengambilan keputusan oleh perseorangan atau kelompok dalam suatu kegiatan. Peningkatan partisipasi masyarakat tidak hanya berhenti pada tahap perumusan rencana dan pelaksanaan program, tetapi juga menyangkut aspek pengambilan keputusan. Perluasan partisipasi masyarakat merupakan bagian dari pendekatan pembangunan yang mencakup peningkatan kepribadian atau kualitas manusia baik perorangan maupun masyarakat. Masyarakat memiliki identitas yang kolektif sifatnya. Oleh karena itu pembangunan masyarakat harus mencakup pembangunan kolektif (Oepen, 1988)

Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya di wilayah perdesaan adalah dengan mengelola secara komprehensif kesempatan, kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sesuai dengan potensi dan kondisi perdesaan yang bersangkutan. Kemampuan seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan dan juga sikap mental. Pengetahuan dan pengertian tentang pembangunan sampai pada seluk beluk pelaksanaannya sangat perlu bagi masyarakat sehingga mereka dapat cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada. Pengetahuan tentang adanya potensi di lingkungannya yang dapat dikembangkan atau dibangun sangat penting artinya. Demikian pula pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan sumberdaya alam yang ada untuk dipadukan dengan berbagai sarana produksi lain sangat penting bagi keberhasilan masyarakat yang membangun. Keterbelakangan bangsa kita antara lain karena kekurangan pada bidang ini. Ditambah lagi dengan sikap mental yang sering kurang sesuai dengan tuntutan pembangunan. Masyarakat sering masih bersikap tradisional, sulit untuk diajak berpikir dan bertindak yang berbeda dengan tradisi yang sudah dimilikinya selama ini. Oleh karena itu, kemampuan

adaptif masyarakat dalam menerima inovasi untuk meningkatkan akselerasi pembangunan di wilayah perdesaan perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, menurut Tjokroamidjojo (1991), terdapat 2 (dua) cara yang dapat ditempuh yaitu memobilisasikan kegiatan-kegiatan masyarakat yang serasi untuk kepentingan-kepentingan pencapaian tujuan pembangunan dan meningkatkan oto-aktivitas, swadaya dan swakarya masyarakat sendiri sehingga masyarakat menjadi dewasa untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, partisipasi bukanlah sekedar suatu keikutsertaan kelompok-kelompok tertentu saja atau kelompok-kelompok status sosial ekonomi tinggi sebagai perencana dan kelompok-kelompok status ekonomi rendah sebagai pelaksana kegiatan pembangunan. Partisipasi harus dapat mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat untuk aktif melakukan hak dan kewajibannya sebagai partisipan, tidak ada aktivitas ekslusif dan tidak ada pula penonton pasif, seluruh anggota masyarakat berperan secara produktif. Sihombing (1980) mempertegas bahwa pengertian partisipasi berakar pada pemahaman bahwa setiap makhluk yang disebut manusia adalah pemilik dan ahli waris yang sah dari dunia (alam), dengan demikian partisipasi merupakan hak dasar manusia untuk mengobyektivikasikan, mengeluarkan dan menyatakan dirinya melalui upaya mengerjakan alam (memanusiawikan).

Lebih lanjut Saardi (2000) mengemukakan 5 (lima) hal yang menentukan kelengkapan partisipasi masyarakat yaitu:

1. adanya aliran informasi: yang menggambarkan aliran informasi timbal balik dari masyarakat yang disampaikan ke masyarakat melalui lembaga atau tokoh masyarakat,

2. konsultasi: masyarakat dilibatkan untuk berkonsultasi mengenai isu penting dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program,

3. keputusan: masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat termasuk dari golongan sasaran program, terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan mengontrol jalannya program,

4. inisiatif: tidak semua ide-ide dan perencanaan datang dari luar, tetapi masyarakat memiliki kebebasan untuk mengambil inisiatif dalam mengidentifikasi kebutuhan dan strategi dalam pelaksanaan program dan,

5. evaluasi: masyarakat ikut mengevalusi rencana dan pelaksanaan program. Sejalan dengan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat sebagai partisipan aktif, Sihombing (1980) mengemukakan bahwa partisipasi dalam konteks pembangunan yang memerdekakan manusia, bukan semata-mata berdasarkan ”kebaikan hati” para elite pengambil keputusan, akan tetapi partisipasi adalah hak dasar yang sah dari umat manusia untuk turut serta merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan yang menjanjikan harapan pemerdekaan dirinya itu. Dengan demikian, melalui kegiatan partisipasi terjadi perubahan struktur sosial, politik dan ekonomi. Tjokroamidjojo (1991) mengemukakan bahwa keberhasilan keterlibatan aktif masyarakat tergantung apabila rencana pembangunan itu berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Konsepsi tentang partisipasi, dapat dikemukakan bahwa timbulnya partisipasi akibat adanya ekspresi perwujudan perilaku mental seseorang, dimana ekspresi perilaku tersebut timbul karena adanya kemampuan dan kemauan petani untuk berpartisipasi serta adanya kesempatan untuk menunjukkan kemampuan dan kemauan tersebut (Dorojatin, 1990). Krech et al. (1962) mengemukakan bahwa perilaku interpersonal merupakan awal timbulnya keinginan sebagai partisipan.

Anwar (2007) mengemukakan bahwa partisipasi petani timbul dari kepincangan-kepincangan struktural yang terdapat di dalam sistem sosial, yakni kepincangan antara kemampuan untuk menyerap informasi dan kesempatan yang diharapkan untuk menggunakan informasi. Kepincangan itu dapat timbul dengan bermacam-macam cara antara lain, (1) kemampuan untuk menyerap bertambah akan tetapi kesempatan untuk menerapkan tidak ada, (2) kemampuan dan kesempatan itu kedua-duanya bertambah, tetapi bertambahnya kemampuan lebih cepat daripada bertambahnya kesempatan, dan (3) kemampuan bertambah, sedangkan bersamaan dengan itu kesempatan berkurang.

Beberapa hal yang merupakan eksistensi suatu partisipasi yang penting seperti dikemukakan oleh Holle (2000), sebagai berikut:

(1) Pada partisipasi terdapat adanya keterlibatan mental dan emosional dari seseorang yang berpartisipasi

(2) Pada partisipasi terdapat adanya kesediaan dari seseorang untuk memberi kontribusi, memberikan suatu aktivitas, kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan

(3) Suatu partisipasi menyangkut kegiatan-kegiatan dalam suatu kehidupan kelompok atau suatu komunitas dalam masyarakat

(4) Pada partisipasi akan diikuti oleh adanya rasa tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan seseorang

(5) Pada partisipasi terkandung di dalamnya bahwa ada hal yang akan menguntungkan individu, artinya menyangkut adanya pemuasan akan tercapai suatu tujuan bagi dirinya.

Lebih lanjut Holle (2000), mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukan hanya berarti pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas hidup sendiri. Guna mencapai hal-hal tersebut, maka rakyat perlu mengalami suatu proses belajar agar mampu mengetahui kesempatan-kesempatan yang ada untuk peningkatan kualitas hidupnya.

Meningkatkan partisipasi masyarakat harus dilakukan dengan cara meningkatkan keterlibatan warga secara langsung dalam pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan. Perluasan partisipasi masyarakat merupakan bagian dari pendekatan pembangunan yang mencakup peningkatan kepribadian atau kualitas manusia baik perorangan maupun masyarakat. Masyarakat memiliki identitas yang kolektif sifatnya. Oleh karena itu pembangunan masyarakat harus mencakup pembangunan secara kolektif (Oepen, 1988).

Berbagai uraian macam dan jenis partisipasi maka dapat dikatakan bahwa partisipasi seseorang dapat dilakukan pada semua aspek dari suatu proses kegiatan, mulai dari perencanaan hingga pemanfaatan hasil yang dicapai dari suatu pelaksanaan kegiatan. Jika seseorang sejak awal dilibatkan secara penuh dalam suatu kegiatan maka dengan sendirinya akan timbul rasa memiliki dan

tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan.

Wanita tani sebagai salah satu bagian integral dalam konstelasi pembangunan di perdesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga. Peran aktif wanita tani tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga dalam perolehan pendapatan rumah tangga melalui kegiatan usahatani, pengolahan, penyediaan kebutuhan pangan dan kegiatan lainnya. Partisipasi wanita dalam aktivitas ekonomi dan sekaligus aktivitas rumah tangga hubungannya dengan usaha tani di perdesaan merupakan salah satu hal menarik yang perlu diteliti lebih mendalam. Sejalan dengan hal tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji partisipasi wanita tani khususnya dalam kegiatan usahatani kakao.

Faktor-Faktor yang berhubungan dengan partisipasi

Timbulnya partisipasi merupakan ekspresi perilaku manusia untuk melakukan suatu tindakan, di mana perwujudan dari perilaku tersebut didorong oleh adanya tiga faktor utama yang mendukungnya yaitu (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Dorodjatin, 1990).

Hasil penelitian Dorojatin (1990) menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor yang dominan berhubungan dengan partisipasi, yaitu faktor dalam diri individu (internal), dan faktor di luar individu (eksternal). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Abdussamad (1991) bahwa untuk berperilaku tertentu minimal ada dua hal yang mendukung dalam berpartisipasi yaitu pertama, adanya unsur yang bersumber dari diri seseorang yang mendorong untuk berperilaku tertentu, dan kedua, terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan untuk berperilaku tertentu.

Faktor Internal Wanita Tani

Rakhmat (2001) menyatakan faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis dan sosiopsikologis. Karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting

untuk diketahui dalam rangka mengetahui suatu prilaku dalam masyarakat. Karakteristik individu yang merupakan ciri-ciri atau sifat-sifat individual yang berhubungan dengan semua aspek dan lingkungan seseorang.

Umur

Umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur, adalah faktor psikologis. Kemampuan belajar seseorang berkembang secara gradual semenjak lahir sampai menjadi dewasa. Asumsi ini dapat diketahui bahwa anak berusia lebih tua, akan belajar lebih cepat dan berhasil mempertahankan retensi dalam jumlah besar bila dibandingkan dengan anak yang berusia lebih muda. Kemampuan belajar seseorangpun akan berkurang secara gradual dan terasa sangat nyata setelah berumur 55 atau 60 tahun (Padmowihardjo, 1994).

Umur seseorang berkaitan dengan kemampuannya dalam proses belajar dan atau mengajar yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas kerjanya dalam berusaha. Menurut Mappiare (1983) terdapat kecenderungan bagi perempuan yang berusia tiga puluh lima tahun ke atas untuk lebih memantapkan dirinya dalam bekerja, alasannya berkenaan dengan semakin tingginya biaya hidup yang perlu dikeluarkan.

Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan perilaku yang disebabkan oleh kegiatan pendidikan biasanya berupa: (1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui; (2) perubahan dalam keterampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu; dan (3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan.

Pendidikan merupakan suatu faktor penting bagi kehidupan manusia. Seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sangat berguna bagi diri dan kehidupannya maupun bagi pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Pendidikan dapat mempengaruhi cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Saharuddin (1987) mengatakan, bahwa tingkat pendidikan seseorang mempunyai pengaruh pada partisipasi pada tingkat perencanaan. Oleh karena itu

semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berpikir dan cara bertindaknya.

Mosher (1987) menyatakan pendidikan formal mempercepat proses belajar, memberikan pengetahuan, kecakapan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan masyarakat. Mulyasa (2002) mengemukakan bahwa pendidikan berperan dalam mewujudkan masyarakat yang berkualitas, menampilkan individu yang memiliki keunggulan yang tangguh, kreatif, mandiri, dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Hernanto (1993) menyatakan rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh kepada rendahnya adopsi teknologi. Tingkat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kualitas sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan mendorong tumbuhnya pola pikir dan kreatifitas yang mampu menangkap peluang atau kesempatan berusaha.

Masyarakat sebagai manusia yang rasional sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi dirinya. Jika bermanfaat, maka akan berpartisipasi, dan sebaliknya jika tidak bermanfaat maka masyarakat tidak bergerak untuk berpartisipasi.

Besarnya Jumlah Keluarga

Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tersebut. Sajogyo (1984) mengemukakan, peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya terlebih bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan beban keluarga yang tidak sedikit. Pandangan yang disampaikan Surtiyah (1990) menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi.

Pengalaman Berusahatani

Osipow (1983), mengemukakan bahwa selain faktor kebutuhan, faktor pengalaman juga mempengaruhi dalam pemilihan kerja. Seseorang yang berinteraksi seumur hidupnya dengan lingkungannya akan mendapatkan

pengalaman yang merupakan pengetahuan, keterampilan dan pengertian tentang sesuatu yang telah terjadi.

Beberapa ahli pertanian berkeyakinan bahwa pada masa lalu wanitalah yang pertama kali membudidayakan tanaman dan merintis ilmu seni bertani (Departemen Pertanian, 1991). Pengalaman wanita tani dalam bercocok tanam kebanyakan diperoleh secara empirik berasal dari warisan turun-temurun, sehingga mereka sudah mengetahui keterampilan dasar yang diperlukan dalam berusahatani. Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan stimulus meningkatnya pengetahuan, sikap dan keterampilan wanita tani yang diperlukan dalam berusahatani. Semakin cocok pengalaman wanita tani dengan peristiwa yang dialami di masa lampau, akan semakin mempermudah baginya untuk mengerti dan memahami stimulus tersebut. Pengalaman berusaha tani yang dimiliki oleh wanita tani berpengaruh dalam penglolaaan usahatani. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama cenderung sangat efektif dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto, 1996).

Motivasi Berusahatani

Motivasi terdiri atas kata ‘motif’ yang berarti dorongan dan ‘asi’ berarti usaha. Motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan (Padmowiharjo, 1994). Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat, atau kebutuhan untuk berkuasa. Handoko (1995) mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan dorongan tertentu. Dengan adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi. Motivasi merupakan keadaan

dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.

Motivasi terdiri atas dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan dari luar diri seseorang sehingga melakukan sesuatu hal. Motivasi seseorang akan muncul jika ia memiliki keinginan. Keinginan tersebut muncul melalui proses yang diterima seseorang dan dipengaruhi oleh kepribadian, sikap, pengalaman dan harapan. Segala sesuatu yang diperoleh seseorang akan diberi arti menurut minat dan keinginannya. Motivasi yang demikian bersumber pada faktor psikologis manusia yang menyangkut emosi dan perasaan.

Maslow seperti dikutip Wahjosumidjo (1984) dalam bukunya “Motivation dan Personality” mengungkapkan lima jenjang kebutuhan pokok manusia: (1) kebutuhan mempertahankan hidup, (2) kebutuhan akan rasa aman, (3) kebutuhan sosial, (4) kebutuhan akan penghargaan, dan (5) kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja.

Aspirasi

Aspirasi merupakan tingkat perwujudan ataupun pencapaian sesuatu di masa yang akan datang yang menentukan dan mempolakan usaha-usaha seseorang untuk mencapai hal tersebut. Adanya aspirasi, akan menentukan dan mempolakan petani untuk melakukan usaha-usaha untuk mencapai aspirasi tersebut. Dengan demikian akan semakin tinggi pula kemauan petani untuk ikut berpartisipasi.

Sifat Kekosmopolitan

Mardikanto (1996) menyatakan sifat kekosmopolitan adalah tingkat hubungannya “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat. Bagi warga yang lebih “lokalit” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk

hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.

Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih

Dokumen terkait