• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guienensis, Jacq) merupakan tanaman monokotil (berkeping satu) yang termasuk dalam famili Palmae. Buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (mesokarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah dalam yang disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam yang disebut endocarp. Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung minyak (Muchtadi 1992). Tanaman dan buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman dan buah kelapa sawit (Anonim 2009a; Anonim 2009b)

Minyak Sawit Mentah atau CPO (Crude Palm Oil)

Dari tanaman kelapa sawit, dapat diperoleh dua jenis minyak yang berbeda yaitu minyak dari inti (endosperm) sawit yang disebut dengan minyak inti sawit dan minyak dari serabut (mesokarp) sawit yang disebut minyak sawit (Ketaren 2008). Minyak sawit mengandung karotenoid, tidak memiliki asam lemak kaproat, kaprilat dan laurat; dan akan mencair pada suhu 60oC (Murdiati 1992). Pengolahan serabut kelapa sawit menjadi minyak sawit dilakukan melalui tahap ekstraksi, pemurnian, dan fraksinasi. Secara umum, ekstraksi dilakukan dengan cara pengepresan; pemurnian dilakukan dengan menghilangkan gum dan kotoran

lain, penyabunan untuk memisahkan asam lemak bebas, pemucatan untuk menghilangkan warna merah minyak, dan selanjutnya deodorisasi untuk menghilangkan bau minyak; dan fraksinasi untuk memisahkan fraksi padat dengan fraksi cair minyak dilakukan melalui pendinginan (Ketaren 2008). Standar kualitas minyak sawit mentah (CPO) menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Ooi et al. (1996) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Standar mutu minyak sawit mentah (CPO)

Karakteristik Persyaratan mutu

Warna Jingga kemerahan a)

Kadar air Maksimal 0,5 % a)

Asam lemak bebas (sebagai asam palmitat) Maksimal 5 a)

Kadar -karoten 500-700 ppm b)

Kadar tokoferol 700-1000 ppm c)

a)

SNI 01-2901-2006; b) Ooi et al. 1996; c) Chow 2001.

Komponen utama dari CPO adalah triasilgliserol (94%), sedangkan sisanya berupa asam lemak bebas (3-5%), dan komponen minor (1%) yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, fosfolipid dan glikolipid, squalen, gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya. Keunggulan minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yaitu memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, terutama yaitu asam palmitat (40-46%) dan asam oleat (39-45 %); dan komponen zat gizi minor yang memiliki peran fungsional, terutama yaitu karotenoid dan tokoferol (termasuk tokotrienol). Kadar karotenoid dalam CPO adalah 500-700 ppm. Sebagian besar karotenoid dalam CPO terdiri dari -karoten dan α-karoten (jumlahnya mencapai 90% dari total karotenoid CPO); dan sejumlah kecil -karoten, likopen dan xantofil (Ooi et al. 1996). Komposisi karotenoid dalam CPO dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi karotenoid pada minyak sawit mentah *)

Komponen Jumlah (%) Komponen Jumlah (%)

-karoten 56,02 Cis-α – karoten 2,49

α-karoten 35,16 Cis- - karoten 0,68

- karoten 0,33 Phytoene 1,27

δ –karoten 0,83 Lycopen 1,30

ζ –karoten 0,69 *) Basiron (2005)

Minyak Sawit Merah

Secara umum, minyak sawit merah dibuat dengan proses yang sama seperti CPO, namun tidak dilakukan proses pemucatan (bleaching) sehingga warna merah minyak yang banyak mengandung karotenoid dapat dipertahankan. Pengolahan minyak sawit merah yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan (PPKS) dilakukan melalui degumming dengan asam fosfat 85% dan deasidifikasi dengan natrium karbonat 20% pada suhu ruang, kemudian sabun yang terbentuk dipisahkan dengan penyaringan vakum. Novia (2009) melaporkan bahwa penyempurnaan dari pengolahan minyak sawit merah telah dilakukan oleh Sirajjudin (2003), Mas’ud (2007), dan Puspitasari (2008). Karakteristik dari beberapa jenis minyak sawit merah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik minyak sawit merah (MSM)*)

Parameter PPKS 1997 Sirajjudin 2003 Mas’ud 2007 Puspitasari 2008

Kadar asam lemak bebas (%) 0,11 0,02 0,17 0,16

Kadar air (% bb) 0,02 0,01 0,07 0,002

Bil. Iod (g I2/100g MSM) 56 55 45,8 45,6

Bil. Peroksida (meq/kg MSM) 6,1 0,86 5,9 5,8

Bil. Penyabunan (mgKOH/g MSM) 198 197 193,8 193,21

Total Karoten (ppm) 500 650 492 533

Karakteristik minyak sawit merah jenis NDRPO (Neutralized Deodorized Red Palm Oil) hasil penelitian Riyadi et al. (2009) yang diperoleh dari CPO yang diolah lebih lanjut melalui proses deasidifikasi dengan NaOH 16oBe pada suhu 61oC selama 26 menit dan diikuti proses deodorisasi untuk menghilangkan komponen-komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki (off flavor) dengan pemanasan vakum pada suhu 140oC selama 1 jam dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik minyak sawit merah jenis NRPO dan NDRPO*

Parameter NRPO** NDRPO***

Kadar air (%) 0,34 ± 0,31 0

Kadar asam lemak bebas (%) 0,484 ± 0,15 0,490 ± 0,15 Kadar -karoten (mg/kg) 535,64 ± 21,90 375,33 ± 22,87 Bilangan peroksida (meq/kg) 5,29 ± 1,19 0,12 ± 0,03 * Riyadi et al. (2009); **(Neutralized Red Palm Oil): ***(Neutralized Deodorized Red Palm Oil)

Karotenoid

Karotenoid adalah pigmen alami berwarna kuning, jingga, dan jingga kemerahan. Karotenoid mempunyai struktur alifatik atau asiklik yang tersusun oleh 8 unit isoprene dan 4 gugus metil dan selalu terdapat ikatan rangkap terkonjugasi di antara gugus metil tersebut. Kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5 (Lehninger 1990). Karotenoid alami umumnya berkonfigurasi trans, tetapi kadang-kadang juga berubah menjadi cis karena dipengaruhi faktor cahaya, panas, dan asam. Semakin banyak konfigurasi cis

mengakibatkan warna semakin muda (De Man 1997). Struktur molekul karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Meyer (1973), karotenoid dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu : 1) karoten, yang berupa karotenoid hidrokarbon C40H56 seperti α-, -, dan - karoten serta likopen; 2) xanthophil dan derivat-derivat karoten yang mengandung oksigen dan gugus hidroksil seperti kriptoxanthin dan lutein; 3) ester

xanthophil yang merupakan ester asam lemak yaitu zeaxanthin; 4) asam karotenoid yang merupakan derivat karoten yang mengandung gugusan karboksil. Menurut Meyer (1966) dan Ranganna (1979), karotenoid merupakan lipida yang tak tersabunkan, bersifat larut dalam minyak dan tidak larut dalam air; larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfida dan petroleum eter; tidak larut dalam etanol dan metanol dingin; tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum; peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya; dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya.

Gambar 2. Struktur kimia molekul karotenoid (Anonim 2009c)

Menurut Klaui dan Bauernfeind (1981), faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara maupun perubahan struktur oleh panas. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Oksidasi karoten dipercepat dengan adanya cahaya, logam, panas, peroksida, dan bahan pengoksidasi lainnya. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan (Schwartz dan Elbe 1996). Panas akan mendekomposisi karotenoid dan

mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60oC tidak mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan.

Karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh, karena asam lemak tidak jenuh akan lebih mudah menerima radikal bebas dibandingkan dengan karotenoid sehingga apabila ada faktor yang menyebabkan oksidasi, asam lemak akan teroksidasi lebih dulu dan karoten akan terlindungi lebih lama (Klaui dan Bauernfeind 1981).

Komponen karotenoid memiliki sifat penyerapan terhadap panjang gelombang tertentu jika dilarutkan dalam pelarut tertentu. Pada pelarut yang berbeda, karotenoid akan menyerap panjang gelombang yang berbeda secara maksimum. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar untuk menentukan jumlah karotenoid secara spektrofotometeri (Simpson et al. 1987). PORIM (1995) telah menguji bahwa karotenoid minyak sawit yang dilarutkan dalam heksan mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 446 nm. Ditambahkan oleh De Man (1997) bahwa warna pada karotenoid terbentuk akibat adanya ikatan rangkap yang terkonjugasi. Makin banyak ikatan rangkap dua yang terkonjugasi dalam molekul, maka pita serapan utama makin bergeser ke daerah panjang gelombang yang lebih tinggi, sehingga warnanya semakin merah.

Karotenoid sebagai Provitamin A

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati seperti pada sayuran hijau, buah-buahan berwarna kuning dan merah serta minyak sawit. Minyak sawit merupakan sumber karotenoid terbesar untuk bahan nabati. Kadar karotenoid di dalam minyak sawit yaitu 60.000 µg/100g atau 500-700 ppm di dalam minyak sawit mutu reguler (Hermana dan Mahmud 1989). Karotenoid minyak sawit terdiri dari α-karoten (30-γ5%), -karoten (60-65%), dan karoten lain seperti -karoten, likopen, xantofil, -zeakaroten (5-10%) (Ketaren 2008).

Tubuh mempunyai kemampuan mengubah sejumlah karoten menjadi vitamin A (retinol), sehingga karoten disebut provitamin A (Winarno 1991).

Aktivitas karotenoid sebagai provitamin A berbeda sesuai jenis karotennya. -karoten memiliki aktivitas provitamin A yang paling tinggi dibanding semua jenis karoten. Struktur -karoten berupa molekul simetri, yaitu separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari kanannya. -karoten mempunyai 40 atom karbon, yang terdiri dari 8 unit isoprene dan 11 ikatan rangkap, serta mempunyai 2 cincin -ionon yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya. Beberapa jenis karoten beserta aktivitas vitamin A-nya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis-jenis karotenoid dan aktivitas vitamin A-nya*) Jenis karotenoid Aktivitas vitamin A (%)

-karoten 100 α-karoten 50- 54 -karoten 42 – 50 -zeakaroten 20 – 40 3,4 dehidro- -karoten 75 -karoten-5,6-mono epoksida 21 *) Linder (1991)

Dalam tubuh, sekitar 75% dari -karoten akan diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15,15’ -karotenoid oksigenase sedangkan β5% dari -karoten akan diabsorpsi dalam bentuk utuh pada mukosa usus. Fungsi utama vitamin A adalah dalam proses penglihatan (Fennema 1996). Selain itu, karoten juga berfungsi untuk mencegah kebutaan (xerophtalmia) dan penyakit katarak; mencegah penyakit kanker terkait fungsinya sebagai antioksidan; mengurangi resiko penyakit jantung koroner; memusnahkan radikal bebas dan anti penuaan dini; meningkatkan imunitas tubuh; menurunkan gejala penyakit tertentu pada wanita hamil dan menyusui; dan mencegah penyakit degeneratif bila dikonsumsi bersama dengan tokoferol dan asam askorbat (Sundram 2007).

Fortifikasi Vitamin A

Penambahan vitamin A ke dalam produk olahan pangan sering dilakukan, misalnya dalam produk tepung, minyak, gula, susu, atau produk oles. Vitamin A

yang ditambahkan biasanya dalam bentuk ester retinol seperti retinyl acetate atau

retinyl palmitate. Fortifikasi vitamin A dari bahan alami yang kaya karoten terutama -karoten sering dilakukan dalam produk margarin atau minuman. Fungsi fortifikasi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, namun juga sebagai sumber pewarna kuning atau orange dalam produk olahan pangan. Secara umum, aktivitas vitamin A dinyatakan dengan dalam satuan µg RE (Retinol Equivalent). Nilai 1 µg RE = 1 µg retinol= 3,33 IU (International Unit) = 12 µg -karoten atau 24 µg karotenoid provitamin A yang lain (α-karoten, -karoten, dan lain-lain). Bila karoten berasal dari bahan alami seperti minyak, maka faktor konversi untuk vitamin A (retinol) : -karoten adalah 1 : 2. Bila karoten berasal dari bahan sitetik, maka faktor konversi untuk vitamin A (retinol) : -karoten adalah 1 : 6 (Allen et al. 2006).

WHO/FAO mensyaratkan kadar vitamin A yang dapat ditambahkan ke dalam minuman seperti susu atau minuman sereal tiap penyajian (250 gram) adalah sebesar 15-30% RNI (Recommanded Nutrient Intake) vitamin A. Nilai rata-rata RNI vitamin A adalah sebesar 600 µg RE . Dalam sehari, produk minuman yang telah difortifikasi dengan vitamin A dapat dikonsumsi hingga 15 kali. Kadar fortifikasi maksimum vitamin A yang dianggap aman dalam 250 gram minuman tiap penyajian adalah 200 RE; dan kadar maksimum vitamin A yang dapat ditambahkan ke dalam 250 gram minuman tiap penyajian adalah 33% RNI (Allen

et al. 2006)

Konsentrat Karotenoid

Berbagai metode telah dikembangkan untuk melakukan ekstraksi dan pemekatan karotenoid dari minyak sawit, antara lain metode penyabunan, metode adsorpsi, metode urea, proses ekstraksi menggunakan pelarut selektif dan distilasi molekuler, transesterifikasi diikuti dengan pemisahan dan distilasi molekuler serta teknik fluida superkritik (Masni 2004). Konsentrat karotenoid juga dapat diperoleh dari hasil pemekatan metil ester sawit. Metil ester merupakan salah satu bahan oleokimia dasar yang merupakan turunan dari minyak dan lemak selain asam lemak. Metil ester asam lemak merupakan alternatif untuk memproduksi sejumlah oleokimia turunan lemak seperti alkohol-asam lemak, alkanolamida, α

-sulfonat metil ester, isopropil ester, poliester sukrosa, dan lain-lain. Metil ester juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti atau pencampur bahan bakar motor diesel (Hui 1996). Metil ester sawit dibuat dengan cara mereaksikan minyak sawit mentah dengan metanol (proses alkoholisis). Selanjutnya, metil ester diekstrak dengan pelarut organik untuk mendapatkan lapisan berwarna. Lapisan berwarna yang dipekatkan lebih lanjut dengan teknik kromatografi dapat menghasilkan karotenoid sebesar 95% (Iwasaki dan Murakoshi 1992). Pemekatan karotenoid dari metil ester sawit juga dapat dilakukan dengan teknik lain seperti distilasi molekuler, ekstraksi fluida superkritis, teknik adsorpsi, dan lain-lain. Diagram alir pembuatan metil ester dari CPO dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan metil ester dari CPO (Ooi et al. 1996)

Proses Enkapsulasi

Menurut Vandeagar (1974), proses enkapsulasi adalah proses penyalutan partikel-partikel suatu zat inti yang berbentuk padat, cair, maupun gas dengan suatu bahan penyalut khusus, yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Proses enkapsulasi bertujuan

Minyak sawit mentah+Metanol+NaOH (dalam Erlenmeyer bertutup)

Orbital thermoshaker

Pendinginan

Sentrifugasi

Pencucian dengan pelarut

Sentrifugasi Lapisan tak berwarna

memberikan perlindungan terhadap zat sebelum dan pada saat diolah atau digunakan sehingga interaksi fisik dan kimia karena pengaruh lingkungan tidak terjadi. Hasil proses enkapsulasi disebut enkapsulat. Bentuk enkapsulat dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu bubuk dan cair. Teknik pengeringan yang sering digunakan untuk enkapsulasi dalam bentuk bubuk adalah pengeringan semprot, sedangkan teknik untuk enkapsulasi dalam bentuk cair yaitu koaservasi (pemisahan fase), emulsi dan ekstrusi dalam bentuk basah (King 1995).

Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang berfungsi untuk menyalut atau membungkus bahan inti selama proses pemadatan atau pengeringan; memperbesar volume dan meningkatkan jumlah total padatan; dan mencegah kerusakan bahan oleh panas karena waktu kontak yang singkat (Masters 1979). Pemilihan bahan penyalut yang tepat akan menentukan sifat fisikokimia produk yang dihasilkan. Menurut Rosenberg et al. (1990), persyaratan bahan penyalut antara lain : 1) mampu melindungi zat aktif dari kerusakan seperti oksidasi, kelembaban, cahaya, dan lain-lain; 2) mempunyai sifat kehilangan komponen aktif yang rendah selama proses enkapsulasi; 3) bersifat aman, tidak membahayakan kesehatan, murah, dan mudah diaplikasikan; 5) mempunyai sifat fungsional spesifik, seperti sifat emulsi, pembentukan film, dan lain-lain. Bahan-bahan penyalut yang sering digunakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bahan-bahan penyalut dalam proses enkapsulasi*)

Kelompok Jenis

Gums Gum Arab, agar, sodium alginat, karagenan Karbohidrat Pati, dextran, sukrosa, corn syrup

Selulosa CMC, metilselulosa, etilselulosa, nitroselulosa,

asetilselulosa, cellulose phthalate, cellulose acetate-butylate-phthalate

Lipid Wax, paraffin, tristearin, asam stearat, monogliserida, digliserida, beeswax, oils, lemak

Bahan anorganik Kalsium sulfat, silikat, clays

Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin *) Jackson dan Lee (1991)

Thermo-Reversible Gel Gel

Gel merupakan suatu sistem koloid dimana cairan didispersikan dalam padatan. Gel mungkin mengandung 99,9% air tetapi mempunyai sifat yang lebih khas seperti padatan, khususnya sifat elastisitas dan kekakuan (Winarno 1992). Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk gel pada produk pangan banyak berasal dari kelompok hidrokoloid. Hidrokoloid adalah suatu polimer yang bersifat larut dalam air, mampu membentuk koloid, dan mampu mengentalkan larutan atau membentuk gel dari larutan tersebut (Fardiaz 1989). Jenis hidrokoloid yang digunakan pada produk pangan diantaranya adalah agar, karagenan, furselaran, sodium alginat, pektin, LMC (Low methoxyl pectin), gum arab, pati, dan kombinasi xanthan gum dengan LBG (Locust bean gum).

Menurut Fardiaz (1989), sifat pembentukan gel bervariasi dari satu jenis hidrokoloid ke jenis hidrokoloid yang lainnya, tergantung pada jenisnya. Gel hidrokoloid terbentuk karena adanya pembentukan jala atau jaringan 3 dimensi oleh molekul primer yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan memerangkap sejumlah air di dalamnya. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi hidrokoloid yang digunakan, suhu, tingkat keasaman, keberadaan ion logam tertentu, dan komponen aktif lainnya. Berdasarkan sifatnya, gel dapat dibedakan atas dua jenis gel yaitu gel yang bersifat reversible dan gel yang bersifat irreversible. Gel yang bersifat reversible

apabila dipanaskan ketika telah membentuk gel maka gel tersebut akan mencair. Tetapi, saat larutan gel tersebut didinginkan, maka akan membentuk gel kembali (Glicksman 1983). Beberapa jenis hidrokoloid yang dapat membentuk gel

reversible yaitu gelatin, agar, kapa dan iota karagenan, LMC, gellan gum, metil selulosa, dan kombinasi antara xanthan gum dengan LBG atau dengan konjak. Sedangkan alginat, HMP (High methoxyl pectin), konjak dan LBG merupakan jenis hidrokoloid pembentuk gel yang irreversible (Phillips dan Williams 2000).

Agar

Agar-agar adalah hidrokoloid yg diperoleh dari rumput laut jenis Gracilaria

polimer netral dan agaropektin merupakan polimer sulfat. Rasio kedua polimer sangat bervariasi dan persentase agarosa dalam ekstrak antara 50 hingga 80% (Glicksman 1983). Agaropektin memiliki persamaan dengan agarosa, bedanya yaitu beberapa 3,6-anhidro-L-galaktosa diganti dengan L-galaktosa-6-sulfat dan beberapa D-galaktosa diganti dengan asam piruvat asetal sebagai 4,6-O-(1-karboksietili-dine)-D-galaktosa. Agaropektin mengandung residu sulfat antara 3-10% (Glicksman 1983). Struktur molekul agar dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul agar (Anonim 2009d)

Agar mampu membentuk gel pada kadar 1%. Mekanisme pembentukan gel agar menurut Glicksman (1983) adalah sebagai berikut :

a. Pada saat larutan atau sol berada di atas titik leleh, struktur polimer agar membentuk suatu gulungan acak (random coil).

b. Saat larutan didinginkan, gulungan acak akan membentuk pilinan ganda (double helix). Pada keadaan ini atom-atom hidrogen pada tiga kutub dari 3,6-anhidro-galaktosa mendesak molekul untuk membentuk pilinan. Interaksi dari pilinan-pilinan ini menyebabkan terbentuknya gel.

c. Pada pendinginan selanjutnya, pilinan ganda akan beragregasi membentuk struktur tiga dimensi sehingga gel menjadi lebih keras.

Karakteristik gel agar yaitu jenih, kuat, stabil, kaku (rigid); menunjukkan gejala histeresis yaitu gejala dimana larutan agar memiliki perbedaan yang besar antara suhu leleh dengan suhu pembentukan gel; bersifat thermoreversible yaitu kemampuan gel agar untuk mencair jika gel dipanaskan melewati titik cairnya dan selanjutnya membentuk gel kembali jika didinginkan; menunjukkan gejala sineresis yaitu gejala dimana air keluar dari dalam gel bila gel disimpan pada suhu dingin (lebih rendah dibanding suhu ruang); dan memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya oksigen ke dalam sistem gel. Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik gel agar yaitu pH (tingkat keasaman), kadar gula, suhu, konsentrasi agar dan kandungan ester sulfat. Penurunan pH akan menyebabkan kekuatan gel berkurang. Meningkatnya jumlah gula akan menyebabkan gel menjadi lebih keras dengan kohesifitas teksturnya yang lebih rendah. Semakin tinggi kandungan ester sulfat, maka kekakuan gel meningkat. Kekuatan gel akan meningkat dengan penambahan alkali karena alkali akan mengkonversi ester sulfat menjadi 3,6-anhidro-L-galaktosa (Armisen dan Galatas 2000).

Karagenan

Karagenan adalah hidrokoloid yang diperoleh dari rumput laut merah (Rhodopyceae). Ada berberapa jenis karagenan yaitu kappa karagenan yang diperoleh dari rumput laut merah jenis Euchema cottonii, iota karagenan dari E. Spinosum, dan lambda karagenan dari Gigartina. Komponen karagenan terdiri dari ikatan berulang antara gugus galaktosa dengan 3,6-anhidrogalaktosa, keduanya baik yang berikatan dengan sulfat maupun tidak, dihubungkan dengan ikatan glikosidik α-(1,3) dan -(1,4). Kappa karagenan tersusun atas α -(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan -(1,4)-3,6-anhidrogalaktosa (25% ester sulfat dan 34% 3,6-anhidrogalaktosa). Iota karagenan tersusun atas α-(1,3)-D-galaktosa-4-sulfat dan -(1,4)-anhidrogalaktosa-2-sulfat (32% ester sulfat dan 30% 3,6-anhidrogalaktosa). Lambda karagenan tersusun atas α-(1,3)-D-galaktosa-2-sulfat dan -(1,4)-D-galaktosa-2,6-disulfat (35% ester sulfat) (Imeson 2000). Struktur molekul karagenan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Struktur molekul karagenan (Anonim 2009f)

Hanya kappa dan iota karagenan yang memiliki kemampuan membentuk gel dengan mekanisme pembentukan gel yang mirip seperti gel agar (Gambar 7). Beberapa karakteristik gel karagenan yaitu kelarutan karagenan, pembentukan gel, dan interaksi sinergis karagenan dengan konjak glukomanan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Kelarutan karagenan

Kelarutan karagenan terutama dipengaruhi oleh derajat hidrofiliknya, yaitu gugus ester sulfat dan unit galaktopiranosa yang berlawanan dengan unit 3,6 anhidro-D-galaktosa yang bersifat hidrofobik. Kappa dan iota karagenan memiliki gugus hidrofilik ester sulfat dalam jumlah yang lebih rendah dan mengandung anhidrogalaktosa yang bersifat hidrofobik dalam jumlah yang tinggi sehingga tidak larut dalam air dingin kecuali dalam bentuk garam natrium. Bahan terlarut lain seperti gula dan garam menurunkan kelarutan karagenan dalam air (Imeson 2000).

Pembentukan gel

Kappa karagenan dan iota karagenan dapat digunakan sebagai pembentuk gel pada pH rendah. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan hilangnya viskositas dan potensi membentuk gel. Hidrolisis dipercepat oleh panas dan pH rendah (Moirano 1977).

Kappa karagenan jika dimasukkan ke dalam air dingin akan membesar membentuk sebaran kasar yang memerlukan pemanasan sampai 70oC untuk melarutkannya. Suhu pembentukan gel dan kualitas gel dipengaruhi oleh konsentrasi, jumlah dan adanya ion-ion. Secara umum karagenan membentuk gel yang keras pada suhu antara 45 dan 65oC dan meleleh kembali jika suhu dinaikkan sampai 10-20oC dari suhu yang telah ditetapkan tadi. Kappa karagenan mempunyai tipe gel yang rigid atau mudah pecah dicirikan dengan tingginya sineresis, yaitu adanya aliran cairan pada permukaan gel. Aliran ini berasal dari pengerutan gel sebagai akibat meningkatnya gumpalan pada daerah penghubung. Sineresis tergantung pada konsentrasi kation-kation yang ada. Ion K+ memberikan efek terbaik dalam pembentukan gel kappa karagenan. Gel yang dihasilkan oleh kappa karagenan memiliki tekstur yang solid. Iota karagenan dapat membentuk gel jika direaksikan dengan ion Ca2+ dan akan menghasilkan gel dengan tekstur yang lembut (soft) (Be Miller dan Whistler 1996).

Kapa karagenan hanya memiliki satu gugus sulfat yang berikatan dengan gugus galaktosa. Menurut Bubnis (2000), adanya gugus sulfat membuat baik kappa maupun iota karagenan menjadi bersifat anionik (bermuatan negatif).

Penambahan kation dapat membantu pembentukan gel karagenan. Penambahan ion kalium (K+) dan kalsium (Ca2+) pada kappa karagenan dan iota karagenan akan menetralkan muatan dari karagenan tersebut. Kedua kation tersebut akan berikatan dengan sulfat. Hal ini menyebabkan dua rantai panjang karagenan bergerak mendekat dan membentuk ikatan hidrogen dan akhirnya membentuk

double helix. Mekanisme pembentukan gel kappa karagenan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme pembentukan gel kappa karagenan (Anonim 2009g)

Sinergisme karagenan dengan konjak

Karagenan dapat membentuk gel pada kondisi tertentu. Gel yang dibentuk oleh karagenan bersifat kaku (rigid) dan tingkat sineresisnya tinggi. Bila