FUNGI PADA KAYU Eucalyptus urophylla DI TEMPAT
PENIMBUNAN KAYU (TPK) PT. TOBA PULP LESTARI Tbk.
KABUPATEN TOBASA, SUMATERA UTARA
ELINDRA WIJAYA
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
FUNGI PADA KAYU Eucalyptus urophylla DI TEMPAT
PENIMBUNAN KAYU (TPK) PT. TOBA PULP LESTARI Tbk.
KABUPATEN TOBASA, SUMATERA UTARA
SKRIPSI
ELINDRA WIJAYA
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
FUNGI PADA KAYU Eucalyptus urophylla DI TEMPAT
PENIMBUNAN KAYU (TPK) PT. TOBA PULP LESTARI Tbk.
KABUPATEN TOBASA, SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh: Elindra Wijaya
041203005/ Teknologi Hasil Hutan
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRACT
Elindra Wijaya, Fungi at Eucalyptus urophylla in Place of Wood Heap (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Tobasa North Sumatera. Supervised by Ridwanti Batubara, S.hut, MP. and Dr.Ir. Yunasfi, M.Si.
The purpose of this research to find out the types of fungi at E. urophylla wood in Place of Wood Heap (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk in Desa Sosor Ladang Kabupaten Tobasa north Sumatera, and to find out cause of incidence of fungi at E. urophylla wood heap. This research was held in Plant Disease Laboratory, Pest and Disease Crop Departement University of North Sumatera, stared from February 2008 until April 2008, which started with took samples from TPK and isolated fungi from samples using Potato Dextrose Agar (PDA). Identificated the isolate were have 7 – 14 days to find out its types. The observation in two ways, macroscospic observation in colonies diameter, colonies colours, and colonies form; and microscopic observation in mycelium, spore or conidia, conidia’s size, conidia’s colour, septa, and conidiofor.
The research showen that in E. urophylla wood heap have eight types of fungi, consist of Trichoderma sp.1, Trichoderma sp.2, Trichoderma sp.3,
Aspergillus sp., Acremonium sp., Mucor sp., Penicillium sp., and Rhizopus sp.
ABSTRAK
Elindra Wijaya, Fungi Pada kayu Eucalyptus urophylla Di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Di bawah bimbingan Ridwanti Batubara, S.Hut, MSi dan Dr. Ir. Yunasfi, MSi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada tumpukan kayu glondongan E. urophylla yang ada di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) milik PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. di Desa Sosorladang Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara, dan untuk mengetahui penyebab timbulnya fungi pada tumpukan kayu E. urophylla tersebut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman Departemen Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Sumatera Utara, yang dimulai dari bulan Februari sampai April 2008 yang dimulai dengan mengambil sampel dari TPK untuk kemudian diisolasi fungi yang berasal dari sampel kayu yang menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA). Isolat fungi yang telah berumur 7 – 14 hari kemudian diidentifikasi untuk mengetahui jenisnya. Pengamatan dilakukan secara dua bagian, yaitu pengamatan makroskopis berupa diameter koloni, warna koloni, dan bentuk koloni; sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi miselium, konidia atau spora, bentuk konidia, ukuran konidia, warna konidia, konidia, dan konidiofor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tumpukan kayu E. urophylla
terdapat delapan jenis fungi yang terdiri dari Trichoderma sp.1, Trichoderma sp.2,
Trichoderma sp.3, Aspergillus sp., Acremonium sp., Mucor sp., Penicillium sp., dan Rhizopus sp.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Fungi Pada Kayu Eucalyptus urophylla di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara
Nama : Elindra Wijaya
Nim : 041203005
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Ridwanti Batubara, S. Hut, MP Dr. Ir. Yunasfi, MSi NIP. 132 296 841 NIP. 132 288 490
Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehinga skripsi yang berjudul ”Fungi Pada Kayu Eucalyptus urophylla di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) PT. Toba
Pulp Lestari, Tbk Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara” berhasil selesai dengan baik dan tepat waktu. Skripsi disusun sebagai satu syarat untuk medapat gelar
sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ridwanti Batubara, S. Hut, MP dan Bapak Dr. Ir. Yunasfi, MSi. selaku komisi
pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih juga kepada Bapak Dr.
Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Ayahanda
Elias dan Ibunda Asnah dan kepada Kakanda Sukma Wibowo dan Adinda Dini Wijayanti atas semua doa dan dukungannya kepada penulis, serta teman-teman
yang membantu dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar penelitian-penelitian selanjutnya dan dapat menyumbangkan pengetahuan bagi
kemajuan dunia pendidikan.
Medan, November 2008
DAFTAR ISI
Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5
Kerangka Pemikiran ... 5
Tujuan Penelitian ... 6
Manfaat Penelitian... 7
Hipotesis Penelitian ... 7
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Tanaman Industri (HTI) ... 8
Jenis Tanaman HTI ... 9
Penimbunan Kayu Hasil Penebangan HTI ... 10
Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) ... 11
Pengenalan Fungi ... 13
Detereorasi Kayu oleh Fungi ... 16
Fungi pada Tanaman Ekaliptus ... 19
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 22
Bahan dan Alat Penelitian ... 22
Metode Penelitian ... 23
Kriteria Pengambilan Sampel ... 23
Pelaksanaan Penelitian ... 26
Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA) ... 26
Isolasi Fungi ... 27
Identifikasi Fungi ... 27
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Pendirian PT. Toba Pulp Lestari... 29
Letak Geografis dan Astronomis ... 30
Topografi ... 31
Iklim ... 32
Keadaan Fisik Hutan ... 32
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil... 35
Hasil Isolasi dan Identifikasi ... 35
Deskripsi Fungi ... 37
Pembahasan ... 45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 52
Saran ... 52
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Luas areal PT. TPL berdasarkan kemiringan ... 32
2. Jenis-jenis fungi yang diperoleh dari tumpukan
kayu E. urophylla di TPK... 35
3. Jumlah jenis fungi Yang diperoleh dari tumpukan kayu
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian ... 6
2. Tingkat tumpukan kayu pengambilan sampel a. Tumpukan atas ... 24
b. Tumpukan tengah ... 24
c. Tumpukan bawah ... 24
3. Sampel kayu dari tumpukan paling bawah ... 25
4. Sampel kayu tumpukan pertengahan ... 25
5. Sampel kayu dari tumpukan Atas ... 26
6. Kondisi fisik areal TPK ... 34
7. Trichoderma sp. 1 ... 37
8. Trichoderma sp. 2 ... 38
9. Trichoderma sp. 3 ... 39
10. Mucor sp. ... 40
11. Penicillium sp. ... 41
12. Rhizopus sp. ... 42
13. Acremonium sp. ... 43
ABSTRACT
Elindra Wijaya, Fungi at Eucalyptus urophylla in Place of Wood Heap (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Tobasa North Sumatera. Supervised by Ridwanti Batubara, S.hut, MP. and Dr.Ir. Yunasfi, M.Si.
The purpose of this research to find out the types of fungi at E. urophylla
wood in Place of Wood Heap (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk in Desa Sosor Ladang Kabupaten Tobasa north Sumatera, and to find out cause of incidence of fungi at E. urophylla wood heap. This research was held in Plant Disease Laboratory, Pest and Disease Crop Departement University of North Sumatera, stared from February 2008 until April 2008, which started with took samples from TPK and isolated fungi from samples using Potato Dextrose Agar (PDA). Identificated the isolate were have 7 – 14 days to find out its types. The observation in two ways, macroscospic observation in colonies diameter, colonies colours, and colonies form; and microscopic observation in mycelium, spore or conidia, conidia’s size, conidia’s colour, septa, and conidiofor.
The research showen that in E. urophylla wood heap have eight types of fungi, consist of Trichoderma sp.1, Trichoderma sp.2, Trichoderma sp.3,
ABSTRAK
Elindra Wijaya, Fungi Pada kayu Eucalyptus urophylla Di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Tobasa Sumatera Utara. Di bawah bimbingan Ridwanti Batubara, S.Hut, MSi dan Dr. Ir. Yunasfi, MSi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada tumpukan kayu glondongan E. urophylla yang ada di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) milik PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. di Desa Sosorladang Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara, dan untuk mengetahui penyebab timbulnya fungi pada tumpukan kayu E. urophylla tersebut. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman Departemen Hama dan Penyakit Tanaman Universitas Sumatera Utara, yang dimulai dari bulan Februari sampai April 2008 yang dimulai dengan mengambil sampel dari TPK untuk kemudian diisolasi fungi yang berasal dari sampel kayu yang menggunakan media Potato Dextrose Agar (PDA). Isolat fungi yang telah berumur 7 – 14 hari kemudian diidentifikasi untuk mengetahui jenisnya. Pengamatan dilakukan secara dua bagian, yaitu pengamatan makroskopis berupa diameter koloni, warna koloni, dan bentuk koloni; sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi miselium, konidia atau spora, bentuk konidia, ukuran konidia, warna konidia, konidia, dan konidiofor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tumpukan kayu E. urophylla
terdapat delapan jenis fungi yang terdiri dari Trichoderma sp.1, Trichoderma sp.2,
Trichoderma sp.3, Aspergillus sp., Acremonium sp., Mucor sp., Penicillium sp., dan Rhizopus sp.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengusahaan hutan bertujuan untuk memperoleh dan meningkatkan
produksi hasil hutan untuk kesejahteraan masyarakat, penghasil devisa bagi negara, perluasan serta pemerataan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan
pengembangan sumber energi non minyak. Pengusahaan hutan diselenggarakan berdasar asas kelestarian dan asas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil (Arief, 2001).
Kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahunnya, ini berarti hutan Indonesia mengalami kerusakan 7,2 hektar dalam semenit. Jika hal
ini masih terus berlanjut dapat diperkirakan hutan dataran rendah Sumatera akan habis pada tahun 2005. Begitu juga dengan hutan dataran rendah di Kalimantan akan habis pada tahun 2010. Dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar,
menurut World Research Institute 7,2 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia tinggal 28 persen. Data Departemen Kehutanan sendiri
mengungkapkan 30 juta hektar hutan Indonesia telah rusak parah. Ini berarti 25 persen hutan Indonesia rusak parah (Khafid, 2004).
Di era pembangunan pada akhir tahun 1960-an, telah direncanakan untuk
menggalakkan penanaman hutan industri, sebagai jawaban tuntutan pembangunan untuk meningkatkan produksi kayu. Maka mulailah dilakukan pola manajemen
Indonesia semakin luas. Kayu pulp pada umumnya ditanam di areal HTI yang
khusus diperuntukkan bagi industri pulp baik untuk kertas maupun rayon. Pada tahap awal, sebelum tanaman dipanen yang diperlukan waktu untuk masak tebang antara 5 sampai 10 tahun, ketika itu industri pulp menggunakan serpih dari kayu
lokal seperti sisa tebangan (residual stands), kayu dari hutan sekitarnya (Pinus, Albizzia, Acacia) dan dari tanaman masyarakat sekitar lokasi industri pulp
(Tarumingkeng, 2004).
Perusahaan HTI sering dihadapkan pada berbagai permasalahan dalam hal pengelolaan kayu. Sebelum diolah, kayu yang banyak jumlahnya disimpan di
areal Tempat Penimbunan Kayu (TPK) dalam bentuk tumpukan-tumpukan. Hal ini akan menyebabkan tumpukan kayu segar rentan terhadap serangan berbagai
faktor perusak kayu, terutama fungi. Menurut Suprapti dan Krisdianto (2006) pada umumnya kayu hutan tanaman memiliki diameter kecil, mudah diserang oleh fungi perusak kayu, dan memiliki ketahanan alami yang lemah. Ketahanan kayu
terhadap serangan fungi merupakan salah satu parameter yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kayu.
Menurut Rudi (2002) negara Indonesia yang merupakan daerah tropis mempunyai cuaca yang panas, kelembaban dan bahan organik tanah yang tinggi. Pada kondisi ini perkembangan organisme khususnya organisme perusak kayu
sangat baik. Indonesia juga disebut sebagai negara mega biodeversity, karena mempunyai 1.000.000 jenis serangga, 250.000 jenis fungi dan 200 jenis rayap di
Sebagai contoh di DKI Jakarta hampir 90% kayu yang beredar adalah kayu yang
tidak awet.
Karena informasi yang minim tentang ketahanan alami kayu menyebabkan pemakaiannya sering dicampur-adukan antara kayu yang memiliki kualitas rendah
dan kualitas tinggi, terutama kayu yang digunakan untuk industri perkayuan, pertukangan, perumahan, dan gedung. Jika suatu rumah atau bangunan rusak dan
memerlukan perbaikan, maka kayu perumahan yang masih baik ikut terbongkar bersama kayu rusak sehingga penggunaan kayu menjadi tidak efisien. Menurut Barly dan Supriana (1983 diacu oleh Suprapti dan Krisdianto 2006) kerusakan
kayu bangunan oleh fungi pelapuk di beberapa proyek perumahan rakyat dapat mencapai 67,1%.
Fungi merupakan kelompok jasad hidup yang mempunyai inti sel dengan membran inti yang sempurna, tidak mempunyai klorofil, uniseluler atau multiseluler serta berkembang biak dengan spora. Spora fungi terbentuk dari hasil
pembiakan vegatatif maupun generatif. Fungi tidak mempunyai klorofil maka hidupnya bersifat heterotrof dapat sebagai parasit atau sebagai saprofit (Tarigan,
1988).
Berdasarkan hasil penelitian Suprapti dan Krisdianto (2006) dapat diketahui bahwa tujuh jenis fungi (Chaetomum globossum, Dacryopinax
spathularia, Pycnoporus sanguineus, Pycnoporus sp, Postia placenta, Schiziphyllum commune dan Tyromyces palustris) yang diujikan pada empat jenis
mampu merusak berbagi jenis kayu hutan tanaman. Ekaliptus merupakan satu
diantara beberapa jenis tanaman yang sering digunakan untuk pembangunan HTI. Pohon ekaliptus yang telah ditebang sebelum diolah terlebih dahulu ditumpuk di areal TPK. Pada saat ditumpuk ini, peluang kayu diserang oleh berbagai
organisme dan mikroorganisme sangat besar. Fungi merupakan satu diantara berbagai macam mikroorganisme yang banyak menyebabkan kerusakan kayu.
Fungi dapat menguraikan selulosa yang merupakan bahan utama dari pembuatan pulp.
Data jenis-jenis dan dampak serangan fungi terhadap kayu ekaliptus yang
ditumpuk di TPK belum ada. Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian untuk mendapatkan data-data tersebut. Satu tempat yang dapat digunakan untuk
mengetahui jenis-jenis fungi yang menyerang kayu ekaliptus adalah di areal TPK Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp Lestari.
PT. Toba Pulp Lestari yang merupakan perusahaan HTI di Indonesia yang
memproduksi pulp atau bubur kertas yang menggunakan kayu ekaliptus sebagai bahan bakunya. Sebagai produsen pulp terbesar PT. Toba Pulp Lestari harus
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif. Salah satu fungsi HTI adalah penyedia
kayu sebagai bahan baku pembuatan pulp atau bahan bangunan. Salah satu jenis tanaman yang umum digunakan dalam pembangunan HTI adalah Eucalyptus
urophylla yang rentan terhadap serangan organisme perusak kayu seperti fungi.
Kerangka Pemikiran
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kebutuhan kayu yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah dengan pembangunan HTI.
Persyaratan tanaman HTI adalah tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing species) dan bibit tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang banyak
Eucalyptus sp. adalah salah satu jenis tanaman yang dibudidayakan di HTI salah satunya adalah PT. Toba Pulp Lestari Tbk. yang kayunya sangat rentan terserang oleh fungi perusak kayu pada saat kayu ditumpuk di TPK sehingga sangat
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tujuan Penelitian :
1. Untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada kayu-kayu gelondongan E. urophylla yang ada di Tempat Penimbunan Kayu (TPK)
PT. Toba Pulp Lestari.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya fungi pada kayu gelondongan
E. urophylla.
Acacia sp. Pinus sp.
Hama Penyakit
Eucalyptus sp.
Pengendalian
Fungi
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)
Penyediaan Kayu
Persyaratan Tanaman HTI : Pertumbuhan cepat
Bibit mudah didapat dan tersedia sepanjang tahun Dapat tumbuh pada lahan yang kurang subur Dan lain-lain
Manfaat Penelitian :
1. Tersedianya data mengenai jenis-jenis fungi yang menyerang tumpukan kayu E. urophylla di areal TPK PT. Toba Pulp Lestari.
2. Dapat menduga besar kerugian yang disebabkan oleh serangan berbagai
jenis fungi pada kayu E. Urophylla.
3. Dapat memberikan informasi dasar untuk pengendalian fungi yang dapat
merusak kayu E. urophylla sehingga dapat mengurangi tingkat kerusakan kayu.
Hipotesis Penelitian :
1. Terdapat berbagai jenis fungi pada kayu gelondongan E. urophylla di areal
TPK di PT. Toba Pulp Lestari Tbk.
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Tanaman Industri (HTI) adalah hutan yang dibangun dalam rangka
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan,
terutama kayu (Iskandar dkk, 2003). HTI juga merupakan hutan tanaman yang dikelola dan dilaksanakan berdasarkan prinsip pemanfaatan dan pelestarian dengan memperhitungkan pelestarian lingkungan dan sumber daya alam, namun
tetap dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup besar (Mispan, 2000). Arief (2001) mengatakan HTI merupakan hutan buatan (artificial
forest/man-made forest) dengan struktur tegakan membentuk hutan seumur. Pembangunan hutan ini sesuai dengan aturan dan harus dibangun di atas lahan-lahan kritis, namun lahan-lahan yang dimaksud masih belum banyak disediakan dari
hasil survei sehingga hal ini sangat jarang dilaksanakan.
Srihadiono (2005) menyebutkan tujuan utama pembangunan HTI adalah :
1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah.
2. Meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup.
3. Memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.
Danaatmaja (1989 diacu oleh Mispan 2000) menyatakan tujuan pengembangan
Pembangunan HTI bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan
secara konsepsional sudah mempunyai misi yang pasti, yaitu secara lestari harus mampu memasok hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Oleh karena itu, pembangunan dan pengelolaan HTI sepenuhnya bersifat
komersial, karena terkait dengan industri dan pasar hasil industri. Sifat komersial ditujukan semata-mata agar HTI mampu beroperasi secara berkelanjutan
(sustainable), tanpa mengharapkan bantuan pemerintah. HTI harus dikelola secara komersial agar mampu bersaing dan dapat memasok bahan baku secara efisien (Srihadiono, 2005).
Jenis Tanaman HTI
Dalam penentuan jenis tanaman untuk HTI sebaiknya dilakukan berbagai pertimbangan yang sesuai dengan persyaratan, sehingga didapat hasil sesuai dengan yang diharapkan. Persyaratan utama dalam pemilihan jenis tanaman yang
digunakan dalam HTI adalah: kecocokan dengan tempat tumbuh (iklim, suhu, curah hujan, sifat tanah), pertimbangan ekonomis seperti cepat tumbuh/daur
singkat (untuk pulp, 5-10 tahun) riap tinggi (yang diinginkan adalah di atas 20 m3/ha/tahun), tidak peka kebakaran, tidak peka hama penyakit, benih cukup tersedia (Tarumingkeng, 2004).
Mulyono dan Fajriansyah (1994 diacu oleh Mispan 2000), menyatakan bahwa beberapa jenis tanaman yang dipakai sebagai tegakan HTI diantaranya
adalah :
1. Acacia mangium
3. Eucalyptus sp.
Penimbunan Kayu Hasil Tebangan HTI
Setelah dilakukan penyaradan, kayu gelondongan dikupas kulitnya di tempat pengumpulan kayu hasil tebangan. Tempat pengumpulan kayu ini disebut Tempat Penimbunan Kayu Sementara (TPn). Kemudian dilakukan pengukuran dan pengujian kayu untuk membuat Laporan Hasil Produksi (LPH), pelaksanaan pengukuran dan pengujian disebut TUK yang mengacu pada SK Dirjen PH No. 230/Kpts/IV-TPHH/1992. Selanjutnya kayu diangkut ke Tempat Penimbunan Kayu (TPK). TPK adalah tempat untuk menimbun kayu yang merupakan penggabungan kayu-kayu dari berbagai tempat penimbunan sementara (TPn) (Departeman Kuhutanan dan Perkebunan, 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat pengumpulan dan penimbunan kayu adalah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998) :
1. Memperhatikan biaya angkutan dan hasil yang akan ditampung 2. Lokasi strategis
3. Lapangan cukup luas dan bebas banjir
Ekaliptus (Eucalyptus urophylla)
E. urophylla termasuk famili Myrtaceae yang terdiri atas 500 jenis dan 138 varietas dan merupakan tumbuhan endemik Australia dan kepulauan sebelah utara Timor, Irian, dan Philipina. Nama E. urophylla diberi oleh Dr. Blake. Nama
urophylla berasal dari bahasa Yunani, yaitu auro yang berarti ekor, dan phylla
berarti daun (Siagian, 2004).
Sistematika E. urophylla dalam dunia tumbuhan sebagai berikut : Divisio : Spermathophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledon Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae Genus : Eucalyptus
Spesies : Eucalyptus urophylla
E. urophylla pada umumnya terdapat pada zona iklim basah sampai kering yaitu tipe iklim C, D, dan E pada klasifikasi Schmidt dan Fergusson. E. urophylla
mampu tumbuh pada tanah yang kurang subur, berbatu dan tanah rawa. Untuk pertumbuhannya, E. urophylla menghendaki cahaya sepanjang tahun (jenis intoleran), dan juga merupakan pohon yang tetap hijau sepanjang tahun (Dirjen
Kehutanan, 1980).
Daerah penyeberan alami tanaman ekaliptus berada di sebelah timur garis
digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah miskin hara
sampai pada tanah yang subur (Irwanto, 2007).
Pertumbuhan riap maupun diameter E. urophylla sangat besar. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 meter.
Diameternya bisa mencapai 100 cm atau lebih dan tidak berbanir, kulit luar biasanya coklat muda sampai coklat tua, kulit licin dan mengelupas memanjang
tidak teratur (Dirjen Kehutanan, 1980).
Tanaman ini dapat bertunas kembali setelah dipangkas dan agak tahan terhadap serangan rayap. Jenis ini termasuk cepat pertumbuhannya (fast growing
species) terutama pada waktu muda. Sistim perakarannya yang sangat muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran akarnya ke
arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping (Departemen Kehutanan, 1994).
E. urophylla mempunyai tekstur batang yang keras merata dan licin karena serat-seratnya terpadu. E. urophylla mempunyai bunga yang memanjang dan tidak memiliki tangkai bunga. Benang sari berwarna putih dan banyak. Daun E.
urophylla berbentuk bulat telur, memanjang dan lanset, pada pangkal mengecil hingga ke ujung meruncing. Pada tingkat anakan bentuk duduk daun berhadapan dan pada tingkat pohon bentuk duduk daun tersebar (Dirjen Kehutanan, 1980).
E. urophylla dikenal juga dengan nama ampupu yang merupakan salah satu jenis pohon asli yang tumbuh secara alami di wilayah bagian timur Indonesia.
kayu kuat dan awet yang dapat digunakan untuk bahan penopang beban berat
seperti bantalan kereta api serta bahan bangunan lainnya (Siagian, 2004).
Pengenalan Fungi
Fungi adalah organisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukariotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi secara seksual dan
aseksual. Fungi dimasukkan dalam kingdom tersendiri sebab cara mendapatkan makanannya berbeda dari organisme eukariotik lainnya, yaitu melalui absorbsi. Fungi berkembangbiak secara seksual melalui peleburan dua inti sel dengan
urutan terjadinya plasmogami, kariogami, dam miosis dan secara aseksual dengan membentuk karpus yang di dalamnya mengandung hifa-hifa fertil yang
menghasilkan spora atau konidia. Sebagian besar tubuh fungi terdiri atas benang-benang yang disebut hifa, jalinan hifa yang semacam jala disebut miselium. Menurut Gandjar dkk. (2006) hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang
fungsinya berbeda, yaitu yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi. Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat
atau tumbuh ke dalam substrat dan fungsinya untuk mengasorbsi unsur hara yang diperlukan bagi kehidupan fungi disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat dipermukaan substrat disebut hifa fertil, karena
berperan untuk reproduksi. Hifa-hifa yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat dengan
mata telanjang
Fungi dapat ditemukan pada berbagai macam substrat yamg ada, di darat, air, dan
udara. Fungi merupakan satu di antara berbagai patogen tumbuhan yang telah umum diketahui.
Menurut Hunt dan Garratt (1986) kondisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan fungi pembusuk kayu ada empat macam, yaitu: (a) sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok; (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat
kayu; (c) persediaan oksigen yang cukup; dan (d) suhu yang cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu fungi, meskipun fungi tersebut telah berada di dalam kayu.
Menurut Gandjar, dkk (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan
senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.
1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat dimanfaatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim
ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk yang lebih sederhana.
2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %.
3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat
dikelompokkan menjadi: (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0oC, dan suhu optimum berkisar 0o – 17oC), (b) fungi mesofil (suhu
4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk
pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7.
5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah pertumbuhan fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai
bahan pembasmi fungi.
Kebutuhan bahan makanan bagi fungi pembusuk kayu itu dipenuhi dari
dinding sel kayu. Dinding sel kayu terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terdapat sebagai makro-molekul yang tidak larut dalam air sehingga tidak
terdapat diasimilasi langsung oleh fungi. Enzim ekstraselular yang dikeluarkan oleh fungi menyebabkan terjadinya depolimerisasi molekul-molekul besar menjadi bahan-bahan yang mudah larut. Bahan-bahan ini akan diasimilasi dengan
mudah oleh fungi dan merupakan sumber energi yang dibutuhkan fungi untuk proses metabolisme dan pertumbuhannya (Hunt dan Garratt, 1986).
Selain kelima faktor di atas Gunawan (2004) menambahkan faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan fungi, yaitu:
1. Aerasi, dua komponen penting dalam udara yang berpengaruh pada
pertumbuhan fungi yaitu oksigen (O2) yang berfungsi untuk respirasi sel;
dan karbondioksida (CO2).
Oksigen adalah bahan yang penting untuk pertumbuhan fungi perusak
kayu, tetapi kebutuhannya sangat sedikit, dan dalam kondisi biasa jumlah oksigen di dalam dan sekitar kayu dalam pemakaian atau dalam penyimpanan sudah cukup. Bagian-bagian dalam pohon dan kayu-kayu besar yang tidak dikeringkan,
biasanya mengandung cukup udara dalam sel-sel yang memungkinkan perkembangan fungi bila kondosi-kondisi lainnya menguntungkan. Persedian
oksigen di dalam tanah makin ke bawah permukaan makin berkurang, dan pada kedalaman 150 sampai 180 cm mungkin tidak cukup untuk pembusukan terutama pada tanah yang rapat dan padat (Hunt dan Garratt, 1986).
Suhu optimum berbeda-beda untuk jenis individu, tetapi pada umumnya berkisar antara 75o dan 90o F. Penyelidikan pada 64 jenis perusak kayu bangunan
yang kebanyakan terdapat di berbagai bagian daerah Amerika Serikat, menunjukkan suhu yang paling cocok untuk dua pertiga fungi yang diselidiki berada dalam kisaran ini; optimum terendah yang tercatat adalah 68oF, dan
tertinggi 97oF (Hunt dan Garratt, 1986).
Detereorasi Kayu oleh Fungi
Kayu dalam berbagai bentuknya, dapat terkena oleh beberapa tipe kerusakan setelah kayu diambil dari hutan. Fungi perusak kayu dan bakteri,
terutama yang mengakibatkan busuknya kayu, tiap tahunnya merusak atau mengurangi secara drastis kegunaan sejumlah besar kayu dan hasil hutan lainnya.
Fungi perusak kayu dapat dibedakan atas Ascomycetes, yaitu fungi yang
menyebabkan pewarnaan pada kayu ataupun membentuk kupang. Jenis fungi ini antaranya: Diplodia, Bothryodiplodia, Ceratocyctis, Aspergillus, Pennicillium.
Kelompok ini tidak menurunkan kekuatan kayu, fungi ini biasanya disebut
sebagai Blue Stain.
Golongan Basidiomycetes sebagai fungi pelapuk atau disebut White rot
dan Brown rot. Golongan ini dapat merombak lignin dan pentosan hemiselulosa yang merupakan komponen utama dinding sel, sehingga kayu menjadi lapuk dan akan kehilangan kekuatannya (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).
Sejumlah besar fungi dapat ditemukan pada kayu yang menyebabkan kerusakan berupa pelapukan kayu. Fungi tersebut mempunyai aktivitas selulotik
yang sangat kuat. Fungi dapt hidup di pohon yang masih hidup, maupun pada kayu yang telah mati. Sebagian besar di antara fungi-fungi tersebut tergolong ke dalam Basidiomicetes, antara lain Volvariella volvaceae, Pleurotus flabelatus,
Pleurotus sajor-caju, Lentinus edodus, Agaricus sp., dan Auricularia sp. Di samping itu banyak pula Hyphomicetes yang bersifat selulotik, seperti
Thrichoderma sp., Alternaria sp., Chaetonium sp., Cladosporium sp., Fusarium
sp., Paecilomyces sp., yang tumbuh baik pada bahan kayu. Ascomycetes tumbuh pada kayu untuk mendapatkan unsur hara (Gandjar dkk, 2006).
Fungi pelapuk kayu akan menyerang kayu yang berada pada lingkungan yang lembab dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh kayu yang dipasang
beragam, seperti Chaetonium globosum, Mycelia sterilia, dan Paecilomyces virioti
(Suranto, 2002).
Proses terjadinya pembusukan pada kayu yang disebabkan oleh fungi dimulai setelah kayu kemasukkan spora yang terbawa udara, atau hubungan
dengan bahan-bahan yang telah terinfeksi, fungi akan berkembang di dalam kayu, membentuk hifa dan miselium. Dalam kondisi-kondisi yang baik, hifa dapat
berkembang juga pada permukaan kayu atau dalam retak-retak atau lubang-lubang lain, sebagai untaian teranyam rapat atau massa serupa akar seperti tikar miselium yang menyerupai topi (sering kali berbentuk kipas angin), yang biasanya putih
atau kecoklatan, dan mudah terlihat dengan mata telanjang. Pada tingkat permulaan (incipient stage) dari pembusukan, hifa dapat menyebar ke seluruh
kayu dalam segala arah, bertitik tolak dari tempat infeksinya, biasanya lewat dari sel ke sel melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel, atau melewati lubang-lubang alami
(noktah-noktah). Dalam tingkat serangan ini, biasanya tidak ada perubahan kenampakan pada kayu itu, selain dari pada perubahan sedikit dari warna potongan kayu yang
terinfeksi (Hunt dan Garratt, 1986).
Tiga tipe umum busuk kayu dan organisme penyebabnya dapat dibedakan berdasar perubahan-perubahan kimiawi dan warna yang diakibatkannya. Fungi
pembusuk putih dapat menghilangkan lignin dan hidrat arang, biasanya memucatkan kayu dan menjadikan warna kayu lebih muda dari warna normal,
meninggalkan residu kecoklat-coklatan yang kaya lignin, jika kayu tersebut
diremas mudah menjadi tepung (Hunt dan Garratt, 1986).
Tipe ketiga dari pembusuk kayu yang disebut pembusuk lunak, menyebabkan permukaan kayu menjadi lunak. Ini dapat dihilangkan dengan
mudah sehingga menampakkan bagian kayu sehat di bawahnya. Tipe ini umumnya ditemui dalam kayu yang sangat basah, terutama pada menara
pendingin air, bagian-bagian bawah dari tonggak-tonggak dan tiang-tiang, dan pada kayu di laut. Pembusuk lunak juga muncul pada kayu yang tidak dicat dan terbuka terhadap cuaca. Permukaan kayu yang retak kahas dan lunak dan tidak
terlindung untuk waktu yang lama, yang umumnya dikenal sebagai pelapukan, selalu mengandung fungi pembusuk lunak.
Fungi pada Tanaman Ekaliptus
Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan
tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh satu jenis patogen akan tetapi dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang
datang atau muncul secara bersama ataupun berurutan. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan (Semangun, 1996).
Rahayu (1999) mengungkapkan bahwa penyakit-penyakit pada tanaman ekaliptus yang disebabkan oleh serangan fungi adalah penyakit bercak daun (leaf
dataran rendah yang kurang dari 100 m dpl, penyakit ini akan berkembang sangat
cepat dan dapat menimbulkan kerugian besar.
Penyakit tumor batang (cancer) pada tanaman ekaliptus yang memiliki diameter relatif kecil sangat merugikan dan dapat menyebabkan kematian
tanaman. Pada beberapa jenis ekaliptus penyakit ini disebabkan oleh fungi Nectria
sp. dan Cytospora sp. Gejala kanker biasanya berasosiasi dengan kerusakan oleh
serangga berupa lubang-lubang gerek terutama oleh serangga dari famili
Buprestidae (Coleoptera). Selain itu, penyakit kanker umumnya juga berasosiasi dengan kerusakan tajuk dan beberapa faktor lingkungan yang sangat kompleks.
Misalnya kelembaban yang tinggi, jarak tanam, tingkat kesuburan tanah yang rendah, dan ketidakcocokan tempat tumbuh (Rahayu, 1999).
Penyakit akar pada tanaman ekaliptus ditunjukkan oleh tajuk yang menguning, layu dan rontok secara serentak, diikuti dengan kematian pohon. Leher akar dan akar menjadi busuk, lunak serta tampak tanda berupa rhizomorf
fungi patogen berwarna putih yang kadang kecoklatan (Widyastuti dkk, 2001). Menurut Rahayu (1999) penyakit akar pada tanaman ekaliptus terbagi
menjadi dua, yaitu penyakit akar putih dan penyakit akar merah. Penyakit akar putih biasanya menyerang tanaman E. Urophylla dan infeksinya biasanya mulai tahun ke-2 sesudah penanaman. Sesudah tahun ke-5 dan ke-6 infeksi umumnya
mulai berkurang. Fungi penyebab penyakit akar putih pada tanaman E. Urophylla
adalah Rigidoporus microporus. Fungi ini memebentuk badan buah berbentuk
Irwanto (2007) melaporkan fungi Corticium salmonicolor juga
menyebabkan penyakit akar putih pada beberapa jenis ekaliptus. Bagian yang diserang biasanya biasanya bagian bawah dari cabang dan ranting. Bagian tersebut lama-kelamaan menjadi merah jingga. Kulit pohon di bawah benang menjadi
belah dan busuk. Serangan ini dapat diatasi dengan memperbanyak masuknya udara dan sinar matahari. Serangan yang masih baru diberi fungisida kemudian
dikupas dan dibakar.
Berdasarkan penelitian Widyastuti dkk (2001) yang mengujikan respons tanaman akasia dan ekaliptus terhadap fungi akar Ganoderma menunjukkan
bahwa kedua jenis tanaman ini dapat terserang oleh fungi akar Ganoderma. Pada tanaman ekaliptus serangan fungi Ganoderma meiliki permukaan serang yang
luas dengan proses infeksi fungi yang berlangsung cepat dibandingkan dengan jenis akasia.
Ganoderma pseudoferreum merupak salah satu penyebab penyakit akar merah. Serangan fungi ini menyebabkan pohon menjadi layu dan jika serangannya berlanjut akan menyebabkan tanaman mati. Cara mengatasi penyakit ini adalah
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan April 2008.
Sampel penelitian berasal dari batang kayu E. urophylla diambil dari lokasi TPK PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Desa Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten
Tobasa, Sumatera Utara. Isolasi dan identifikasi fungi dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman, Departeman Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang pohon
Eucalyptus urophylla yang ditumpuk di areal TPK PT. Toba Pulp Lestari. Potato
Dextrose Agar sebagai media pertumbuhan fungi, alkohol 70 % dan chlorox 1 % sebagai bahan sterilisasi permukaan sampel, air steril sebagai pelarut
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri yang
digunakan untuk pembiakan fungi pada media PDA, Laminar Flow, gelas ukur, labu Erlenmeyer, gelas benda, gelas penutup, lampu bunsen, autoklaf, inkubator, kompor, mikroskop cahaya, tabung reaksi, mikrometer, kaca objek, kaca penutup,
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Mengamati secara langsung kayu glondongan yang terserang oleh fungi yang dapat dilihat secara visual melekat pada bagian-bagian kayu tersebut.
2. Mengambil sampel kayu dengan panjang 20-25 cm dengan diameter 15-30 cm dari areal TPK perusahaan PT. Toba Pulp Lestari di Desa Sosor
Ladang Kec. Porsea Kab. Tobasa.
3. Fungi yang berasal dari kayu diidentifikasi untuk mengetahui jenisnya.
Kriteria Pengambilan Sampel
Kriteria pengambilan sampel fungi dilakukan berdasarkan tingkat serangan
pada tumpukan kayu glondongan, yaitu serangan pada tingkat ringan serangan
yang terdapat pada tumpukan kayu paling atas, tingkat serangan sedang yaitu pada
tumpukan kayu di bagian tengah, dan tingkat serangan parah yang terdapat pada
tumpukan kayu yang paling bawah.
Serangan pada tingkat awal ditunjukkan dengan tingkat kerusakan yang
belum begitu terlihat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah dan ukuran fungi yang
tumbuh pada kayu, selain itu pembusukan pada kayu belum terjadi dan pada
bagian gubal kayu masih bersih dari pertumbuhan fungi. Pada serangan sedang
jumlah dan ukuran fungi yang tumbuh mulai meluas menuju ke arah kayu gubal.
Pada tingkat ini kayu mulai lembab dan hampir membusuk. Pada tahap serangan
tingkat yang parah fungi mulai banyak jumlahnya dan ukuran permukaan hifa
oleh fungi dan hampir mengarah ke bagian teras kayu. Pembusukkan pada tingkat
serangan ini telah terjadi sehingga kayu menjadi lembab dan lapuk.
Dalam penelitian ini, sampel dari tumpukan kayu di TPK dilakukan cara
membagi tumpukan menjadi 3 tempat pengambilan berdasarkan tingkat tumpukan yaitu tumpukan bawah, tumpukan tengah dan tumpukan bawah, seperti yang
terlihat pada Gambar 2. Pengambilan sampel diupayakan sampel kayu yang mengalami serangan fungi yang tampak melekat pada sampel kayu yang akan diambil.
Gambar 2. Tingkat tumpukan kayu pengambilan sampel (a) Tumpukan atas, (b) Tingkat tengah, dan (c) Tumpukan bawah
Sampel kayu dari setiap tingkat tumpukan dipotong dengan menggunakan
chaisaw dengan ukuran panjang 20 – 25 cm dan dengan diameter 15 – 30 cm sebanyak 3 sampel yang pengambilannya secara acak. Pada tumpukan kayu bagian bawah diambil sampel kayu yang terdapat serangan fungi untuk diisolasi
seperti terlihat pada Gambar 3. Pada bagian ini kayu langsung berhubungan dengan tanah. Walaupun sebenarnya terdapat bantalan yang memisahkan antara
a
b
kayu dengan tanah, namun bantalan tersebut terbuat dari kayu yang usianya sudah
sangat lama.
Gambar 3. Sampel kayu dari tumpukan kayu paling bawah
Kayu-kayu pada tumpukan pertengahan kayu tampak lebih tinggi dari permukaan tanah. Pada bagian ini kayu tampak terserang oleh fungi namun tidak
begitu tampak kerusakan akibat serangan fungi. Kayu pada bagian tengah diambil sampelnya seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Pada tumpukan kayu bagian atas, dapat dilihat bahwa pada bagian ini kayu
tidak langsung berhubungan dengan tanah, tetapi langsung berhubungan dengan udara dari lingkungan sekitar TPK dan air hujan. Pada bagian ini diambil potongan kayu yang terserang fungi untuk diidentifikasi jenis fungi yang ada pada
kayu bagian ini, seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Sampel kayu dari tumpukan atas
Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan Potato Dextrose Agar (PDA)
Kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong dengan ukuran ± 1 x 1 x
1 cm sebanyak 200 gram direbus dalam 500 ml air suling sampai cukup empuk.
Hal ini dapat diketahui dengan menusuk kentang dengan garpu jika ditusuk terasa
mudah berarti kentang telah mengeluarkan sarinya. Kemudian 15 gram agar-agar
dimasak dengan menggunakan air steril sebanyak 500 ml sampai agar-agar larut,
selanjutnya dekstrosa (dapat diganti dengan gula pasir) sebanyak 15 gram
larutan agar-agar. Larutan ini kemudian disaring dengan kain katun yang tipis.
Larutan ditambahkan air steril sampai volumenya menjadi 1000 ml.
Setelah dididihkan, larutan PDA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
kemudian ditutup dengan kapas steril dan ditutup lagi dengan menggunakan
alumunium foil. Kemudian disterilkan di dalam autoclave selama lebih kurang 15
menit dengan suhu 121-124 oC pada tekanan 1,25 atm. Setelah itu, PDA
dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin (10-20 oC), kemudian dituangkan ke
dalam cawan petri.
Isolasi Fungi
Bagian batang kayu yang terinfeksi diambil, kemudian dibersihkan dengan menggunakan air steril, dipotong persegi 0,5 x 0,5 x 0,2 cm lalu disterilkan dengan chlorox 1 % selama 15 – 30 detik lalu potongan tersebut diambil dengan
menggunakan pinset dan dicuci dengan air dan dikeringkan di atas kertas tissue steril. Selanjutnya bagian tersebut ditanam dalam media PDA, dimana tiap cawan
petri ditanam secara tiga ulangan dan dibiarkan sampai miselium fungi tumbuh pada media biakan tersebut. Lalu diisolasi kembali sampai didapat biakan murni dari tiap warna biakan untuk memperoleh biakan murni fungi yang telah dibiakan.
Hal ini dilakukan berkali-kali sampai diperoleh biakan yang benar-benar murni.
Identifikasi Fungi
kemudian diamati di bawah mikroskop untuk diidentifikasi dengan menggunakan
buku acuan identifikasi fungi pada kayu.
Pengamatan mikroskopis meliputi miselium, konidia atau spora, bentuk konidia, ukuran konidia, warna konidia, septa konidia, konidiofor dan stigma.
Pengamatan makroskopis meliputi warna koloni, bentuk koloni, dan diameter koloni.
Fungi yang telah teridentifikasi kemudian dikelompokkan berdasarkan peranannya masing-masing, yaitu fungi pembusuk kayu (wood decay), fungi pewarna kayu (stain), fungi pengotor (mold), fungi yang aman dikonsumsi, fungi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil Isolasi dan Identifikasi
Hasil isolasi menunjukkan bahwa terdapat 8 jenis fungi yang terdapat pada tumpukan kayu di areal TPK PT. Toba Pulp Lestari, Kabupaten Tobasa. Dari
masing-masing tempat pengambilan sampel ini terdapat jenis fungi yang berbeda pada setiap ulangan pengambilan sampel. Adapun jumlah dan jenis fungi yang diperoleh pada tiap tempat pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Tabel 2. Jenis-jenis fungi yang diperoleh dari tumpukan kayu Eucalyptus urophylla di TPK
No. Bagian Tumpukan Kayu
Tabel 3. Jumlah jenis fungi yang diperoleh dari tumpukan kayu Eucalyptus urophylla di TPK
No. Bagian
Tumpukan Kayu
Pengambilan
Sampel
Jumlah Jenis Fungi yang
Diperoleh
Total
Bagian 1 Bagian
2
Bagian 3
1. Tumpukan Bawah 1 2 2 5
2. Tumpukan Tengah 3 2 1 6
3. Tumpukan Atas 2 1 1 4
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada tiap tingkat tumpukan kayu
terdapat perbedaan jumlah jenis fungi yang menyerang kayu. Tumpukan kayu pertengahan memiliki jumlah jenis fungi yang lebih banyak dibanding tumpukan
kayu atas dan tumpukan kayu bawah, yaitu 6 jenis fungi yang terdiri atas
Acremonium sp., Aspergillus sp., Mucor sp., Rhizopus sp., Trichoderma sp.3, dan
Deskripsi Fungi
1. Trichoderma sp. 1
Ciri-ciri koloni pada media PDA dalam suhu ruang: di awal pertumbuhannya (umur 1 hari) koloni tipis. Pada koloni berumur 2 hari koloni
berdiameter 6 cm (3 cm/hari). Pada umur 3 hari pada koloni terbentuk lingkaran berwarna hijau kecoklatan dan diikuti dengan warna putih tipis hingga ke bagian
pinggir. Pada umur 4 hari koloni telah memenuhi ukuran cawan Petri dengan warna putih dikelilingi warna coklat kehijauan pada bagian pinggirnya. Bentuk koloni Trichoderma sp.1 disajikan pada Gambar 7A. Ciri-ciri mikroskopisnya
dapat terlihat pada Gambar 7B. Hifa Trichoderma sp.1 berwarna hijau transparan
dengan diameter 3,16 µm - 3,75 µm. Fialid berbentuk botol panjang (lageniform)
berukuran 5 µm – 6,25 µm; hijau transparan; konidia memiliki diameter 2 µm -
3,5 µm.
Gambar 7.Trichoderma sp.1 koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk makroskopis (B); Konidia (a), Fialid (b), dan Konidiofor (c)
A
B
a b
2. Trichoderma sp.2
Ciri-ciri koloni pada media PDA dalam suhu ruang: koloni dengan cepat tumbuh, pada awalnya berwarna putih dan berbulu kemudian berkembang menjadi hijau kekuningan terutama pada bagian yang menunjukkan adanya
konidia. Pada umur 1 hari diameter koloni mencapai 2 cm dan pada umur 4 hari diameter koloni mencapai 9 cm (2,25 cm/hari) dan koloni telah memenuhi ukuran
cawan Petri seperti terlihat pada Gambar 8A. Bentuk mikroskopis Trichoderma
sp.2 dapat dilihat pada Gambar 8B dengan ciri-ciri yaitu konidiofor bercabang
menyerupai piramida. Hifa berwarna hijau kekuningan dengan diameter 5 µm –
7,5 µm. Fialid berbentuk botol dengan panjang 11,25 µm – 15 µm dengan warna
hijau kekuningan. Konidia berwarna hijau dan berkumpul di ujung fialid dengan
diameter 2,5 µm – 3,75 µm.
Gambar 8.Trichoderma sp.2 koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B); fialid (a) dan konidiofor (b)
A B
3. Trichoderma sp.3
Ciri-ciri koloni pada media PDA dalam suhu ruang: pertumbuhan pada umur 1 hari koloni tipis. Pada umur 2 hari koloni berdiameter 6 cm (3 cm/hari) dan koloni berwarna putih. Pada umur 5 hari pada koloni terbentuk lingkaran yang
disekelilingnya terbentuk warna hijau kecoklatan hingga ke bagian pinggir. Pada umur 4 hari koloni telah memnuhi ukuran petri dengan warna putih dikelilingi
warna hijau kecoklatan pada bagian pinggirnya (Gambar 9A). Bentuk mikroskopis Trichoderma sp.3 dapat dilihat pada Gambar 9B. Hifa berwarna hijau
transparan dengan diameter 3,6 µm – 4,28 µm. Fialid berbentuk botol panjang
(lageniform) dengan panjang fialid 6,3 µm – 7,26 µm dengan warna hijau
transparan dan memiliki konidia diameter 2,46 µm - 3,65 µm.
Gambar 9.Trichoderma sp. 3 koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopis (B); konidia (a), fialid (b) dan konidiofor (c)
A B
a
b
4. Mucor sp.
Koloni pada media PDA dalam suhu ruang: dicirikan pada mulanya koloni berwarna putih kemudian menjadi coklat keabu-abuan dengan diameter koloni pada hari pertama 2 cm dan pada hari keempat diameter koloni mencapai 7,8 cm
(1,95 cm/hari) dan pada umur 10 hari koloni berwarna putih keabu-abuan serta koloni telah memuhi cawan Petri seperti yang terlihat pada Gambar 10A. Ciri-ciri
mikroskopis Mucor sp. dapat dilihat pada Gambar 10B : sporangiofornya bercabang dan cabang yang pendek kadang-kadang membengkok. Konidiofor berwarna hijau muda hingga kecoklatan, dapat bercabang maupun tidak
berdiameter 3,8 µm – 4,5 µm. Sporangium berwarna kuning kecoklatan dengan
diameter 6,8 µm – 7,2 µm. Konidia berbentuk semibulat hingga bulat dengan
warna merah kecoklatan hingga coklat cerah dan memiliki diameter 2,8 µm – 3,6
µm.
Gambar 10.Mucor sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk
mikroskopis (B); sporangium (a) dan sporangiofor (b)
A B
a
5. Penicillium sp.
Koloni tumbuh lambat pada media PDA, diameter koloni pada suhu ruang umur 1 hari mencapai 1 cm dan pada umur 4 hari diameter koloni 7 cm (1,75 cm/hari). Pada awalnya koloni berwarna putih kekuningan hingga berwarna hijau
kecoklatan. Kondisi ini terus berlangsung sampai koloni berumur 14 hari (Gambar 11A). Ciri-ciri mikroskopisnya dapat terlihat pada Gambar 11B. Konidiofor
bercabang tidak teratur, terdiri atas tangkai (stipe) yang pendek dengan beberapa metula yang mempunyai fialid 3-6 yang berdinding tipis. Fialid berbentuk
silindris memiliki panjang 6 µm – 10 µm. Hifa berwarna hijau muda dengan
diameter 2,5 µm – 5 µm. Konidia berbentuk elips hingga silindris berwarna hijau
muda jumlah yang berlimpah dan memiliki ukuran (2,5 – 6,25) µm x (2 – 3,75)
µm.
Gambar 11.Penicillium sp. koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan
bentuk mikroskopis (B); konidia (a), Fialid (b) dan konidiofor (c)
A B
a b
6. Rhizopus sp.
Pada media PDA dalam suhu ruang: koloni di awal pertumbuhan berwarna putih selanjutnya berubah menjadi abu-abu kecoklatan dengan bertambahnya umur koloni. Pada umur 1 hari diameter koloni 2 cm dan pada umur 4 hari
diameter koloni mencapai 8 cm (2 cm/hari) dan pada umur 5 hari koloni telah memenuhi cawan Petri dan menunjukan warna seperti yang terlihat pada Gambar
12A. Ciri-ciri mikroskopisnya dapat dilihat pada Gambar 12B, yaitu rhizoid berwarna hijau kekuningan dan bercabang banyak. Hifa berwarna hijau bening
agak kekuningan dengan diameter 7,5 µ - 12,5 µm, konidia berbentuk semibulat
hingga bulat berwarna hijau muda hingga hijau kecoklatan dengan diameter 2,5
µm – 5 µm.
Gambar 12.Rhizopus sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk
mikroskopis (B); sporangium (a) dan sporangiofor (b)
A B
a
7. Acremonium sp.
Ciri-ciri koloni pada media PDA dalam suhu ruang: di awal pertumbuhannya pada hari pertama koloni berdiameter 1 cm. Pada hari ketiga diameter koloni mencapai 3 cm (1 cm/hari). Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan koloni agak lambat. Koloni pada umur 10 hari tampak seperti kapas, dan berwarna hijau kekuningan hingga hijau muda. Bentuk koloni Acremonium
sp. dapat dilihat pada Gambar 13A. Ciri-ciri mikroskopis seperti yang terlihat
pada Gambar 13B adalah hifa berwarna hijau transparan dengan diameter 7,9 µm
– 13,1 µm. Fialid terbentuk pada hifa aerial dengan panjang 7,5 µm – 9,4 µm.
Konidia bersel satu bergerombol membentuk suatu kepala yang berlendir
berbentuk elips hingga silindris pendek dengan diameter 3 µm – 4,5 µm.
Gambar 13.Acremonium sp. koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan
bentuk mikroskopis (B); konidiofor (a), fialid (b) dan konidia (c)
A B
a
8. Aspergillus sp.
Ciri-ciri makroskopis pada media PDA dalam suhu ruang: di awal pertumbuhannya koloni berwarna putih dan menjadi hijau muda hingga hijau tua pada hari ke 14 dengan bertambahnya umur koloni, seperti yang terlihat pada
Gambar 14A. Pada umur 1 hari diameter koloni 2,6 cm dan pada umur 4 hari diameter koloni mencapai 8 cm (2,6 cm/hari). Bentuk mikroskopis Aspergillus sp.
(Gambar 14B) dengan ciri-ciri . Vesikelnya berbentuk bulat, konidiofor berwarna
hijau bening agak kekuningan dengan diameter 3,6 µm – 4,2 µm, konidia
berbentuk semibulat hingga bulat berwarna hijau muda hingga hijau kecoklatan
dengan diameter 2,4 µm – 3 µm.
Gambar 14.Aspergillus sp. koloni berumur 14 hari pad media PDA (A) dan
bentuk mikroskopis (B); konidiofor (a), fialid (b), dan vesikel (c)
B
a
b
c
Pembahasan
Hasil penelitian dari laboratorium menunjukkan bahwa tumpukan-tumpukan kayu di TPK PT. TPL memiliki keanekaragaman jenis fungi yang
cukup beragam, dimana dari hasil identifikasi ditemukan delapan jenis fungi pada sampel kayu yang diambil dari areal TPK tersebut. Kedelapan jenis fungi tersebut
adalah Trichoderma sp.1, Trichederma sp.2, Trichoderma sp.3, Mucor sp.,
Penicillium sp., Rhizopus sp., Acremonium sp., dan Aspergillus sp. Dari delapan jenis fungi yang teridentifikasi tidak semuanya terdapat pada bagian tumpukan
kayu tempat pengambilan sampel. Hal ini disababkan oleh perbedaan suhu, kelembaban dan intensitas cahaya matahari yang menyinari kayu pada tiap-tiap
tumpukan. Berdasarkan tingkatannya, tumpukan kayu yang paling bawah kemungkinan memiliki suhu yang lebih rendah dan kelembaban yang lebih tinggi dari tumpukan tengah dan tumpukan bawah. Sedangkan untuk intensitas
penyinaran matahari tumpukan atas tentu saja memiliki intensitas yang paling tinggi dibandingkan dengan tumpukan tengah dan tumpukan bawah. Menurut
Gandjar, dkk (2006) secara umum pertumbuhan fungi dipengaruhi oleh substrat yang merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi , kelembaban dimana fungi dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %., suhu, derajat keasaman
substrat (pH) yang umumnya fungi dapat hidup pada pH di bawah 7, dan senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.
adalah Trichoderma sp.1, Trichoderma sp.2, Aspergillus sp., Mucor sp., dan
Penicillium sp. Fungi-fungi yang berada dalam tanah dapat menginfeksi tumpukan kayu yang ada di atasnya jika kondisi lingkungan disekitarnya mendukung fungi untuk berkembang biak pada kayu tersebut dan terdapat faktor
pendukung penyebaran spora fungi yang berasal dari tanah ke kayu yaitu melalui percikan air hujan dan serangga. Menurut Sinaga (2003) penyebaran spora fungi
dengan percikan air hujan dapat terjadi ketika tetesan air hujan jatuh ke tubuh buah fungi dan energi dari tetes hujan tersebut akan melepaskan dan memencarkan spora fungi ke bagian tubuh inang (kayu) yang baru. Sedangkan
penyebaran spora fungi dengan bantuan serangga ketika serangga memakan tumbuhan, serangga akan mendepositkan dan meninggalkan inokulum ke bagian
tumbuhan atau kayu yang terluka (karena proses makan serangga). Ketika serangga terbang dari satu tumbuhan ke tumbuhan lainnya, serangga membawa inokulum pada kakinya dan mendepositkannya pada tempat infeksi.
Fungi yang terdapat pada tumpukan kayu bagian pertengahan dimungkinkan berasal dari bantuan percikan air hujan yang tertiup angin maupun dari aliran air hujan yang berasal dari tumpukan bagian atas. Menurut Agrios (1996) butiran-butiran air hujan yang jatuh dari atas akan mengambil dan membawa spora fungi yang terdapat di udara dan mencucinya ke bawah yang beberapa di antaranya mungkin akan mendarat pada bagian tumbuhan yang rentan. Fungi di bagian tengah ini juga dimungkinkan dapat berasal dari tumpukkan kayu yang ada di bawahnya (tumpukan kayu paling bawah), karena letak dari tumpukan kayu ini tidak langsung berhubungan dengan tanah. Fungi yang teridentifikasi pada tumpukan pertengahan adalah sebanyak 6 jenis, yaitu:
Penicillium sp. Selain dari penyebaran oleh angin, menurut Hunt dan Garrat (1986) serangan fungi perusak kayu dapat terjadi pada kayu yang berbentuk kayu gelondongan atau kayu bulat sewaktu masih di dalam hutan, selama pengangkutan, atau dalam penyimpanan sebelum diolah; hingga kayu diolah menjadi berbagai produk olahan untuk kebutuhan manusia. Sekali pembusukan telah mulai pada sepotong kayu, kecepatan serta luasnya perusakan selanjutnya tergantung pada tersedianya kondisi yang cocok bagi pertumbuhan fungi pembusukannya itu.
Pada tumpukan kayu yang paling atas dapat ditemukan 4 jenis fungi, yaitu
Trichoderma sp. 2, Trichoderma sp. 3, Penicillium sp., dan Rhizopus sp. Asal dari fungi ini dapat dimungkinkan dari tumpukan kayu yang ada di bawahnya atau dapat juga berasal dari hifa yang terbawah oleh angin atau udara (air-borne).
Menurut Agrios (1996) sebagian besar spora fungi disebarkan oleh aliran udara yang sabagai partikel inert (tidak memiliki tenaga) hingga mencapai jarak tertentu. Aliran udara akan melepaskan spora dari sporofor atau dapat juga terjadi ketika
spora akan dikeluarkan secara paksa atau jatuh pada saat matang, dan tergantung pada turbulensi dan kecepatan aliran udara yang dapat menyebabkan spora
terbawa ke atas secara horizontal dan akan menempel pada inang yang baru dan dapat tumbuh dan berkembang jika kondisi inang tersebut mendukung.
Dari hasil identifikasi menunjukan bahwa pada tumpukan kayu bagian
tengah memiliki jenis fungi yang lebih banyak dibandingkan dengan tumpukan kayu atas dan tumpukan kayu bawah. Hal ini dapat disebabkan karena letak dari
jumlah jenis fungi lebih sedikit dapat disebabkan oleh intensitas penyinaran
matahari yang lebih banyak sehingga menyebabkan suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumpukan tengah dan tumpukan bawah. Menurut Gandjar, dkk (2006) kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat
dikelompokkan menjadi: (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah 0oC, dan suhu optimum berkisar 0o – 17oC), (b) fungi mesofil (suhu minimum di atas 0oC
dan suhu optimum 15o - 40oC), dan (c) fungi termofil (suhu minimum di atas 20oC dan optimum berkisar 35oC atau lebih).
Jenis-jenis fungi yang teridentifikasi adalah saprofit yang artinya jenis
fungi ini berperan sebagai pelapuk atau pembusuk kayu akibat dari penyerapan nutrisi dari inangnya yaitu kayu, sehingga kayu menjadi lapuk dan mudah patah.
Fungi yang bersifat patogen dapat masuk ke dalam bagian tumbuhan dan kayu melalui luka, lubang alami, dan langsung menembus permukaan tumbuhan dan kayu yang masih utuh (intact). Semangun (1996) menyatakan bagian-bagian
tumbuhan (kecuali bulu-bulu akar dan bagian bunga tertentu) tertutup olah lapisan pelindung baik berupa sel hidup maupun sel mati seperti periderm dan kulit gabus
pada bagian yang berkayu. Jika suatu patogen tidak dapat menembus lapisan tersebut dan tidak dapat masuk melalui mulut kulit atau hidatoda, maka patogen hanya masuk melalui luka-luka. Luka dapat terjadi karena penyebab anorganik
(angin keras, petir, dan sinar matahari yang terlalu keras) serta penyebab organik (manusia dan hewan).
penyimpanan. Fungi Aspergillus sp dan Penicillium sp dapat menyebabkan
penyakit pada benih, sedangkan jenis Acremonium sp. habitat hidupnya dapat ditemukan pada tanah, serasah daun, dan kayu yang mati dapat menyebabkan pembusukan pada kayu dan dapat menyebabkan pambusukan pada buah-buahan.
Sebagian besar jenis fungi yang menyerang buah dan benih dilapangan memiliki spora yang membutuhkan kelembaban tinggi untuk berkecambah, demikian juga
untuk pertumbuhannya. Peran fungi di bidang kehutanan adalah sebagai perusak kayu dan hasil olahannya (kayu gergajian, plywood, bahan bangunan, dan lain sebagainya). Manion (1981) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis fungi
yang menyebabkan pembusukan pada kayu yang dibedakan berdasarkan kemampuan enzim yang bearsal dari masing-masing fungi tersebut untuk
mendekomposisi bahan-bahan yang ada di dalam kayu. Semua jenis fungi pembusuk kayu memproduksi enzim selulase untuk mendegradasi selulosa yang merupakan salah satu komponen utama dari kayu. Beberapa jenis fungi yang yang
mendegradasi komponen-komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin disebut golongan white rot. Fungi yang hanya mendegradasi selulosa
disebut fungi golongan brown rot. Fungi yang mendekomposisi selulosa di kantung-kantung pada dinding sel lapisan kedua dan hanya terjadi pada kayu yang telah terpenuhi oleh air disebut golongan soft rot.
Sampel kayu yang menjadi bahan penelitian diambil dari TPK pada bulan Februari 2008. Menurut data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
penyimpanan. Fungi Aspergillus sp dan Penicillium sp dapat menyebabkan
penyakit pada benih, sedangkan jenis Acremonium sp. habitat hidupnya dapat ditemukan pada tanah, serasah daun, dan kayu yang mati dapat menyebabkan pembusukan pada kayu dan dapat menyebabkan pambusukan pada buah-buahan.
Sebagian besar jenis fungi yang menyerang buah dan benih dilapangan memiliki spora yang membutuhkan kelembaban tinggi untuk berkecambah, demikian juga
untuk pertumbuhannya. Peran fungi di bidang kehutanan adalah sebagai perusak kayu dan hasil olahannya (kayu gergajian, plywood, bahan bangunan, dan lain sebagainya). Manion (1981) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa jenis fungi
yang menyebabkan pembusukan pada kayu yang dibedakan berdasarkan kemampuan enzim yang bearsal dari masing-masing fungi tersebut untuk
mendekomposisi bahan-bahan yang ada di dalam kayu. Semua jenis fungi pembusuk kayu memproduksi enzim selulase untuk mendegradasi selulosa yang merupakan salah satu komponen utama dari kayu. Beberapa jenis fungi yang yang
mendegradasi komponen-komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin disebut golongan white rot. Fungi yang hanya mendegradasi selulosa
disebut fungi golongan brown rot. Fungi yang mendekomposisi selulosa di kantung-kantung pada dinding sel lapisan kedua dan hanya terjadi pada kayu yang telah terpenuhi oleh air disebut golongan soft rot.
Sampel kayu yang menjadi bahan penelitian diambil dari TPK pada bulan Februari 2008. Menurut data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
di TPK karena fungi cocok tumbuh pada daerah yang memiliki suhu yang dingin
seperti di daerah Kabupaten Tobasa, termasuk jenis-jenis fungi yang teridentifikasi pada penelitian ini. Menurut Gandjar, dkk (1999) jenis fungi
Trichoderma sp. dapat hidup pada suhu optimum 15o – 30o (35 oC) dan maksimum pada 30o – 36oC; Acremonium sp. tidak dapat hidup pada suhu di atas 37oC; Aspergillus sp. dapat hidup pada suhu maksimum 55oC; Mucor sp dapat
tumbuh pada suhu 5o – 30oC optimum pada 20o-25oC, serta maksimum 38oC;
Penicillium sp. dapat tumbuh cepat pada suhu 30oC di daerah tropis; dan Rhizopus
sp dapat tumbuh pada suhu minimum 5o-7oC, optimum pada 25o-35oC, dan
maksimum pada 35o-37oC.
kayu yang tidak terpakai untuk industri, dll) serta sampah-sampah organik lainnya (daun, tanaman-tanaman kecil). Sisa-sisa pembuangan tersebut kemudian ditutupi dengan tanah sebelum dijadikan sebagai TPK.
Komponen utama dari kayu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pulp adalah selulosa. Dimana pulp merupakan hasil pengolahan kayu-kayu yang berasal dari HTI terutama PT. TPL yang dijadikan sebagai objek
penelitian ini. Menurut Achmadi (1988) selulosa merupakan polisakarida yang paling banyak jumlahnya pada kayu dan memiliki bobot molekul yang tinggi,
struktur teratur, berupa polimer linear dengan unit ulangan β-D-glukopiranosa.
Namun keberadaan fungi merupakan tantangan dalam pengolahan kayu yang akan dijadikan bahan dasar pembuatan pulp. Beberapa jenis fungi dapat menguraikan
selulosa sebagai bahan makanannya. Menurut Gandjar, dkk (2006) fungi dapat menempel dan masuk ke dalam kayu untuk menguraikan bahan-bahan kayu
terutama selulosa dengan bantuan enzim selulase yang merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen penting (endoglikanase, eksoglukanase,
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa:
1. Terdapat delapan jenis fungi pada tumpukan kayu di areal TPK PT. Toba Pulp
Lestari Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara, yaitu Trichoderma sp. 1,
Trichoderma sp. 2, Trichoderma sp. 3, Penicillium sp., Rhizopus sp.,
Acremonium sp., Aspergillus sp., dan Mucor sp.
2. Pertumbuhan dan penyebaran fungi pada tumpukan kayu E. Urophylla di TPK
PT. TPL disebabkan oleh kondisi fisik TPK yang terdiri dari bahan-bahan
organik yang membusuk dan kondisi lingkungan yang lembab dan becek.
Saran
Perlu dilakukannya pengujian terhadap fungi-fungi yang didapat pada
penelitian ini kepada kayu E. urophylla yang belum terserang penyakit untuk
mengetahui apakah benar fungi-fungi yang telah didapat merupakan fungi yang
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, L.A. 2003.Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia Publishing. Malang
Agrios, G.N., 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi ke-3.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Deacon, J.W. 1984. Introduction to Modern Mycology. Second Edition. Blackwell Scientific Publication. Oxford London Edinburgh. Boston Palto Alto Melbourne.
Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-jenis Kayu Komersial. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan Republik Indonesia. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Dan Perkebunan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Hutan Tanaman. Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta.
Gandjar, I., dkk. 1999.Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Gandjar, I., W. Sjamsuridjal, dan A. Detrasi. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Gunawan, A. W. 2004. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya. Jakarta
Hunt, G.M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.
Irwanto. 2007. Budidaya Tanaman Kehutanan. Februari 2008]
Iskandar, U, Ngadiono dan Nugraha, A. 2003. Hutan Tanaman Industri Di Persimpangan Jalan. Arivco Press. Jakarta