• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Specific Positive Transcription Factor1 (Pit1|Hinf1) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Specific Positive Transcription Factor1 (Pit1|Hinf1) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

PITUITARY SPECIFIC

POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR-1

(

Pit

1|

Hinf

1) PADA

SAPI

FRIESIAN HOLSTEIN

DI BIB LEMBANG,

BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

SKRIPSI

TIFANNY SUKMAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

TIFANNY SUKMAWATI. D14070244. 2011. Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Specific Positive Transcription Factor-1 (Pit1|Hinf1) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang. Skripsi. Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing utama : Prof Dr Ir Cece Sumantri M Agr Sc Pembimbing Anggota : Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D

Identifikasi keragaman gen perlu dilakukan pada kegiatan seleksi dengan metode genetika molekuler terkait dengan tingkat produksi ternak. Salah satu gen yang diduga memiliki pengaruh terhadap sifat pertumbuhan, dan karkas serta produksi susu dan kualitas susu adalah gen Pit1. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman fragmen gen Pit1|Hinf1 pada sapi perah Friesian Holstein (FH) dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta pada sapi pedaging dari BET Cipelang sebagai pembanding. Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 89 ekor, meliputi: sapi FH jantan yang berasal dari BIB Lembang (17 ekor), dan dari BBIB Singosari (32 ekor), serta sapi FH betina dari BET Cipelang (40 ekor). Adapun sebagai pembanding dipakai sapi pedaging betina yang berasal dari BET Cipelang berjumlah 36 ekor, meliputi: sapi Simmental (12 ekor), Limousin (14 ekor), Angus (5 ekor), dan Brahman (5 ekor). Amplifikasi gen Pit1 dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk menentukan genotipnya dilakukan dengan teknik Restriction Fragmen Length Polymorphism

(RFLP) dengan enzim restriksi Hinf1.

Gen Pit1 pada semua sapi FH dari ketiga lokasi tersebut dan kelima bangsa sapi pedaging dari BET Cipelang menghasilkan tiga variasi genotipe, yaitu AA (611 pb), AB (611 pb, 367 pb, 244 pb) dan BB (367 pb, 244 pb); serta dua variasi alel, yaitu alel A dan alel B. Sapi FH dari ketiga lokasi tersebut mempunyai frekuensi genotipe AA (0,062-0,118), AB (0,176-0,550), dan BB (0,350-0,706); dengan frekuensi alel B (0,625-0,794) lebih tinggi dibandingkan alel A (0,206-0,375). Proporsi frekuensi alel A dan B pada sapi pedaging didapatkan berbeda-beda pada setiap bangsa. Berdasarkan hasil analisis Chi-square gen Pit1|Hinf1 menunjukkan sapi FH dari ketiga lokasi serta sapi pedaging bangsa Simmental dan Limousin berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 hitung < χ2tabel), sedangkan untuk sapi pedaging bangsa Angus dan Brahman tidak dapat dianalisis. Nilai heterozigositas gen Pit1|Hinf1 pada sapi FH menghasilkan heterozigositas pengamatan (Ho=0,416) lebih rendah dibandingkan heterozigositas harapan (He=0,418). Pada sapi pedaging, nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapan (He). Kekecualian pada sapi Angus yang mempunyai nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih rendah dari nilai heterozigositas harapan (He). Kesimpulan yang dapat diambil adalah gen

Pit1|Hinf1 sapi FH dari BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang serta sapi pedaging dari BET Cipelang bersifat polimorfik (beragam).

(3)

ABSTRACT

Identification Polymorphism of Pituitary Specific Positive Transcription Factor-1

(Pit1|Hinf1) Gene in Friesian Holstein Cows in BIB Lembang, BBIB Singosari, and BET Cipelang

Sukmawati, T., C. Sumantri, and A. Anggraeni

Gene Pit-1 or POU1F1 or GHF1 is identified as the pituitary specific transcription factor that regulates the expression of the growth hormone (GH) and Prolactin (PRL) genes in the anterior pituitary. This study was aimed to identify polymorphism of the

Pit1|Hinf1 gene from the collected DNA extraction by using Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) methods. A total of 89 dairy cattles, were used from BIB Lembang (17 hds), BBIB Singosari (32 hds), and BET Cipelang (40 hds). A totally number of 37 beef cattle that were used for a comparison, namely Simmental (12 hds), Limousin (14 hds), Angus (5 hds), and Brahman (5 hds) from BET Cipelang. Three genotypes were indentified, namely AA (611 bp), AB (611 bp, 367 bp, 244 bp) and BB (367 bp, 244bp), genotypes resulting two alleles namely A and B alleles. The frequency of the B allele was higher than that of A allele (B=0.625-0.794 vs A=0.206-0.375); meanwhile in beef cattle the frequencies of these two alleles were diverse by breeds. The Pit1 gene in dairy cattle and beef cattle of Simmental and Limousin was in an equilibrium (χ2calculation<χ2table), while those for Angus and Brahman could not be analized. The highest heterozygosity value of dairy cattle was found in population BET Cipelang, while in beef cattle the highest one was in Brahman. The conclusion was that Pit1|Hinf1 gene in HF cattle from BIB Lembang, BBIB Singosari, and BET Cipelang; as well as beef cattle from BET Cipelang were polymorphic.

(4)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

PITUITARY SPECIFIC

POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR-1

(

Pit

1|

Hinf

1)

PADA

SAPI

FRIESIAN HOLSTEIN

DI BIB LEMBANG,

BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

TIFANNY SUKMAWATI D14070244

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Specific Positive Transcription Factor1 (Pit1|Hinf1) pada Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang

Nama : Tifanny Sukmawati NIM : D14070244

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) (Ir. Anneke Anggraeni, M.Si, Ph.D) NIP.19591212 198603 1 004 NIP. 19630924 199803 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc) NIP.19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Desember 1988 di Jakarta. Penulis adalah

anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Bambang Sukmohutomo dan

Ibu Hafizoh.

Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 1

Ciputat. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di

SLTP Negeri 85 Jakarta, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada

tahun 2007 di SMA Negeri 87 Jakarta.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007. Selama mengikuti

pendidikan, penulis aktif sebagai anggota Koperasi Mahasiswa IPB (KOPMA IPB)

periode 2008/2009, dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan

IPB periode 2008/2009 dan 2009/2010. Penulis juga aktif di berbagai kepanitian di

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat

dan karunia-Nya penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Pituitary Specific Positive Transcription Factor-1 (Pit1|Hinf1) Sapi Friesian Holstein di BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang ditulis untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Konsumsi susu dan daging sapi menunjukkan peningkatan yang signifikan

dari tahun-tahun. Peningkatan permintaan konsumsi ini sejatinya perlu diiringi

dengan peningkatan produktifitas dan populasi ternak sapi perah dan sapi pedaging.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi

adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan. Seleksi genetik seiring dengan

kemajuan teknologi terutama di bidang biologi molekuler upaya seleksi dapat

dilakukan pada tingkat DNA dengan cara mencari keragaman gen yang mengontrol

sifat yang penting seperti sifat pertumbuhan dan produksi susu.

Gen Pit1 merupakan salah satu gen yang dapat menghasilkan protein yang

diduga mengendalikan ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan dan hormon

prolaktin. Setelah proses kelahiran, gen Pit1 diduga memiliki pengaruh besar

terhadap pertumbuhan karkas serta produksi dan kualitas susu. Oleh karena itu

adanya keragaman gen Pit1 pada sapi perah dan sapi pedaging perlu diidentifikasi

yang diharapkan bisa meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah dan

pertumbuhan dan kualitas karkas sapi pedaging.

Akhir kata, menyadur sebuah pepatah, tiada gading yang tak retak. Penulis

menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berkontribusi positif terhadap

kemajuan dunia peternakan, khususnya di Indonesia.

Bogor, Mei 2011

(8)

DAFTAR ISI

Pituitary-Specific Positive Transcription factor 1 ... 5

(9)

Bahan dan Alat Pengambilan Sampel ... 10

Bahan dan Alat untuk Ekstraksi DNA ... 10

Primer ... 11

Bahan dan Alat untuk Reaksi PCR ... 11

Bahan dan Alat untuk Elektroforesis Produk PCR ... 11

Bahan dan Alat untuk Genotyping ... 11

Prosedur ... 12

Pengambilan Sampel ... 12

Ekstraksi DNA ... 12

Amplifikasi DNA ... 13

Elektroforesis Produk PCR ... 13

Genotyping ... 14

Analisis Data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Amplifikasi Gen Pit1 ... 17

Pendeteksian Keragaman Gen Pit1 dengan Teknik PCR-RFLP ... 18

Frekuensi Gen Pit1 ... 20

Keseimbangan Hardy-Weinberg ... 22

Heterozigositas ... 23

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan ... 25

Saran ... 25

UCAPAN TERIMA KASIH ... 26

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Sampel Darah Sapi Friesian Holstein dan Sapi Pedaging ... 10 2. Frekuensi Genotipe dan Alel Gen Pit1|Hinf1 pada

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Sapi Friesian Holstein ... 3 2. Bangsa-bangsa Sapi Pedaging ... 4 3. Rekonstruksi Struktur Gen Pit1 pada Ovis aries ... 6 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Protein hewani berupa daging dan susu yang berasal dari sapi pedaging dan

sapi perah memiliki peranan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi

masyarakat Indonesia. Konsumsi susu di masyarakat terus mengalami peningkatan

dan diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan pada tahun-tahun

selanjutnya. Begitupula untuk konsumsi daging sapi yang terus meningkat

kebutuhannya, sehingga memerlukan jumlah pemotongan sapi semakin banyak

(Dirjen Peternakan, 2009). Adanya peranan penting tersebut, maka produktifitas dan

populasi ternak sapi perah dan sapi pedaging menjadi bagian yang perlu mendapat

perhatian dalam dunia peternakan di Indonesia.

Aspek genetik dan lingkungan maupun interaksi keduanya merupakan

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktifitas sapi perah dan sapi pedaging. Salah

satu upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi adalah

dengan melakukan seleksi dan persilangan. Perbaikan genetik melalui seleksi pada

sifat kuantitatif yang banyak dilakukan adalah secara konvensional. Namun, cara ini

belum memberikan hasil yang optimal karena disamping membutuhkan waktu yang

lama juga memerlukan biaya yang cukup besar. Seleksi keunggulan genetik pada

ternak sapi perah dan sapi pedaging dapat juga dilakukan melakukan aplikasi teknik

DNA yang memerlukan identifikasi keragaman gen yang terkait dengan sejumlah

sifat nilai ekonomis.

Kemajuan dalam bidang biologi molekuler memungkinkan upaya seleksi

dapat dilakukan pada tingkat DNA, yaitu dengan cara mencari keragaman gen yang

mengontrol sifat yang ingin diperbaiki seperti sifat pertumbuhan dan produksi susu.

Salah satu gen pada sapi yang berkaitan dengan sifat tersebut adalah gen Pit1. Gen

Pit1 merupakan salah satu gen yang dapat menghasilkan protein yang diduga

mengendalikan ekspresi gen penyandi hormon pertumbuhan dan hormon prolaktin.

Setelah proses kelahiran, gen Pit1 diduga memiliki pengaruh besar terhadap

pertumbuhan karkas serta produksi dan kualitas susu. Oleh karena itu adanya

keragaman gen Pit1 pada sapi perah dan sapi pedaging perlu diidentifikasi yang

diharapkan mampu meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah dan

(14)

yang digunakan dalam mengindentifikasi keragaman suatu fragmen gen adalah

dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), sedangkan untuk

menentukan genotipnya dilakukan dengan teknik Restriction Fragmen Length

Polymorpism (RFLP) dengan enzim restriksi Hinf1. Aplikasi teknik ini diharapkan

dapat dipakai untuk mengidentifikasi keragaman genetik dari gen Pit1|Hinf1 pada sapi perah dan sapi pedaging di dalam ketiga lokasi tersebut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman fragmen gen

Pit1|Hinf1 pada sapi perah Friesian Holstein (FH) dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta sapi pedaging dari BET Cipelang sebagai

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di

Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada.

Sapi ini berasal dari Negeri Belanda yaitu dari propinsi North Holand dan West

Friesland, kedua daerah yang memiliki padang rumput yang bagus. Sapi FH

menyebar ke seluruh dunia, baik negara subtropis ataupun di negara tropis. Ciri-ciri

yang paling menonjol pada sapi perah Friesian Holstein (FH) yaitu warna tubuhnya

memiliki dua warna, hitam dan putih (black Holstein) atau merah dan putih (red

Holstein).

Sumber : www.wapedia.mobi/id

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH)

Bangsa sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi

susu tertinggi jika dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Dengan tingkat

produksi susun rata-rata setiap satu masa laktasi (10 bulan) adalah sekitar 3.050 liter

atau sekitar 10 liter per ekor per hari. Pada daerah asalnya produksi susu per masa

laktasi rata-rata sebanyak 7.245 liter atau sekitar 20 liter per hari (Putranto, 2006).

Bangsa-bangsa Sapi Pedaging

Sapi pedaging merupakan sapi yang dipelihara untuk menghasilkan

pertumbuhan dengan karkas yang optimal. Bangsa-bangsa sapi pedaging yang sudah

dikenal cukup baik di Indonesia adalah sapi Peranakan Ongole (PO), Simmental,

Brahman, Limousin, dan Angus. Setiap bangsa tersebut memiliki keungulan dan

(16)

Sapi Simmental

Blakely & Bade (1991) menyatakan sapi Simmental berasal dari Lembah

Simme di Swiss (Gambar 2a.). Sapi Simmental memiliki karakteristik warna bulu

krem kecoklatan hingga sedikit merah, bulu muka berwarna putih dan bagian ekor

dan lutut kebawah berwarna putih dengan ukuran tanduk tidak begitu besar. Ternak

sapi ini berukuran besar, pertumbuhan ototnya sangat baik dan tidak banyak

penimbunan lemak dibawah kulit (Pane, 1986). Sapi ini terkenal karena

pertumbuhannya cepat, badannya panjang dan padat (Blakely & Bade, 1991).

2a. Sapi Simmental 2b. Sapi Brahman

2c. Sapi Limosin 2d. Sapi Angus

Sumber : www.infoternak.com

Gambar 2. Bangsa-bangsa Sapi Pedaging

Sapi Brahman

Sapi Brahman (Gambar 2b.) berasal dari keturunan kelompok sapi Zebu dari

India memiliki campuran Bos taurus dari Inggris yang telah dikembangkan di

Amerika serikat. Sapi ini memiliki kaki yang panjang, punuk besar, telinga panjang

menjulai kebawah dan bergelambir; serta warna bulu umumnya berwarna putih atau

kelabu muda, akan tetapi ada juga yang berwarna kemerah-merahan (Pane, 1986).

Menurut Williamson dan Payne (1993) sapi Brahman merupakan sapi pedaging yang

tumbuh baik di padang pengembalaan yang buruk dan kering, tahan panas,

(17)

Sapi Limousin

Sapi Limousin (Gambar 2c.) berasal dari Perancis Tengah di bagian selatan.

Sapi Limousin merupakan tipe sapi pedaging dengan warna bulu merah keemasan,

kaki dari lutut kebawah memiliki warna merah agak muda, dan umumnya terdapat

lingkaran berwarna merah agak muda disekeliling mata (Pane, 1986). Bobot lahir

sapi ini tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi golongan besar

pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg, sedangkan pejantan dewasa

mencapai berat 1100 kg (Blakely & Bade, 1991). Sapi peranakan Limousin sudah

banyak tersebar dan memiliki produktivitas yang bagus di sejumlah wilayah di

Indonesia.

Sapi Angus

Sapi Angus (Gambar 2d.) berasal dari Skotlandia dan disebut juga

Aberdeen-Angus. Sapi ini merupakan hasil persilangan antara sapi Buchman Bumlies dengan

Angus Dodies. Sapi Angus memiliki warna bulu hitam, keriting, dan halus. Jantan

dan betina tidak memiliki tanduk; tubuhnya panjang dan kompak, serta kualitas

karkasnya tinggi (Pane, 1986). Sifat-sifat yang menonjol dan mempunyai arti penting

adalah ketahanan terhadap hawa dingin, kemampuan yang baik dalam memelihara

anak dan menyusui, masak dini, fertilitas tinggi, tidak banyak kesulitan dalam

melahirkan, kualitas karkas yang istimewa dengan tulang-tulang yang kecil (Blakely

& Bade, 1991). 

Gen Pit1 ( Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1)

Gen Pit1 (Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1) dikenal juga

dengan nama POU1F1; atau growth hormone factor 1 (GHF1) merupakan faktor

transkripsi spesifik pituitari yang berperan untuk perkembangan pituitari dan ekspresi

hormon pada mamalia. Pit1 merupakan anggota dominan POU yang mengandung

protein, yaitu kelompok regulator transkripsi yang mempunyai peran kunci dalam

diferensiasi dan pembelahan sel (Mangalam et al., 1989). Secara in vivo, kebanyakan

dari protein POU berperan penting dalam proses perkembangan yang terkait dengan

sistem saraf. Gen Pit1 adalah faktor transkripsi khusus untuk ekspresi gen penyandi

hormon pertumbuhan, hormon prolaktin, dan hormone tirotropin β- subunit (Brunsch

(18)

mengendalikan ekspresi gen penyandi growth hormone releasing hormone gene

(GHRH). Faktor transkripsi dibutuhkan untuk penempelan enzym RNA polymerase

pada bagian promotor suatu gen (Yuwono et al., 2005).

Rekonstruksi struktur gen Pit1 yang ditampilkan berdasarkan pada struktur

gen Pit1 pada Ovis aries. Hal ini dapat dilakukan karena keduanya tergolong

mamalia.

Keterangan : Panjang : 5787 pb

Ekson 1 (Ex1) : 142 pb Ekson 4 (Ex4) : 165 pb

Ekson 2 (Ex2) : 150 pb Ekson 5 (Ex5) : 61 pb

Ekson 3 (Ex3) : 225 pb Ekosn 6 (Ex6) : 211 pb

Gambar 3. Rekonstruksi Struktur Gen Pit1 pada Ovis aries (Bastos et al., 2006)

Rekonstruksi struktur gen Pit1 pada Ovis aries mempunyai 6 ekson dan 5

intron, dimana panjang fragmen ekson 1 (Ex1) 142 pb, ekson 2 (Ex2) 150 pb, ekson 3

(Ex3) 225 pb, ekson 4 (Ex4) 165 pb, ekson 5 (Ex5) 61 pb, dan ekson 6 (Ex6) 211 pb.

Ekson 2 pada Ovis aries terbagi menjadi dua yaitu ekson 2A (78 pb) dan ekson 2

(72 pb).

Beberapa hasil penelitian keragaman gen Pit1 yang sudah dilakukan antara

lain oleh Dybuss et al. (2004) pada sapi Polish hitam putih dengan menggunakan

metode RFLP dan menggunakan enzim Hinf1 ditemukan dua alel yaitu A (0,243)

dan B (0,757). Hal ini serupa dengan hasil yang didapatkan Edriss et al. (2008) pada

sapi Holstein di Ishafan yang ditemukannya tiga variasi genotipe yaitu AA

(0,018-0,050), AB (0,350-0,564), dan BB (0,418-0,600) dengan frekuensi alel A

(0,225-0,300) dan alel B (0,700-0,775); serta dilaporkan pula oleh Jawasreh et al. (2009)

pada sapi Friesian dan sapi lokal di Jordania bahwa frekuensi alel A (0,333) dan alel

B (0,733).

Renaville et al. (1997) menyatakan alel A pada lokus Pit-1|Hinf1 dapat diasosiasikan dengan produksi susu, kadar protein dan persentase lemak pada sapi

perah. Sehubungan dengan itu, Zwierzchowski et al. (2002) menunjukkan bahwa alel

A pada lokus Pit-1 berdampak positif pada sifat produksi susu. Berdasarkan hasil

(19)

yang potensial dan berpengaruh signifikan terhadap sejumlah sifat-sifat kuantitatif

(QTL) seperti produksi susu, protein, dan lemak susu khususnya pada ternak sapi.

Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR – RFLP)

Metode PCR merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk

memperbanyak segmen DNA secara in vitro (Ausbel, 1995). Segmen DNA tersebut

kemudian dapat diketahui runutan nukleotidanya, salah satunya dengan

menggunakan enzim restriksi. Enzim restriksi dapat memotong DNA secara spesifik

dan terbatas pada situs yang dikenalinya (Lewin, 1994). Williams (2005)

menambahkan bahwa PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah

molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang

dilakukan secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzym

polymerase. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian

DNA yang akan diperbanyak. Enzim Polymerase merupakan enzim yang dapat

mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan

elektroforesis.

Proses PCR terdiri dari 3 tahapan, yaitu (1) Denaturasi, yaitu struktur DNA

utas ganda mengudar menjadi utas tunggal, (2) Anealing, yaitu penempelan primer

pada sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, (3). Ekstensi, yaitu

pemanjangan primer oleh DNA polymerase (Muladno, 2002). Menurut

Viljoen et al. (2005), reaksi yang terjadi dalam mesin thermalcycler secara umum

dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap denaturasi DNA cetakan, tahap annealing

atau penempelan primer dan tahap extension, yaitu pemanjangan primer atau

polimerase. Reaksi ini umumnya terjadi dalam 25-30 siklus. Pada tahap denaturasi,

DNA dipanaskan hingga 94 oC sehingga DNA untai ganda berpisah menjadi DNA

untai tunggal. Tahapan yang paling menentukan dalam proses PCR adalah tahap

penempelan primer, karena tiap pasangan primer memiliki suhu penempelan primer

yang spesifik. Tahap pemanjangan primer terjadi pada suhu 27 oC. Pada tahapan ini

enzim taq polymerase, buffer PCR, dNTP, dan Mg2+ memulai aktifitasnya

memperpanjang primer.

PCR-RFLP merupakan salah satu metode analisis lanjutan dari produk PCR.

(20)

menvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim

pemotong (restriction enzyme) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens

nukleotida spesifik. Metode PCR memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa

dikenali oleh enzim rerstriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Jika situs restriksi

mengalami mutasi (meskipun pada satu basa) maka enzim restriksi tidak mampu

mengenalinya. Ada tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk

mengetahui ada tidaknya mutasi. Analisis RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi

adanya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti

produksi dan kualitas susu (Sumantri et al., 2007).

Keragaman Genetik

Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan

melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus.

Menurut Frankham et al. (2002), beragamnya sumber daya genetik, maka akan

semakin taan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama; serta

semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan. Estimasi

perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh

melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme

dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei,

1987). Polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan dalam

menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies

(Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat

diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara

subpopulasi (Li et al., 2000). Menurut Falconer dan Mackay (1996), suatu alel

dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99.

Hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang

cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi,

mutasi, dan genetic drift; selain itu, silang dalam dan silang luar juga dapat

mempengaruhi frekuensi genotipe (Noor, 2000). Derajat heterozigositas merupakan

rataan persentase lokus heterozigositas tipe individu atau rataan persentase individu

heterozigot dalam populasi (Nei, 1987). Avise (1994) menyatakan bahwa semakin

tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut

(21)

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat keragaman genetik sebagai

salah satu contohnya adalah keragaman genetik sapi FH Indonesia.

Rahmani et al. (2004) melaporkan keragaman genetik sapi FH berdasarkan gen

hormon pertumbuhan di BPTU Baturraden dan ditemukan 4 alel A, B, C, dan D

dengan lima tipe genotipe melaporkan bahwa frekuensi gen A dan gen B pada

peternakan sapi FH yang ada di Baturraden memiliki nilai yang hampir sama

(22)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak

bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian

ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu dari bulan Juli sampai dengan November 2010.

Materi Sampel Darah

Sampel DNA yang digunakan adalah berasal dari sampel darah koleksi

Laboratorium Genetika Molekuler Ternak bagian Pemuliaan Genetika, Fakultas

Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sampel darah yang digunakan berjumlah 89

ekor sapi perah jenis Friesian Holstein dan sapi pedaging yang berasal dari BET

Cipelang sebanyak 36 ekor (Tabel 1).

Tabel 1. Sampel Darah Sapi Friesian Holstein (FH) dan Sapi Pedaging

No. Bangsa Sapi Jenis

5 Limousin Betina Pedaging BET Cipelang 14

6 Angus Betina Pedaging BET Cipelang 5

7 Brahman Betina Pedaging BET Cipelang 5

Bahan dan Alat Pengambilan Sampel

Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, es, dan kapas. Alat yang

digunakan antara lain jarum venoject, vaccutainer 10 ml, antikoagulan heparin dan

termos.

Bahan dan Alat Untuk Ekstraksi DNA

Bahan yang digunakan adalah sampel darah 200µl, EDTA (Ethylinediamine

tetraacetic), destilation water, 40 µl SDS 10% (Sodium Dodecyl Sulfat), 10 µl enzim

Proteinase K 5mg/ml, 400 µl phenol, 400 µl CIAA, 800 µl etanol absolute, etanol

(23)

Buffer, dan 100 µl TE 80% (Tris EDTA). Peralatan yang digunakan adalah tabung

eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip, vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge,

rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan freezer.

Primer

Sekuen primer yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan primer

yaitu berdasarkan Javanmard et al. (2005), yaitu dengan primer forward adalah

5’-GAG CCT ACA TGA GAC AAG CAT C-3’ dan primer reverse adalah 5’-AAA

TGT ACA ATG TGC CTT CTG A-3’ dengan produk PCR 611 pb dan berada di

daerah ekson 6.

Bahan dan Alat Untuk Reaksi PCR

Bahan-bahan yang digunakan dalam reaksi Polymerase Chain Reaction

(PCR) adalah sampel DNA, enzyme taq polymerase, 5×buffer, MgCl2, dNTPs, dan

pasangan primer AF94 dan AF95 (Forward dan Reverse). Alat yang digunakan

adalah alat sentrifugasi, vortex, pipet mikro, tabung PCR, mesin PCR (Thermal

Cycler), lemari es, deep freezer dan inkubator.

Bahan dan Alat Untuk Elektroforesis Produk PCR

Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,

Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose

1,5% adalah sebagai berikut: agarose 0,45 g, 0,5 TBE 30 ml, dan 2,5 µl ethidium

bromide (EtBr). Alat-alat yang digunakan antara lain adalah microwive, stearer,

magnetic stearer, gelas ukur, tabung kimia, gel tray, pencetak untuk sumur (comb),

power supply electrophoresis 100 Volt, tip, pipetmikro, alat foto UV trans

illuminator dan sarung tangan.

Bahan dan Alat Untuk Genotyping

Bahan-bahan yang digunakan yaitu enzim restriksi HinfI dengan buffernya,

loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%) dan

untuk membuat 1 lembar gel agarose 2% adalah sebagai berikut: agarose 0,6 g, 0,5

TBE 30 ml, dan 2,5 µl EtBr. Alat-alat yang digunakan antara lain adalah microwive,

stearer, magnet stearer, gelas ukur, tabung kimia, gel tray, pencetak untuk sumur

(comb), power supply electrophoresis 100 Volt, tip, pipetmikro, alat foto UV trans

(24)

Prosedur

Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah sapi telah dikoleksi dari sapi FH jantan dan betina dari BIB

Lembang, BET Cipelang, dan BBIB Singosari; dan darah sapi pedaging betina

berasal dari BET Cipelang sebagai pembanding. Sampel darah diambil melalui vena

jugularis menggunakan jarum venoject dan tabung vaccutainer yang mengandung

antikoagulan heparin. Sampel darah kemudian ditambahkan ethanol absolute dengan

perbandingan 1:2 dan disimpan pada suhu ruang sampai kemudian dilakukan

analisis.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode

Sambrook et al. (1989), sampel darah yang disimpan dalam alkohol 70% diambil

sebanyak 200 μl ditambahkan 1000 μl DW (destilation water) kemudian dikocok atau di vortex dan didiamkan selama lima menit, setelah itu disentrifugasi dengan

kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Bagian supernatannya dibuang, tambahkan

1000 μl DW (destilation water) kemudian dikocok atau di vortex dan didiamkan selama lima menit, setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama lima

menit. Kemudian ditambahkan 10 μl proteinase K yang berfungsi untuk menghancurkan protein, 350 μl 1xSTE (sodium tris-EDTA) dan 40 μl 10% SDS (sodium dodesil sulfat) yang berfungsi untuk melisiskan membran sel. Campuran

tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 55 oC selama 2 jam sambil dikocok pelan

menggunakan alat pemutar (tilting).

Molekul DNA kemudian dimurnikan dengan metode fenol-chloroform, yaitu

dengan menambahkan 40 μl 5M NaCl, 400 μl larutan fenol dan 400 μl CIAA (chloroform iso amil alcohol), lalu dikocok pelan (tilting) pada suhu ruang selama

satu jam. Molekul DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase phenol dengan

alat sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit. Setelah terbentuk fase

(25)

Molekul DNA kemudian dipisahkan dari etanol absolut dengan cara

sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama lima menit, kemudian supernatan

yang diperoleh dibuang. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci dengan

menambahkan 70% etanol sebanyak 800 μl dan disentrifugasi kecepatan 12.000 rpm selama lima menit. Supernatan yang diperoleh kemudian dibuang sehingga

didapatkan endapan molekul DNA. Endapan tersebut didiamkan sampai kering. Lalu

endapan DNA disuspensikan dalam 100 μl 80% buffer TE (tris EDTA).

Amplifikasi DNA

Perbanyakan gen Pit1 yang diapit oleh primer forward dan reverse secara

in-vitro dilakukan menggunakan mesin PCR Thermal Cycler. Primer tersebut

merupakan primer hasil desain untuk mengamplifikasi gen Pit1 pada ekson 6.

Produk PCR yang diharapkan adalah 611 pb (Pit1 ekson 6). Campuran untuk

mengamplifikasi gen Pit1 ini terdiri dari sampel DNA, pasangan primer (forward

dan reverse), taq polymerase dan buffernya, MgCl2, dan dNTPs.

Proses amplifikasi yang terjadi dalam mesin PCR Thermal Cycler ini

berlangsung dalam tiga tahapan. Tahap pertama adalah denaturasi awal pada suhu

94 oC selama lima menit. Tahap kedua merupakan 30 siklus amplifikasi yang terdiri

dari denaturasi pada suhu 94 oC selama 45 detik, penempelan primer pada suhu 60 oC

selama 45 detik, dan pemanjangan molekul DNA pada suhu 72 oC selama satu menit.

Tahap ketiga adalah pemanjangan akhir molekul DNA pada suhu 72 oC selama lima

menit. Terakhir adalah inkubasi pada suhu 4 oC hingga digunakan untuk analisis

lebih lanjut.

Elektroforesis Produk PCR

Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 5 μl produk PCR pada

gel agarose 1,5% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Gel dibuat dengan cara

memanaskan agarose 0,45 g yang dilarutkan dalam larutan 0,5 TBE 30 ml serta

menambahkan 2,5 µl EtBr pada saat distearer sampai didapatkan larutan jernih.

Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam pencetak gel serta menempatkan sisir

di dekat tepian gel dan gel dibiarkan mengeras. Apabila gel sudah mengeras, sisir

dicabut sehingga akan terbentuk sumur-sumur yang digunakan untuk menempatkan

sebanyak 5 µl produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%,

(26)

elektroforesis yang sudah terisi larutan buffer dan dialiri listrik, molekul DNA yang

bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak (migrasi) ke arah positif (anode).

Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA

dengan menggunakan sinar Ultraviolet yaitu dengan menarik garis lurus antara posisi

pita dari masing-masing sampel DNA yang ingin diukur dengan posisi pita DNA

marker, kita dapat mengestimasi ukuran sampel DNA karena ukuran DNA pengukur

telah diketahui.

Genotyping

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism

(PCR-RFLP) dilakukan menggunakan 6 μl produk PCR dipindahkan kedalam tabung

0,5 ml yang ditambahkan 0,2 µl enzim restriksi Hinf1 yang mengenali situs

pemotongan lima basa (G|AnTC). Campuran tersebut diinkubasikan dalam inkubator

pada suhu 37 °C selama 16 jam.

Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi di tambahkan

loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol 0,01% dan gliserol 50%)

sebanyak 1 µl, dielektroforesis pada gel agarose 2% dengan tegangan 100 volt

selama 30 menit. Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk dilihat

panjang pita DNA dengan menggunakan sinar Ultraviolet dan dibandingkan dengan

marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita DNA dari setiap sampel di

perbandingkan untuk menentukan genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama

dianggap sebagai satu tipe atau alel. DNA yang tampak seperti pita difoto untuk

diabadikan susunan pita-pitanya.

Penentuan tipe genotipe menurut Javanmard et al. (2005), yaitu sapi

dikatakan mempunyai genotipe AA apabila terdapat satu fragmen DNA yaitu 611 pb.

Genotipe AB ditunjukan dengan tiga fragmen DNA yaitu 611, 367, dan 244 pb.

(27)

Analisis Data Frekuensi Alel dan Genotipe

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari migrasi pita-pita

DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi. Masing-masing sampel

dibandingkan berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuensi

genotipe dan alelnya (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan :

Xii = Frekuensi genotipe ke-ii

Xi = Frekuensi alel ke-i

nii = Jumlah individu yang bergenotipe ii

nij = Jumlah individu yang bergenotipe ij

N = Jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan

Chi-Kuadrat (Nei dan Kumar, 2000) :

Keterangan:

χ2

= uji Chi-kuadrat

O = Jumlah pengamatan genotipe ke-i

E = Jumlah harapan genotipe ke-i

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas

pengamatan yang diperoleh dari masing-masing populasi dengan menggunakan

rumus Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan:

Ho = Heterozigositas pengamatan (populasi)

(28)

N = Jumlah individu yang diamati

Nilai heterozigositas berdasarkan frekuensi alel dapat dihitung menggunakan

rumus berikut (Nei dan Kumar, 2000):

Keterangan:

He = Nilai heterozigositas harapan

Xi = Frekuensi alel

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pit1

Gen Pit1 ekson 6 pada sapi Friesian Holstein (FH) dari lokasi BIB

Lembang, BBIB singosari dan BET Cipelang; sapi pedaging (Simmental, Limousin,

Angus, dan Brahman) yang berasal dari BET Cipelang telah berhasil di amplifikasi

dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Persentase

keberhasilan amplifikasi gen Pit1 dalam penelitian ini adalah 100%. Hasil

amplifikasi gen Pit1 pada gel agarose 1,5% disajikan pada Gambar 4.

Keterangan :

M = Marker

1 – 8 = sampel sapi pedaging 9 – 10 = sampel sapi FH

Gambar 4. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada Gel Agarose 1,5%

Amplifikasi gen Pit1 menggunakan mesin Termal Cycler pada penelitian ini

menghasilkan fragmen dengan panjang 611 pasang basa (pb). Perkiraan panjang

fragmen yang diamplifikasi dapat diketahui dengan menyesuaikan sekuens gen Pit1

yang diperoleh dari GeneBank no.akses Y15995 dan AM490263 dengan pasangan

primer berdasarkan literatur Javanmard et al. (2005) disajikan pada Gambar 5.

Menurut Viljoen et al. (2005), yang harus diperhatikan dalam optimasi PCR

diantaranya adalah suhu anneling, konsentrasi Mg2+, konsentrasi primer, konsentrasi

DNA target; selain itu Muladno (2002) menambahkan komponen lainnya yang

dibutuhkan adalah ensim Taq DNA polymerase, deoxynucleoside triphosphat

(dNTP), dan larutan penyangga (buffer). Pada gen Pit1 untuk penelitian ini kondisi

(30)

digunakan oleh Javanmard et al. (2005). Suhu anneling adalah suhu yang

memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan dan perpanjangan

DNA dimulai dari primer selama proses PCR. Setiap gen memiliki suhu anneling

yang berbeda untuk dapat menghasilkan panjang fragmen yang diinginkan untuk

diamati.

Pendeteksian Keragaman Gen Pit1 dengan Teknik PCR-RFLP

Metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) digunakan untuk

mengindentifikasi keragaman gen Pit1 pada sapi FH dan sapi pedaging dari produk

PCR dengan memanfaatkan runutan nukleotida yang bisa dikenali oleh enzim

rerstriksi yang disebut sebagai situs restriksi. Sumantri et al. (2007), analisis RFLP

sering digunakan untuk mendeteksi adanya keragman gen yang terkait dengan

sejumlah sifat nilai ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu; selain itu analisis

RFLP digunakan untuk mendeteksi lokasi genetik dalam kromosom yang

menyandikan penyakit yang diturunkan(Orita et al., 1989).

Ada tidaknya situs restriksi kemudian dapat digunakan untuk mengetahui ada

tidaknya mutasi. Proses pemotongan gen Pit1 dilakukan dengan menggunakan enzim

restriksi Hinf1 yang mengenali situs pemotongan pada posisi G|AnTC.

781 tgcatacaga attattttct tctcagtaag tcagtgccct cttgtggcag aaagtggata

841 aacaatgtcg gggttccctc cttaatttct tcctgtgact ctggtaaaag gagcctacat

901 gagacaagca tctaaatgtt caaaaaaact tcacatttat tattgttgaa aagctttgaa

961 ggtgttttca gcgtctttag gtttcctttt tacgttaatg ttagtactaa tatttaggaa

1021 atgtaaccta acttgatttt gatgggccta aaccatcatc tcccttcttt cctgccaact

1081 ccccacctcc cagtattgct gctaaagacg ccctggagag acactttgga gaacagaata

1141 agccttcctc tcaggagatc ctgcggatgg ctgaagaact aaacctggag aaagaagtgg

1201 tgagggtttg gttttgtaac cgaaggcaga gagaaaaacg ggtgaagaca agcctgaatc

1261 agagtttatt tactatttct aaggagcatc tcgaatgcag ataggctctc ctattgtgta

1321 atagcgagtg tttctacttt tcattccttt ctcttctcca gccaaaatag aaattagtta

1381 tttggttagc ttcaaaaaat cacatcagta atttttgcag aagtgtttct tttctacttt

1441 aaaaataaat acaatttaaa ttatgttgat gaattattct cagaaggcac attgtacatt

1501 t

Keterangan : = Primer

= Situs Pemotongan

Alel A : 5’ --- GACAAGCCTAAATCAGAGTTTAT ---3’ Alel B : 5’ --- GACAAGCCTGAATCAGAGTTTAT ---3’

(31)

Keragaman gen Pit1 yang terjadi pada penelitian ini disebabkan adanya

mutasi titik yang terjadi pada basa ke 1256. Mutasi pada gen Pit1 ialah mutasi

subsitusi basa (transisi) dari Guanin (G) menjadi Adenin (A) (Gambar 5). Menurut

Toland (2008), keragaman DNA dapat terjadi karena akibat dari mutasi. Mutasi

adalah suatu perubahan struktur kimia gen yang menyebabkan berubahnya fungsi

gen. Mutasi titik atau Point Mutation adalah mutasi yang terjadi hanya pada satu titik

nukleotida. Menurut Paolella (1998), mutasi titik dapat dibedakan berdasarkan tipe

perubahan runutan nukleotida yaitu penghilangan (delesi), penyisipan (insersi),

subtitusi (transisi dan transversi), kesalahan pembacaan (profreading errors), dan

perubahan struktur kimia pada basa. 

Keterangan: M = Marker

1-10 = sampel AA, AB, BB = Genotipe

Gambar 6. Pola Pita Gen Pit1|Hinf1 pada Gel Agarose 2%

Pendeteksian keragaman gen Pit1 pada sampel dengan panjang fragmen 611

pb. Posisi pemotongan dengan menggunakan Hinf1, menghasilkan panjang fragmen

367 pb dan 244 pb. Produk PCR fragmen gen Pit1 yang telah dipotong dengan enzim

restriksi Hinf1 menghasilkan tiga macam fragmen, yaitu fragmen yang tidak

terpotong menghasilkan satu pita yang dikenal dengan genotipe AA dengan panjang

fragmen 611 pb, menghasilkan dua pita 367 pb dan 244 pb yang dikenal dengan

genotipe BB, dan fragmen gabungan yang menghasilkan tiga pita dengan panjang

fragmen 611 pb, 367 pb, dan 244 pb yang dikenal dengan genotipe AB (Gambar 6).

Penelitian ini sesuai dengan Jawasreh et al. (2009) pendeteksian keragaman

(32)

Friesian di Jordania menghasilkan tiga macam fragmen, yaitu fragmen yang tidak

terpotong menghasilkan satu pita yang dikenal dengan genotipe AA (611 pb),

menghasilkan dua pita yang dikenal dengan genotipe BB (367 pb dan 244 pb), dan

fragmen gabungan yang menghasilkan tiga pita dengan panjang fragmen yang

dikenal dengan genotipe AB (611 pb, 367 pb, dan 244 pb).

Frekuensi Genotipe dan Alel Gen Pit1

Hasil analisis frekuensi genotipe dan alel sapi FH dari lokasi BIB lembang,

BBIB Singosari dan BET Cipelang yang berjumlah 89 ekor; serta sapi pedaging dari

BET Cipelang yang berjumlah 36 ekor disajkan pada Tabel.2.

Tabel 2. Frekuensi Genotipe dan Alel Gen Pit1|Hinf1 pada Sapi Friesian Holstein

dan Sapi Pedaging

Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) merupakan

faktor transkripsi spesifik pituitari yang berperan untuk perkembangan pituitari dan

(33)

mengandung protein, yaitu kelompok regulator transkripsi yang mempunyai peran

kunci dalam diferensiasi dan pembelahan sel (Mangalam et al., 1989).

Frekuensi Genotipe sapi FH di lokasi BIB Lembang frekuensi genotipe yang

tertinggi adalah genotipe BB (0,706), begitu pula dengan yang terdapat di lokasi

BBIB Singosari yang tertinggi adalah genotipe BB (0,563); sedangkan di lokasi BET

Cipelang frekuensi genotipe yang tertinggi adalah genotipe AB (0,550) (Tabel 2).

Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah

suatu alel terhadap jumlah total yang terdapat dalam suatu populasi

(Nei dan Kumar, 2000).

Frekuensi alel sapi FH dari ketiga lokasi tersebut memperoleh alel B (0,702)

lebih tinggi dari alel A (0,298). Sapi pedaging yang berasal dari BET Cipelang terdiri

bangsa Simmental, Limousin, Angus, dan Brahman. Frekuensi genotipe yang

terdapat pada sapi Simmental yang tertinggi genotipe BB (0,500), sapi Limousin

yang tertinggi genotipe AB, sapi Angus yang tertinggi genotipe AA (0,800); serta

sapi Brahman yang tertinggi genotipe AB (1), hal ini dikarenakan dari seluruh

sampel sapi Brahman yang digunakan bergenotipe AB.

Frekuensi alel yang terdapat pada sapi pedaging berbeda disetiap bangsa.

Sapi Simmental mempunyai frekuensi alel B (0,708) yang lebih tinggi dari alel A

(0,292), begitu pula yang terjadi pada sapi Limousin yang mempunyai frekuensi alel

B (0,607) yang lebih tinggi dari alel A (0,393), sapi Angus mempunyai frekuensi alel

A (0,800) yang lebih tinggi dari alel B (0,200), sedangkan pada sapi Brahman antara

alel A dan alel B mempunyai frekuensi yang sama (0,500). Menurut Nei (1987)

menyatakan bahwa suatu alel dapat dikatan polimorfik jika memiliki frekuensi alel

sama dengan atau kurang dari 0,99. Oleh karena itu, gen Pit1 sapi FH dari ketiga

lokasi yang diamati dan sapi pedaging yang berasal dari BET Cipelang bersifat

polimorfik (beragam).

Keragaman genotipe gen Pit1 sapi FH dari ketiga lokasi tersebut dapat

dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian ini sesuai dengan

Edriss et al. (2008) bahwa sapi Holstein di Isafahan memiliki tiga variasi genotipe

yaitu AA (0,018-0,050), AB (0,350-0,450), dan BB (0,500-0,600) dan yang tertinggi

adalah genoptipe BB (0,500-0,600). Frekuensi alel yang didapatkan yaitu alel B

(34)

melaporkan hasil penelitiannya terhadap sapi Friesian di Jordania yaitu mempunyai

frekuensi alel B (0,8255) lebih tinggi dari alel A (0,1744).

Gen Pit1 merupakan salah satu gen kandidat yang perlu dicari hubungan atau

keterkaitannya dengan performa pertumbuhan, kualitas karkas dan juga performa

laktasi pada beberapa bangsa sapi seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa

penelitian sebelumnya (Woollard et al. 1994; Moody et al. 1995; Zwierzhowski et al.

2001; Dybus et al. 2003; Oprzadek et al. 2003; Zhao et al. 2004; Viorica et al. 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Renaville et al. (1997) dapat diasosiasikan

bahwa alel A pada lokus Pit1|HinfI dengan produksi susu dan protein superior, dan inferior untuk persentase lemak pada sapi perah. Sehubungan dengan itu,

Zwierzchowski et al. (2002) menunjukkan bahwa alel A pada lokus Pit-1 berdampak

positif pada sifat produksi susu. Selain itu menurut Zhao et al. (2000) melaporkan

bahwa polimorfisme Pit1|HinfI menampakkan efek pada sifat pertumbuhan sapi Angus dan menjadi kandidat gen untuk digunakan dalam Marker-Assisted Selection

(MAS). Polimorfisme gen Pit-1 yang terjadi pada ekson 6, selain bisa berasosiasi

dengan sifat karkas dan produksi susu, juga bisa dengan sifat seleksi yang lain,

seperti berat badan umur 1 tahun (Zhao et al., 2004). Berdasarkan laporan

Mattos et al. (2004), keragaman genetik gen Pit1 yang berinteraksi dengan

bGH/MspI berpengaruh teradap variasi persentase lemak pada ternak perah.

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Keseimbangan Hardy-Weinberg merupakan suatu keadaan dimana dalam

suatu populasi yang terdapat faktor penghambat (mutasi, seleksi, migrasi, dan genetic

drift), maka frekuensi gen dominan dan resesif dalam suatu populasi tidak akan

berubah dari satu generasi ke generasi lainnya. Keseimbangan variasi genotipe

penelitian ini dengan menggunakan uji Chi-square (χ2). Hasil uji Chi-square tersebut dapat disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil analisis Chi-square diperoleh χ2 hitung < χ2tabelterdapat padasapi FH dari lokasi BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang berada

dalam keseimbangan Hardy-Weinberg, begitu pula yang terjadi pada sapi Simmental,

(35)

gen dalam populasi yang cukup besar terjadi jika tidak ada seleksi, mutasi, migrasi

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Td = tidak dapat dianalisis

Keseimbangan yang terjadi pada sapi FH dari ketiga lokasi yang diamati, sapi

Simmental dan sapi Limousin terjadi bukan dikarenakan tidak adanya seleksi, karena

seluruh sapi yang berada pada lokasi tersebut merupakan hasil seleksi. Hal tersebut

dapat terjadi diduga karena sifat yang diseleksi tidak terkait langsung dengan gen

Pit1, sehingga dalam keadaan keseimbangan. Pada lokasi BET Cipelang untuk sapi

pedaging bangsa Angus tidak dapat dianalisis karena memiliki derajat bebas χ2 adalah 0, disebabkan pada bangsa tersebut hanya terdapat 2 macam genotipe dan 2

macam alel; sedangkan untuk bangsa Brahman tidak dapat dianalisis karena

memiliki derajat bebas χ2 adalah -1, disebabkan pada bangsa tersebut hanya terdapat 1 macam genotipe dan 2 macam alel. Derajat bebas χ2 merupakan hasil pengurangan antara jumlah genotipe dengan jumlah alel (Allendorf dan Luikart, 2007).

Heterozigositas

Heterozigositas disebut juga sebagai rataan keragaman genetik. Pendugaan

nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu untuk mendapatkan

gambaran variabilitas genetik (Marson et al., 2005). Berdasarkan hasil analisis nilai

heterozigositas sapi FH dari tiga lokasi, nilai heterozigositas yang tertinggi adalah

sapi FH dari BET Cipelang 0,550; sedangkan pada sapi pedaging nilai

heterozigositas yang tetinggi adalah bangsa Brahman yaitu 1. Menurut Javanmard et

al. (2005) nilai heterozigositas kurang dari 0,5 mengindikasi rendahnya variasi gen

(36)

heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan

semakin tinggi. Hasil analisis heterozigositas pada tiga populasi sapi FH dan pada

populasi BET Cipelang untuk sapi Simmental, Limousin, Angus dan Brahman tersaji

pada Tabel 4.

Tabel 4. Heterozigositas Gen Pit1|Hinf1

Bangsa Populasi Ho He

FH ( ) BIB Lembang 0,176 0,327

BBIB Singosari 0,375 0,375 FH ( )

FH ( ) BET Cipelang 0,550 0,469

Subtotal 0,416 0,418

Simmental ( ) BET Cipelang 0,417 0,413

Limousin ( ) BET Cipelang 0,643 0,477

Angus ( ) BET Cipelang 0,000 0,320

Brahman ( ) BET Cipelang 1,000 0,500

Total 0,448 0,446

Keterangan: ho = heterozigositas pengamatan he = heterozigositas harapan

Sapi FH dari BIB Lembang mempunyai nilai heterozigositas pengamatan (Ho)

lebih rendah dari nilai heterozigositas harapan (He), Sapi FH dari BBIB Singosari

mempunyai nilai heterozigositas pengamatan (Ho) sama dengan nilai heterozigositas

harapan (He); sedangkan Sapi FH dari BET Cipelang mempunyai nilai

heterozigositas pengamatan (Ho) lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapan (He).

Sapi pedaging bangsa Simmental, Limousin, dan Brahman mempunyai nilai

heterozigositas pengamatan (Ho) lebih tinggi dari nilai heterozigositas harapan (He);

sedangkan sapi pedaging bangsa Angus nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih

rendah dari nilai heterozigositas harapan (He). Tingginya nilai heterozigositas (Ho)

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil analisis gen

Pit1|Hinf1 pada sapi FH dari lokasi BIB Lembang, BBIB Singosari dan BET Cipelang dan sapi pedaging dari lokasi BET Cipelang bersifat polimorfik. Terdapat

dua alel yaitu alel A dan alel B, sehingga diperoleh tiga variasi genotipe, yaitu AA,

AB dan BB. Berdasarkan hasil analisis Chi-square sapi FH dari ketiga lokasi dan

juga sapi pedaging bangsa Simmental dan Limousin dari BET Cipelang berada

dalam keseimbangan Hardy-Weinberg (χ2 hitung < χ2tabel), sedangkan sapi pedaging bangsa Angus dan bangsa Brahman tidak dapat dianalisis. Nilai

heterozigositas tertinggi terdapat pada sapi Limousin dan terendah pada sapi Angus.

Saran

Perlu dilakukan pendeteksian lebih lanjut untuk mendeteksi hubungan antara

alel yang dimiliki oleh sapi FH pejantan dan sapi FH betina dengan hasil dari

produksi susu dari keturunannya. Jumlah sampel yang lebih banyak dari lokasi,

seperti balai-balai penelitian, industri dan peternakan rakyat untuk lebih menambah

(38)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Penelitian dan skripsi ini dapat

diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada :”Papa dan

Mama” tercinta, yang selalu melimpahkan cinta dan kasih sayang yang tulus, serta

doa dan dukungan baik secara moril maupun materil dengan tiada putusnya; serta

untuk kedua adikku Melinda Utami dan Devi Amalia (terima kasih atas doa dan

dukungannya).

Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc dan Ir. Anneke

Anggraeni, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing dalam membimbing,

mengarahkan, dan menasehati penulis. Terima kasih kepada Ir. Sri Darwati, M.Si,

Ir. Anita Sardiana Tjakradijaja, M.Rur.Sc, M. Baihaqi, S.Pt. M.Sc sebagai dosen

penguji. Keluarga besar LGMT FAPET IPB : Kak Erick, Kak Restu, Kak Surya, Kak

Dina, Annisa O.R., Diny W., Wike, Irine, Paulina, Ferdy, Lenny, Revy, Rahmah,

Erwin, dan Bapak Ichsan. Sahabat-sahabat tercinta: Rayjansof Chairi, Hans Budi

Findranov, M. Fachri Jamasyari dan terutama Asia Muflihah yang telah memberikan

motivasi, dukungan, dan bantuannya disaat susah maupun senang; serta Fadlullah

Abdurrachman yang telah memberikan perhatian, pengertian, motivasi, dukungan,

dan bantuannya. Teman-teman IPTP 44: Nur’adhadinia, Andhika W. J.,dan Gabby E.

M. (terima kasih untuk kebersamaan dan persahabatan yang indah). Untuk

teman-teman “Pondok Bidadari”: Winda P., Indah P., Sherly A., Listika M., Tika S.R.,

Nurul I., Fatma S., dan Selvi. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, yang

telah memberikan bantuan baik sebelum, selama maupun sesudah penelitian.

Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain doa untuk kalian semoga Allah

membalas semua kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih baik dan lebih besar.

Sesungguhnya tiada balasan untuk suatu kebaikan kecuali dengan kebaikan pula.

Bogor, 14 Mei 2011

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Allendorf, f. W. & G. Luikart. 2007. Conservation and The Genetics of Populations. Blackwell Publishing. USA.

Ausubel. 1995. Short Protocol in Moleculer Biology.3rd Ed. New York.

Avise, J. C. 1994. Molecular Markers. Natural History Evolution. Chapman and Hall, Inc., Washington.

Bastos, E., I. Santos, I. Pasmentier, J. L. Castrillo, A. Cravador, H. Guedes-Pinto, & R. Renaville. 2006. Ovis aries POU1F1 gene: cloning, characterization and polymorphism analysis. Springer Netherland. 126: 303-314.

Blakely, J., & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Ke-4. Terjemahan: Bambang Srihandono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Brunsch, C., I. Strenstein, P. Reinecke, & J. Bieniek. 2002. Analysis of association of Pit-1 genotypes with growth, meat quality and carcass composition traits in pigs. J. Appl. Genet. 43:85-91.

Curi, R. A., D. A. Palmieri, L. Suguisawa, H. N. Olievera, A. C. Silviera, & C. R. Lopes. 2006. Growth and carcass traits associated with GH|Alu1 I and POU1F1|Hinf 1 gene polymorphism in Zebu and crossbred beef cattle. Genet and Mol Biotech. 29:56-61.

De Mattos, K. K., D. L. S. Nassif, L. M. Mario, & F. F. Ary. 2004. Association of bGH and Pit-1 gene variants with milk production traits in dairy Gyr bulls.

Pesq. Agropec. Bras. Brasillia, 39:147 – 150.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2009. Jakarta: Departemen Pertanian.

Dybus A., M. Kmiec, Z. Sobek, W. Pietrzyk, & B. Wisniewski. 2003. Associations between polymorphisms of growth hormone releasing hormone (GHRH) and pituitary transcription factor 1 (PIT1) genes and production traits of Limousine cattle. Arch. Tierz., Dummerstorf 46:527-534.

Edriss, V., M. A. Edriss, H. R. Rahmani, & B. E. Sayed. 2008. Pit-1 gene polymorphism of Holstein Cows in Ishafan Province. Tabatabaei college of Agriculture. Biotecnol. 7:209-212.

Falconer, D. S. & T. F. C. Mackay. 1996. Introduction to Quantitative Geneticss. 4th Ed. Longman, New York.

Frankham, R., J. D. Ballou & D. A. Briscoe. 2002. Introduction to Consevation Genetics, Cambridge University Press.

Hartl, D. L., & A. G. Clark . 1997. Principle of Population Genetic. Sinauer Associates, Sunderland, MA.

(40)

Jawasreh, K. I. Z., F. Awawdeh, I. Rawashdeh, F. Hejazeen, & M. Al-Thalib. 2009. The allele and genotype frequencies of bovine pituitary specific transcription factor and leptin genes in Jordanian cattle population by using PCR-RFLP. Austr. J. of Basic and Appl. Sci., 3:1601-1606.

Lewin, B. 1994. Genes V. Oxford University Press. New York.

Li, X., K. Li, B. fan, Y. Gong, S. Zhao, Z. Peng, & B. Liu. 2000. The genetic diversity of seven pigs breeds in china, estimated by means of microsatellites. J. Anim. Sci 9:1193-1195.

Mangalam, H. J., V. R. Albert, H. A. Ingraham, M. Kapiloff, L. Wilson, C. Nelson, H. Elsholtz, & M. G. Rosenfeld. 1989. A pituitary POU-domain protein, Pit -1, activities both growth hormone and prolactin promoters transcriptionally. Genes Dev., 3:946-958.

Marson, E. P., B. Jose, S. F. Flavio, M. Vieira, C. D. C. B. Julio, P. E. Joanir, G. G. F. Luis, & B. M. Geron. 2005. Genetic characterization of European Zebu composite bivine using RFLP markers. Genet Mol Res 4:496-505.

Montaldo, H. H., & C. A. M. Herrera. 1998. Use of molecular markers and major genes in te genetic improvement of livestock. J. of. Biotechnol. 1 No 2.

Moody D.E., D. Pomp, & W. Barendse. 1995. Restriction fragment length polymorphism amplification products of the bovine Pit-1 gene assignmentof Pit-1 to bovine chromosome 1. Anim. Genet. 26:45-47.

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wirausaha Muda dan USESE Foundation. Bogor.

Nei, M. 1987. Molecular Evalutionery Genetics. Columbia University Press. New York.

Nei, M., & S. Kumar. 2000. Molecular Evaluation and Phylogenetics. Oxford University Press. New York.

Noor, R. R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Depok.

Oprzadek J, K. Flisikowski, L. Zweirzchowski, & E. Dymnicki. 2003. Polymorphisms at loci of leptin (LEP), Pit1 and STA-T5A and their association with growth, feed conversion and carcass quality in Black-and-White bulls. Anim. Sci. Pap. and Rep. 21:223-231.

Orita, M., H. Iwahana, H. Kanazawa, K. Hayashi, & T. Sekia. 1989. Detection of polymorphism of human DNA by gel electrophoresis as single-strand conformation polymorphisms. Proc. Natl. Acad. Sci. 86:2766-2770.

Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia. Jakarta.

Rahmani, N., Muladno, & C. Sumantri. 2004. Analisis polimorfisme gen bovine growth hormone (bGH) pada sapi perah Friesian-Holstein di BPTU Baturraden. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan hlm 183-194.

(41)

polymorphism, milk and conformation traits for Italian Holstein-Friesian Bulls. J. Dairy Sci. 80:3431-3438.

Sambrook, J., E. F. Fritsch, & J. F. Medrano. 1989. Molecular Cloning : A Laboratory Manual. Second Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.

Sumantri, C., A. Anggraeni, A. Farajallah, & D. Perwitasari. 2007. Keragaman mikrosatelit DNA sapi perah FH di Balai Pembibitan Ternak Unggul Baturraden. J. I T V 12:124-133.

Tambasco, D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencor, A. R. Freitas, L. L. Coutinho, I. U. Packer, & L. C. A. regitano. 2003. Candidate genes for growth traits in beef cattle crosses Bos Taurus x Bos Indicus. J. Anim Breed Genet 120:51-60.

Viljoen, G. J., L. H. Nel, & J. R. Crowther. 2005. Molecular Diagnostic PCR Handbook. Springer, Dordrecht, Netherland.

Viorica, C., A. Vlaic, & I. Gaboreanu. 2007. Hinf-1 polymorphism of k-casein and Pit-1 genes in Romanian Simmental cattle. Zootehnie şi Biotehnologii, 40:59-64.

Williams, J. L. 2005. The Use of Marker-assisted selection in animal breeding and biotechnology. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 24 : 379-391.

Williamson, G., & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Daerah Tropis. Terjemahan: S. G. N. Djiwa Darmadja. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Woollard, J., C. B. Schmitz, A. E. Freeman, & C. K. Tuggle. 1994. HinfI polymorphismsat the bovine PIT1 locus. J. Anim. Sci, 72:3267.

Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Penerbit Erlangga, Yogyakarta.

Zhao, Q., M. E. Davis, & H. C. Hines. 2000. Association of two Pit-1 gene polymorphisms with growth rate in beef cattle. J. Anim. Sci.78:77

Zhao, Q., M. E. Davis, & H. C. Hines. 2004. Associations of polymorphism in the Pit-1 gene with growth and carcass traits in Angus beef cattle. J. Anim. Sci. 82:2229-2233.

Zwierzchowski, L., J. Kryzzweski, N. Strazalkowska, E, Siadkowska, & A. Ryniewicz. 2002. Effect of polymorphisms of growth hormone (GH), Pit-1, and leptin (LEP) genes, cow’s age, lactation stage and somatic cell count milk yield and composition of Polish Black and white cows. Animal Science Papers Reports, Inst. Genet. Anim. Breed,. Jastrzebiec, Poland 20:213-227.

Zwierzchowski, L., J. Oprzadek, E. Dymnicki, & P. Dzierzbicki. 2001. An association of growth hormone, kappa-casein, beta-lactoglobulin, leptin and

(42)
(43)

Lampiran 1. Sekuens Gen Pit1 pada Sapi Diakses di GenBank (Kode Akses Y115995 dan AM490263)

LOCUS Y15995 1301 bp DNA linear MAM

14-NOV-2006

DEFINITION Bos taurus PIT-1 gene, partial. ACCESSION Y15995

VERSION Y15995.1 GI:3766420

KEYWORDS growth hormone factor I; PIT1 gene. SOURCE Bos taurus (cattle)

AUTHORS Bodner,M., Castrillo,J.L., Theill,L.E., Deerinck,T., Ellisman,M.

and Karin,M.

TITLE The pituitary-specific transcription factor GHF-1 is a homeobox-containing protein

JOURNAL Cell 55 (3), 505-518 (1988) PUBMED 2902927

REFERENCE 2

AUTHORS Moody,D.E., Pomp,D. and Barendse,W.

TITLE Restriction fragment length polymorphism in amplification products

AUTHORS Dierkes,B., Kriegesmann,B., Baumgartner,B.G. and Brenig,B.

(44)

/gene="PIT-1"

1 caatgagaaa gttggtgcaa atgaaagaaa aaggaaacgg agaacaacaa tcaggtatac

61 ttttgagata ttaagagtta gtggagaaga aaatgatatt ttacaaatgg aatgaacatt

121 tgagtataat atagtttcaa tataacataa aaatgaatag agccaattga gaaaataggt

181 gaaaaagcac aacattcaat aaattacttc tgagaaacag ctggaaattt aaaatttgat

241 ggaaaaatat gtattgtttg attcaagaac agttttgctc tgcaagtttt ggataaaaca

301 gaagctgtac aatcacagct aaaaagaatg actgtttcta ctgtgtcata atgtgttgat

361 ttatgtttag acataaatct tgctccggga aagagcccat ggactgtagc ctacaggttc

421 ctctgtccat gggattttcc aggcaagaat aatggagtgg gttgccattt ccttctccag

481 gagatcttcc cgacccaggg attgaacccg gatctcctac attgtaggca gatgctttac

541 catctgagcc acaagggaag tcacctatct atattatttc aaattaacaa aactggtcac

601 tagtatttta gttgcttaaa gttcaaaatg acttctagca tttcaagcca gattgttcat

(45)

721 tggttggtta gttgtacact aaacatctca ataacctgag ttctggggga catttagaaa

781 tgcatacaga attattttct tctcagtaag tcagtgccct cttgtggcag aaagtggata

841 aacaatgtcg gggttccctc cttaatttct tcctgtgact ctggtaaaag gagcctacat

901 gagacaagca tctaaatgtt caaaaaaact tcacatttat tattgttgaa aagctttgaa

961 ggtgttttca gcgtctttag gtttcctttt tacgttaatg ttagtactaa tatttaggaa

1021 atgtaaccta acttgatttt gatgggccta aaccatcatc tcccttcttt cctgccaact

1081 ccccacctcc cagtattgct gctaaagacg ccctggagag acactttgga gaacagaata

1141 agccttcctc tcaggagatc ctgcggatgg ctgaagaact aaacctggag aaagaagtgg

1201 tgagggtttg gttttgtaac cgaaggcaga gagaaaaacg ggtgaagaca agcctgaatc

1261 agagtttatt tactatttct aaggagcatc tcgaatgcag a

LOCUS AM490263 451 bp DNA linear MAM

10-FEB-2007

DEFINITION Bos taurus partial PIT-1 gene for growth hormone factor I, exon 6,

individual 3. ACCESSION AM490263

VERSION AM490263.1 GI:125629405

KEYWORDS growth hormone factor I; PIT-1 gene. SOURCE Bos taurus (cattle)

AUTHORS Jamli,S. and Heslop-Harrison,J.S.

TITLE Diversity in growth-related genes in Brakmas, a Malaysian cattle

breed

JOURNAL Unpublished

REFERENCE 2 (bases 1 to 451) AUTHORS Heslop-Harrison,P.J. TITLE Direct Submission

(46)

/PCR_primers="fwd_name: PIT1f, fwd_seq:

1 aaaccatcat ctcccttctt tcctgccaac tccccacctc ccagtattgc tgctaaagac

61 gccctggaga gacactttgg agaacagaat aagccttcct ctcaggagat cctgcggatg

121 gctgaagaac taaacctgga gaaagaagtg gtgagggttt ggttttgtaa ccgaaggcag

181 agagaaaaac gggtgaagac aagcctaaat cagagtttat ttactatttc taaggagcat

241 ctcgaatgca gataggctct cctattgtgt aatagcgagt gtttctactt ttcattcctt

301 tctcttctcc agccaaaata gaaattagtt atttggttag cttcaaaaaa tcacatcagt

361 aatttttgca gaagtgtttc tttcctactt taaaaataaa tacaatttaa attatgttga

(47)

Lampiran 2. Modifikasi Metode Ekstraksi DNA Menggunakan Metode

Phenolcloroform (Sambrook et al., 1989)

200 μl sampel dara dalam ETO + DW 1000 μl

Vortex, didiamkan selama 5 menit

Sentrifugasi 8000 rpm, selama 5 menit

Supernatan dibuang

+DW 1000 μl

Vortex, didiamkan selama 5 menit

Sentrifugasi 8000 rpm, selama 5 menit

Supernatan dibuang

+ 5 mg/ml Proteinase K 10 μl + SDS 10% 40 μl + 1x STE sampai volume 400 μl

Kocok pelan pada suhu 55 °C, selama 2 jam

+ 400 μl phenol + 400 μl CIAA + 40 μl NaCl 5 M

Kocok pelan pada suhu ruang, selama 1 jam

Sentrifugasi 1200 rpm, selama 5 menit

Pindahkan bagian DNA (bening) dalam tabung 1,5 ml, 200 μl

+ 800 μl ETOH absolute + 40 μl NaCl 5 M

Freezing over night

Sentrifugasi 12000 rpm, selama 5 menit

Supernatan dibuang

+ 800 μl ETOH 70%

Sentrifugasi 12000 rpm, selama 5 menit

Supernatan dibuang, keringkan

+ 100 μl TE 80%

(48)

 

 

(49)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

PITUITARY SPECIFIC

POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR-1

(

Pit

1|

Hinf

1) PADA

SAPI

FRIESIAN HOLSTEIN

DI BIB LEMBANG,

BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

SKRIPSI

TIFANNY SUKMAWATI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Gambar

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein (FH)
Gambar 2. Bangsa-bangsa Sapi Pedaging
Tabel 1. Sampel Darah Sapi Friesian Holstein (FH) dan Sapi Pedaging
Gambar 4.  Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Pit1 Sapi FH dan Sapi Pedaging pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Compared with the other ethnic group, more parents from Malay Malaysian prepare their children for bias, like telling their children that their ethnic is different with

datang; (3) butir item yang terlalu sukar tidak digunakan dalam tes hasil belajar. tetapi dimanfaatkan untuk tes-tes yang lain seperti tes seleksi yang

Frame yang sengaja dibentuk Jawa Pos dalam pemberitaan dampak banjir DKI Jakarta dari tanggal 1-31 Januari 2014, terhadap pencalonan Jokowi menjadi orang nomor satu di

merupakan satu-satunya mahkluk hidup yang bisa mengucapkan kata dan berinteraksi dengan sesamanya melalui bahasa karena manusia dilengkapi dengan akal dan kebudayaan untuk

Jika proyek akan diselesaikan dalam 20 minggu, Berapa banyak pekerja yang harus

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Total

Pada 16 dan 17 Disember 2017, telah berlangsung bengkel pengukuhan kendiri latihan industri 2017 yang dianjurkan oleh Unit Latihan Industri Diploma Fakulti Kejuruteraan

Rata-Rata Jumlah Kebutuhan dan Biaya Pupuk untuk Usahatani Kedelai di Desa Sumberejo, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang Per Musim Tanam Tahun 2016. Rata-Rata