• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGI YANG BERPERAN DALAM PROSES BIODELIGNIFIKASI PADA JARINGAN KAYU MATI TANAMAN Eucalyptus sp. DI HUTAN

TANAMAN INDUSTRI PT. TOBA PULP LESTARISEKTOR AEK NAULI.

SKRIPSI

OLEH

TRI YANTO/071202018 BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI ILMU KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Lembar Pengesahan

Judul Penelitian :Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli.

Nama : Tri Yanto

NIM : 071202018

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si NIP. 196412282000121002 NIP.197910172003121002

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu kehutanan Fakultas Pertanian-USU

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D

(3)

ABSTRAK

TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.

Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.

(4)

ABSTRACK

TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI HAKIM, S.Hut,M.Si

Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be identified.

The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test. There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the result shows that the species white moldier fungi that have been got are

Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Suka Mulia pada tanggal 9 Nopember 1989 dari

ayah Sukroji dan ibu Kamsyah. Penulis merupakan putra ke 12 dari 12

bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Swasta Patra Nusa, Rantau dan pada

tahun 2007 penulis masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi

Budidaya Hutan Deoartemen Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Badan

Kenaziran Mushollah (BKM) Baytul Asyjaar. Pada tahun 2010 dipilih sebagai

asisten Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani

Unit III Jawa Barat dan Banten, BKPH Pameungpeuk KPH Garut. Dilaksanakan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala

atas berkah rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

dengan baik. Penelitian ini berjudul “Identifikasi Fungi yang Berperan dalam

Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus spp. Di

hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli”. Penelitian ini

disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program

Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada orang tua,

kepada Bapak Dr. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Bapak Luthfi Hakim,

S.Hut., M.Si selaku komisi pembimbang yang telah banyak mengarahkan dan

memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Juga

kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Penulis berharap semoga semoga hasil penelitian ini berguna sebagai dasar

penelitian-penelitian selanjutnya dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang

membutuhkan. Serta dapat menyumbangkan pengetahuan bagi kemajuan dunia

pendidikan.

Medan, Juli 2011

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA Eucalyptus sp ... 5

Syarat Tumbuh ... 6

Penyebaran ... 6

Deskripsi Fungi ... 6

Fungi Sebagai Jasad Renik ... 7

Ciri-ciri Fungi ... 8

Struktur Tubuh Fungi ... 8

Morfologi Fungi ... 9

Habitat Fungi ... 9

Hifa ... 10

Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Fungi... 11

Pelapukan Kayu... 12

Fungi Pelapuk Kayu ... 14

Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Coklat ... 15

Pelapukan Oleh Fungi Pelapuk Putih ... 16

Agaricales ... 18

Auriculariales ... 19

Aphylloporales ... 19

Tremellales ... 20

Dacrymycetales ... 20

(8)

Alat dan Bahan ... 21

Prosedur Penelitian ... 21

Pengambilan Sampel ... 21

Isolasi Fungi... 22

Uji Bavendamm ... 23

Identifikasi Fungi ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 24

Proses Pelapukan ... 24

Uji Bavendamm... 27

Identifikasi Fungi Pelapuk putih ... 29

phanerochaete sp ... 29

Cryptococcus sp ... 31

Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping ... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(9)

DAFTAR TABEL

1. Karakteristik Pelapukan dan Jenis Fungi yang Didapat pada Pengamatan Di Lapangan ... 24

2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan ... 25

(10)

DAFTAR GAMBAR

1. Siklus Pelapukan dan Fotosintesis ...14

2. Lokasi Pengambilan Sampel ...22

3. Pelapukan Tipe Baru ...26

4. Pelapukan Tipe Sedang ...26

5. Pelapukan Tipe Lanjut ...27

6. Isolat Fungi pada uji bavendamm ...28

7. Struktur mikroskopis phanerochaete sp ...32

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Flowsheet Pembuatan PDA ...41

2. Gambar Tipe Pelapukan ...42

(12)

ABSTRAK

TRI YANTO: Fungi yang Berperan dalam Proses Biodelignifikasi pada Jaringan Kayu Mati Tanaman Eucalyptus sp. Di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli, dibimbing oleh Dr. Ir. EDI BATARA MULYA SIREGAR MS. dan LUTFI HAKIM S. Hut., M.Si.

Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungi pelapuk putih dan fungi pelapuk coklat. Fungi pelapuk putih dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Fungi pelapuk putih memiliki keistimewaan yang unik, yaitu kemampuannya untuk mendegradasi lignin. Berdasarkan kemampuan fungi tersebut sehingga perlu dilakukan studi terhadap fungi yang berperan dalam proses pendegradasian lignin (delignifikasi). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara pada April – Juli 2011. Sampel penelitian didapat dari jaringan kayu mati di bawah tegakan Eucalyptus sp PT. Toba Pulp Lestari, Tbk sektor Aek Nauli. Sampel dipisahkan berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu kelas baru, sedang, dan lanjut. Sampel diisolasi berdasarkan tingkat pelapukannya dan dilakukan uji bavendamm untuk mengetahui fungi yang termasuk fungi pelapuk putih. Setelah itu isolat fungi diidentifikasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 isolat fungi yang dilakukan uji Bavendamm terdapat 4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana didapat dari 2 isolat untuk pelapukan kelas baru, 1 isolat untuk pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat untuk pelapukan kelas lanjut. Setelah melakukan identifikasi fungi pada isolat tersebut diketahui bahwa 2 isolat yang berasal dari pelapukan kelas baru adalah Phanerochaete sp. sedangkan 1 isolat yang berasal dari kelas sedang dan 1 isolat yang berasal dari kelas lanjut adalah Cryptococcus sp.

(13)

ABSTRACK

TRI YANTO : The Fungi That Gets a Role in Biodelignification of Dead Wood Tissue Of Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli Sector, under the supervision Dr.Ir.EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S and LUTHFI HAKIM, S.Hut,M.Si

Wood-rot fungi in ecological can be grouped in two part, which is white-rot fungi and brown-rot fungi. White-rot fungi can degradate lignin, hemiselulose, and selulose. White-rot fungi has special ability. It is to degradate lignin. Based on its ability, need to be done a research about this fungi that gets a role in lignin degradation (delignification). This research was conducted in Biotecnology Laboratory of forestry department in North Sumatera University from April to July 2011. The material of this research was got from dead wood tissue in standing Eucalyptus sp. at PT. Toba Pulp Lestari, Aek Nauli sector. The material was separated based on its corrosion level and can be done bavendamm test to know the fungi that includes to the white-rot fungi. After that the isolate can be identified.

The result shows that from 16 isolate that have been done with bavendamm test. There are 4 isolate that showed positive mark. After identifiying of 4 isolate, the result shows that the species white moldier fungi that have been got are

Phanerochaete sp. and Cryptococcus sp.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Eucalyptus sp.

Eucalyptus sp. termasuk anggota famili Myrtaceae, subgenus

Symphyomyrtus, merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh secara alami di

Indonesia. Jenis tanaman ini tumbuh di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor

Timur. Eucalyptus urophylla tumbuh pada daerah dengan ketinggian 300 – 3.000

m di atas permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai lebih dari 50 meter,

diameter batang dapat mencapai 2 meter, dengan tinggi bebas cabang dapat

mencapai setengah atau sepertiga dari tinggi total pohon. Daunnya relatif tipis,

memanjang dengan ujung daun yang meruncing (Darwo, 1997).

Eucalyptus sp. Merupakan tumbuhan endemik di Australia dan kepulauan

sebelah utara pulau Irian dan Philipina. Nama Eucalyptus urophylla diberi oleh

Dr. Blake. Nama urophylla berasal dari bahasa Yunani yaitu auro yang berarti

ekor dan phyla yang berarti daun (Khaerudin, 1993).

Tanaman Eucalyptus merupakan family Myrtaceae, terdiri atas lebih

kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus dapat berupa semak, perdu dan pohon

mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan

sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan

banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke

atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset

hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait

(15)

Syarat tumbuh

Jenis-jenis Eucalyptus terutama menghendakim iklim bermusim (daerah

arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hutan hujan tropis. Eucalyptus

dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,

secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari

tanah-tanah kurus gersang sampai pada tanah-tanah yang baik dan subur. (Dirjen Kehutanan,

1980).

Penyebaran

Marga Eucalyptus terdiri atas 500 jenis kebanyakan endemik di Australia.

Beberapa jenis menyebar dari Australia bagian Utara menuju Malesia bagian

timur. Jenis Eucalyptus banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South

Wales dan Australia bagian Barat Daya. Daerah penyebaran Eucalyptus spp.

Meliputi Australia, Tanzania, New Britania, dan Papua. Beberapa jenis juga

ditemukan di Irian Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor-timur

(Latifah, 2004). Daerah penyebaran alami tanaman Eucalyptus berada di sebelah

Timur garis Wallace mulai 70 LU sampai 43039’ LS (Irwanto, 2007).

Deskripsi Fungi

Jamur (fungi) merupakan tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai

zat hijau (chlorophyl). Untuk hidupnya mereka berperan sebagai parasit atau

saprofit yang tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri (Tambunan dan

Nandika, 1989).

Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam

(16)

mengandung klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan

mengambil makanan dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat

tumbuhnya diubah menjadi molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh

hifa, jadi jamur tidak seperti organisme heterotrof lainnya yang menelan

makanannya kemudian mencernanya sebelum diserap (Gunawan, 2000).

Mikroorganisme ini dapat dibedakan dalam empat golongan tergantung

pada sifat perkembangan didalam dan pada kayu, dan tipe kerusakan yang

ditimbulkan olehnya. Golongan-golongan tersebut adalah cendawan perusak kayu,

pewarna kayu, cendawan buluk dan bakteri penyerang kayu (Hunt dan Garrat,

1986).

Fungi sebagai jasad renik

Jasad renik merupakan salah satu faktor yang banyak menimbulkan

kerusakan pada kayu. Jasad renik tersebut terdiri dari jamur dan bakteri, dimana

bagian vegetatifnya secara individu hanya dapat dilihat dengan jelas dibawah

mikroskop karena ukurannya sangat kecil. Jasad renik adalah sejenis tumbuhan

tingkat rendah yang tidak mengandung klorofil, oleh karena itu mereka

mempertahankan hidupnya dengan energi dan bahan organik yang dihasilkan oleh

tumbuhan hijau. Dengan demikian kayu sebagai produk terbesar dari tumbuhan

hijau merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis jamur dan bakteri.

Berdasarkan medium tempat jasad renik itu berkembang dan sifatnya yang

saprofit dan parasit, jasad renik berbeda dengan tanaman hijau (Tambunan dan

(17)

Ciri-ciri fungi

Fungi merupakan tumbuhan yang tidak mempunyai klorofil sehingga

bersifat heterotrof, tipe sel eukarotik. Jamur ada yang uniseluler dan multiseluler.

Tubuhnya terdiri dari benang-benang yang disebut hifa yang dapat membentuk

anyaman bercabang-cabang (miselium). Fungi pada umumnya multiseluler (bersel

banyak). Ciri-ciri fungi berbeda dengan organisme lainnya dalam hal cara makan,

struktur tubuh, pertumbuhan, dan reproduksinya (Gandjar et al, 1999).

Fungi benang terdiri atas massa benang yang bercabang-cabang yang

disebut miselium. Miselium tersusun dari hifa (filamen) yang merupakan

benang-benang tunggal. Badan vegetatif jamur yang tersusun dari filamen-filamen disebut

thallus. Berdasarkan fungsinya dibedakan dua macam hifa, yaitu hifa fertil dan

hifa vegetatif. Hifa fertil adalah hifa yang dapat membentuk sel-sel reproduksi

atau spora-spora. Apabila hifa tersebut arah pertumbuhannya keluar dari media

disebut hifa udara. Hifa vegetatif adalah hifa yang berfungsi untuk menyerap

makanan dari substrat (Sumarsih, 2003).

Berdasarkan bentuknya dibedakan pula menjadi dua macam hifa, yaitu

hifa tidak bersepta dan hifa bersepta. Hifa yang tidak bersepta merupakan ciri

jamur yang termasuk Phycomycetes (Jamur tingkat rendah). Hifa ini merupakan

sel yang memanjang, bercabang-cabang, terdiri atas sitoplasma dengan banyak

inti (soenositik). Hifa yang bersepta merupakan ciri dari jamur tingkat tinggi, atau

yang termasuk Eumycetesi (Sumarsih, 2003).

Morfologi fungi

Bagian vegetatif pada jamur umumnya berupa benang-benang halus

(18)

Kumpulan-kumpulan benang-benang hifat tersebut dinamakan dengan miselium. Miselium

dapat dibedakan menjadi dua tipe pokok. Pertama mempunyai hifa senositik

(coenocytic), yaitu hifa yang mempunyai banyak inti dan tidak mempunyai sekat

melintang, jadi hifa ini berbentuk tabung halus yang mengandung protoplas

dengan banyak inti. Pembelahan intinya tidak diikuti oleh pembelahan sel. Kedua

mempunyai hifa seluler (celluler), hifa terdiri dari sel-sel, yang masing-masing

mempunyai sat atau dua inti (Semangun, 1996).

Habitat fungi

Semua jenis jamur bersifat heterotrof. Namun, berbeda dengan organisme

lainnya, jamur tidak memangsa dan mencernakan makanan. Untuk memperoleh

makanan, jamur menyerap zat organik dari lingkungan melalui hifa dan

miseliumnya, kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Oleh karena

jamur merupakan konsumen maka jamur bergantung pada substrat yang

menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan senyawa kimia lainnya. Semua zat

itu diperoleh dari lingkungannya. Sebagai makhluk heterotrof, jamur dapat

bersifat parasit obligat, parasit fakultatif, atau saprofit Habitat (tempat hidup)

jamur terdapat pada air dan tanah. Cara hidupnya bebasatau bersimbiosis, tumbuh

sebagai saprofit atau parasit pada tanaman, hewan dan manusia (Sumarsih, 2003).

Hifa

Hifa dapat dibedakan atas dua tipe hifa yang fungsinya berbeda, yaitu

yang menyerap unsur hara dari substrat dan yang menyangga alat-alat reproduksi.

Hifa umumnya rebah pada permukaan substrat atau tumbuh ke dalam substrat dan

(19)

disebut hifa vegetatif. Hifa yang umumnya tegak pada miselium yang terdapat di

permukaan substrat yang disebut hifa fertil, karena berperan untuk reproduksi.

Hifat-hifat yang telah menjalin suatu jaringan miselium makin lama makin tebal

dan membentuk suatu koloni yang dapat dilihat mata telanjang (Semangun, 1996).

Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding

berbentuk pipa. Dinding ini menyelubungi membran plasma dan sitoplasma hifa.

Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Kebanyakan hifa dibatasi oleh

dinding melintang atau septa. Septa mempunyai pori besar yang cukup untuk

dilewati ribosom, mitokondria, dan kadangkala inti sel yang mengalir dari sel ke

sel. Akan tetapi, adapula hifa yang tidak bersepta atau hifa senositik (Semangun,

1996).

Struktur hifa senositik dihasilkan oleh pembelahan inti sel berkali-kali

yang tidak diikuti dengan pembelahan sitoplasma. Hifa pada jamur yang bersifat

parasit biasanya mengalami modifikasi menjadi haustoria yang merupakan organ

penyerap makanan dari substrat; haustoria dapat menembus jaringan substrat

(Semangun, 1996).

Faktor yang mempergaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungi

Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan fungi antara lain:

1. Temperatur

Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar,

tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama

periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. Suhu

(20)

220C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 270C sampai 390C dengan

suhu minimum kurang lebih 50C.

2. Oksigen

Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang

menghasilkan CO2 dan H2O. sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum,

oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada

jamur yang dapat hidup.

3. Kelembaban

Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis

jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang

rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. hal ini terutama

berlaku bagi jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air

kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu

dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak.

4. Konsentrasi hidrogen (pH)

Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7

(dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai

pada pH 4,5 sampai 5,5.

5. Bahan makanan (nutrisi)

Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu

seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat-zat isi sel lainnya. Selulosa,

hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul

yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh

(21)

kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan senyawa kimia

dilingkungannya.

Pelapukan Kayu

Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon di

alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh jamur, insekta yang menggunakan

kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan

utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada

prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat

dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis

alam. Ketika kayu sudah mati, maka jamur dan organisme pengurai lainnya

berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan

biodekomposisi (Murtihapsari, 2008).

Ketika kayu dibelah menjadi potongan dan batangan-batangan kecil maka

sel hidup getah (sapwood) bersama jamur dan bakteri lainnya akan dengan cepat

mengkonversi sapwood (stored food reserve) langsung menjadi karbon dioksida

(CO2), air dan langsung mengalami pemanasan seperti pada Gambar 1. Jika proses

metabolik ini tidak sempurna, maka potongan-potongan kecil kayu tersebut akan

menjadi panas dan oleh bantuan tidak adanya pori respitator akan mempercepat

proses pembakaran dan pada akhirnya semua sel hidup kayu akan mati seketika.

Namun dalam beberapa observasi, para ilmuwan sepakat bahwa kayu basah masih

(22)

Gambar 1. Siklus pelapukan dan fotosintesis (Prasetya, 2005).

Secara umum kerusakan kayu terjadi karena pembebanan (mekanik) dan

faktor biologi (jamur, rayap, dll). Jamur merupakan salah satu mikroorganisme

yang tidak mempunyai klorofil sehingga dalam mempertahankan hidupnya akan

mengambil energy atau bahan-bahan organik yang dihasilkan oleh tumbuhan hijau

baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati (Iswanto,2009).

Peristiwa pelapukan pada umumnya dipengaruhi oleh reaksi biokimia

antara komponen kimia kayu (biomassa) dengan enzim yang diproduksi oleh

mikroorganisme. Kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan komponen

kimia bahan tersebut sangat dipengaruhi oleh genetik dan kondisi lingkungan.

Fungi pelapuk umumnya berfungsi sebagai pembuka jalan pelapukan lain oleh

mikroba yang lebih rendah tingkatannya seperti bakteri. Pada umumnya mikroba

yang sangat berperan dalam pendegradasian kayu adalah fungi pelapuk putih

(white rot fungi) dan fungi pelapuk coklat (brown rot fungi), dan keduanya

sebagian besar tergolong Basidiomycetes (Prasetya, 2005).

Berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian komponen kimia biomassa,

(23)

kemudian diikiuti dengan selulosa dan hemiselulosa. Kedua, sebaliknya degradasi

diawali dengan selulosa dan hemiselulosa kemudian degradasi lignin. Ketiga,

degradasi lignin dan selulosa berjalan bersamaan. Proses degradasi pada

umumnya berjalan bertahap dan pada umumnya terjadi pemotongan rantai

panjang dari polimer selulosa menjadi lebih pendek (Prasetya, 2005).

Fungi Pelapuk Kayu

Dekomposisi kayu/tanaman adalah bagian terpenting dalam siklus karbon

di alam. Proses dekomposisi disebabkan oleh fungi, insekta yang menggunakan

kayu sebagai makanan atau shelter. Kandungan Lignin dalam kayu menjadi bahan

utama untuk proses dekomposisi enzim dari selulosa dan hemiselulosa. Pada

prinsipnya, kayu mengandung bahan organik tertinggi, dan kayu tidak dapat

dipisahkan dari tanaman yang selalu mengikuti siklus dan proses fotosintesis

alam. Ketika kayu sudah mati, maka fungi dan organisme pengurai lainnya

berperan dalam penguraian bahan kayu tersebut melalui proses biosintetik dan

biodekomposisi. Istilah dekomposisi dan degradasi disini digunakan lebih

menekankan pada proses konversi satu atau lebih struktur polimer dari kayu

menjadi partikel atau struktur yang lebih sederhana (Murtihapsari, 2008).

Fungi pelapuk kayu secara ekologis dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu fungi pelapuk putih (FPP) dan fungi palapuk coklat. Fungi pelapuk putih

dapat mendegradasi lignin, hemiselulosa, maupun selulosa. Kayu yang

didegradasi oleh FPP akan menjadi putih/keputih-putihan, lunak, tetapi tidak

menyusut. Sedangkan fungi pelapuk coklat dapat mendegradasi hemiselulosa, dan

(24)

pelapuk coklat akan berwarna merah kecoklatan dan hancur (Lyon, 1991). Di

alam presentase fungi pelapuk coklat lebih sedikit daripada fungi pelapuk putih.

Pelapukan oleh fungi pelapuk cokelat

Pelapukan yang disebabkan oleh fungi ini menyebabkan terjadinya

degradasi polisakarida yang agak selektif dan juga lignin yang menjadi sasaran

utama. Dalam kayu yang mengalami pembusukan cokelat berat, kerangka lignin

tetap utuh. Penembusan kayu oleh hifa terjadi melalui jari-jari, kemudian

menyebar ke noktah kayu kemudian menembus dinding-dinding sel dengan cara

melubangi atau melalui mikrohifa. Hifa yang tumbuh dalam lumina sel sangat

berdekatan dengan dinding tersier (Murtihapsari, 2008).

Semua fungi pelapuk coklat termasuk dalam Basidiomycetes yang

umumnya Polyporales dan sebagian besar berasosiasi dengan konifer. Tidak

kurang terdapat 125 spesies fungi pelapuk coklat dan dikelompokkan ke dalam

empat ordo, yaitu: Aphullophorales (Corticiaceae, Coniophoraceae,

Fistulinaceae, dan Polyoraceae), Agaricales, Tremellales, dan Dacrymycetales.

Sebagian besar fungi pelapuk coklat tersebut merupakan kelompok Polyporaceae.

Sekitar 85% fungi pelapuk coklat berasosiasi dengan inang kayu Gymnospermae

(Nakasone, 1993).

Pelapukan oleh fungi pelapuk putih

Fungi pelapuk putih menyerang kayu lunak dan terutama kayu keras

dengan pilihan pada lignin. Ada beberapa enzim-enzim pendegradasi lignin

berkembang biak dan enzim-enzim untuk mendegradasi pectin, poliosa dan

(25)

noktah dan melalui dinding-dinding sel dengan membentuk lubang-lubang

pengeboran. Dalam kayu akar spruce dapat dilihat bahwa hifa Heterobasidion

annosum cenderung tumbuh dari jari-jari floem masuk ke dalam jari-jari kayu dan

dari sini kearah lateral masuk ke dalam trakeid di dekatnya (Murtihapsari, 2008).

Tahap awal dalam pelapukan kayu yang dilakukan oleh white rot

fungi akan menyebabkan perubahan warna dan pengerasan pada permukaan kayu.

Hifa berkembang pada permukaan kayu atau bagian-bagian kayu yang retak

kemudian miselium menghisap zat makanan. Sifat fisik kayu, warna kayu dan

strukturnya akan berubah. Tahap ini disebut pelapukan tingkat lanjut (Advanced

decay) yang ditandai dengan berkurangnya kekuatan kayu sehingga mudah

hancur. Jamur pelapuk putih akan meninggalkan warna putih pada kayu

(Hardjo dkk., 1989). Heygren dan Bowyer (1989) menjelaskan bahwa jamur

pelapuk putih mengambil zat-zat makanan dari unsur-unsur sel kayu dengan

bantuan enzim-enzim tersebut kemudian dirombak secara kimia ke dalam

bentuk-bentuk molekul yang lebih sederhana sehingga dapat dimetabolisir.

Meskipun demikian, tidak semua strain mempunyai kedua jenis enzim

tersebut. Beberapa strain dari phanerochaete chrysosporium tidak mampu

memproduksi LiP jika ditanam pada media cair. MnP tidak hanya diproduksi oleh

P. chrysosporium, tetapi juga oleh beberapa fungi. Mekanisme dari reaksi MnP

pada dasarnya mengoksidasi ion Mn2+ menjadi Mn3+ dengan kehadiran H2O2 dan

chelator asam organic seperti asam laktat (Prasetya, 2005).

Fungi pelapuk putih dikelompokkan ke dalam lima ordo, yaitu:

(26)

Fungi pelapuk putih lebih banyak dijumpai pada kayu Angiospermae atau kayu

keras (Nakasone, 1993).

yang umumnya saprotrof dari sub klas Holobasidiomycetidae. Sebagian besar

berbentuk cendawan, gymnokarpik atau semiangiokarpik. Badan buah berdaging

tempat hymenium yang disimpan dalam insang-insang (lamella) yang tersusun

radial di bagian bawah pileus. Pileus dan stipa (jika ada) tidak memuat

sphaerosista (Spring, 2007).

Ordo ini dibagi menjadi beberapa familia berdasarkan warna basidiospora,

struktur trama, dan sifat lapisan kortikal di pileus. Familinya antara lain: a).

Agaricaceae basidiokarp: stipitata, khususnya dengan sebuah anulus saat dewasa;

basidiospora: khususnya coklat gelap atau tanpa warna, namun tidak berwarna

karat atau cinnamon. Generanya antara lain Agaricus dan Lepiota. b).

Amanitaceae basidiokarp: stipitata, lamela masing-masing memiliki trama

bilateral yang divergen; basidiospora: putih atau pucat. Beberapa spesies

membentuk tirai parsial dan tirai universal. Generanya antara lain Amanita

(membentuk volva), Limacella (tidak membentuk volva) dan Termitomyces. c).

Bolbitiaceae basidiokarp : stipitata; Basidiospora: ochre atau cinnamon hingga

coklat karat. Genera mencakup Agrocybe dan Conocybe. d). Coprinaceae

basidiokarp: stipitata; lapisan sel mirip pelisade di pellis; basidiospora: gelap atau

hitam, masing-masing biasanya mengandung pori pembiak. Genera mencakup

Coprinus dan Psathyrella. e). Cortinariaceae basidiokarp: stipitata, dicirikan

(27)

coklat, halus hingga kasar. Genera mencakup Cortinarius, Galerina, Inocybe. f).

Crepidotaceae basidiokarp: non stipitata, atau dengan stipe lateral kasar;

basidiospora: berwarna cinnamon. Generanya Crepidotus. g).

Hygrophoraceae (‘tudung lilin’) basidiokarp: stipitata, sering berwarna cerah,

lamella berlilin, dan basidia tegak; basidiospora: tanpa warna. Genera

mencakup Hygrocybe dan Hygrophorus (Spring, 2007).

Auriculariales

Auriculariales merupakan ordo dari

sebelumnya digolongkan pad

banyak memiliki gelatin

septate

dikelompokkan dalam enam atau lebih family, meskipun status family ini saat ini

tidak pasti. Semua spesies dalam Auriculariales diyakini saprotrphic yang tumbuh

di kayu mati. Buah dari beberapa badan

makanan pada skala komersial, khususnya di Cina (Spring, 2007).

Family dari ordo ini adalah Aporpiaceae,

Heteroscyphaceae, Oliveoniaceae , Patouillardinaceae , Tremellodendropsidaceae (Spring, 2007).

Aphlyllophorales

Fungi ini pada umumnya memiliki basidiocarps kasar berdaging karena

adanya hifa dimitic atau trimitic. Jamur ini sering disebut sebagai "conks" atau

(28)

memiliki lamella, pori-pori, teeths, dll. Spesies ini sering ditemukan sebagai

dekomposer di kayu. Salah satu spesies yang terkenal adalah Ganoderma

australis, Sarcodon atroviridis, dan Schizophyllum komune (Spring, 2007). Tremellales

Tremellales merupakan salah satu ordo fungi dari kelas

Tremmellomycetes. Berisi

berupa

lain, kelompok ragi sangat luas dan tidak terbatas pada satu

inang.

2007).

Saat ini terdiri dari 8 family, yang berisi sekitar 300 spesies yang valid.

Signifikan

dibudidayakan secara komersial, seperti pada genera ragi

2007).

Dacrymycetales

Ordo adalah satu lagi urutan fungi jeli. Fungi ini berbeda dalam morfologi

basidium, yang disebut sebagai basidium garpu tala karena bentuknya

seperti garpu tala. Basidia dan basidiospora ditanggung pada hymenium (Spring,

(29)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan selesai.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Hutan Departemen

Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel dilaksanakan di

bawah tegakan Eucalyptus spp Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada Penelitian ini adalah kantong kertas, pisau

cutter, talenan, timbangan elektrik, gelas ukur, erlenmeyer, spatula kaca, hot plate,

corong kaca, kertas saring, alumunium foil, kapas, kompor gas, autoclave, pingset,

cawan petri, alat pelindung, alat dokumentasi, dan laminar flow. Bahan yang

digunakan adalah jaringan kayu tanaman Eucalyptus spp yang telah mati, PDA,

antiboitik (kalmicetin), asam tanin, alkohol.

Prosedur Penelitian

Kondisi umum lokasi penelitian

Kawasan Aek Nauli berada di Kecamatan Girsang Simpangan Bolon,

Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Aksesibilitas ke lokasi ini

sangat tinggi karena terletak di antara kota Parapat dan Pematangsiantar melalui

jalur lintas Sumatera.

Kawasan Aek Nauli berada pada ketinggian 1200 mdpl. Secara geografis

terletak pada 430 25' BT dan 40 89' LU. Hutan ini memiliki kelerengan 2 sampai

15% dan sebagian merupakan areal datar berbukit dan sebagian merupakan

(30)

menurut klasifikasi Smith dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata berkisar

antara 2199-2452 mm/tahun, kelembaban udara rata-rata harian 84 mmHg dan

suhu rata-rata bulanan berkisar antara 23-240 C.

Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilaksanakan di PT. Toba Pulp Lestari sektor Aek

Nauli Blok B001. Dimana lokasi tersebut merupakan petak percontohan yang

terdiri dari 25 spesies Ekaliptus berusia 5 tahun. Salah satu spesies yang ada pada

petak tersebut adalah Eucalyptus urophylla, E. Grandis, E. Hybrida, E.

Urograndis. Petak percontohan tersebut merupakan petak yang digunakan untuk

keperluan penelitian.

Gambar 2. Lokasi pengambilan sampel

Luasan areal yang digunakan untuk mengambil sampel adalah 100 m x

200 m, dengan metode sensus. Kriteria sampel yang akan digunakan adalah

ranting atau batang yang sudah lapuk. Sampel yang sudah diambil dipisahkan

menjadi tiga bagian berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan

(31)

Isolasi Fungi

Sebelum dilakukan isolasi, media PDA dicampurkan antibiotik (kemicitin)

hal ini berfungsi untuk mencegah perkembangbiakan bakteri. PDA dituangkan ke

dalam cawan petri. Diisolasi dan dibiarkan selama 1 hari. Bagian batang kayu

yang terinfeksi diambil, kemudian dibersihkan dengan menggunakan aquades,

dipotong persegi. Selanjutnya bagian batang kayu tersebut ditanam pada media

PDA didiamkan selama 3-4 hari dilihat pertumbuhan jamurnya.

Setelah fungi tumbuh kemudian dilakukan pemurnian, tujuannya untuk

mendapatkan satu jenis fungi pada satu cawan petri. Fungi yang tumbuh

kemudian diisolasi berdasarkan warna dan bentuk koloni. Diletakkan fungi pada

media PDA. Diamati perkembangannya selama 7 hari. Diukur pertumbuhannya

meliputi diameter dan warna.

Uji bavendamm

Metode untuk menentukan tipe pelapukan kayu oleh jamur dikembangkan

83 tahun yang lalu oleh Bavendamm pada tahun 1928 dan diterbitkan di jurnal

media untuk mengujinya sering disebutkan hanya dengan nama media

Bavendamm (Nishida et al, 1988).

Untuk membedakan kultur fungi, apakah termasuk fungi pelapuk putih

atau fungi pelapuk coklat. digunakan uji Bavendamm yang menggunakan agar

tanin. Dalam medium PDA ditambahkan 0.1% asam galat (Nishida et al, 1988).

(32)

aktivitas fenol oksidase, maka kultur fungi tersebut termasuk dalam kelompok

fungi pelapuk putih (Rayner & Boddy, 1988).

Identifikasi fungi

Fungi yang tumbuh pada media PDA dipindahkan dengan ukuran 3x3 mm

atau 4x4 mm ke dalam objek glass, sebanyak 2 buah. Ditutup fungi yang telah

dipindahkan tersebut dengan objek glass. Diamati dan diidentifikasi fungi yang

ada pada mikroskop yang menyangkut bentuk, warna, hyfa, miselia, konidia dan

jenis fungi. Kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi Alexopoulus

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Kriteria Pelapukan

Pengamatan dilakukan pada jaringan kayu mati tanaman ekaliptus di PT.

Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli. Lokasi pengamatan dan pengambilan

sampel di blok B001, dimana blok tersebut adalah blok yang dibuat untuk

keperluan penelitian terdiri dari sekitar 25 spesies ekaliptus dengan umur tegakan

5 tahun.

Setelah dilakukan pengamatan kemudian diklasifikasikan jenis pelapukan

berdasarkan tingkat pelapukannya yaitu baru, sedang, dan lanjut. Pengamatan di

lapangan juga mengamati fungi yang terdapat pada kayu yang telah lapuk. Pada

Tabel 1 menyajikan jumlah kayu dari masing-masing tingkat pelapukan dan fungi

[image:33.595.114.506.458.657.2]

yang terdapat pada kayu tersebut.

Tabel 1. Kriteria Pelapukan dan Fungi yang Didapat pada Pengamatan di Lapangan

Kriteria Jumlah Kayu Jenis Fungi Kode Fungi keterangan

Baru 8 1 trA fungi berwarna putih

Sedang 10 4 trB fungi berwarna coklat tua

trC fungi berwarna abu-abu

trA fungi berwarna putih

trD fungi berwarna putih

Lanjut 10 4 trA fungi berwarna putih

trE fungi berwarna hitam

trF fungi berwarna coklat muda

trG fungi berwarna putih

Pada pelapukan kelas baru, fungi yang didapat berupa benang-benang

halus dan tidak mempunyai tubuh buah. Pada pelapukan kelas baru hanya

(34)

yang berbeda dan fungi yang ditemukan memiliki bentuk dan warna yang

beragam. Sedangkan pada pelapukan kelas lanjut didapat 4 jenis fungi yang

memiliki perbedaan bentuk dan warna. Fungi yang ada pada pelapukan kelas baru

didapat juga pada pelapukan kelas sedang dan kelas lanjut yaitu fungi dengan

kode trA. Karakteristik fungi yang ditemukan dilapangan meliputi bentuk, warna,

[image:34.595.115.488.261.409.2]

dan ukuran disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan

No. Kode Karakteristik Ditemukan pada

Bentuk Warna Ukuran

1 trA benang-benang halus putih baru, sedang, lanjut

2 trB seperti kipas coklat tua 2-3 cm sedang

3 trC seperti payung abu-abu 1-2 cm sedang

4 trD tidak beraturan putih 5 cm sedang

5 trE seperti kipas hitam 10-15 cm lanjut

6 trF seperti jarum coklat muda 3-5 cm lanjut

7 trG tidak beraturan putih 10 cm lanjut

Fungi yang ditemukan berdasarkan bentuk dan, warna, dan ukuran

sebanyak tujuh dimana untuk fungi trA terdapat pada tiga tingkat pelapukan.

Untuk fungi dengan kode trD dan trG memiliki kesamaan bentuk dan warna

namun memiliki perbedaan dimana trG berbentuk seperti jelly sedangkan trD

tidak berbentuk jelly.

Kayu yang didapat pada pengamatan di lapangan memiliki ciri-ciri

terdapat bercak-bercak pada permukaan kayu, perubahan warna menjadi lebih

gelap. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtihapsari (2008) dimana proses

pelapukan dapat disebabkan oleh hewan, serangga, fungi, alga, dan bakteri.

Pelapukan yang disebabkan oleh fungi berupa noda pada kayu, pucat warna,

(35)

Pada pelapukan kelas baru, terjadi perubahan warna kayu dimana kayu

menjadi pucat dan ditemukan hyfa jamur yang mengelilingi bagian permukaan

kayu tersebut. Struktur kayu tersebut masih sangat keras namun lebih ringan jika

dibandingkan oleh kayu yang masih segar. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

a b Gambar 3 (a) dan (b) Pelapukan kayu kelas baru (pelapukan tahap awal).

Murtihapsari (2008) menyatakan kayu yang baru saja ditebang, dapat

dilihat bahwa potongan log tersebut masih segar, dan bergetah. Akibat adanya

kandungan yang terdapat pada kayu tersebut sehingga menjadi pencarian banyak

oganisme renik. Selanjutnya bahan makanan dalam material log kayu tersebut

digantikan oleh proses respirasi sel parenkim. Jika proses pengeringan lambat

(musim hujan) atau dengan kelembaban yang tinggi maka kayu log tersebut akan

ditumbuhi ratusan jamur, alga dan bakteri lainnya, selanjutnya jasad-jasad renik

tersebut tumbuh berkembang dan menjadi penetrasi (correspondence) antara

permukaan kayu dengan lapisan bagian dalam kayu log dimana tersimpan banyak

stok makanan (storage food) yang dapat menghidupi ratusan mikroba. Seiring

dengan waktu di bawah skenario fungal decomposition, kayu kemudian berubah

warna kemudian menjadi lapuk.

Pelapukan kayu kelas sedang ditandai oleh permukaan kayu yang sudah

(36)

baru. Warna kayu menjadi lebih gelap atau warna menjadi coklat tua. Hal ini

dapat dilihat pada Gambar 4.

a b

Gambar 4 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas sedang

Menurut Murtihapsari (2008) pemucatan warna kayu atau perubahan

warna umumnya disebabkan oleh 2 proses yaitu: pewarnaan yang disebabkan oleh

spora fungi dan penimbunan alga pada permukaan kayu. Setelah proses

pemucatan warna kayu yang disebabkan oleh spora dan alga pada permukaan,

selanjutnya diikuti oleh jamur hifa yang menggerogoti bagian dalam dan menjadi

penetrasi hingga lapisan terdalam sapwood .Aspergilus spp. dan Penicillium spp.

adalah dua genera terbesar dalam proses perubahan warna bagian kulit kayu.

Selanjutnya penetrasi bagian dalam umumnya diperankan oleh jamur

Ceratocystis.

Pelapukan kelas lanjut ditandai dengan struktur kayu yang mudah hancur

dan membusuk hampir menyerupai tanah, namun masih dapat dibedakan dengan

tanah. Kadar air yang terdapat pada kayu tersebut sangat tinggi, karena luas

penampang pada kayu tersebut lebih luas dibandingkan pada tipe baru dan sedang

sehingga apabila terjadi hujan kayu pada pelapukan lanjut mudah menangkap dan

(37)

a b Gambar 5 (a) dan (b). Pelapukan kayu kelas lanjut

Menurut Johnson (1979) dalam Murtihapsari (2008) melaporkan bahwa

Bacillus polymyxa (Prazmowski) dan sederetan fungi lainnya seperti Trichoderma viride merupakan pemicu terbesar dalam proses nonaktivasi sel kayu, dan mampu

membuat pori, lubang besar dan cepat, sehingga sangat memungkinkan adanya

intrusi air ke dalam sel kayu, dan dalam beberapa lama, kayu berubah menjadi

lapuk dan akhirnya menjadi bahan organik.

Uji Bavendamm

Uji bavendamm dilakukan untuk mengetahui jenis fungi, apakah termasuk

fungi pelapuk putih atau fungi pelapuk coklat. Dalam penelitian ini media yang

digunakan adalah media agar tannin dimana media PDA ditambahkan dengan

0,1% asam tannin. Menurut Rayner & Boddy (1988) uji Bavendamm dilakukan

untuk mengetahui kemampuan Fungi Pelapuk Putih (FPP) yang diperoleh dalam

menghasilkan enzim ekstraselular oksidase. Kemampuan tersebut digunakan

untuk membedakan antara FPP dengan fungi pelapuk cokelat. Bila terbentuk

warna cokelat pada permukaan agar maka mengindikasikan adanya aktivitas fenol

oksidase yang berarti aktivitas dari FPP. Hasil uji bavendamm pada isolat fungi

(38)
[image:38.595.112.523.105.363.2]

Tabel 3. Hasil Uji Bavendamm 16 Isolat Fungi

kriteria pelapukan Isolat hasil persentasi Keterangan

Baru TR1A1 50

TR1A2

TR1B (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 6.

TR1C (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8.

Sedang TR2A 20

TR2B1

TR2B2 (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8

TR2C1

TR2C2

Lanjut TR3A1 15

TR3A2 (+) endapan coklat terbentuk pada hari ke 8

TR3A3 TR3B TR3C1 TR3C2

TR3C3

Tabel 2. diatas dapat dilihat bahwa untuk persentase FPP yang ditemukan

pada pelapukan kelas baru adalah 50%, dimana dari 4 isolat yang dimurnikan

terdapat 2 isolat yang positif. Untuk kelas sedang fungi pelapuk putih yang

didapat adalah 20% dan pada kelas lanjut fungi pelapuk putih yang didapat adalah

15%. Dua huruf belakang pada kode isolat menunjukkan kemiripan bentuk dan

warna koloni pada media. Isolat dengan kode A1, A2, dan B terdapat pada gejala

pelapukan kelas baru dan lanjut. Sedangkan untuk isolat C1 dan C2 terdapat pada

gejala pelapukan kelas sedang dan lanjut.

Isolasi tahap awal didapat 16 kultur fungi, dan kemudian hasil biakan

murni tersebut dilakukan uji bavendamm. Berdasarkan uji bavendamm yang

dilakukan didapat 4 kultur yang memberikan hasil positif dimana terdapat

endapan coklat pada media tersebut. Isolat yang menghasilkan hasil positif adalah

(39)

media agar terdapat endapan coklat, hal ini menandakan uji bavendamm tersebut

positif.

a b c

Keterangan : a. Isolat TR1B b. Isolat TR1C c. Isolat TR3A2 d. Isolat TR2B2 e. Isolat TR2C2

d e

Gambar 6. Isolat fungi pada uji bavendamm (a), (b), (c), (d) isolat fungi yang menunjukkan hasil positif pada uji bavendamm pada isolat TR1B, TR1C, TR3A2, TR2B2, (b) isolat fungi yang menunjukkan hasil negatif pada isolat TR2C2.

Endapan coklat yang terbentuk pada media agar tersebut menandakan

bahwa fungi tersebut dapat mengoksidasi fenol, dimana fenol tersebut adalah

senyawa yang terdapat pada lignin. Menurut Prasetya (2005) fungi pelapuk putih

pada umumnya mengeluarkan enzim pendegradasi lignin seperti laccase,

peroxidase, tirisinase, dan ligninolitik lainnya. Degradasi lignin pada umumnya

dimulai dari reaksi biotransformasi untuk memodifikasi komponen komplek

lignin yang umumnya dilakukan oleh enzim yang dikeluarkan oleh fungi pelapuk

putih. Saat ini enzim ligninolitik dikenal tiga tipe yaitu Lignin Peroxidase (LiP),

(40)

yang mampu mengoksidasi komponen non-phenolic dari lignin, sedangkan MnP

mampu mengoksidasi komponen phenolic dari lignin.

Hasil uji bavendamm diketahui bahwa fungi pelapuk putih yang dihasilkan

terdapat pada seluruh jenis tipe pelapukan baik pada kelas baru, sedang, ataupun

lanjut. Hal ini manandakan bahwa proses pendegradasian lidnin, selulosa, dan

hemiselulosa yang terjadi pada Eucalyptus spp berjalan bersamaan. Prasetya

(2005) menyatakan bahwa berdasarkan tingkat urutan-urutan penguraian

komponen kimia biomassa, degradasi dapat dibagi kedalam tiga katagori. Salah

satunya adalah proses pendegradasian terjadi bersamaan antara lignin, selulasa,

dan hemiselulosa. Proses degradasi pada umumnya berjalan bertahap dan pada

umumnya terjadi pemotongan rantai panjang dari polimer selulosa menjadi lebih

pendek.

Identifikasi Fungi Pelapuk Putih

Identifikasi fungi dilakukan pada isolat fungi yang menunjukkan hasil

positif pada uji bavendamm. Identifikasi dilakukan berdasarkan bentuk hyfa,

spora, dan miselia. Berdasarkan kriteria tersebut yang mengacu pada Alexopoulus

(1952) didapat untuk isolat dengan kode TR1B dan TR1C adalah Phanerochaete

sp., sedangkan untuk isolat dengan kode TR2B2 dan TR3A2 adalah jenis

Cryptococcus sp.

Phanerochaete sp.

Phanerochaete sp. termasuk dalam ordo Poliporales anggota famili Poliporacea, genus Sporotrichum (Phanerochaete) Menurut Fadillah, et al

(41)

Jamur ini menghasilkan enzim ekstraseluler LiP, MnP, dan Lakase. Enzim yang

dihasilkan ini berperan dalam pelapukan kayu, pendegradasi sampah, serta lignin.

P. chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan optimum 400C, pH 4-7, dan aerob. Jamur pelapuk putih merupakan jenis yang paling aktif mendegradsi lignin

dan menyebabkan warna kayu lebih muda.

Lebih lanjut Fadillah, et al (2008) menyatakan bahwa jamur P.

chrysosporium juga menyebabkan terjadinya degradasi selulosa. Degradasi

selulosa mencapai 22,3% pada 30 hari inkubasi. Dalam proses biopulping,

sebenarnya yang diinginkan adalah terurainya lignin, tetapi ternyata selulosa juga

mengalami peruraian/degradasi. Hal ini disebabkab karena jamur P.

chrysosporium juga menghasilkan enzim yang dapat menguraikan selulosa seperti

enzim protease, kuinon reduktase, dan selulase. Walaupun terdapat sejumlah

selulosa yang terdegradasi tetapi jumlahnya relatif lebih kecil dibanding degradasi

lignin. Dalam batang jagung, selulosa dikelilingi oleh lignin, sehingga ligninlah

yang terlebih dahulu diuraikan olah jamur. Struktur mikroskopis jamur P.

Chrysosporium dapat dilihat dari Gambar 7.

1 1 2

2 3

3

a b

(42)

Menurut Dey (1984) P. chrysosporium lebih efisien tiga kali atau lebih

dibandingkan dengan Polyporus ostreiformis dalam mendegradasi lignin.

Percobaan Dey ini dilakukan denagn menginkubasi jerami yang direndam dalam

medium Tien dan Kirk. Dilakukan penambahan glukosa untuk tambahan nutrisi

bagi jamur. Inkubasi dilakukan selama tiga minggu pada suhu 38 0C pada

kelembaban 90 %.

Cryptococcus sp.

Berdasarkan identifikasi secara mikroskopis dari isolat TR2B2 dan TR3A2

yang meliputi bentuk spora dan hyfa didapat jenis isolat tersebut digolongkan

dalam famili Tremellacea dan dalam genus Cryptococcus sp. Secara mikroskopis

dapat dilihat pada Gambar 8.

1

2 1

2

a b

Gambar 8. (a) struktur mikroskopis pada isolat TR2B2, (b) struktur mikroskopis pada TR3A2.

Fungi pelapuk putih yang ada pada jenis ini belum banyak diteliti. Pada

jenis ini yang sudah dimanfaatkan adalah ragi yang digunakann untuk fermentasi.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi jamur tersebut

dalam mendegradasi lignin.

(43)

anamorfik. Genus ini yang paling banyak dikenal adalah ragi. Menurut Spring

(2007) dari family Tremella dua spesies yang

secara komersial, seperti pada genera ragi

beberapa spesies merupakan pathogen bagi manusia. Klasifikasi dari tremellaceae

adalah sebagai berikut:

Jenis Teleomorphic dari Tremellaceae adalah seperti parasit pada jamur

lain pada phyla Ascomycota (termasuk sebangsa lumut ) dan Basidiomycota.

Mereka secara khas jenis parasitisme yang hidup pada kayu mati dari semak

belukar hidup dan pohon. Untuk beradaptasi mereka membentuk tubuh buah

seperti agar-agar pada waktu lingkungan kering. Famili ini hidup secara

cosmopolitan, meskipun demikian mungkin dibatasi ke daerah iklim sedang atau

tropis. Ragi anamorphic secara khas tersebar luas dan tidak terbatas.

Cryptococcus sp. dimanfaatkan sebagai agen biosurfaktan, dimana

menurut Mufidah (2009) Biosurfaktan adalah bahan untuk mengatasi berbagai

pencemaran lingkungan yang disebabkan karena pencemaran senyawa

hidrokarbon, serta dapat pula digunakan untuk berbagai bidang seperti

obat-obatan, kosmetik, proses industri makanan, dan sebagainya.

Potensi Fungi Pelapuk Putih Sebagai Agen Biopulping

Menurut Fadillah, et. al (2008) Pulp yang digunakan pada pembuatan

kertas dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pulping secara mekanik adalah yang

paling sederhana, dimana kayu dihaluskan dengan penghalus mekanik sehingga

serat-seratnya terpisah satu dengan yang lainnya. Metode pulping yang lain adalah

Thermo Mechanical Pulping (TMP), yaitu pulping dengan proses mekanik yang

(44)

Pulping (CTMP), pulping mekanik suhu tinggi yang didahului dengan perlakuan

kimia, Chemi Mechanical Pulping, (CMP), yaitu proses pulping mekanik yang

didahulu dengan perlakuan kimia, dan Chemical Pulping, pulping kimia, yaitu

pulping dengan mengunakan bahan kimia berupa proses sulfat (kraft) ataupun

sulfit.

Pulp hasil proses mekanik memberikan rendemen yang paling besar,

85-93%, tetapi masih memiliki kandungan lignin yang tinggi dan pulp yang

dihasilkan mempunyai kekuatan yang paling rendah. Pulp jenis ini digunakan

misalnya pada kertas koran dan kertas karton coklat (Fadillah, et. al, 2008).

Suatu sistem biologi dapat melepaskan serat selulose dari matriks lignin

dengan mengambil keuntungan dari kemampuan alamiah suatu organisme. Jamur

pelapuk putih, disebut demikian karena kenampakan dari kayu yang terinfeksi

jamur ini berwarna pucat. Warna ini disebabkan oleh lignin yang terurai dari

dalam kayu atau terdegradasi oleh jamur. Jamur pelapuk putih lebih cenderung

mendegradasi lignin dibanding serat kayu. Logislah jika hal ini yang dipilih

sebagai perlakuan biologis untuk pulping kayu atau disebut sebagai biopulping.

Proses degradasi lignin atau disebut delignifikasi oleh jamur ini disebut

biodelignifikasi.

Howard, et. al, (2003) menyatakan bahwa dari ribuan jamur yang

diketahui mempunyai kemampuan ligninolitik, P. chrysosporium merupakan

jamur yang paling banyak dipelajari. Keadaan ligninolitik adalah kemampuan

dimana jamur mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Pada jamur

pelapuk putih, enzim yang dikeluarkan adalah enzim peroksidase. P.

(45)

(LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Jamur ini telah dipertimbangkan dalam

produksi enzim untuk degradasi lignin dalam penerapan proses biokonversi

lignoselulosa (Johjima, 1999).

Rolz, et.al. (1986), mempelajari biodelignifikasi rumput lemon dan bagas

sitronela dengan menggunakan dua belas jenis jamur putih. Proses dilakukan

dengan tanpa penambahan mineral. Selama 5 – 6 minggu inkubasi yang dilakukan

pada suhu kamar diperoleh hasil yang berbeda-beda pada penggunaan jamur yang

berbeda dan untuk bahan yang berbeda pula. Semua jamur menunjukkan aktivitas

lignolitik, menghasilkan enzym untuk mendegradasi lignin. Dari kedua belas

jamur tersebut, Bondarzewia berkelenyi merupakan jamur yang paling efektif, P.

chrysosporium menempati urutan keempat setelah Coriolus versicolor dan Pleurotus flabellatus.

Lebih lanjut Rolz, et. al (1986) menyatakan untuk rumput lemon dengan

menggunakan P. chrysosporium diperoleh kehilangan lignin sebesar 40,90%

sedangkan untuk bagas sitronela sebesar 32,02 %. Hilangnya lignin oleh jamur

diikuti pula dengan hilangnya hemiselulosa dan selulosa. Untuk rumput lemon,

hemiselulosa yang hilang sebesar 15,76 % sedangkan untuk bagas sitronela adalah

sebesar 18,11%. Diperoleh juga bahwa jamur ini cenderung lebih banyak

menguraikan hemiselulosa dibandingkan dengan selulosa. Perbandingan

hilangnya hemiselulosa terhadap selulosa adalah sebesar 1,48 untuk rumput lemon

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kayu terdegradasi oleh fungi ditandai dengan adanya perubahan warna,

terdapat noda, pemucatan warna kayu, dan terdapat bercak pada kayu. Klasifikasi

kayu didasarkan pada karakteristik kayu seperti bentuk, warna, dan kekuatan

kayu.

Isolasi fungi didapat 16 kultur fungi, berdasarkan uji bavendamm terdapat

4 isolat yang menunjukkan hasil positif. Dimana 2 isolat didapat dari pelapukan

kelas baru, 1 isolat didapat dari pelapukan kelas sedang, dan 1 isolat didapat dari

pelapukan kelas lanjut. Spesies yang didapat dalam penelitian ini adalah

Phanerochaete sp. dan Cryptococcus sp.

Saran

Diperlukan adanya uji lanjutan untuk mengetahui kekuatan fungi tersebut

dalam mendegradasi lignin sehingga dapat direkomendasikan sebagai agen untuk

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulus, C.J. 1952. Introductory Mycology. United States of Amerika.

Darwo. 1997. Evaluasi Hasil Inventarisasi Tegakan Eucalyptus urophylla di HTI PT. Indo Rayon Utama, Sumatera Utara. Konifera No.1/Thn XIII/April/1997. Buletin Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar.

Dey, S., Maiti, T.K., and Battacharyya, B.C., 1994, Production of Some Extracellulear Enzymes by a Lignin Peroxidase-Producting Brown Rot Fungus, Polyporus ostreiformis, and its Comparative Abilities for Lignin Degradation and Dye Decolorization, Applied and Environmental Microbiology, 60, 4216-4218

Direktorat Jenderal Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Hutan Tanaman. Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.

Fadillah, et al. 2006. Biodelignifikasi Batang Jagung dengan Jamur Pelapuk Putih

Phanerochaetechrysosporium. Jurnal Teknik Kimia fakultas Teknik UNS.

Vol. 7 No. 1. Januari 2006.

Fadillah, et al. 2008. Pengaruh Penambahan Glukosa dan Ekstrak Yeast Terhadap Biodelignifikasi Ampas Batang Aren. Jurnal Teknik Kimia fakultas Teknik UNS. Vol. 8 No. 1. Januari 2009.

Gandjar, I, Wellyzar, S dan Aryanti. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Gunawan, A. W. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hardjo, S., N. S. Indrasti, dan T. Bantacut. 1989. Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. PAU-Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Haygreen , J. G. dan J.L. Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu

Pengantar. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Hofrichter, H., T. Lundell, and A. Hatakka. 2001. Conversion of Milled Pine Wood by Manganese Peroxidase from Phlebia radiata . Applied and Environmental Microbiology, October 2001, p. 4588-4593, Vol. 67, No. 10

(48)

Hunt, G. M, dan Garrat. Pengawetan Kayu. Terjemahan Yusuf. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademi Persindo. Jakarta.

Latifah, S . 2004. Pertanaman dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis Di Hutan Tanaman Industri.

Irwanto. 2007. Budidaya Tanaman Kehutanan. http//www.irwantoshut.com. [4 Feb 2011]

Iswanto, A. H. 2009. Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan

Isroi. 2008. Keunikan Jamur Pelapuk Putih: Selektif Mendegradasi Lignin.

Johjima , T., Itoh, N., kabuto, M., Tokimura, F., Nakagawa, T., wariishii, H., and Tanaka, H., 1999, Direct Interaction of Lignin and Lignin Peroxidase from

Phanerochaete chrysosporium, Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 96,

1989-1994.

Khaeruddin. 1993. Pembibitan Hutan Tanaman Industri (HTI). Penebar Swadaya. Jakarta.

Lyon WF. 1991. Wood Rot. Ohio State University, USA. http://www.ohioline.osu.edu. [4 Feb 2011]

Murtihapsari. 2008. Biodekomposisi Kayu keras. Mayor Kimia Sekolah Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor.

Mufidah. 2009. Kinetika Pembentukan Biosurfaktan oleh Cryptococcus sp. Menggunakan Substrat Minyak Kelapa Sawit. ITS Master Thesis.

Nair, K. S.S. 2000. Insect Pest and Deases in Indonesia Forest an Assessment of the Major Threaths, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research. Bogor.

Nakasone KK. 1993. Biodiversity and Coarse Wind Debris in Southern Forests. In. Proceeding of the workshop on coarse Woody Debris in Southern Forests: Effect on Biodiversity. McWim JW, Crossley DA (Eds). p. 35-42. Athens, GA, 18-20 Oktober 1993.

Nishida, T. Kashino, Y. Mimura, A. Takahara, Y. 1988. Lignin biodegradation by wood-rotting fungi I. Screening of lignin-degrading fungi. Makuzai Gakkaishi 34: 530-536.

(49)

South-Prasetya, B. 2005. Mencermati Proses Pelapukan Biomassa untuk Pengembangan Proses dan Produk Ramah Lingkungan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Biokonversi Biomassa. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.

Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal decomposition of wood. Its biology and ecology. John Wiley and sons, New York.

Rolz, C., de Leon, R. de Arriola, M.C., and de Cabrera, S., 1986,

Biodelignification of Lemon Grass and Citronella Bagasse by White-Rot Fungi, Applied and Enviromental Microbiology, 52, 607-611.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Sjostrom, E. 1998. Kimia Kayu. Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi dua (Terjemahan Dr. Hardjono Sastrohamidjojo). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Buku asli terbit tahun 1993.

Spring. 2007. Basidiomycota. Botany 201 Laboratory.

Sumardi dan S.M. Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sumarsih, S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Buku Ajar. Fakultas Pertanian UPN Veteran. Yogyakarta.

Tambunan, D dan Dodi Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu Oleh Faktor Biologis. IPB-Press. Bogor.

Widjaya, A. , Ferry, Musmariadi, 2004, Pengaruh Berbagai Konsentrasi Mediator

pada Biodelignifikasi Menggunakan Enzim Kasar Lignin Peroksidase,

(50)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Flowsheet Pembuatan PDA

Ditambahkan 1 liter air

Dimasukkan 1 gr asam tannin

Diaduk sampai larut

Dipanaskan sampai mendidih

Dituangkan ke dalam Erlenmeyer

Didinginkan 39 gr bubuk PDA

(51)

Lampiran 2. Tipe Pelapukan

2a. Pelapukan kelas baru

(52)
(53)

Lampiran 3. Fungi yang Ditemukan di Lapangan

trA trB

trC trD

trF trE

Gambar

Tabel 1. Kriteria Pelapukan dan Fungi yang Didapat pada Pengamatan di Lapangan
Tabel 2. Karakteristik Fungi yang Didapat di Lapangan
Tabel 3. Hasil Uji Bavendamm 16 Isolat Fungi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diumumkan bahwa berdasarkan Ketetapan Panitia Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama Prov.

Dari hasil tersebut dapat diketahui hambatan dalam pemeliharaan pasar Klewer yaitu keterbatasan dana, kurangnya komunikasi antara pegawai Dinas Pengelolaan Pasar

Analisis univariat ini menjelaskan hasil penelitian yang merupakan distribusi frekuensi dari hubungan peran keluarga terhadap pemenuhan kebutuhan perawatan diri

SKRIPSI PENERAPAN TERAPI PERILAKU PADA ANAK..... ADLN Perpustakaan

maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang pendaruh brand performance dan brand satisfaction terhadap brand switching sabun nuvo di sidoarjo2. Variable penelitian

Carruthers dan dia nampaknya tertarik pada kisah saya, dan mengatakan bahwa dia sudah memesan kereta untuk mengantar jemput saya sehingga saya tak perlu lewat jalan yang sepi

• Be familiar with the main SDLC approaches—the traditional waterfall cycle, prototyping, rapid application development, phased development, and business process redesign.. •

TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL3. PRESIDEN REPUBLIK