FUNGI YANG BERPERAN DALAM PROSES BIODELIGNIFIKASI PADA JARINGAN KAYU MATI TANAMAN Eucalyptus sp. DI HUTAN
TANAMAN INDUSTRI PT. TOBA PULP LESTARISEKTOR AEK NAULI.
SKRIPSI
OLEH
TRI YANTO/071202018 BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
Lembar Pengesahan
Judul Penelitian :Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli.
Nama : Tri Yanto
NIM : 071202018
Program Studi : Budidaya Hutan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si NIP. 196412282000121002 NIP.197910172003121002
Ketua Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu kehutanan Fakultas Pertanian-USU
Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test. There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Suka Mulia pada tanggal 9 Nopember 1989 dari
ayah Sukroji dan ibu Kamsyah. Penulis merupakan putra ke 12 dari 12
bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Swasta Patra Nusa, Rantau dan pada
tahun 2007 penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi
Budidaya Hutan Deoartemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan
Kenaziran Mushollah (BKM) Baytul Asyjaar. Pada tahun 2010 dipilih sebagai
asisten Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani
Unit III Jawa Barat dan Banten, BKPH Pameungpeuk KPH Garut. Dilaksanakan
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala
atas berkah rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik. Penelitian ini berjudul “Identifikasi Fungi yang Berperan dalam
Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus spp. Di
hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli”. Penelitian ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program
Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada orang tua,
kepada Bapak Dr. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Bapak Luthfi Hakim,
S.Hut., M.Si selaku komisi pembimbang yang telah banyak mengarahkan dan
memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Juga
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
Penulis berharap semoga semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar
penelitian-penelitian selanjutnya dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang
membutuhkan. Serta dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan dunia
pendidikan.
Medan, Juli 2011
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian... 4
TINJAUAN PUSTAKA Eucalyptus sp ... 5
Syarat Tumbuh ... 6
Penyebaran ... 6
Deskripsi Fungi ... 6
Fungi Sebagai Jasad Renik ... 7
Ciri-ciri Fungi ... 8
Struktur Tubuh Fungi ... 8
Morfologi Fungi ... 9
Habitat Fungi ... 9
Hifa ... 10
Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Fungi... 11
Pelapukan Kayu... 12
Fungi Pelapuk Kayu ... 14
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Coklat ... 15
Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Putih ... 16
Agaricales ... 18
Auriculariales ... 19
Aphylloporales ... 19
Tremellales ... 20
Dacrymycetales ... 20
Alat dan Bahan ... 21
Prosedur Penelitian ... 21
Pengambilan Sampel ... 21
Isolasi Fungi... 22
Uji Bavendamm ... 23
Identifikasi Fungi ... 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 24
Proses Pelapukan ... 24
Uji Bavendamm... 27
Identifikasi Fungi Pelapuk putih ... 29
phanerochaete sp ... 29
Cryptococcus sp ... 31
Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping ... 33
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 37
Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
DAFTAR TABEL
1. Karakteristik Pelapukan dan Jenis Fungi yang Didapat pada Pengamatan Di Lapangan ... 24
2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan ... 25
DAFTAR GAMBAR
1. Siklus Pelapukan dan Fotosintesis ...14
2. Lokasi Pengambilan Sampel ...22
3. Pelapukan Tipe Baru ...26
4. Pelapukan Tipe Sedang ...26
5. Pelapukan Tipe Lanjut ...27
6. Isolat Fungi pada uji bavendamm ...28
7. Struktur mikroskopis phanerochaete sp ...32
DAFTAR LAMPIRAN
1. Flowsheet Pembuatan PDA ...41
2. Gambar Tipe Pelapukan ...42
ABSTRAK
TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.
ABSTRACK
TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI HAKIM, S.Hut,M.Si
Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be identified.
The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test. There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the result shows that the species white moldier fungi that have been got are
Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.
TINJAUAN PUSTAKA
Eucalyptus sp.
Eucalyptus sp. termasuk anggota famili Myrtaceae, subgenus
Symphyomyrtus, merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh secara alami di
Indonesia. Jenis tanaman ini tumbuh di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor
Timur. Eucalyptus urophylla tumbuh pada daerah dengan ketinggian 300 – 3.000
m di atas permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 50 meter,
diameter batang dapat mencapai 2 meter, dengan tinggi bebas cabang dapat
mencapai setengah atau sepertiga dari tinggi total pohon. Daunnya relatif tipis,
memanjang dengan ujung daun yang meruncing (Darwo, 1997).
Eucalyptus sp. Merupakan tumbuhan endemik di Australia dan kepulauan
sebelah utara pulau Irian dan Philipina. Nama Eucalyptus urophylla diberi oleh
Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari bahasa Yunani yaitu auro yang berarti
ekor dan phyla yang berarti daun (Khaerudin, 1993).
Tanaman Eucalyptus merupakan family Myrtaceae, terdiri atas lebih
kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak, perdu dan pohon
mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan
sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan
banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke
atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset
hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait
Syarat tumbuh
Jenis-jenis Eucalyptus terutama menghendakim iklim bermusim (daerah
arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hutan hujan tropis. Eucalyptus
dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,
secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari
tanah-tanah kurus gersang sampai pada tanah-tanah yang baik dan subur. (Dirjen Kehutanan,
1980).
Penyebaran
Marga Eucalyptus terdiri atas 500 jenis kebanyakan endemik di Australia.
Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian Utara menuju Malesia bagian
timur. Jenis Eucalyptus banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South
Wales dan Australia bagian Barat Daya. Daerah penyebaran Eucalyptus spp.
Meliputi Australia, Tanzania, New Britania, dan Papua. Beberapa jenis juga
ditemukan di Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-timur
(Latifah, 2004). Daerah penyebaran alami tanaman Eucalyptus berada di sebelah
Timur garis Wallace mulai 70 LU sampai 43039’ LS (Irwanto, 2007).
Deskripsi Fungi
Jamur (fungi) merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai
zat hijau (chlorophyl). Untuk hidupnya mereka berperan sebagai parasit atau
saprofit yang tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri (Tambunan dan
Nandika, 1989).
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam
mengandung klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan
mengambil makanan dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat
tumbuhnya diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh
hifa, jadi jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan
makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap (Gunawan, 2000).
Mikroorganisme ini dapat dibedakan dalam empat golongan tergantung
pada sifat perkembangan didalam dan pada kayu, dan tipe kerusakan yang
ditimbulkan olehnya. Golongan-golongan tersebut adalah cendawan perusak kayu,
pewarna kayu, cendawan buluk dan bakteri penyerang kayu (Hunt dan Garrat,
1986).
Fungi sebagai jasad renik
Jasad renik merupakan salah satu faktor yang banyak menimbulkan
kerusakan pada kayu. Jasad renik tersebut terdiri dari jamur dan bakteri, dimana
bagian vegetatifnya secara individu hanya dapat dilihat dengan jelas dibawah
mikroskop karena ukurannya sangat kecil. Jasad renik adalah sejenis tumbuhan
tingkat rendah yang tidak mengandung klorofil, oleh karena itu mereka
mempertahankan hidupnya dengan energi dan bahan organik yang dihasilkan oleh
tumbuhan hijau. Dengan demikian kayu sebagai produk terbesar dari tumbuhan
hijau merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis jamur dan bakteri.
Berdasarkan medium tempat jasad renik itu berkembang dan sifatnya yang
saprofit dan parasit, jasad renik berbeda dengan tanaman hijau (Tambunan dan
Ciri-ciri fungi
Fungi merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga
bersifat heterotrof, tipe sel eukarotik. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler.
Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa yang dapat membentuk
anyaman bercabang-cabang (miselium). Fungi pada umumnya multiseluler (bersel
banyak). Ciri-ciri fungi berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan,
struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya (Gandjar et al, 1999).
Fungi benang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang
disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan
benang-benang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari filamen-filamen disebut
thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan
hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi
atau spora-spora. Apabila hifa tersebut arah pertumbuhannya keluar dari media
disebut hifa udara. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap
makanan dari substrat (Sumarsih, 2003).
Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu
hifa tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri
jamur yang termasuk Phycomycetes (Jamur tingkat rendah). Hifa ini merupakan
sel yang memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak
inti (soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari jamur tingkat tinggi, atau
yang termasuk Eumycetesi (Sumarsih, 2003).
Morfologi fungi
Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus
Kumpulan-kumpulan benang-benang hifat tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium
dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Pertama mempunyai hifa senositik
(coenocytic), yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunyai sekat
melintang, jadi hifa ini berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas
dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Kedua
mempunyai hifa seluler (celluler), hifa terdiri dari sel-sel, yang masing-masing
mempunyai sat atau dua inti (Semangun, 1996).
Habitat fungi
Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme
lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh
makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan
miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karena
jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung pada substrat yang
menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat
itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat
bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit Habitat (tempat hidup)
jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebasatau bersimbiosis, tumbuh
sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia (Sumarsih, 2003).
Hifa
Hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu
yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi.
Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh ke dalam substrat dan
disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat di
permukaan substrat yang disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi.
Hifat-hifat yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal
dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat mata telanjang (Semangun, 1996).
Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding
berbentuk pipa. Dinding ini menyelubungi membran plasma dan sitoplasma hifa.
Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Kebanyakan hifa dibatasi oleh
dinding melintang atau septa. Septa mempunyai pori besar yang cukup untuk
dilewati ribosom, mitokondria, dan kadangkala inti sel yang mengalir dari sel ke
sel. Akan tetapi, adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa senositik (Semangun,
1996).
Struktur hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali
yang tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Hifa pada jamur yang bersifat
parasit biasanya mengalami modifikasi menjadi haustoria yang merupakan organ
penyerap makanan dari substrat; haustoria dapat menembus jaringan substrat
(Semangun, 1996).
Faktor yang mempergaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungi
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungi antara lain:
1. Temperatur
Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar,
tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama
periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. Suhu
220C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 270C sampai 390C dengan
suhu minimum kurang lebih 50C.
2. Oksigen
Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang
menghasilkan CO2 dan H2O. sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum,
oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada
jamur yang dapat hidup.
3. Kelembaban
Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis
jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang
rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. hal ini terutama
berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air
kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu
dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak.
4. Konsentrasi hidrogen (pH)
Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7
(dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai
pada pH 4,5 sampai 5,5.
5. Bahan makanan (nutrisi)
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu
seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat-zat isi sel lainnya. Selulosa,
hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul
yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh
kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa kimia
dilingkungannya.
Pelapukan Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon di
alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh jamur, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka jamur dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi (Murtihapsari, 2008).
Ketika kayu dibelah menjadi potongan dan batangan-batangan kecil maka
sel hidup getah (sapwood) bersama jamur dan bakteri lainnya akan dengan cepat
mengkonversi sapwood (stored food reserve) langsung menjadi karbon dioksida
(CO2), air dan langsung mengalami pemanasan seperti pada Gambar 1. Jika proses
metabolik ini tidak sempurna, maka potongan-potongan kecil kayu tersebut akan
menjadi panas dan oleh bantuan tidak adanya pori respitator akan mempercepat
proses pembakaran dan pada akhirnya semua sel hidup kayu akan mati seketika.
Namun dalam beberapa observasi, para ilmuwan sepakat bahwa kayu basah masih
Gambar 1. Siklus pelapukan dan fotosintesis (Prasetya, 2005).
Secara umum kerusakan kayu terjadi karena pembebanan (mekanik) dan
faktor biologi (jamur, rayap, dll). Jamur merupakan salah satu mikroorganisme
yang tidak mempunyai klorofil sehingga dalam mempertahankan hidupnya akan
mengambil energy atau bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh tumbuhan hijau
baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati (Iswanto,2009).
Peristiwa pelapukan pada umumnya dipengaruhi oleh reaksi biokimia
antara komponen kimia kayu (biomassa) dengan enzim yang diproduksi oleh
mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan komponen
kimia bahan tersebut sangat dipengaruhi oleh genetik dan kondisi lingkungan.
Fungi pelapuk umumnya berfungsi sebagai pembuka jalan pelapukan lain oleh
mikroba yang lebih rendah tingkatannya seperti bakteri. Pada umumnya mikroba
yang sangat berperan dalam pendegradasian kayu adalah fungi pelapuk putih
(white rot fungi) dan fungi pelapuk coklat (brown rot fungi), dan keduanya
sebagian besar tergolong Basidiomycetes (Prasetya, 2005).
Berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian komponen kimia biomassa,
kemudian diikiuti dengan selulosa dan hemiselulosa. Kedua, sebaliknya degradasi
diawali dengan selulosa dan hemiselulosa kemudian degradasi lignin. Ketiga,
degradasi lignin dan selulosa berjalan bersamaan. Proses degradasi pada
umumnya berjalan bertahap dan pada umumnya terjadi pemotongan rantai
panjang dari polimer selulosa menjadi lebih pendek (Prasetya, 2005).
Fungi Pelapuk Kayu
Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon
di alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh fungi, insekta yang menggunakan
kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan
utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada
prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat
dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis
alam. Ketika kayu sudah mati, maka fungi dan organisme pengurai lainnya
berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan
biodekomposisi. Istilah dekomposisi dan degradasi disini digunakan lebih
menekankan pada proses konversi satu atau lebih struktur polimer dari kayu
menjadi partikel atau struktur yang lebih sederhana (Murtihapsari, 2008).
Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu fungi pelapuk putih (FPP) dan fungi palapuk coklat. Fungi pelapuk putih
dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Kayu yang
didegradasi oleh FPP akan menjadi putih/keputih-putihan, lunak, tetapi tidak
menyusut. Sedangkan fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan
pelapuk coklat akan berwarna merah kecoklatan dan hancur (Lyon, 1991). Di
alam presentase fungi pelapuk coklat lebih sedikit daripada fungi pelapuk putih.
Pelapukan oleh fungi pelapuk cokelat
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi ini menyebabkan terjadinya
degradasi polisakarida yang agak selektif dan juga lignin yang menjadi sasaran
utama. Dalam kayu yang mengalami pembusukan cokelat berat, kerangka lignin
tetap utuh. Penembusan kayu oleh hifa terjadi melalui jari-jari, kemudian
menyebar ke noktah kayu kemudian menembus dinding-dinding sel dengan cara
melubangi atau melalui mikrohifa. Hifa yang tumbuh dalam lumina sel sangat
berdekatan dengan dinding tersier (Murtihapsari, 2008).
Semua fungi pelapuk coklat termasuk dalam Basidiomycetes yang
umumnya Polyporales dan sebagian besar berasosiasi dengan konifer. Tidak
kurang terdapat 125 spesies fungi pelapuk coklat dan dikelompokkan ke dalam
empat ordo, yaitu: Aphullophorales (Corticiaceae, Coniophoraceae,
Fistulinaceae, dan Polyoraceae), Agaricales, Tremellales, dan Dacrymycetales.
Sebagian besar fungi pelapuk coklat tersebut merupakan kelompok Polyporaceae.
Sekitar 85% fungi pelapuk coklat berasosiasi dengan inang kayu Gymnospermae
(Nakasone, 1993).
Pelapukan oleh fungi pelapuk putih
Fungi pelapuk putih menyerang kayu lunak dan terutama kayu keras
dengan pilihan pada lignin. Ada beberapa enzim-enzim pendegradasi lignin
berkembang biak dan enzim-enzim untuk mendegradasi pectin, poliosa dan
noktah dan melalui dinding-dinding sel dengan membentuk lubang-lubang
pengeboran. Dalam kayu akar spruce dapat dilihat bahwa hifa Heterobasidion
annosum cenderung tumbuh dari jari-jari floem masuk ke dalam jari-jari kayu dan
dari sini kearah lateral masuk ke dalam trakeid di dekatnya (Murtihapsari, 2008).
Tahap awal dalam pelapukan kayu yang dilakukan oleh white rot
fungi akan menyebabkan perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu.
Hifa berkembang pada permukaan kayu atau bagian-bagian kayu yang retak
kemudian miselium menghisap zat makanan. Sifat fisik kayu, warna kayu dan
strukturnya akan berubah. Tahap ini disebut pelapukan tingkat lanjut (Advanced
decay) yang ditandai dengan berkurangnya kekuatan kayu sehingga mudah
hancur. Jamur pelapuk putih akan meninggalkan warna putih pada kayu
(Hardjo dkk., 1989). Heygren dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa jamur
pelapuk putih mengambil zat-zat makanan dari unsur-unsur sel kayu dengan
bantuan enzim-enzim tersebut kemudian dirombak secara kimia ke dalam
bentuk-bentuk molekul yang lebih sederhana sehingga dapat dimetabolisir.
Meskipun demikian, tidak semua strain mempunyai kedua jenis enzim
tersebut. Beberapa strain dari phanerochaete chrysosporium tidak mampu
memproduksi LiP jika ditanam pada media cair. MnP tidak hanya diproduksi oleh
P. chrysosporium, tetapi juga oleh beberapa fungi. Mekanisme dari reaksi MnP
pada dasarnya mengoksidasi ion Mn2+ menjadi Mn3+ dengan kehadiran H2O2 dan
chelator asam organic seperti asam laktat (Prasetya, 2005).
Fungi pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu:
Fungi pelapuk putih lebih banyak dijumpai pada kayu Angiospermae atau kayu
keras (Nakasone, 1993).
yang umumnya saprotrof dari sub klas Holobasidiomycetidae. Sebagian besar
berbentuk cendawan, gymnokarpik atau semiangiokarpik. Badan buah berdaging
tempat hymenium yang disimpan dalam insang-insang (lamella) yang tersusun
radial di bagian bawah pileus. Pileus dan stipa (jika ada) tidak memuat
sphaerosista (Spring, 2007).
Ordo ini dibagi menjadi beberapa familia berdasarkan warna basidiospora,
struktur trama, dan sifat lapisan kortikal di pileus. Familinya antara lain: a).
Agaricaceae basidiokarp: stipitata, khususnya dengan sebuah anulus saat dewasa;
basidiospora: khususnya coklat gelap atau tanpa warna, namun tidak berwarna
karat atau cinnamon. Generanya antara lain Agaricus dan Lepiota. b).
Amanitaceae basidiokarp: stipitata, lamela masing-masing memiliki trama
bilateral yang divergen; basidiospora: putih atau pucat. Beberapa spesies
membentuk tirai parsial dan tirai universal. Generanya antara lain Amanita
(membentuk volva), Limacella (tidak membentuk volva) dan Termitomyces. c).
Bolbitiaceae basidiokarp : stipitata; Basidiospora: ochre atau cinnamon hingga
coklat karat. Genera mencakup Agrocybe dan Conocybe. d). Coprinaceae
basidiokarp: stipitata; lapisan sel mirip pelisade di pellis; basidiospora: gelap atau
hitam, masing-masing biasanya mengandung pori pembiak. Genera mencakup
Coprinus dan Psathyrella. e). Cortinariaceae basidiokarp: stipitata, dicirikan
coklat, halus hingga kasar. Genera mencakup Cortinarius, Galerina, Inocybe. f).
Crepidotaceae basidiokarp: non stipitata, atau dengan stipe lateral kasar;
basidiospora: berwarna cinnamon. Generanya Crepidotus. g).
Hygrophoraceae (‘tudung lilin’) basidiokarp: stipitata, sering berwarna cerah,
lamella berlilin, dan basidia tegak; basidiospora: tanpa warna. Genera
mencakup Hygrocybe dan Hygrophorus (Spring, 2007).
Auriculariales
Auriculariales merupakan ordo dari
sebelumnya digolongkan pad
banyak memiliki gelatin
septate
dikelompokkan dalam enam atau lebih family, meskipun status family ini saat ini
tidak pasti. Semua spesies dalam Auriculariales diyakini saprotrphic yang tumbuh
di kayu mati. Buah dari beberapa badan
makanan pada skala komersial, khususnya di Cina (Spring, 2007).
Family dari ordo ini adalah Aporpiaceae,
Heteroscyphaceae, Oliveoniaceae , Patouillardinaceae , Tremellodendropsidaceae (Spring, 2007).
Aphlyllophorales
Fungi ini pada umumnya memiliki basidiocarps kasar berdaging karena
adanya hifa dimitic atau trimitic. Jamur ini sering disebut sebagai "conks" atau
memiliki lamella, pori-pori, teeths, dll. Spesies ini sering ditemukan sebagai
dekomposer di kayu. Salah satu spesies yang terkenal adalah Ganoderma
australis, Sarcodon atroviridis, dan Schizophyllum komune (Spring, 2007). Tremellales
Tremellales merupakan salah satu ordo fungi dari kelas
Tremmellomycetes. Berisi
berupa
lain, kelompok ragi sangat luas dan tidak terbatas pada satu
inang.
2007).
Saat ini terdiri dari 8 family, yang berisi sekitar 300 spesies yang valid.
Signifikan
dibudidayakan secara komersial, seperti pada genera ragi
2007).
Dacrymycetales
Ordo adalah satu lagi urutan fungi jeli. Fungi ini berbeda dalam morfologi
basidium, yang disebut sebagai basidium garpu tala karena bentuknya
seperti garpu tala. Basidia dan basidiospora ditanggung pada hymenium (Spring,
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan selesai.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen
Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilaksanakan di
bawah tegakan Eucalyptus spp Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada Penelitian ini adalah kantong kertas, pisau
cutter, talenan, timbangan elektrik, gelas ukur, erlenmeyer, spatula kaca, hot plate,
corong kaca, kertas saring, alumunium foil, kapas, kompor gas, autoclave, pingset,
cawan petri, alat pelindung, alat dokumentasi, dan laminar flow. Bahan yang
digunakan adalah jaringan kayu tanaman Eucalyptus spp yang telah mati, PDA,
antiboitik (kalmicetin), asam tanin, alkohol.
Prosedur Penelitian
Kondisi umum lokasi penelitian
Kawasan Aek Nauli berada di Kecamatan Girsang Simpangan Bolon,
Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Aksesibilitas ke lokasi ini
sangat tinggi karena terletak di antara kota Parapat dan Pematangsiantar melalui
jalur lintas Sumatera.
Kawasan Aek Nauli berada pada ketinggian 1200 mdpl. Secara geografis
terletak pada 430 25' BT dan 40 89' LU. Hutan ini memiliki kelerengan 2 sampai
15% dan sebagian merupakan areal datar berbukit dan sebagian merupakan
menurut klasifikasi Smith dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata berkisar
antara 2199-2452 mm/tahun, kelembaban udara rata-rata harian 84 mmHg dan
suhu rata-rata bulanan berkisar antara 23-240 C.
Pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilaksanakan di PT. Toba Pulp Lestari sektor Aek
Nauli Blok B001. Dimana lokasi tersebut merupakan petak percontohan yang
terdiri dari 25 spesies Ekaliptus berusia 5 tahun. Salah satu spesies yang ada pada
petak tersebut adalah Eucalyptus urophylla, E. Grandis, E. Hybrida, E.
Urograndis. Petak percontohan tersebut merupakan petak yang digunakan untuk
keperluan penelitian.
Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel
Luasan areal yang digunakan untuk mengambil sampel adalah 100 m x
200 m, dengan metode sensus. Kriteria sampel yang akan digunakan adalah
ranting atau batang yang sudah lapuk. Sampel yang sudah diambil dipisahkan
menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan
Isolasi Fungi
Sebelum dilakukan isolasi, media PDA dicampurkan antibiotik (kemicitin)
hal ini berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan bakteri. PDA dituangkan ke
dalam cawan petri. Diisolasi dan dibiarkan selama 1 hari. Bagian batang kayu
yang terinfeksi diambil, kemudian dibersihkan dengan menggunakan aquades,
dipotong persegi. Selanjutnya bagian batang kayu tersebut ditanam pada media
PDA didiamkan selama 3-4 hari dilihat pertumbuhan jamurnya.
Setelah fungi tumbuh kemudian dilakukan pemurnian, tujuannya untuk
mendapatkan satu jenis fungi pada satu cawan petri. Fungi yang tumbuh
kemudian diisolasi berdasarkan warna dan bentuk koloni. Diletakkan fungi pada
media PDA. Diamati perkembangannya selama 7 hari. Diukur pertumbuhannya
meliputi diameter dan warna.
Uji bavendamm
Metode untuk menentukan tipe pelapukan kayu oleh jamur dikembangkan
83 tahun yang lalu oleh Bavendamm pada tahun 1928 dan diterbitkan di jurnal
media untuk mengujinya sering disebutkan hanya dengan nama media
Bavendamm (Nishida et al, 1988).
Untuk membedakan kultur fungi, apakah termasuk fungi pelapuk putih
atau fungi pelapuk coklat. digunakan uji Bavendamm yang menggunakan agar
tanin. Dalam medium PDA ditambahkan 0.1% asam galat (Nishida et al, 1988).
aktivitas fenol oksidase, maka kultur fungi tersebut termasuk dalam kelompok
fungi pelapuk putih (Rayner & Boddy, 1988).
Identifikasi fungi
Fungi yang tumbuh pada media PDA dipindahkan dengan ukuran 3x3 mm
atau 4x4 mm ke dalam objek glass, sebanyak 2 buah. Ditutup fungi yang telah
dipindahkan tersebut dengan objek glass. Diamati dan diidentifikasi fungi yang
ada pada mikroskop yang menyangkut bentuk, warna, hyfa, miselia, konidia dan
jenis fungi. Kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi Alexopoulus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Kriteria Pelapukan
Pengamatan dilakukan pada jaringan kayu mati tanaman ekaliptus di PT.
Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli. Lokasi pengamatan dan pengambilan
sampel di blok B001, dimana blok tersebut adalah blok yang dibuat untuk
keperluan penelitian terdiri dari sekitar 25 spesies ekaliptus dengan umur tegakan
5 tahun.
Setelah dilakukan pengamatan kemudian diklasifikasikan jenis pelapukan
berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan lanjut. Pengamatan di
lapangan juga mengamati fungi yang terdapat pada kayu yang telah lapuk. Pada
Tabel 1 menyajikan jumlah kayu dari masing-masing tingkat pelapukan dan fungi
[image:33.595.114.506.458.657.2]yang terdapat pada kayu tersebut.
Tabel 1. Kriteria Pelapukan dan Fungi yang Didapat pada Pengamatan di Lapangan
Kriteria Jumlah Kayu Jenis Fungi Kode Fungi keterangan
Baru 8 1 trA fungi berwarna putih
Sedang 10 4 trB fungi berwarna coklat tua
trC fungi berwarna abu-abu
trA fungi berwarna putih
trD fungi berwarna putih
Lanjut 10 4 trA fungi berwarna putih
trE fungi berwarna hitam
trF fungi berwarna coklat muda
trG fungi berwarna putih
Pada pelapukan kelas baru, fungi yang didapat berupa benang-benang
halus dan tidak mempunyai tubuh buah. Pada pelapukan kelas baru hanya
yang berbeda dan fungi yang ditemukan memiliki bentuk dan warna yang
beragam. Sedangkan pada pelapukan kelas lanjut didapat 4 jenis fungi yang
memiliki perbedaan bentuk dan warna. Fungi yang ada pada pelapukan kelas baru
didapat juga pada pelapukan kelas sedang dan kelas lanjut yaitu fungi dengan
kode trA. Karakteristik fungi yang ditemukan dilapangan meliputi bentuk, warna,
[image:34.595.115.488.261.409.2]dan ukuran disajikan pada Table 2.
Tabel 2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan
No. Kode Karakteristik Ditemukan pada
Bentuk Warna Ukuran
1 trA benang-benang halus putih baru, sedang, lanjut
2 trB seperti kipas coklat tua 2-3 cm sedang
3 trC seperti payung abu-abu 1-2 cm sedang
4 trD tidak beraturan putih 5 cm sedang
5 trE seperti kipas hitam 10-15 cm lanjut
6 trF seperti jarum coklat muda 3-5 cm lanjut
7 trG tidak beraturan putih 10 cm lanjut
Fungi yang ditemukan berdasarkan bentuk dan, warna, dan ukuran
sebanyak tujuh dimana untuk fungi trA terdapat pada tiga tingkat pelapukan.
Untuk fungi dengan kode trD dan trG memiliki kesamaan bentuk dan warna
namun memiliki perbedaan dimana trG berbentuk seperti jelly sedangkan trD
tidak berbentuk jelly.
Kayu yang didapat pada pengamatan di lapangan memiliki ciri-ciri
terdapat bercak-bercak pada permukaan kayu, perubahan warna menjadi lebih
gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtihapsari (2008) dimana proses
pelapukan dapat disebabkan oleh hewan, serangga, fungi, alga, dan bakteri.
Pelapukan yang disebabkan oleh fungi berupa noda pada kayu, pucat warna,
Pada pelapukan kelas baru, terjadi perubahan warna kayu dimana kayu
menjadi pucat dan ditemukan hyfa jamur yang mengelilingi bagian permukaan
kayu tersebut. Struktur kayu tersebut masih sangat keras namun lebih ringan jika
dibandingkan oleh kayu yang masih segar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
a b Gambar 3 (a) dan (b) Pelapukan kayu kelas baru (pelapukan tahap awal).
Murtihapsari (2008) menyatakan kayu yang baru saja ditebang, dapat
dilihat bahwa potongan log tersebut masih segar, dan bergetah. Akibat adanya
kandungan yang terdapat pada kayu tersebut sehingga menjadi pencarian banyak
oganisme renik. Selanjutnya bahan makanan dalam material log kayu tersebut
digantikan oleh proses respirasi sel parenkim. Jika proses pengeringan lambat
(musim hujan) atau dengan kelembaban yang tinggi maka kayu log tersebut akan
ditumbuhi ratusan jamur, alga dan bakteri lainnya, selanjutnya jasad-jasad renik
tersebut tumbuh berkembang dan menjadi penetrasi (correspondence) antara
permukaan kayu dengan lapisan bagian dalam kayu log dimana tersimpan banyak
stok makanan (storage food) yang dapat menghidupi ratusan mikroba. Seiring
dengan waktu di bawah skenario fungal decomposition, kayu kemudian berubah
warna kemudian menjadi lapuk.
Pelapukan kayu kelas sedang ditandai oleh permukaan kayu yang sudah
baru. Warna kayu menjadi lebih gelap atau warna menjadi coklat tua. Hal ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
a b
Gambar 4 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas sedang
Menurut Murtihapsari (2008) pemucatan warna kayu atau perubahan
warna umumnya disebabkan oleh 2 proses yaitu: pewarnaan yang disebabkan oleh
spora fungi dan penimbunan alga pada permukaan kayu. Setelah proses
pemucatan warna kayu yang disebabkan oleh spora dan alga pada permukaan,
selanjutnya diikuti oleh jamur hifa yang menggerogoti bagian dalam dan menjadi
penetrasi hingga lapisan terdalam sapwood .Aspergilus spp. dan Penicillium spp.
adalah dua genera terbesar dalam proses perubahan warna bagian kulit kayu.
Selanjutnya penetrasi bagian dalam umumnya diperankan oleh jamur
Ceratocystis.
Pelapukan kelas lanjut ditandai dengan struktur kayu yang mudah hancur
dan membusuk hampir menyerupai tanah, namun masih dapat dibedakan dengan
tanah. Kadar air yang terdapat pada kayu tersebut sangat tinggi, karena luas
penampang pada kayu tersebut lebih luas dibandingkan pada tipe baru dan sedang
sehingga apabila terjadi hujan kayu pada pelapukan lanjut mudah menangkap dan
a b Gambar 5 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas lanjut
Menurut Johnson (1979) dalam Murtihapsari (2008) melaporkan bahwa
Bacillus polymyxa (Prazmowski) dan sederetan fungi lainnya seperti Trichoderma viride merupakan pemicu terbesar dalam proses nonaktivasi sel kayu, dan mampu
membuat pori, lubang besar dan cepat, sehingga sangat memungkinkan adanya
intrusi air ke dalam sel kayu, dan dalam beberapa lama, kayu berubah menjadi
lapuk dan akhirnya menjadi bahan organik.
Uji Bavendamm
Uji bavendamm dilakukan untuk mengetahui jenis fungi, apakah termasuk
fungi pelapuk putih atau fungi pelapuk coklat. Dalam penelitian ini media yang
digunakan adalah media agar tannin dimana media PDA ditambahkan dengan
0,1% asam tannin. Menurut Rayner & Boddy (1988) uji Bavendamm dilakukan
untuk mengetahui kemampuan Fungi Pelapuk Putih (FPP) yang diperoleh dalam
menghasilkan enzim ekstraselular oksidase. Kemampuan tersebut digunakan
untuk membedakan antara FPP dengan fungi pelapuk cokelat. Bila terbentuk
warna cokelat pada permukaan agar maka mengindikasikan adanya aktivitas fenol
oksidase yang berarti aktivitas dari FPP. Hasil uji bavendamm pada isolat fungi
Tabel 3. Hasil Uji Bavendamm 16 Isolat Fungi
kriteria pelapukan Isolat hasil persentasi Keterangan
Baru TR1A1 50
TR1A2
TR1B (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 6.
TR1C (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8.
Sedang TR2A 20
TR2B1
TR2B2 (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8
TR2C1
TR2C2
Lanjut TR3A1 15
TR3A2 (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8
TR3A3 TR3B TR3C1 TR3C2
TR3C3
Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa untuk persentase FPP yang ditemukan
pada pelapukan kelas baru adalah 50%, dimana dari 4 isolat yang dimurnikan
terdapat 2 isolat yang positif. Untuk kelas sedang fungi pelapuk putih yang
didapat adalah 20% dan pada kelas lanjut fungi pelapuk putih yang didapat adalah
15%. Dua huruf belakang pada kode isolat menunjukkan kemiripan bentuk dan
warna koloni pada media. Isolat dengan kode A1, A2, dan B terdapat pada gejala
pelapukan kelas baru dan lanjut. Sedangkan untuk isolat C1 dan C2 terdapat pada
gejala pelapukan kelas sedang dan lanjut.
Isolasi tahap awal didapat 16 kultur fungi, dan kemudian hasil biakan
murni tersebut dilakukan uji bavendamm. Berdasarkan uji bavendamm yang
dilakukan didapat 4 kultur yang memberikan hasil positif dimana terdapat
endapan coklat pada media tersebut. Isolat yang menghasilkan hasil positif adalah
media agar terdapat endapan coklat, hal ini menandakan uji bavendamm tersebut
positif.
a b c
Keterangan : a. Isolat TR1B b. Isolat TR1C c. Isolat TR3A2 d. Isolat TR2B2 e. Isolat TR2C2
d e
Gambar 6. Isolat fungi pada uji bavendamm (a), (b), (c), (d) isolat fungi yang menunjukkan hasil positif pada uji bavendamm pada isolat TR1B, TR1C, TR3A2, TR2B2, (b) isolat fungi yang menunjukkan hasil negatif pada isolat TR2C2.
Endapan coklat yang terbentuk pada media agar tersebut menandakan
bahwa fungi tersebut dapat mengoksidasi fenol, dimana fenol tersebut adalah
senyawa yang terdapat pada lignin. Menurut Prasetya (2005) fungi pelapuk putih
pada umumnya mengeluarkan enzim pendegradasi lignin seperti laccase,
peroxidase, tirisinase, dan ligninolitik lainnya. Degradasi lignin pada umumnya
dimulai dari reaksi biotransformasi untuk memodifikasi komponen komplek
lignin yang umumnya dilakukan oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi pelapuk
putih. Saat ini enzim ligninolitik dikenal tiga tipe yaitu Lignin Peroxidase (LiP),
yang mampu mengoksidasi komponen non-phenolic dari lignin, sedangkan MnP
mampu mengoksidasi komponen phenolic dari lignin.
Hasil uji bavendamm diketahui bahwa fungi pelapuk putih yang dihasilkan
terdapat pada seluruh jenis tipe pelapukan baik pada kelas baru, sedang, ataupun
lanjut. Hal ini manandakan bahwa proses pendegradasian lidnin, selulosa, dan
hemiselulosa yang terjadi pada Eucalyptus spp berjalan bersamaan. Prasetya
(2005) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian
komponen kimia biomassa, degradasi dapat dibagi kedalam tiga katagori. Salah
satunya adalah proses pendegradasian terjadi bersamaan antara lignin, selulasa,
dan hemiselulosa. Proses degradasi pada umumnya berjalan bertahap dan pada
umumnya terjadi pemotongan rantai panjang dari polimer selulosa menjadi lebih
pendek.
Identifikasi Fungi Pelapuk Putih
Identifikasi fungi dilakukan pada isolat fungi yang menunjukkan hasil
positif pada uji bavendamm. Identifikasi dilakukan berdasarkan bentuk hyfa,
spora, dan miselia. Berdasarkan kriteria tersebut yang mengacu pada Alexopoulus
(1952) didapat untuk isolat dengan kode TR1B dan TR1C adalah Phanerochaete
sp., sedangkan untuk isolat dengan kode TR2B2 dan TR3A2 adalah jenis
Cryptococcus sp.
Phanerochaete sp.
Phanerochaete sp. termasuk dalam ordo Poliporales anggota famili Poliporacea, genus Sporotrichum (Phanerochaete) Menurut Fadillah, et al
Jamur ini menghasilkan enzim ekstraseluler LiP, MnP, dan Lakase. Enzim yang
dihasilkan ini berperan dalam pelapukan kayu, pendegradasi sampah, serta lignin.
P. chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan optimum 400C, pH 4-7, dan aerob. Jamur pelapuk putih merupakan jenis yang paling aktif mendegradsi lignin
dan menyebabkan warna kayu lebih muda.
Lebih lanjut Fadillah, et al (2008) menyatakan bahwa jamur P.
chrysosporium juga menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Degradasi
selulosa mencapai 22,3% pada 30 hari inkubasi. Dalam proses biopulping,
sebenarnya yang diinginkan adalah terurainya lignin, tetapi ternyata selulosa juga
mengalami peruraian/degradasi. Hal ini disebabkab karena jamur P.
chrysosporium juga menghasilkan enzim yang dapat menguraikan selulosa seperti
enzim protease, kuinon reduktase, dan selulase. Walaupun terdapat sejumlah
selulosa yang terdegradasi tetapi jumlahnya relatif lebih kecil dibanding degradasi
lignin. Dalam batang jagung, selulosa dikelilingi oleh lignin, sehingga ligninlah
yang terlebih dahulu diuraikan olah jamur. Struktur mikroskopis jamur P.
Chrysosporium dapat dilihat dari Gambar 7.
1 1 2
2 3
3
a b
Menurut Dey (1984) P. chrysosporium lebih efisien tiga kali atau lebih
dibandingkan dengan Polyporus ostreiformis dalam mendegradasi lignin.
Percobaan Dey ini dilakukan denagn menginkubasi jerami yang direndam dalam
medium Tien dan Kirk. Dilakukan penambahan glukosa untuk tambahan nutrisi
bagi jamur. Inkubasi dilakukan selama tiga minggu pada suhu 38 0C pada
kelembaban 90 %.
Cryptococcus sp.
Berdasarkan identifikasi secara mikroskopis dari isolat TR2B2 dan TR3A2
yang meliputi bentuk spora dan hyfa didapat jenis isolat tersebut digolongkan
dalam famili Tremellacea dan dalam genus Cryptococcus sp. Secara mikroskopis
dapat dilihat pada Gambar 8.
1
2 1
2
a b
Gambar 8. (a) struktur mikroskopis pada isolat TR2B2, (b) struktur mikroskopis pada TR3A2.
Fungi pelapuk putih yang ada pada jenis ini belum banyak diteliti. Pada
jenis ini yang sudah dimanfaatkan adalah ragi yang digunakann untuk fermentasi.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi jamur tersebut
dalam mendegradasi lignin.
anamorfik. Genus ini yang paling banyak dikenal adalah ragi. Menurut Spring
(2007) dari family Tremella dua spesies yang
secara komersial, seperti pada genera ragi
beberapa spesies merupakan pathogen bagi manusia. Klasifikasi dari tremellaceae
adalah sebagai berikut:
Jenis Teleomorphic dari Tremellaceae adalah seperti parasit pada jamur
lain pada phyla Ascomycota (termasuk sebangsa lumut ) dan Basidiomycota.
Mereka secara khas jenis parasitisme yang hidup pada kayu mati dari semak
belukar hidup dan pohon. Untuk beradaptasi mereka membentuk tubuh buah
seperti agar-agar pada waktu lingkungan kering. Famili ini hidup secara
cosmopolitan, meskipun demikian mungkin dibatasi ke daerah iklim sedang atau
tropis. Ragi anamorphic secara khas tersebar luas dan tidak terbatas.
Cryptococcus sp. dimanfaatkan sebagai agen biosurfaktan, dimana
menurut Mufidah (2009) Biosurfaktan adalah bahan untuk mengatasi berbagai
pencemaran lingkungan yang disebabkan karena pencemaran senyawa
hidrokarbon, serta dapat pula digunakan untuk berbagai bidang seperti
obat-obatan, kosmetik, proses industri makanan, dan sebagainya.
Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping
Menurut Fadillah, et. al (2008) Pulp yang digunakan pada pembuatan
kertas dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pulping secara mekanik adalah yang
paling sederhana, dimana kayu dihaluskan dengan penghalus mekanik sehingga
serat-seratnya terpisah satu dengan yang lainnya. Metode pulping yang lain adalah
Thermo Mechanical Pulping (TMP), yaitu pulping dengan proses mekanik yang
Pulping (CTMP), pulping mekanik suhu tinggi yang didahului dengan perlakuan
kimia, Chemi Mechanical Pulping, (CMP), yaitu proses pulping mekanik yang
didahulu dengan perlakuan kimia, dan Chemical Pulping, pulping kimia, yaitu
pulping dengan mengunakan bahan kimia berupa proses sulfat (kraft) ataupun
sulfit.
Pulp hasil proses mekanik memberikan rendemen yang paling besar,
85-93%, tetapi masih memiliki kandungan lignin yang tinggi dan pulp yang
dihasilkan mempunyai kekuatan yang paling rendah. Pulp jenis ini digunakan
misalnya pada kertas koran dan kertas karton coklat (Fadillah, et. al, 2008).
Suatu sistem biologi dapat melepaskan serat selulose dari matriks lignin
dengan mengambil keuntungan dari kemampuan alamiah suatu organisme. Jamur
pelapuk putih, disebut demikian karena kenampakan dari kayu yang terinfeksi
jamur ini berwarna pucat. Warna ini disebabkan oleh lignin yang terurai dari
dalam kayu atau terdegradasi oleh jamur. Jamur pelapuk putih lebih cenderung
mendegradasi lignin dibanding serat kayu. Logislah jika hal ini yang dipilih
sebagai perlakuan biologis untuk pulping kayu atau disebut sebagai biopulping.
Proses degradasi lignin atau disebut delignifikasi oleh jamur ini disebut
biodelignifikasi.
Howard, et. al, (2003) menyatakan bahwa dari ribuan jamur yang
diketahui mempunyai kemampuan ligninolitik, P. chrysosporium merupakan
jamur yang paling banyak dipelajari. Keadaan ligninolitik adalah kemampuan
dimana jamur mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Pada jamur
pelapuk putih, enzim yang dikeluarkan adalah enzim peroksidase. P.
(LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Jamur ini telah dipertimbangkan dalam
produksi enzim untuk degradasi lignin dalam penerapan proses biokonversi
lignoselulosa (Johjima, 1999).
Rolz, et.al. (1986), mempelajari biodelignifikasi rumput lemon dan bagas
sitronela dengan menggunakan dua belas jenis jamur putih. Proses dilakukan
dengan tanpa penambahan mineral. Selama 5 – 6 minggu inkubasi yang dilakukan
pada suhu kamar diperoleh hasil yang berbeda-beda pada penggunaan jamur yang
berbeda dan untuk bahan yang berbeda pula. Semua jamur menunjukkan aktivitas
lignolitik, menghasilkan enzym untuk mendegradasi lignin. Dari kedua belas
jamur tersebut, Bondarzewia berkelenyi merupakan jamur yang paling efektif, P.
chrysosporium menempati urutan keempat setelah Coriolus versicolor dan Pleurotus flabellatus.
Lebih lanjut Rolz, et. al (1986) menyatakan untuk rumput lemon dengan
menggunakan P. chrysosporium diperoleh kehilangan lignin sebesar 40,90%
sedangkan untuk bagas sitronela sebesar 32,02 %. Hilangnya lignin oleh jamur
diikuti pula dengan hilangnya hemiselulosa dan selulosa. Untuk rumput lemon,
hemiselulosa yang hilang sebesar 15,76 % sedangkan untuk bagas sitronela adalah
sebesar 18,11%. Diperoleh juga bahwa jamur ini cenderung lebih banyak
menguraikan hemiselulosa dibandingkan dengan selulosa. Perbandingan
hilangnya hemiselulosa terhadap selulosa adalah sebesar 1,48 untuk rumput lemon
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kayu terdegradasi oleh fungi ditandai dengan adanya perubahan warna,
terdapat noda, pemucatan warna kayu, dan terdapat bercak pada kayu. Klasifikasi
kayu didasarkan pada karakteristik kayu seperti bentuk, warna, dan kekuatan
kayu.
Isolasi fungi didapat 16 kultur fungi, berdasarkan uji bavendamm terdapat
4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana 2 isolat didapat dari pelapukan
kelas baru, 1 isolat didapat dari pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat didapat dari
pelapukan kelas lanjut. Spesies yang didapat dalam penelitian ini adalah
Phanerochaete sp. dan Cryptococcus sp.
Saran
Diperlukan adanya uji lanjutan untuk mengetahui kekuatan fungi tersebut
dalam mendegradasi lignin sehingga dapat direkomendasikan sebagai agen untuk
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulus, C.J. 1952. Introductory Mycology. United States of Amerika.
Darwo. 1997. Evaluasi Hasil Inventarisasi Tegakan Eucalyptus urophylla di HTI PT. Indo Rayon Utama, Sumatera Utara. Konifera No.1/Thn XIII/April/1997. Buletin Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar.
Dey, S., Maiti, T.K., and Battacharyya, B.C., 1994, Production of Some Extracellulear Enzymes by a Lignin Peroxidase-Producting Brown Rot Fungus, Polyporus ostreiformis, and its Comparative Abilities for Lignin Degradation and Dye Decolorization, Applied and Environmental Microbiology, 60, 4216-4218
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Hutan Tanaman. Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.
Fadillah, et al. 2006. Biodelignifikasi Batang Jagung dengan Jamur Pelapuk Putih
Phanerochaetechrysosporium. Jurnal Teknik Kimia fakultas Teknik UNS.
Vol. 7 No. 1. Januari 2006.
Fadillah, et al. 2008. Pengaruh Penambahan Glukosa dan Ekstrak Yeast Terhadap Biodelignifikasi Ampas Batang Aren. Jurnal Teknik Kimia fakultas Teknik UNS. Vol. 8 No. 1. Januari 2009.
Gandjar, I, Wellyzar, S dan Aryanti. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Gunawan, A. W. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hardjo, S., N. S. Indrasti, dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. PAU-Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Haygreen , J. G. dan J.L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu
Pengantar. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
Hofrichter, H., T. Lundell, and A. Hatakka. 2001. Conversion of Milled Pine Wood by Manganese Peroxidase from Phlebia radiata . Applied and Environmental Microbiology, October 2001, p. 4588-4593, Vol. 67, No. 10
Hunt, G. M, dan Garrat. Pengawetan Kayu. Terjemahan Yusuf. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademi Persindo. Jakarta.
Latifah, S . 2004. Pertanaman dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis Di Hutan Tanaman Industri.
Irwanto. 2007. Budidaya Tanaman Kehutanan. http//www.irwantoshut.com. [4 Feb 2011]
Iswanto, A. H. 2009. Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan
Isroi. 2008. Keunikan Jamur Pelapuk Putih: Selektif Mendegradasi Lignin.
Johjima , T., Itoh, N., kabuto, M., Tokimura, F., Nakagawa, T., wariishii, H., and Tanaka, H., 1999, Direct Interaction of Lignin and Lignin Peroxidase from
Phanerochaete chrysosporium, Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 96,
1989-1994.
Khaeruddin. 1993. Pembibitan Hutan Tanaman Industri (HTI). Penebar Swadaya. Jakarta.
Lyon WF. 1991. Wood Rot. Ohio State University, USA. http://www.ohioline.osu.edu. [4 Feb 2011]
Murtihapsari. 2008. Biodekomposisi Kayu keras. Mayor Kimia Sekolah Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor.
Mufidah. 2009. Kinetika Pembentukan Biosurfaktan oleh Cryptococcus sp. Menggunakan Substrat Minyak Kelapa Sawit. ITS Master Thesis.
Nair, K. S.S. 2000. Insect Pest and Deases in Indonesia Forest an Assessment of the Major Threaths, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research. Bogor.
Nakasone KK. 1993. Biodiversity and Coarse Wind Debris in Southern Forests. In. Proceeding of the workshop on coarse Woody Debris in Southern Forests: Effect on Biodiversity. McWim JW, Crossley DA (Eds). p. 35-42. Athens, GA, 18-20 Oktober 1993.
Nishida, T. Kashino, Y. Mimura, A. Takahara, Y. 1988. Lignin biodegradation by wood-rotting fungi I. Screening of lignin-degrading fungi. Makuzai Gakkaishi 34: 530-536.
South-Prasetya, B. 2005. Mencermati Proses Pelapukan Biomassa untuk Pengembangan Proses dan Produk Ramah Lingkungan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Biokonversi Biomassa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.
Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal decomposition of wood. Its biology and ecology. John Wiley and sons, New York.
Rolz, C., de Leon, R. de Arriola, M.C., and de Cabrera, S., 1986,
Biodelignification of Lemon Grass and Citronella Bagasse by White-Rot Fungi, Applied and Enviromental Microbiology, 52, 607-611.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sjostrom, E. 1998. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi dua (Terjemahan Dr. Hardjono Sastrohamidjojo). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Buku asli terbit tahun 1993.
Spring. 2007. Basidiomycota. Botany 201 Laboratory.
Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Buku Ajar. Fakultas Pertanian UPN Veteran. Yogyakarta.
Tambunan, D dan Dodi Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu Oleh Faktor Biologis. IPB-Press. Bogor.
Widjaya, A. , Ferry, Musmariadi, 2004, Pengaruh Berbagai Konsentrasi Mediator
pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim Kasar Lignin Peroksidase,
LAMPIRAN
Lampiran 1. Flowsheet Pembuatan PDA
Ditambahkan 1 liter air
Dimasukkan 1 gr asam tannin
Diaduk sampai larut
Dipanaskan sampai mendidih
Dituangkan ke dalam Erlenmeyer
Didinginkan 39 gr bubuk PDA
Lampiran 2. Tipe Pelapukan
2a. Pelapukan kelas baru
Lampiran 3. Fungi yang Ditemukan di Lapangan
trA trB
trC trD
trF trE