• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan Tanaman Industri (HTI)

Tanaman Industri (HTI) adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan, terutama kayu (Iskandar dkk, 2003). HTI juga merupakan hutan tanaman yang dikelola dan dilaksanakan berdasarkan prinsip pemanfaatan dan pelestarian dengan memperhitungkan pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, namun tetap dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup besar (Mispan, 2000).

Arief (2001) mengatakan HTI merupakan hutan buatan (artificial forest/man-made forest) dengan struktur tegakan membentuk hutan seumur. Pembangunan hutan ini sesuai dengan aturan dan harus dibangun di atas lahan-lahan kritis, namun lahan-lahan yang dimaksud masih belum banyak disediakan dari hasil survei sehingga hal ini sangat jarang dilaksanakan.

Srihadiono (2005) menyebutkan tujuan utama pembangunan HTI adalah : 1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna

meningkatkan nilai tambah.

2. Meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup. 3. Memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.

Danaatmaja (1989 diacu oleh Mispan 2000) menyatakan tujuan pengembangan HTI adalah rehabilitasi kawasan hutan produksi yang tidak produktif, memasok bahan baku industri perkayuan secara mantap dalam jumlah yang diperlukan dan berkesinambungan.

Pembangunan HTI bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan secara konsepsional sudah mempunyai misi yang pasti, yaitu secara lestari harus mampu memasok hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Oleh karena itu, pembangunan dan pengelolaan HTI sepenuhnya bersifat komersial, karena terkait dengan industri dan pasar hasil industri. Sifat komersial ditujukan semata-mata agar HTI mampu beroperasi secara berkelanjutan (sustainable), tanpa mengharapkan bantuan pemerintah. HTI harus dikelola secara komersial agar mampu bersaing dan dapat memasok bahan baku secara efisien (Srihadiono, 2005).

Jenis Tanaman HTI

Dalam penentuan jenis tanaman untuk HTI sebaiknya dilakukan berbagai pertimbangan yang sesuai dengan persyaratan, sehingga didapat hasil sesuai dengan yang diharapkan. Persyaratan utama dalam pemilihan jenis tanaman yang digunakan dalam HTI adalah: kecocokan dengan tempat tumbuh (iklim, suhu, curah hujan, sifat tanah), pertimbangan ekonomis seperti cepat tumbuh/daur singkat (untuk pulp, 5-10 tahun) riap tinggi (yang diinginkan adalah di atas 20 m3/ha/tahun), tidak peka kebakaran, tidak peka hama penyakit, benih cukup tersedia (Tarumingkeng, 2004).

Mulyono dan Fajriansyah (1994 diacu oleh Mispan 2000), menyatakan bahwa beberapa jenis tanaman yang dipakai sebagai tegakan HTI diantaranya adalah :

1. Acacia mangium

3. Eucalyptus sp. 4. Antocephalus cadamba 5. Agathis sp. 6. Tectona grandis 7. Swietenia mahagoni 8. Cassia seamia 9. Paraserianthes falcataria 10. Hevea sp.

Penimbunan Kayu Hasil Tebangan HTI

Setelah dilakukan penyaradan, kayu gelondongan dikupas kulitnya di tempat pengumpulan kayu hasil tebangan. Tempat pengumpulan kayu ini disebut Tempat Penimbunan Kayu Sementara (TPn). Kemudian dilakukan pengukuran dan pengujian kayu untuk membuat Laporan Hasil Produksi (LPH), pelaksanaan pengukuran dan pengujian disebut TUK yang mengacu pada SK Dirjen PH No. 230/Kpts/IV-TPHH/1992. Selanjutnya kayu diangkut ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK). TPK adalah tempat untuk menimbun kayu yang merupakan penggabungan kayu-kayu dari berbagai tempat penimbunan sementara (TPn) (Departeman Kuhutanan dan Perkebunan, 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat pengumpulan dan penimbunan kayu adalah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998) :

1. Memperhatikan biaya angkutan dan hasil yang akan ditampung 2. Lokasi strategis

3. Lapangan cukup luas dan bebas banjir

4. Dekat industri pengolahan dan strategis untuk kegiatan lelang 5. Mempunyai cadangan tanah kering untuk perluasan bila diperlukan.

Ekaliptus (Eucalyptus urophylla)

E. urophylla termasuk famili Myrtaceae yang terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas dan merupakan tumbuhan endemik Australia dan kepulauan sebelah utara Timor, Irian, dan Philipina. Nama E. urophylla diberi oleh Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari bahasa Yunani, yaitu auro yang berarti ekor, dan phylla

berarti daun (Siagian, 2004).

Sistematika E. urophylla dalam dunia tumbuhan sebagai berikut : Divisio : Spermathophyta

Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Eucalyptus

Spesies : Eucalyptus urophylla

E. urophylla pada umumnya terdapat pada zona iklim basah sampai kering yaitu tipe iklim C, D, dan E pada klasifikasi Schmidt dan Fergusson. E. urophylla

mampu tumbuh pada tanah yang kurang subur, berbatu dan tanah rawa. Untuk pertumbuhannya, E. urophylla menghendaki cahaya sepanjang tahun (jenis intoleran), dan juga merupakan pohon yang tetap hijau sepanjang tahun (Dirjen Kehutanan, 1980).

Daerah penyeberan alami tanaman ekaliptus berada di sebelah timur garis Walace mulai 7 0C LU sampai 43039 LS. Jenis-jenis ekaliptus dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik

digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah miskin hara sampai pada tanah yang subur (Irwanto, 2007).

Pertumbuhan riap maupun diameter E. urophylla sangat besar. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 meter. Diameternya bisa mencapai 100 cm atau lebih dan tidak berbanir, kulit luar biasanya coklat muda sampai coklat tua, kulit licin dan mengelupas memanjang tidak teratur (Dirjen Kehutanan, 1980).

Tanaman ini dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Jenis ini termasuk cepat pertumbuhannya (fast growing species) terutama pada waktu muda. Sistim perakarannya yang sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Departemen Kehutanan, 1994).

E. urophylla mempunyai tekstur batang yang keras merata dan licin karena serat-seratnya terpadu. E. urophylla mempunyai bunga yang memanjang dan tidak memiliki tangkai bunga. Benang sari berwarna putih dan banyak. Daun E. urophylla berbentuk bulat telur, memanjang dan lanset, pada pangkal mengecil hingga ke ujung meruncing. Pada tingkat anakan bentuk duduk daun berhadapan dan pada tingkat pohon bentuk duduk daun tersebar (Dirjen Kehutanan, 1980).

E. urophylla dikenal juga dengan nama ampupu yang merupakan salah satu jenis pohon asli yang tumbuh secara alami di wilayah bagian timur Indonesia. Jenis ini sering digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas (pulp) dan kayu lapis (vinir) serta kayu gergajian lainnya. Eucalyptus urophylla juga tergolong

kayu kuat dan awet yang dapat digunakan untuk bahan penopang beban berat seperti bantalan kereta api serta bahan bangunan lainnya (Siagian, 2004).

Pengenalan Fungi

Fungi adalah organisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi secara seksual dan aseksual. Fungi dimasukkan dalam kingdom tersendiri sebab cara mendapatkan makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi. Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dam miosis dan secara aseksual dengan membentuk karpus yang di dalamnya mengandung hifa-hifa fertil yang menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium. Menurut Gandjar dkk. (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi. Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh ke dalam substrat dan fungsinya untuk mengasorbsi unsur hara yang diperlukan bagi kehidupan fungi disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat dipermukaan substrat disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi. Hifa-hifa yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat dengan mata telanjang

Indonesia sebagai negara tropik dengan kelembaban yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan fungi.

Fungi dapat ditemukan pada berbagai macam substrat yamg ada, di darat, air, dan udara. Fungi merupakan satu di antara berbagai patogen tumbuhan yang telah umum diketahui.

Menurut Hunt dan Garratt (1986) kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu: (a) sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu; (c) persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun fungi tersebut telah berada di dalam kayu.

Menurut Gandjar, dkk (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat dimanfaatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana.

2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %.

3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat dikelompokkan menjadi: (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0oC, dan suhu optimum berkisar 0o – 17oC), (b) fungi mesofil (suhu minimum di atas 0oC dan suhu optimum 15o - 40oC), dan (c) fungi termofil (suhu minimum di atas 20oC dan optimum berkisar 35oC atau lebih).

4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7.

5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai bahan pembasmi fungi.

Kebutuhan bahan makanan bagi fungi pembusuk kayu itu dipenuhi dari dinding sel kayu. Dinding sel kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terdapat sebagai makro-molekul yang tidak larut dalam air sehingga tidak terdapat diasimilasi langsung oleh fungi. Enzim ekstraselular yang dikeluarkan oleh fungi menyebabkan terjadinya depolimerisasi molekul-molekul besar menjadi bahan-bahan yang mudah larut. Bahan-bahan ini akan diasimilasi dengan mudah oleh fungi dan merupakan sumber energi yang dibutuhkan fungi untuk proses metabolisme dan pertumbuhannya (Hunt dan Garratt, 1986).

Selain kelima faktor di atas Gunawan (2004) menambahkan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan fungi, yaitu:

1. Aerasi, dua komponen penting dalam udara yang berpengaruh pada pertumbuhan fungi yaitu oksigen (O2) yang berfungsi untuk respirasi sel; dan karbondioksida (CO2).

2. Cahaya, kabanyakan fungi, kecuali Agaricus memerlukan cahaya untuk awal pembentukan tubuh buah dan perkembangannya yang normal.

Oksigen adalah bahan yang penting untuk pertumbuhan fungi perusak kayu, tetapi kebutuhannya sangat sedikit, dan dalam kondisi biasa jumlah oksigen di dalam dan sekitar kayu dalam pemakaian atau dalam penyimpanan sudah cukup. Bagian-bagian dalam pohon dan kayu-kayu besar yang tidak dikeringkan, biasanya mengandung cukup udara dalam sel-sel yang memungkinkan perkembangan fungi bila kondosi-kondisi lainnya menguntungkan. Persedian oksigen di dalam tanah makin ke bawah permukaan makin berkurang, dan pada kedalaman 150 sampai 180 cm mungkin tidak cukup untuk pembusukan terutama pada tanah yang rapat dan padat (Hunt dan Garratt, 1986).

Suhu optimum berbeda-beda untuk jenis individu, tetapi pada umumnya berkisar antara 75o dan 90o F. Penyelidikan pada 64 jenis perusak kayu bangunan yang kebanyakan terdapat di berbagai bagian daerah Amerika Serikat, menunjukkan suhu yang paling cocok untuk dua pertiga fungi yang diselidiki berada dalam kisaran ini; optimum terendah yang tercatat adalah 68oF, dan tertinggi 97oF (Hunt dan Garratt, 1986).

Detereorasi Kayu oleh Fungi

Kayu dalam berbagai bentuknya, dapat terkena oleh beberapa tipe kerusakan setelah kayu diambil dari hutan. Fungi perusak kayu dan bakteri, terutama yang mengakibatkan busuknya kayu, tiap tahunnya merusak atau mengurangi secara drastis kegunaan sejumlah besar kayu dan hasil hutan lainnya. Kerusakan bantalan, tiang-tiang, tonggak-tonggak, kayu-kayu pertambangan, dan berbagai bentuk lain dari kayu yang digunakan untuk konstruksi, menyebabkan kerugian jutaan rupiah tiap tahunnya.

Fungi perusak kayu dapat dibedakan atas Ascomycetes, yaitu fungi yang menyebabkan pewarnaan pada kayu ataupun membentuk kupang. Jenis fungi ini antaranya: Diplodia, Bothryodiplodia, Ceratocyctis, Aspergillus, Pennicillium.

Kelompok ini tidak menurunkan kekuatan kayu, fungi ini biasanya disebut sebagai Blue Stain.

Golongan Basidiomycetes sebagai fungi pelapuk atau disebut White rot

dan Brown rot. Golongan ini dapat merombak lignin dan pentosan hemiselulosa yang merupakan komponen utama dinding sel, sehingga kayu menjadi lapuk dan akan kehilangan kekuatannya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).

Sejumlah besar fungi dapat ditemukan pada kayu yang menyebabkan kerusakan berupa pelapukan kayu. Fungi tersebut mempunyai aktivitas selulotik yang sangat kuat. Fungi dapt hidup di pohon yang masih hidup, maupun pada kayu yang telah mati. Sebagian besar di antara fungi-fungi tersebut tergolong ke dalam Basidiomicetes, antara lain Volvariella volvaceae, Pleurotus flabelatus, Pleurotus sajor-caju, Lentinus edodus, Agaricus sp., dan Auricularia sp. Di samping itu banyak pula Hyphomicetes yang bersifat selulotik, seperti

Thrichoderma sp., Alternaria sp., Chaetonium sp., Cladosporium sp., Fusarium

sp., Paecilomyces sp., yang tumbuh baik pada bahan kayu. Ascomycetes tumbuh pada kayu untuk mendapatkan unsur hara (Gandjar dkk, 2006).

Fungi pelapuk kayu akan menyerang kayu yang berada pada lingkungan yang lembab dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh kayu yang dipasang sebagai komponen bangunan di sekitar kamar mandi atau sumur, kayu yang terkena tampias air hujan, atau kayu yang terendam air akibat banjir akan mudah sekali terserang oleh fungi pembusuk. Jenis-jenis fungi pembusuk ini sangat

beragam, seperti Chaetonium globosum, Mycelia sterilia, dan Paecilomyces virioti

(Suranto, 2002).

Proses terjadinya pembusukan pada kayu yang disebabkan oleh fungi dimulai setelah kayu kemasukkan spora yang terbawa udara, atau hubungan dengan bahan-bahan yang telah terinfeksi, fungi akan berkembang di dalam kayu, membentuk hifa dan miselium. Dalam kondisi-kondisi yang baik, hifa dapat berkembang juga pada permukaan kayu atau dalam retak-retak atau lubang-lubang lain, sebagai untaian teranyam rapat atau massa serupa akar seperti tikar miselium yang menyerupai topi (sering kali berbentuk kipas angin), yang biasanya putih atau kecoklatan, dan mudah terlihat dengan mata telanjang. Pada tingkat permulaan (incipient stage) dari pembusukan, hifa dapat menyebar ke seluruh kayu dalam segala arah, bertitik tolak dari tempat infeksinya, biasanya lewat dari sel ke sel melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel, atau melewati lubang-lubang alami (noktah-noktah). Dalam tingkat serangan ini, biasanya tidak ada perubahan kenampakan pada kayu itu, selain dari pada perubahan sedikit dari warna potongan kayu yang terinfeksi (Hunt dan Garratt, 1986).

Tiga tipe umum busuk kayu dan organisme penyebabnya dapat dibedakan berdasar perubahan-perubahan kimiawi dan warna yang diakibatkannya. Fungi

pembusuk putih dapat menghilangkan lignin dan hidrat arang, biasanya memucatkan kayu dan menjadikan warna kayu lebih muda dari warna normal, kadang-kadang dalam bentuk kantong-kantong atau lapisan-lapisan dengan ukuran yang berbeda-beda yang dipisahkan oleh bagian-bagian kayu yang sehat. Fungi pembusuk coklat lebih menyukai selulosa dan hemiselulosa kayu dan

meninggalkan residu kecoklat-coklatan yang kaya lignin, jika kayu tersebut diremas mudah menjadi tepung (Hunt dan Garratt, 1986).

Tipe ketiga dari pembusuk kayu yang disebut pembusuk lunak, menyebabkan permukaan kayu menjadi lunak. Ini dapat dihilangkan dengan mudah sehingga menampakkan bagian kayu sehat di bawahnya. Tipe ini umumnya ditemui dalam kayu yang sangat basah, terutama pada menara pendingin air, bagian-bagian bawah dari tonggak-tonggak dan tiang-tiang, dan pada kayu di laut. Pembusuk lunak juga muncul pada kayu yang tidak dicat dan terbuka terhadap cuaca. Permukaan kayu yang retak kahas dan lunak dan tidak terlindung untuk waktu yang lama, yang umumnya dikenal sebagai pelapukan, selalu mengandung fungi pembusuk lunak.

Fungi pada Tanaman Ekaliptus

Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh satu jenis patogen akan tetapi dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang datang atau muncul secara bersama ataupun berurutan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan (Semangun, 1996).

Rahayu (1999) mengungkapkan bahwa penyakit-penyakit pada tanaman ekaliptus yang disebabkan oleh serangan fungi adalah penyakit bercak daun (leaf spot disease), tumor (cancer) dan akar putih. Penyakit bercak daun (leaf spot disease) disebabkan oleh Macrophoma sp. Fungi ini membentuk badan buah (berupa piknidium) di permukaan bawah daun. Di hutan tanaman yang berada di

dataran rendah yang kurang dari 100 m dpl, penyakit ini akan berkembang sangat cepat dan dapat menimbulkan kerugian besar.

Penyakit tumor batang (cancer) pada tanaman ekaliptus yang memiliki diameter relatif kecil sangat merugikan dan dapat menyebabkan kematian tanaman. Pada beberapa jenis ekaliptus penyakit ini disebabkan oleh fungi Nectria

sp. dan Cytospora sp. Gejala kanker biasanya berasosiasi dengan kerusakan oleh serangga berupa lubang-lubang gerek terutama oleh serangga dari famili

Buprestidae (Coleoptera). Selain itu, penyakit kanker umumnya juga berasosiasi dengan kerusakan tajuk dan beberapa faktor lingkungan yang sangat kompleks. Misalnya kelembaban yang tinggi, jarak tanam, tingkat kesuburan tanah yang rendah, dan ketidakcocokan tempat tumbuh (Rahayu, 1999).

Penyakit akar pada tanaman ekaliptus ditunjukkan oleh tajuk yang menguning, layu dan rontok secara serentak, diikuti dengan kematian pohon. Leher akar dan akar menjadi busuk, lunak serta tampak tanda berupa rhizomorf fungi patogen berwarna putih yang kadang kecoklatan (Widyastuti dkk, 2001).

Menurut Rahayu (1999) penyakit akar pada tanaman ekaliptus terbagi menjadi dua, yaitu penyakit akar putih dan penyakit akar merah. Penyakit akar putih biasanya menyerang tanaman E. Urophylla dan infeksinya biasanya mulai tahun ke-2 sesudah penanaman. Sesudah tahun ke-5 dan ke-6 infeksi umumnya mulai berkurang. Fungi penyebab penyakit akar putih pada tanaman E. Urophylla

adalah Rigidoporus microporus. Fungi ini memebentuk badan buah berbentuk kipas tebal, agak berkayu, memiliki zona-zona pertumbuhan, sering memiliki struktur serat yang radial, dan mempunyai tepi yang tipis.

Irwanto (2007) melaporkan fungi Corticium salmonicolor juga menyebabkan penyakit akar putih pada beberapa jenis ekaliptus. Bagian yang diserang biasanya biasanya bagian bawah dari cabang dan ranting. Bagian tersebut lama-kelamaan menjadi merah jingga. Kulit pohon di bawah benang menjadi belah dan busuk. Serangan ini dapat diatasi dengan memperbanyak masuknya udara dan sinar matahari. Serangan yang masih baru diberi fungisida kemudian dikupas dan dibakar.

Berdasarkan penelitian Widyastuti dkk (2001) yang mengujikan respons tanaman akasia dan ekaliptus terhadap fungi akar Ganoderma menunjukkan bahwa kedua jenis tanaman ini dapat terserang oleh fungi akar Ganoderma. Pada tanaman ekaliptus serangan fungi Ganoderma meiliki permukaan serang yang luas dengan proses infeksi fungi yang berlangsung cepat dibandingkan dengan jenis akasia.

Ganoderma pseudoferreum merupak salah satu penyebab penyakit akar merah. Serangan fungi ini menyebabkan pohon menjadi layu dan jika serangannya berlanjut akan menyebabkan tanaman mati. Cara mengatasi penyakit ini adalah dengan menebang tanaman yang terserang, membongkar tunggak dan akarnya dibakar atau dengan menggunakan fungisida pada bekas tanaman atau tanaman yang diserang (Irwanto, 2007).

Dokumen terkait