• Tidak ada hasil yang ditemukan

FRIESIAN HOLSTEIN DI BIB LEMBANG, BBIB SINGOSARI, DAN BET CIPELANG

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein

Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi dari Bos primigenius yang sekarang sudah punah. Domestikasi sapi pertama kali ditemukan di Turki (Perkins, 1969) dengan dua spesies utama ternak sapi di dunia, yaitu tipe berpunuk (Zebu) dan tidak berpunuk (Taurin). Tipe berpunuk termasuk dalam spesies Bos indicus yang tersebar di wilayah Asia dan Afrika Selatan, sedangkan tipe tidak berpunuk (Taurine) termasuk dalam spesies Bos taurus yang tersebar di wilayah Eropa dan Afrika Barat. Kedua spesies ini kemungkinan besar didomestikasi secara bebas (Loftus et al., 1994) sekitar 10.000 tahun sebelum sekarang.

Pada umumnya sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis sapi Friesian Holstein (FH) yang termasuk keturunan dari sapi B. taurus. Bangsa sapi Friesian Holstein murni memiliki warna bulu hitam dan putih (black Holstein) atau merah dan putih (red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih, memiliki tanduk yang pendek dan mengarah ke depan (Gambar 1). Sifat-sifatnya adalah jinak, mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, produksi susu tinggi dengan kadar lemak susu rendah, memiliki ukuran tubuh dan kecepatan pertumbuhan yang bagus, dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu (Blakely dan Bade, 1998). Daerah penyebaran FH di Indonesia terutama di dataran tinggi Pulau Jawa. Jawa Timur memiliki populasi sapi perah terbesar, yaitu 139 ribu ekor, diikuti Jawa Tengah 115,4 ribu ekor, Jawa Barat 102,7 ribu ekor, dan DI Yogyakarta 7,3 ribu ekor (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009). Diwyanto et al. (2000) menyatakan bahwa produksi susu sapi perah di Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3000-3900 liter perlaktasi. Hal ini sudah menyamai performans sapi perah B. taurus yang dipelihara di daerah panas seperti di sejumlah negara Amerika latin yang berkisar antara 3500-4500 liter perlaktasi, sementara produksi susu sapi perah FH di daerah iklim sedang mencapai lebih 6000 liter perlaktasi.

 

Gambar 1. Sapi Friesian Holstein, Jenis Sapi Perah yang Banyak Dibudidayakan Peternak di Indonesia (Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009)

Sapi Pedaging

Tipe sapi pedaging atau sapi potong memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi dari spesies B. taurus yaitu sapi Limousin dan Simmental. Sapi Limousin memiliki perdagingan yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 2001), dengan bobot badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg. Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam spesies B. indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna putih. Spesies B. indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001). Penghambat perkembangan industri sapi potong antara lain terbatasnya sapi lokal sehingga belum siap mengisi kebutuhan bakalan industri peternakan (feedlotter) dan beroperasinya rumah pemotongan hewan (RPH) tradisional dan ilegal di hampir seluruh wilayah Indonesia (Williamson dan Payne, 1993).

Hormon Pertumbuhan

Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan (growth hormone). Chung et al. (2000) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan (GH) bersama-sama

 

dengan hormon Insulin-Like Growth Factor-1 (IGF-1) berperan sangat penting dalam mengatur pertumbuhan kelenjar susu dan produksi susu, metabolisme, laktasi, dan komposisi tubuh.

Proses sintesis dan pelepasan hormon pertumbuhan atau somatotropin dikontrol oleh dua macam hormon yang terdapat di hipotalamus, yaitu Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang berfungsi sebagai penggertak (stimulator) dan Somatotropin Releasing-Inhibitory Factor (SRIF) atau somatostatin sebagai penghambat (inhibitor) (Anderson et al., 2004). Kedua hormon tersebut disekresikan oleh neuron sekretoris dalam hipotalamus dan masuk ke dalam pembuluh darah pituitari (Hartman, 2000). Neurotransmiter dan neuropeptida mengontrol sekresi somatotropin secara langsung pada bagian somatotrop atau secara tidak langsung melalui jalur hipotalamus (Franklin dan Ferry, 2006).

Metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism)

PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis (Williams, 2005). Muladno (2002) menyatakan bahwa Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam suatu mesin thermocycler. Secara umum, reaksi yang terjadi dalam mesin PCR dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), tahap annealing (penempelan primer), dan tahap extension (pemanjangan primer).

Metode PCR-RFLP adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan enzim pemotong (restriction enzim) yang dapat memotong DNA pada tempat sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Li dan Graur (1991)

 

menyatakan bahwa enzim pemotong yang dapat mengenal sekuens DNA spesifik disebut recognition sequences dan biasanya memiliki panjang empat sekuens basa atau lebih dan bersifat palindrome.

PCR-RFLP merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan untuk mencari keragaman genotipe (Yahyaoi et al., 2001). Penyisipan (insersi), penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkannya tidak lagi dikenalinya situs pemotongan enzim restriksi dan terjadinya menyebabkannya perbedaan pola pemotongan DNA (Lewin, 1994). Teknik RFLP yang dikombinasikan dengan teknik PCR telah secara luas digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) pada genom maupun pada daerah yang tidak penyandi atau daerah non-coding (Vasconcellos et al., 2003).

Meghen et al. (1995) menyatakan bahwa jumlah dan ukuran fragmen DNA yang dihasilkan oleh enzim pemotong memiliki pola pita ada atau tidaknya tempat restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan. Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa atas dasar terpotong atau tidaknya fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada tidaknya polimorfisme pada suatu individu dalam populasi.

Keragaman Genetik

Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus. Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al., 1998). Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa populasi dinilai beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang cukup (biasanya lebih dari 1%). Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang)

 

(Noor, 2008). Selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi genotipe. Keragaman genetik dapat digunakan sebagai parameter dalam mempelajari genetika populasi dan genetika evolusi. Tingkat keragaman dalam populasi dapat digambarkan dari frekuensi alel. Frekuensi alel merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam satu populasi (Nei dan Kumar, 2000).

Derajat heterozigositas, menurut Nei (1987), merupakan rataan persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam populasi. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan dalam menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies. Perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000).

Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan jika nilai Ho (heterozigositas pengamatan) lebih rendah dari He (heterozigositas harapan) maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif (Tambasco et al., 2003). Avise (1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya.

Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH)

Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dikenal juga dengan nama Growth Hormone Realising Factor (GHRF) atau somatocrinin terdiri dari 44 peptida asam amino dengan berat molekul 12447 Da dan panjang 107 aa (Connor et al., 2002). Baker et al. (2000) menyatakan bahwa GHRH dikenal pula dengan somatoliberin pertama kali diisolasi pada tahun 1982 dari sel pituitary dan sel

 

hipotalamus. Berdasarkan fungsi protein, somatoliberin sama seperti glukagon, sekretin, dan VIP (Vasoactive Intestinal Peptide).

Beberapa penelitian telah dilakukan pada ternak sapi dan diketahui bahwa somatotropin, somatoliberin dan sejenis sintesisnya meningkatkan produksi baik pada ternak perah yaitu meningkatkan produksi dan lemak susu (Bonneau dan Laarveld, 1999) maupun ternak pedaging (Achtung et al., 2001) yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai bobot potong. Cheong et al. (2006) menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk produksi daging.

Gen adalah bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang ditranskripsi ke dalam mRNA yang akan ditranslasi menjadi protein (Nicholas, 1996; Brown, 1999; Muladno, 2002). Gen GHRH pada sapi terletak pada kromosom nomor 13 (Barendse et al., 1994) terdiri dari lima ekson dan empat intron (Gambar 2). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah penyandi (coding sequence) (CDS). Selain itu terdapat pula bagian segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown, 1999).

5’ Kodon awal ATG Kodon akhir TGA 3’

5’ 3’

Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5

Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4

Flangking Flangking region 5’ region 3’ Keterangan : Ekson 1 = 65 – 128 = 64 bp Intron 1 = 129 – 4339 = 4211 bp Ekson 2 = 4340 – 4440 = 101 bp Intron 2 = 4441 – 4706 = 266 bp Ekson 3 = 4707 – 4811 = 105 bp Intron 3 = 4812 – 7047 = 2236 bp Ekson 4 = 7048 – 7167 = 120 bp Intron 4 = 7168 – 9336 = 2168 bp Ekson 5 = 9337 – 9356 = 20 bp

Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen GHRH Berdasarkan Sekuens Gen GHRH di GenBank, Nomor Akses AF242855

 

Panjang gen GHRH pada sapi adalah 9356 pb (pasang basa). Moody et al. (1995) melaporkan adanya keragaman gen GHRH pada sapi pedaging dengan metode PCR-RFLP menggunakan primer GHRH forward 5’-

GTAAGGATGC(C/T)(A/G)CTCTGGGT-3’ dan GHRH reverse

5’TGCCTGCTCATGATGTCCTGGA-3’; serta enzim restriksi HaeIII yang menghasilkan dua buah alel yaitu 317, 83, 55 pb (alel A) dan 196, 121, 83, 55 pb (alel B). Keragaman ditemukan pada exon ketiga gen GHRH pada sapi (no. Akses GenBank U29611). Ruas fragmen untuk gen GHRH|HaeIII pada sapi Polish Black and White menurut Dybus dan Grzesiak (2006) terletak menutupi bagian ekson 2, seluruh intron 2, dan sebagian dari ekson 3; analisis keragaman terletak di intron 2 (no. Akses GenBank AF242855), menghasilkan tiga genotipe, yaitu AA (242 dan 55 pb), genotipe AB (242, 194, 55, dan 48 pb), dan genotipe BB (194, 55, dan 48 pb). Kmiéc et al. (2007) melakukan penelitian terhadap keragaman gen GHRH|HaeIII dan hubungannya dengan sifat produksi susu pada sapi Polish Red-and-White (salah satu varietas bangsa Friesian Holstein). Produk PCR teramplifikasi sepanjang 297 pb, menghasilkan tiga genotipe, yaitu BB (194, 55, dan 48 pb), AB (242, 194, 55, dan 48 pb) dan AA (242, 55, dan 48 pb). Menghasilkan frekuensi genotipe AA sebesar 9,6%, genotipe AB sebesar 37% dan genotipe BB sebesar 53,4%. Frekuensi alel A sebesar 28,1% dan frekuensi alel B sebesar 71,9%.

Tabel 1. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak

Ternak Jumlah Alel Posisi Marker Metode Sumber

Sapi Perah dan Pedaging Sapi Pedaging Sapi Perah Sapi Pedaging Sapi Perah Babi Babi 2 2 2 12 tipe 2 2 2 Intron 1 Intron 2 Intron 2 5’UTR dan intron Intron 2 Ekson 3 Ekson 3 RFLP RFLP RFLP Analisis sekuen RFLP RFLP RFLP Moody et al. (1995) Dybus et al. (2003) Dybus dan Grzesiak

(2006) Cheong et al. (2006)

Kmiec et al. (2007) Pierzchala et al. (2003)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak (LGMT), Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Nopember 2010.

Materi

Sampel darah yang digunakan sebanyak 126 ekor sapi yang terdiri atas 89 ekor sapi FH dan 37 ekor sapi pedaging dengan bangsa yang berbeda sebagai pembanding (Tabel 2). Sampel darah yang digunakan merupakan koleksi sampel Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 2. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan

Bangsa Ternak Tipe Ternak Jumlah Asal Lokasi Sapi Perah

Sapi FH ♂ Perah BIB Lembang 17

Sapi FH ♂ Perah BBIB Singosari 32

Sapi FH ♀ Perah BET Cipelang 40

Sub Total 89

Sapi Pedaging

Sapi Simmental ♀ Pedaging BET Cipelang  13 Sapi Limousin ♀ Pedaging BET Cipelang  14 Sapi Brahman ♀ Pedaging BET Cipelang  5

Sapi Angus ♀ Pedaging BET Cipelang  5

Sub Total 37

Total 126

Keterangan : ♂= Jantan dan ♀ = Betina

Penanganan dan Pengambilan Sampel

Bahan yang digunakan adalah alkohol absolut, es, dan kapas. Alat yang digunakan antara lain jarum vennoject, tabung vaccutainer tanpa heparin 10 ml dan termos.

11 

 

Ekstraksi DNA

Bahan yang digunakan yaitu sampel darah 200 µl, Destilata Water 1000 µl, 40 µl SDS 10% (Sodium Docecyl Sulfat), 10 µl Proteinase K 5 mg/ml, 350 µl 1 x STE (Sodium Tris EDTA), 400 µl larutan phenol, 400 µl CIAA (Chloroform Isoamil Alkohol), 40 µl NaCl 5M, 800 µl etanol absolut dan etanol 70%, dan 100 µl TE 80% atau Elution buffer. Alat yang digunakan antara lain kotak penyimpan sampel, rak tabung ependorf, tabung ependorf 1,5 ml, mikro pipet (200-1000 µl, 20-100 µl, 2-20 µl) beserta tip (warna biru dan kuning), alat mikrosentrifugasi berpendingin, vortex mixer, sarung tangan, autoclave, inkubator, freezer, rotary mixer, gunting dan pinset steril, dan alat tulis.

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi PCR dilakukan pada mesin thermocycler menggunakan enzim taq polymerase dan buffernya. Primer gen GHRH yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengikuti Moody et al. (1995) yang telah dimodifikasi dengan runutan primer GHRH forward 5’-TGA AGG ATG CTG CTC TGG GT-3’ dan GHRH reverse 5’TGC CTG TTC ATG ATA TCC TGG A-3’ (Nomor akses GenBank AF242855). Panjang daerah target yang akan diamplifikasi adalah 451 pb dan berada di daerah sebagian ekson 2, intron 2, dan sebagian ekson 3.

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism

Bahan-bahan yang digunakan untuk Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism (PCR-RFLP) adalah produk PCR fragmen gen GHRH, destilated water, enzim pemotong HaeIII serta buffer R. Peralatan yang digunakan dalam analisis PCR-RFLP antara lain microtube PCR, mikropipet 10 P, 20 P, dan 200 P Gilson beserta tip nya, dan inkubator 37 ˚C.

Elektroforesis

Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis adalah agarose, loading dye, ladder 100 bp, 0,5 x TBE (1 M Tris, 0.9 M Asam Borat, 0,01 M EDTA pH 8.0), produk PCR, dan ethidium bromide. Peralatan yang digunakan untuk elektroforesis antara lain gelas ukur, gelas kimia, stirrer, mikro pipet 10 µl dengan tip nya dan power supply electroforesis dan alat foto UV transiluminator.

 

Prosedur Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil melalui vena jugularis di leher sapi menggunakan jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin. Sampel darah ditambahkan etanol absolute (1:2) dan disimpan pada suhu ruang. Sampel yang digunakan merupakan koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dari darah sapi. Prosedur ekstraksi mengikuti metode phenol-chloroform (Sambrook et al., 1989):

Preparasi Sampel. Sampel dari darah dalam alkohol sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml. Alkohol dihilangkan dari sampel dengan menambahkan air destilasi sampai 1000 µl, dan dibiarkan selama 20 menit. Sampel kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama lima menit, supernatan dibuang.

Degradasi Protein. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1xSTE (sodium tris EDTA) sampai volume 350 µl, 40 µl SDS 10% dan 10 µl proteinase K 5 mg/ml. Campuran diinkubasi pada suhu 55 ˚C selama dua jam digoyang pelan.

Degradasi Bahan Organik. Ditambahkan 400 µl larutan phenol, 400 µl chloroform:isoamyl alcohol (24:1) dan 40 µl NaCl 5M. Campuran digoyang pada suhu ruang selama satu jam.

Presipitasi DNA. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama lima menit hingga fase air terpisah dengan fase phenol. Fase air dipindahkan ke tabung baru sebanyak 400 µl. Molekul DNA diendapkan dengan menambahkan 800 µl alkohol absolut dan 40 µl NaCl 5M. Campuran diinkubasi pada suhu -20 ˚C semalaman. Pengendapan DNA dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama lima menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan 800 µl alkohol 70%, kemudian diendapkan lagi dan dikeringkan dalam keadaan terbuka sampai alkohol hilang. Endapan DNA yang telah bersih dari alkohol dipulihkan kembali dengan menambahkan 100 µl TE 80% (Elution Buffer). Sampel DNA disimpan pada suhu - 20 ˚C dan siap untuk digunakan.

13 

 

Amplifikasi Ruas Gen GHRH

Amplifikasi ruas gen GHRH dilakukan dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pereaksi yang digunakan untuk amplifikasi gen GHRH merupakan campuran yang terdiri atas sampel DNA 1 µl, destilated water 9,7 µl, primer (forward 5’-TGA AGG ATG CTG CTC TGG GT-3’ dan GHRH reverse 5’TGC CTG TTC ATG ATA TCC TGG A-3’) 0,1 μl, Taq polymerase 0,05 µl, buffer 1,25 µl, dNTP 0,1 µl, dan MgCl2 0,25 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi dalam mesin thermocycler dengan kodisi suhu pradenaturasi 94 °C selama lima menit, denaturasi 94 °C selama 45 detik, anneling 62 °C selama 45 detik, ekstensi 72 °C selama satu menit, dan ekstensi akhir 72 °C selama lima menit. Siklus PCR yang digunakan sebanyak 35 siklus.

Analisis PCR-RFLP

Enzim pemotong yang digunakan untuk ruas gen target adalah HaeIII. Produk PCR lima µl dipindahkan ke tabung 0,5 ml, ditambahkan destilated water 1 µl, enzim HaeIII 0,3 µl serta buffer R 0,7 µl, dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 16 jam.

Elektroforesis DNA

Penentuan genotipe masing-masing individu dilakukan dengan pendekatan Restriction Fragment Lenght Polymorphism (RFLP) yang divisualisasikan pada gel agarosa 2% dengan TBE 0,5 x (Tris Borat EDTA) pada 100 v selama 40 menit. Gel diwarnai dengan 2,5 µl bromida yang divisualisasikan pada UV transiluminator.

Pendeteksian Keragaman DNA

Setelah elektroforesis dengan gel agarose, akan muncul pita-pita DNA. Setiap pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui panjang fragmennya. Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotip pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel. Keragaman gen GHRH pada sapi dengan metode PCR-RFLP menggunakan primer GHRH serta enzim restriksi HaeIII yang menghasilkan dua buah alel yaitu alel A dan alel B. Alel A dengan fragmen 312, 94, dan 45 pb, sedangkan alel B dengan fragmen 194, 118, 94, dan 45 pb. Genotipe AA ditunjukkan dengan terdapatnya tiga fragmen yaitu 312, 94, dan 45 pb. Genotipe BB ditunjukkan dengan

 

terdapatnya empat fragmen yaitu 194, 118, 94, dan 45 pb. Genotipe AB ditunjukkan dengan lima fragmen dengan panjang 312, 194, 118, 94, dan 45 pb. Genotipe AA dan BB merupakan homozigot, sedangkan genotipe AB heterozigot (kombinasi).

Analisis Data Frekuensi Genotipe dan Alel

Frekuensi genotipe merupakan rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap jumlah populasi. Keragaman genotipe pada masing-masing individu ternak dapat ditentukan melalui pita-pita DNA yang ditemukan. Frekuensi genotipe dapat diketahui dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe tertentu pada setiap populasi, dengan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada suatu lokus dalam populasi. Frekuensi alel ( ) gen GHRH|HaeIII dapat dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000), sebagai berikut :

Keterangan :

= frekuensi genotipe ke-ii = frekuensi alel ke-i

nii = jumlah individu bergenotipe ii nij = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan Chi- Kuadrat (Hartl dan Clark, 1997) :

Keterangan:

χ2 = chi-kuadrat

O = jumlah pengamatan genotipe ke-i E = jumlah harapan genotipe ke-i

15 

 

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas pengamatan yang diperoleh dari masing-masing lokasi, dengan menggunakan rumus Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan :

Ho = heterozigositas pengamatan nij = jumlah individu heterozigot N = jumlah individu yang diamati

Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Keterangan :

He = nilai heterozigositas harapan = frekuensi alel

q = jumlah alel

400 pb

100 pb

451 pb

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen GHRH

Ruas gen GHRH pada sapi FH dari lokasi BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan primer yang digunakan mengikuti Moody et al. (1995) yang telah dimodifikasi. Amplifikasi ruas gen GHRH dilakukan pada mesin thermocycler dengan suhu annealing 62 ˚C. Suhu annealing adalah suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA cetakan selama proses PCR. Primer merupakan bahan yang sangat menentukan pada proses spesifikasi PCR. Pada usaha untuk mengamplifikasi DNA sekuen spesifik, sekuen dari situs penempelan primer pada DNA target harus diketahui (Verkuil et al., 2008). Suhu annealing sangat menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses perpanjangan DNA dimulai dari primer. Persentase keberhasilan amplifikasi gen GHRH dalam penelitian ini adalah 100%. Hasil amplifikasi ruas gen yang divisualisasikan pada gel agarosa 1,5% ditampilkan pada Gambar 3.

Panjang produk hasil PCR dari ruas gen GHRH sapi berukuran 451 pb

Dokumen terkait