• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAPI FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini berasal dari Negeri Belanda yaitu dari propinsi North Holand dan West Friesland, kedua daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Sapi FH menyebar ke seluruh dunia, baik negara subtropis ataupun di negara tropis. Ciri-ciri yang paling menonjol pada sapi perah Friesian Holstein (FH) yaitu warna tubuhnya memiliki dua warna, hitam dan putih (black Holstein) atau merah dan putih (red Holstein).

Sumber : www.wapedia.mobi/id

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH)

Bangsa sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi susu tertinggi jika dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Dengan tingkat produksi susun rata-rata setiap satu masa laktasi (10 bulan) adalah sekitar 3.050 liter atau sekitar 10 liter per ekor per hari. Pada daerah asalnya produksi susu per masa laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).

Bangsa-bangsa Sapi Pedaging

Sapi pedaging merupakan sapi yang dipelihara untuk menghasilkan pertumbuhan dengan karkas yang optimal. Bangsa-bangsa sapi pedaging yang sudah dikenal cukup baik di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO), Simmental, Brahman, Limousin, dan Angus. Setiap bangsa tersebut memiliki keungulan dan karakteristik yang spesifik.

Sapi Simmental

Blakely & Bade (1991) menyatakan sapi Simmental berasal dari Lembah Simme di Swiss (Gambar 2a.). Sapi Simmental memiliki karakteristik warna bulu krem kecoklatan hingga sedikit merah, bulu muka berwarna putih dan bagian ekor dan lutut kebawah berwarna putih dengan ukuran tanduk tidak begitu besar. Ternak sapi ini berukuran besar, pertumbuhan ototnya sangat baik dan tidak banyak penimbunan lemak dibawah kulit (Pane, 1986). Sapi ini terkenal karena pertumbuhannya cepat, badannya panjang dan padat (Blakely & Bade, 1991).

2a. Sapi Simmental 2b. Sapi Brahman

2c. Sapi Limosin 2d. Sapi Angus Sumber : www.infoternak.com

Gambar 2. Bangsa-bangsa Sapi Pedaging

Sapi Brahman

Sapi Brahman (Gambar 2b.) berasal dari keturunan kelompok sapi Zebu dari India memiliki campuran Bos taurus dari Inggris yang telah dikembangkan di Amerika serikat. Sapi ini memiliki kaki yang panjang, punuk besar, telinga panjang menjulai kebawah dan bergelambir; serta warna bulu umumnya berwarna putih atau kelabu muda, akan tetapi ada juga yang berwarna kemerah-merahan (Pane, 1986). Menurut Williamson dan Payne (1993) sapi Brahman merupakan sapi pedaging yang tumbuh baik di padang pengembalaan yang buruk dan kering, tahan panas, endoparasit, caplak, dan responsive.

Sapi Limousin

Sapi Limousin (Gambar 2c.) berasal dari Perancis Tengah di bagian selatan. Sapi Limousin merupakan tipe sapi pedaging dengan warna bulu merah keemasan, kaki dari lutut kebawah memiliki warna merah agak muda, dan umumnya terdapat lingkaran berwarna merah agak muda disekeliling mata (Pane, 1986). Bobot lahir sapi ini tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg, sedangkan pejantan dewasa mencapai berat 1100 kg (Blakely & Bade, 1991). Sapi peranakan Limousin sudah banyak tersebar dan memiliki produktivitas yang bagus di sejumlah wilayah di Indonesia.

Sapi Angus

Sapi Angus (Gambar 2d.) berasal dari Skotlandia dan disebut juga Aberdeen- Angus. Sapi ini merupakan hasil persilangan antara sapi Buchman Bumlies dengan Angus Dodies. Sapi Angus memiliki warna bulu hitam, keriting, dan halus. Jantan dan betina tidak memiliki tanduk; tubuhnya panjang dan kompak, serta kualitas karkasnya tinggi (Pane, 1986). Sifat-sifat yang menonjol dan mempunyai arti penting adalah ketahanan terhadap hawa dingin, kemampuan yang baik dalam memelihara anak dan menyusui, masak dini, fertilitas tinggi, tidak banyak kesulitan dalam melahirkan, kualitas karkas yang istimewa dengan tulang-tulang yang kecil (Blakely & Bade, 1991). 

Gen Pit1 ( Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1)

Gen Pit1 (Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1) dikenal juga dengan nama POU1F1; atau growth hormone factor 1 (GHF1) merupakan faktor transkripsi spesifik pituitari yang berperan untuk perkembangan pituitari dan ekspresi hormon pada mamalia. Pit1 merupakan anggota dominan POU yang mengandung protein, yaitu kelompok regulator transkripsi yang mempunyai peran kunci dalam diferensiasi dan pembelahan sel (Mangalam et al., 1989). Secara in vivo, kebanyakan dari protein POU berperan penting dalam proses perkembangan yang terkait dengan sistem saraf. Gen Pit1 adalah faktor transkripsi khusus untuk ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, dan hormone tirotropin β- subunit (Brunsch

mengendalikan ekspresi gen penyandi growth hormone releasing hormone gene

(GHRH). Faktor transkripsi dibutuhkan untuk penempelan enzym RNA polymerase

pada bagian promotor suatu gen (Yuwono et al., 2005).

Rekonstruksi struktur gen Pit1 yang ditampilkan berdasarkan pada struktur gen Pit1 pada Ovis aries. Hal ini dapat dilakukan karena keduanya tergolong mamalia.

Keterangan : Panjang : 5787 pb

Ekson 1 (Ex1) : 142 pb Ekson 4 (Ex4) : 165 pb

Ekson 2 (Ex2) : 150 pb Ekson 5 (Ex5) : 61 pb

Ekson 3 (Ex3) : 225 pb Ekosn 6 (Ex6) : 211 pb

Gambar 3. Rekonstruksi Struktur Gen Pit1 pada Ovis aries (Bastos et al., 2006) Rekonstruksi struktur gen Pit1 pada Ovis aries mempunyai 6 ekson dan 5 intron, dimana panjang fragmen ekson 1 (Ex1) 142 pb, ekson 2 (Ex2) 150 pb, ekson 3

(Ex3) 225 pb, ekson 4 (Ex4) 165 pb, ekson 5 (Ex5) 61 pb, dan ekson 6 (Ex6) 211 pb.

Ekson 2 pada Ovis aries terbagi menjadi dua yaitu ekson 2A (78 pb) dan ekson 2 (72 pb).

Beberapa hasil penelitian keragaman gen Pit1 yang sudah dilakukan antara lain oleh Dybuss et al. (2004) pada sapi Polish hitam putih dengan menggunakan metode RFLP dan menggunakan enzim Hinf1 ditemukan dua alel yaitu A (0,243) dan B (0,757). Hal ini serupa dengan hasil yang didapatkan Edriss et al. (2008) pada sapi Holstein di Ishafan yang ditemukannya tiga variasi genotipe yaitu AA (0,018- 0,050), AB (0,350-0,564), dan BB (0,418-0,600) dengan frekuensi alel A (0,225- 0,300) dan alel B (0,700-0,775); serta dilaporkan pula oleh Jawasreh et al. (2009) pada sapi Friesian dan sapi lokal di Jordania bahwa frekuensi alel A (0,333) dan alel B (0,733).

Renaville et al. (1997) menyatakan alel A pada lokus Pit-1|Hinf1 dapat diasosiasikan dengan produksi susu, kadar protein dan persentase lemak pada sapi perah. Sehubungan dengan itu, Zwierzchowski et al. (2002) menunjukkan bahwa alel A pada lokus Pit-1 berdampak positif pada sifat produksi susu. Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gen Pit1 merupakan salah satu gen kandidat

yang potensial dan berpengaruh signifikan terhadap sejumlah sifat-sifat kuantitatif (QTL) seperti produksi susu, protein, dan lemak susu khususnya pada ternak sapi.

Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR – RFLP)

Metode PCR merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausbel, 1995). Segmen DNA tersebut kemudian dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya dengan menggunakan enzim restriksi. Enzim restriksi dapat memotong DNA secara spesifik dan terbatas pada situs yang dikenalinya (Lewin, 1994). Williams (2005) menambahkan bahwa PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzym

polymerase. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian DNA yang akan diperbanyak. Enzim Polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis.

Proses PCR terdiri dari 3 tahapan, yaitu (1) Denaturasi, yaitu struktur DNA utas ganda mengudar menjadi utas tunggal, (2) Anealing, yaitu penempelan primer pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, (3). Ekstensi, yaitu pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002). Menurut Viljoen et al. (2005), reaksi yang terjadi dalam mesin thermalcycler secara umum dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap denaturasi DNA cetakan, tahap annealing

atau penempelan primer dan tahap extension, yaitu pemanjangan primer atau polimerase. Reaksi ini umumnya terjadi dalam 25-30 siklus. Pada tahap denaturasi, DNA dipanaskan hingga 94 oC sehingga DNA untai ganda berpisah menjadi DNA untai tunggal. Tahapan yang paling menentukan dalam proses PCR adalah tahap penempelan primer, karena tiap pasangan primer memiliki suhu penempelan primer yang spesifik. Tahap pemanjangan primer terjadi pada suhu 27 oC. Pada tahapan ini enzim taq polymerase, buffer PCR, dNTP, dan Mg2+ memulai aktifitasnya memperpanjang primer.

PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR. Menurut Montaldo dan Herrera (1998), teknik PCR-RFLP dikembangkan untuk

menvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzyme) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens nukleotida spesifik. Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh enzim rerstriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi mengalami mutasi (meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu mengenalinya. Ada tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya mutasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).

Keragaman Genetik

Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus. Menurut Frankham et al. (2002), beragamnya sumber daya genetik, maka akan semakin taan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama; serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan. Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei, 1987). Polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan dalam menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies (Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000). Menurut Falconer dan Mackay (1996), suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99.

Hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift; selain itu, silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi genotipe (Noor, 2000). Derajat heterozigositas merupakan rataan persentase lokus heterozigositas tipe individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam populasi (Nei, 1987). Avise (1994) menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi.

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat keragaman genetik sebagai

salah satu contohnya adalah keragaman genetik sapi FH Indonesia. Rahmani et al. (2004) melaporkan keragaman genetik sapi FH berdasarkan gen

hormon pertumbuhan di BPTU Baturraden dan ditemukan 4 alel A, B, C, dan D dengan lima tipe genotipe melaporkan bahwa frekuensi gen A dan gen B pada peternakan sapi FH yang ada di Baturraden memiliki nilai yang hampir sama (0,47 dan 0,53).

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu dari bulan Juli sampai dengan November 2010.

Materi Sampel Darah

Sampel DNA yang digunakan adalah berasal dari sampel darah koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sampel darah yang digunakan berjumlah 89 ekor sapi perah jenis Friesian Holstein dan sapi pedaging yang berasal dari BET Cipelang sebanyak 36 ekor (Tabel 1).

Tabel 1. Sampel Darah Sapi Friesian Holstein (FH) dan Sapi Pedaging No. Bangsa Sapi Jenis

Kelamin

Tipe Sapi

Lokasi Jumlah (ekor)

1 FH Jantan Perah BIB Lembang 17

2 FH Jantan Perah BBIB Singosari 32

3 FH Betina Perah BET Cipelang 40

4 Simmental Betina Pedaging BET Cipelang 12

5 Limousin Betina Pedaging BET Cipelang 14

6 Angus Betina Pedaging BET Cipelang 5

7 Brahman Betina Pedaging BET Cipelang 5

Bahan dan Alat Pengambilan Sampel

Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, es, dan kapas. Alat yang digunakan antara lain jarum venoject, vaccutainer 10 ml, antikoagulan heparin dan termos.

Bahan dan Alat Untuk Ekstraksi DNA

Bahan yang digunakan adalah sampel darah 200µl, EDTA (Ethylinediamine tetraacetic), destilation water, 40 µl SDS 10% (Sodium Dodecyl Sulfat), 10 µl enzim Proteinase K 5mg/ml, 400 µl phenol, 400 µl CIAA, 800 µl etanol absolute, etanol 70%, 40 µl NaCl 5M, 1 x STE (5 M NaCl. 2 M Tris HCL, 0,2 M EDTA), Elution

Buffer, dan 100 µl TE 80% (Tris EDTA). Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip, vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge,

rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan freezer. Primer

Sekuen primer yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan primer yaitu berdasarkan Javanmard et al. (2005), yaitu dengan primer forward adalah 5’- GAG CCT ACA TGA GAC AAG CAT C-3’ dan primer reverse adalah 5’-AAA TGT ACA ATG TGC CTT CTG A-3’ dengan produk PCR 611 pb dan berada di daerah ekson 6.

Bahan dan Alat Untuk Reaksi PCR

Bahan-bahan yang digunakan dalam reaksi Polymerase Chain Reaction

(PCR) adalah sampel DNA, enzyme taq polymerase, 5×buffer, MgCl2, dNTPs, dan

pasangan primer AF94 dan AF95 (Forward dan Reverse). Alat yang digunakan adalah alat sentrifugasi, vortex, pipet mikro, tabung PCR, mesin PCR (Thermal Cycler), lemari es, deep freezer dan inkubator.

Bahan dan Alat Untuk Elektroforesis Produk PCR

Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,

Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose 1,5% adalah sebagai berikut: agarose 0,45 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 µl ethidium bromide (EtBr). Alat-alat yang digunakan antara lain adalah microwive, stearer,

magnetic stearer, gelas ukur, tabung kimia, gel tray, pencetak untuk sumur (comb),

power supply electrophoresis 100 Volt, tip, pipetmikro, alat foto UV trans illuminator dan sarung tangan.

Bahan dan Alat Untuk Genotyping

Bahan-bahan yang digunakan yaitu enzim restriksi HinfI dengan buffernya,

loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose 2% adalah sebagai berikut: agarose 0,6 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 µl EtBr. Alat-alat yang digunakan antara lain adalah microwive,

stearer, magnet stearer, gelas ukur, tabung kimia, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply electrophoresis 100 Volt, tip, pipetmikro, alat foto UV trans illuminator dan sarung tangan.

Prosedur Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah sapi telah dikoleksi dari sapi FH jantan dan betina dari BIB Lembang, BET Cipelang, dan BBIB Singosari; dan darah sapi pedaging betina berasal dari BET Cipelang sebagai pembanding. Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum venoject dan tabung vaccutainer yang mengandung

antikoagulan heparin. Sampel darah kemudian ditambahkan ethanol absolute dengan perbandingan 1:2 dan disimpan pada suhu ruang sampai kemudian dilakukan analisis.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode Sambrook et al. (1989), sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70% diambil sebanyak 200 μl ditambahkan 1000 μl DW (destilation water) kemudian dikocok atau di vortex dan didiamkan selama lima menit, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Bagian supernatannya dibuang, tambahkan 1000 μl DW (destilation water) kemudian dikocok atau di vortex dan didiamkan selama lima menit, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Kemudian ditambahkan 10 μl proteinase K yang berfungsi untuk menghancurkan protein, 350 μl 1xSTE (sodium tris-EDTA) dan 40 μl 10% SDS (sodium dodesil sulfat) yang berfungsi untuk melisiskan membran sel. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 55 oC selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan alat pemutar (tilting).

Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu dengan menambahkan 40 μl 5M NaCl, 400 μl larutan fenol dan 400 μl CIAA (chloroform iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama satu jam. Molekul DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase phenol dengan alat sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk fase DNA, DNA tersebut diambil sebanyak 400μl untuk dipindahkan ke tabung baru dengan volume 1,5 ml. Kemudian ditambahkan 5M NaCl sebanyak 40 μl dan etanol absolut sebanyak 800 μl. Molekul DNA kemudian dimalamkan pada suhu -20 oC.

Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit, kemudian supernatan yang diperoleh dibuang. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci dengan menambahkan 70% etanol sebanyak 800 μl dan disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga didapatkan endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu endapan DNA disuspensikan dalam 100 μl 80% buffer TE (tris EDTA).

Amplifikasi DNA

Perbanyakan gen Pit1 yang diapit oleh primer forward dan reverse secara in- vitro dilakukan menggunakan mesin PCR Thermal Cycler. Primer tersebut merupakan primer hasil desain untuk mengamplifikasi gen Pit1 pada ekson 6. Produk PCR yang diharapkan adalah 611 pb (Pit1 ekson 6). Campuran untuk mengamplifikasi gen Pit1 ini terdiri dari sampel DNA, pasangan primer (forward

dan reverse), taq polymerase dan buffernya, MgCl2, dan dNTPs.

Proses amplifikasi yang terjadi dalam mesin PCR Thermal Cycler ini berlangsung dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah denaturasi awal pada suhu 94 oC selama lima menit. Tahap kedua merupakan 30 siklus amplifikasi yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94 oC selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 60 oC selama 45 detik, dan pemanjangan molekul DNA pada suhu 72 oC selama satu menit. Tahap ketiga adalah pemanjangan akhir molekul DNA pada suhu 72 oC selama lima menit. Terakhir adalah inkubasi pada suhu 4 oC hingga digunakan untuk analisis lebih lanjut.

Elektroforesis Produk PCR

Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR pada gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan cara memanaskan agarose 0,45 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5 TBE 30 ml serta menambahkan 2,5 µl EtBr pada saat distearer sampai didapatkan larutan jernih. Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam pencetak gel serta menempatkan sisir di dekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir dicabut sehingga akan terbentuk sumur-sumur yang digunakan untuk menempatkan sebanyak 5 µl produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%,

elektroforesis yang sudah terisi larutan buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (migrasi) ke arah positif (anode). Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu dengan menarik garis lurus antara posisi pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin diukur dengan posisi pita DNA marker, kita dapat mengestimasi ukuran sampel DNA karena ukuran DNA pengukur telah diketahui.

Genotyping

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilakukan menggunakan 6 μl produk PCR dipindahkan kedalam tabung 0,5 ml yang ditambahkan 0,2 µl enzim restriksi Hinf1 yang mengenali situs pemotongan lima basa (G|AnTC). Campuran tersebut diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37 °C selama 16 jam.

Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi di tambahkan

loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) sebanyak 1 µl, dielektroforesis pada gel agarose 2% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet dan dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel di perbandingkan untuk menentukan genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel. DNA yang tampak seperti pita difoto untuk diabadikan susunan pita-pitanya.

Penentuan tipe genotipe menurut Javanmard et al. (2005), yaitu sapi dikatakan mempunyai genotipe AA apabila terdapat satu fragmen DNA yaitu 611 pb. Genotipe AB ditunjukan dengan tiga fragmen DNA yaitu 611, 367, dan 244 pb. Genotipe BB ditunjukan dengan adanya dua fragmen yaitu 367 dan 244 pb.

Analisis Data Frekuensi Alel dan Genotipe

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari migrasi pita-pita DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuensi genotipe dan alelnya (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan :

Xii = Frekuensi genotipe ke-ii

Xi = Frekuensi alel ke-i

nii = Jumlah individu yang bergenotipe ii

nij = Jumlah individu yang bergenotipe ij

N = Jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan Chi- Kuadrat (Nei dan Kumar, 2000) :

Keterangan:

χ2

= uji Chi-kuadrat

O = Jumlah pengamatan genotipe ke-i E = Jumlah harapan genotipe ke-i

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas pengamatan yang diperoleh dari masing-masing populasi dengan menggunakan rumus Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan:

Ho = Heterozigositas pengamatan (populasi) nij = Jumlah individu heterozigot

N = Jumlah individu yang diamati

Nilai heterozigositas berdasarkan frekuensi alel dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan:

He = Nilai heterozigositas harapan Xi = Frekuensi alel

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pit1

Gen Pit1 ekson 6 pada sapi Friesian Holstein (FH) dari lokasi BIB Lembang, BBIB singosari dan BET Cipelang; sapi pedaging (Simmental, Limousin, Angus, dan Brahman) yang berasal dari BET Cipelang telah berhasil di amplifikasi dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Persentase keberhasilan amplifikasi gen Pit1 dalam penelitian ini adalah 100%. Hasil amplifikasi gen Pit1 pada gel agarose 1,5% disajikan pada Gambar 4.

Keterangan :

M = Marker

1 – 8 = sampel sapi pedaging 9 – 10 = sampel sapi FH

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

Amplifikasi gen Pit1 menggunakan mesin Termal Cycler pada penelitian ini menghasilkan fragmen dengan panjang 611 pasang basa (pb). Perkiraan panjang fragmen yang diamplifikasi dapat diketahui dengan menyesuaikan sekuens gen Pit1 yang diperoleh dari GeneBank no.akses Y15995 dan AM490263 dengan pasangan primer berdasarkan literatur Javanmard et al. (2005) disajikan pada Gambar 5.

Menurut Viljoen et al. (2005), yang harus diperhatikan dalam optimasi PCR diantaranya adalah suhu anneling, konsentrasi Mg2+, konsentrasi primer, konsentrasi DNA target; selain itu Muladno (2002) menambahkan komponen lainnya yang dibutuhkan adalah ensim Taq DNA polymerase, deoxynucleoside triphosphat (dNTP), dan larutan penyangga (buffer). Pada gen Pit1 untuk penelitian ini kondisi suhu anneling yang digunakan adalah 60 °C selama 45 detik sebagaimana yang

digunakan oleh Javanmard et al. (2005). Suhu anneling adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan dan perpanjangan DNA dimulai dari primer selama proses PCR. Setiap gen memiliki suhu anneling

Dokumen terkait