• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Cabai

Berdasarkan klasifikasi tanaman cabai termasuk dalam kingdom: Plantae, Divisio: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Solanales; Famili: Solanaceae; dan Genus: Capsicum. Kebanyakan spesies cabai adalah diploid dengan 24 kromosom (2N = 2 x = 24) dan mempunyai 1 atau 2 pasang kromosom acrosentrik dengan 10 atau 11 pasang metasentrik atau submetasentrik (Bosland dan Votata 2000).

Genus Capsicum adalah anggota dari famili Solanaceae yang di dalamnya termasuk tomat, kentang, tembakau dan petunia. Genus Capsicum terdiri dari 22 spesies liar dan 5 spesies yang dibudidayakan (Bosland 1994): C. annuum, C. baccatum, C. chinense, C. frutescens, dan C, pubescens.

Cabai (Capsicum spp) merupakan sayuran penting di dunia dan termasuk spesies pertama yang ditemukan telah digunakan manusia di seluruh dunia (Berke 2002a). Cabai dapat dikonsumsi dalam bentuk buah segar, kering atau bentuk olahannya dan memiliki berbagai manfaat. Cabai telah menjadi bagian penting dalam resep masakan (Berke 2002b), kaya akan vitamin C, A, dan B, potasium, fosfor dan kalsium (Xuefeng 1999; Boslan dan Votava 2000), dan kandungan kimianya merupakan bagian penting dalam obat-obatan, pewarna makanan, dan kosmetika (Taychasinpitak dan Taywiya 2003; IISR 2006).

Jenis-jenis cabai yang sudah dibudidayakan secara komersial dan berkembang di Indonesia ada dua spesies yaitu: cabai besar (Capsicum annuum L) dan cabai kecil (Capsicum frutescens L.). Cabai besar dikenal 3 varietas, yaitu: cabai merah (varietas longum), cabai keriting, dan cabai paprika (varietas grossum). Perbedaan varietas cabai merah besar dengan cabai merah keriting terletak pada morfologi buahnya. Cabai merah besar ukuran buahnya besar, panjang, ujungnya runcing, dan rasanya sedikit pedas serta agak manis. Buah pada saat muda berwarna hijau, dan setelah tua menjadi merah. Sedangkan cabai merah keriting ukuran buahnya panjang, runcing, dan rasanya lebih pedas dari cabai merah pedas besar. Disamping itu kulit buah agak tipis serta diameter

buahnya lebih kecil disbanding cabai merah besar (Messiaen 1992; Rukmana 1996).

Cabai besar (Capsicum annuum L.) termasuk tanaman semusim yang berbentuk perdu, dan mempunyai akar yang menyebar. Penyebaran akarnya dangkal sehigga cabang dan rambut akar banyak terdapat di permukaan tanah, dan semakin ke dalam akar-akar tersebut semakin berkurang. Akar horizontal cepat berkembang di dalam tanah dan menyebar dengan ke dalaman 10 – 15 cm (Messiaen 1992). Tanaman ini mempunyai batang tegak, tingginya 50 – 90 cm dari permukaan tanah. Daun berbentuk lonjong dan bagian ujungnya meruncing. Panjang daun antara 4-10 cm, dan lebarnya antara 1,5 – 4 cm.

Cabai besar berbunga tunggal, yang keluar dari ketiak-ketiak daun. Posisi bunga menggantung, dan memiliki 5-6 daun mahkota bunga. Panjang bunga biasanya 1 - 1,5 cm, lebar 0,5 cm cm dan panjang tangkai bunga 1 – 2 cm. Tangkai putik berwarna putih, panjangnya sekitar 0,5 cm, sedangkan kepala putiknya berwarna kekuning-kuningan. Tangkai sari berwarna putih dengan panjangnya sekitar 0,5 cm. Kepala sari yang belum matang berwarna biru atau ungu (Rukmana 1996).

Berdasarkan data Informasi Hortikultura dan Aneka Tanaman, Departemen Pertanian (2000) produsen terbesar cabai adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi selatan. Tanaman cabai ini mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga berpeluang besar menjadi salah satu komoditas ekspor yang unggul. Berdasarkan data ekspor komoditi hortikultura, cabai merah telah berhasil diekspor ke Negara Singapura, Taiwan, Emirat Arab dan arab Saudi.

Data statistik menunjukkan bahwa areal pertanaman cabai merah adalah yang terluas antara sayuran yang diusahakan di Indonesia yaitu sekitar 19,12 persen dari total areal pertanaman sayuran (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura 2007). Jumlah penduduk yang semakin bertambah menggambarkan permintaan cabai yang semakin besar. Pada tahun 2002 terjadi penambahan areal pertanaman cabai dari 142,556 ha menjadi 150,598 ha. Namun luasnya areal pertanaman belum diikuti dengan tingginya produktivitas. Produksi cabai merah

di Indonesia pada tahun 2000 adalah 4,2 ton/ha, sedangkan pada tahun 2004 dan 2005 berturut-turut 5,67 ton/ha dan 5,84 ton/ha (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura 2007). Potensi produksi cabai merah dapat mencapai 12-20 ton/ha (Duriat 1996). Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, daya hasil cabai merah Indonesia tertinggal jauh. Sebagai contoh daya hasil cabai merah Cina mencapai 14,5 ton/ha (Rubatzky dan Yamaguchi 1997).

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai di Indonesia di antaranya adalah: penggunaan benih yang kurang bermutu, teknik budidaya yang belum sempurna, dan tingginya serangan hama dan penyakit. Secara umum pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan. Kenyataan di lapangan lingkungan pertumbuhan tanaman tidak selalu merupakan yang optimum bagi tanaman, sehingga seringkali tanaman tidak mampu mengekspresikan seluruh potensi genetika yang dimilikinya. Menurut Blum (1982) cekaman lingkungan merupakan faktor yang paling berperan terhadap adanya kesenjangan antara potensi dan hasil aktualnya.

Produksi cabai dapat ditingkatkan melalui program perluasan pertanaman dan intensifikasi budidaya. Kedua program ini sangat membutuhkan benih yang berkualitas, baik secara genetika maupun fisiologis. Benih yang berkualitas genetika tinggi dapat diperoleh melaui persilangan konvensional yang diikuti dengan proses seleksi.

Pemuliaan tanaman cabai konvensional untuk merakit varietas unggul merupakan cara yang banyak dilakukan untuk mengendalikan serangan hama penyakit. Kehadiran teknologi transformasi memberikan wahana baru bagi para pemulia tanaman untuk memperoleh gen baru yang lebih luas (Greenberg dan Glick 1993). Rekayasa genetika akan memberikan perbaikan dari karakter- karakter penting pada tanaman. Sifat ketahanan tanaman terhadap beberapa cekaman biotik seperti gulma, virus, serangga dan mikroorganisme telah dapat diperbaiki dengan pendekatan ini. Demikian pula terhadap cekaman abiotik dan modifikasi kualitas dan kuantitas produk tanaman (Bennet 1993). Suatu gen yang tidak terdapat pada suatu spesies tanaman tertentu dimungkinkan untuk dapat

diperoleh dari organisme lain seperti bakteri, virus, binatang dan tanaman lain (Herman 1996).

Teknik penyisipan gen (transformasi gen) akan menghasilkan tanaman transgenik yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai sumber plasma nutfah atau langsung diseleksi menjadi galur harapan. Transformasi gen secara in vitro

dengan menggunakan vektor Agrobacterium akan berhasil dan bermanfaat apabila sudah diperoleh protokol regenerasi tanaman yang efisien dan stabil. Kompetensi untuk beregenerasi yaitu kemampuan membentuk tanaman lengkap (mempunyai tunas dan akar) dan kompetensi untuk ditransformasi merupakan dua kunci penting penentu keberhasilan program transformasi genetika.

Kultur sel atau jaringan dan sistem regenerasinya memegang peranan yang sangat penting di dalam aplikasi bioteknologi atau transformasi genetika untuk program perbaikan tanaman. Beberapa usaha yang dilakukan untuk mencapai sistem regerasi yang efisien adalah dengan menentukan parameter penting yang spesifik pada tanaman (Parrot et al. 1992). Oleh karena itu, sebelum dilakukan transformasi genetika untuk memperoleh tanaman cabai yang tahan terhadap kondisi kekeringan diperlukan adanya sistem regenerasi yang efisien dan stabil.

Perbanyakan Tanaman Cabai Secara In Vitro

Terbatasnya informasi tentang regenerasi langsung atau organogenesis tanaman cabai merah merupakan salah satu indikasi sulitnya tanaman ini untuk diregerasikan secara in vitro. Informasi yang ada umumnya merupakan hasil penelitian terhadap cabai manis atau páprika (Sweet pepper), sehingga penelitian yang dilakukan terhadap cabai merah banyak mengacu kepada hasil penelitian regenerasi tanaman cabai paprika.

Sistem transformasi genetika memerlukan sel/jaringan yang mampu untuk membelah dan dapat diregenerasikan serta dapat ditumbuhkan dalam media seleksi antibiotik atau herbisida yang sesuai dengan gen yang dibawa dalam DNA yang tertransformasi.

Teori totipotensi yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann pada tahun 1838 merupakan dasar dari kultur jaringan. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap sel tanaman memiliki informasi genétika lengkap sehingga mampu

beregenerasi membentuk tanaman lengkap bila ditumbuhkan dalam lingkungan yang sesuai (Pierik 1987). George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa keberhasilan perbanyakan tanaman dengan metode kultur jaringan dipengaruhi banyak faktor antara lain : sifat genetikaa tanaman, pemilihan bagian tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan, umur eksplan, komposisi media tumbuh, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur.

Bagian tanaman cabai yang digunakan sebagai eksplan adalah kotiledon, hipokotil, daun muda, embrio muda, dan embrio matang. Untuk studi regenerasi langsung eksplan kotiledon, hipokotil, dan daun muda banyak digunakan (Hyde dan Philips 1996; Valera-Montero dan Ochoa-Alejo 1992; Philips dan Hubstenberger 1985; Agrawal et al. 1989; Ochoa-Alejo dan Garcia-Bautista 1992; Ebida dan Hu 1993).

Umur eksplan dan orientasi pengambilan eksplan mempengaruhi kemampuan eksplan untuk membentuk tunas secara in vitro (Fari dan Zcako 1981; Kato et al. 1996). Fari dan Zcako (1981) melaporkan bahwa segmen bagian hipokotil dapat terinduksi membentuk tunas, segmen bagian tengah dominan membentuk akar, dan segmen bagian bawah cendrung membentuk kalus yang banyak. Kato et al. (1996) melaporkan bahwa umur kecambah 25 hari merupakan umur terbaik sebagai sumber eksplan daun.

Eksplan daun muda dan hipokotil mempunyai potensi yang sama dalam kapasitasnya untuk membentuk tunas secara in vitro. Perbedaan respon terutama disebabkan oleh perbedaan genotip tanaman (Mahmood et al. 1995). Menurut hasil penelitiannya, Christopher dan Rajam (1996) bahwa eksplan daun lebih konsisten untuk membentuk tunas dibandingkan dengan eksplan hipokotil dan kotiledon. Efisiensi tunas tergantung kepada eksplan yang digunakan (Fari dan Zcako 1981; Zhu et al. 1998).

Sistem regenerasi tanaman secara in vitro paling tidak tiga faktor penting yang sangat berpengaruh. Faktor-faktor tersebut adalah genotipe, tipe eksplan dan komposisi media (Moghaieb et al.1999; Gubis et al. 2003). Media dasar yang paling banyak digunakan adalah mediaum dasar MS (Murashige dan Skoog 1962). Walaupun terdapat komposisi medium dasar lain, sampai sekarang belum

ditemukan komposisi medium dasar lain yang digunakan terhadap regenerasi tanaman cabai.

Umumnya zat pengatur tumbuh yang paling banyak digunakan untuk regenerasi tanaman cabai adalah komposisi antara BAP dan IAA (Gunay dan Rao 1978; Fari dan Zcako; 1981; Philips dan Hubstenberger 1985; Agrawal et al. 1989; Arroyo dan Revilla 1991; Valer-Monero dan Ochoa-alejo 1992; Mahmood

et al. 1996). Pada studi generasi tanaman cabai secara in vitro kombinasi BAP dan IAA ekstensif digunakan. Penggunaan BAP tinggi dan IAA rendah untuk induksi tunas adventif, BAP rendah dan IAA rendah untuk pemanjangan tunas, dan IAA rendah untuk merangsang perakaran (Gunay dan Rao 1978; Philips dan Hubstenberger 1985). Beberapa laporan juga menyatakan bahwa medium regenerasi tunas yang han ya ditambah dengan BAP saja berhasil dilakukan (Mahmood et al. 1995; Agrawal et al. 1989).

Cekaman Kekeringan pada Tanaman

Cekaman kekeringan merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman yang menghambat aktivitas fotosintesis dan translokasi fotosintat (Yakushiji et al. 1998; Savin dan Nicolas, 1996), selanjutnya mempengaruhi produktivitas tanaman. Istilah kekeringan ini menunjukkan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan tumbuhnya yaitu media tanam. Menurut Levit (1980) dan Bray (1997) cekaman kekeringan yang biasa disebut drought stress pada tanaman dapat disebabkan oleh dua hal yaitu (1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan (2) permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Pada lahan kering, cekaman kekeringan pada tanaman terjadi karena suplai air yang tidak mencukupi.

Menurut Wang et al. (1995) cekaman kekeringan yang dialami tanaman pada setiap periode pertumbuhan dan perkembangan dapat menurunkan hasil meskipun besar penurunannya tergantung fase pertumbuhan pada saat terjadi dan lamanya cekaman. Pada fase pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh pada beberapa asfek fisiologi serta morfologi, antara lain: menurunkan laju

kecepatan fotosintesis dan luas daun. Jika tanaman terkena cekaman kekeringan, potensial air daun akan menurun, pembentukan klorofil daun akan terganggu dan struktur kloroplas akan mengalami disintegnasi (Alberte et al. 1977). Kramer (1983) menjelaskan lebih lanjut bahwa pengaruh cekaman kekeringan pada pertumbuhan vegetatif terutama pada perluasan area daun dan pertumbuhan tunas baru dan nisbah akar-tajuk. Sedangkan pada pertumbuhan reproduktif mengakibatkan ketidaknormalan pembungaan, aborsi embrio, ketidaknormalan perkembangan biji dan buah. Ditambahkan oleh Sloane et al. (1990) bahwa tanaman pada fase perkembangan reproduktif sangat peka terhadap cekaman kekeringan. Kondisi cekaman kekeringan dapat menyebabkan gugurnya bunga, polong, dan biji yang telah terbentuk. Hal ini berhubungan dengan penurunan kecepatan fotosintesis akibat keterbatasan ketersediaan air.

Bray (1997) menyatakan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan tergantung pada jumlah air yang hilang, tingkat kerusakan dan lama cekaman kekeringan, dan juga sangat tergantung pada genotipe tanaman, lama dan jenis penyebab kehilangan air, umur dan fase perkembangan, tipe organ dan tipe sel dan bagian-bagian sub seluler. Kehilangan air pada tingkat seluler dapat menyebabkan perubahan konsentrasi senyawa osmotik terlarut, perubahan volume sel dan bentuk membran, perubahan gradien potensial air, kehilangan turgor, kerusakan atau kehancuran integrasi membran dan denaturasi protein. Menurut Savin dan Nicolas (1996), cekaman kekeringan tidak hanya mengurangi laju fotosintesis tetapi juga dapat mengakibatkan terjadinya senesen pada organ-organ fotosintesis. Akibat cekaman kekeringan dapat menyebabkan perbedaan penurunan hasil antara pada tanaman yang peka, dan juga pada tanaman yang toleran tetapi berbeda tingkat penurunannya.

Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat bertahan terhadap cekaman yang terjadi dan adanya toleransi atau mekanisme yang memungkinkan menghindari dampak buruk dari situasi cekaman tersebut. Karakter morfologi atau fenotipik (secara konvensional) umumnya digunakan untuk menduga tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yaitu dengan mengamati gejala secara visual di tingkat in vitro

perkembangan perakaran, gejala layu sebagian atau keseluruhan pada organ vegetatif atau organ reproduktif, merosotnya hasil panen dan kualitas hasil, serta ketidaktahanan hasil dalam penyimpanan.

Respon Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan dengan Penyesuaian Osmotik

Beberapa tanaman dapat mempertahankan tekanan turgor yang tinggi juga pada potensial air yang agak rendah dengan cara meningkatkan potensial osmotik melalui akumulasi zat terlarut yang meningkat di dalam sel. Proses ini disebut penyesuaian osmotik (osmotic adjustment) atau regulasi osmotik. Adanya penyesuaian osmotik, berarti menjaga turgor sel sehingga berarti pula menjaga integritas dan proses fisiologi sitoplasma. Penyesuaian osmotik berpotensi menjaga proses fotosintesis dan pertumbuhan tanaman (Riduan et al 2007).

Naiola dan Syarif (1996) dan Blum (1982) menyatakan bahwa potensial turgor merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan atau perluasan sel. Jika terjadi akumulasi atau peningkatan senyawa osmotik atau perpindahan K+, maka potensial osmotik menurun, sehingga air berdifusi ke dalam sel dan potensial turgor meningkat. Kandungan air tanaman untuk mempertahankan turgor ini dijaga oleh keseimbangan laju transpirasi dan penyerapan air oleh akar. Jika tanaman mengalami cekaman kekeringan, maka potensial turgor tanaman akan terganggu sebagai akibat ketidakseimbangan antara laju transpirasi yang terjadi dengan jumlah air yang dapat diserap oleh tanaman.

Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan melalui mekanisme pertahanan yang dimiliki oleh tanaman itu sendiri. Menurut Jones (1981) mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan adalah (1) penghindaran terhadap defisit air yang meliputi: a) melepaskan diri dari cekaman misalnya dengan memperpendek siklus pertumbuhan dan memperpanjang periode dorman, b) konservasi air pada tanaman yang diwujudkan dalam bentuk ukuran daun yang kecil, penutupan stomata dan penyerapan air yang efektif, diwujudkan dalam bentuk morfologi akar yang memanjang, dalam dan tebal, (2) toleran terhadap defisit air yaitu dengan cara: a) memelihara tekanan turgor, b) mengaktifkan larutan-larutan pelindung untuk aktivitas enzim-enzim yang toleran kekeringan, dan (3)

mekanisme efisiensi yaitu penggunaan air yang tersedia secara efisien dan memaksimalkan indeks panen.

Penyesuaian osmotik terjadi pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan secara perlahan dan juga pada cekaman medium. Namun, tidak semua tanaman mengembangkan penyesuaian osmotik sebagai respon terhadap cekaman kekeringan. Penyesuaian osmotik dipegaruhi oleh laju perkembangan cekaman, tingkat cekaman, kondisi lingkungan dan perbedaan genotipe tanaman. Disamping itu penyesuain osmotik melalui perubahan potenasial osmotik dipengaruhi oleh akumulasi senyawa terlarut, ukuran sel, volume senyawa terlarut dan ketebalan dinding sel. Menurut Levitt (1980) dan Blum (1996) penurunan potensial osmotik disebabkan oleh dua hal yaitu akibat menurunnya kadar air pada sel karena terjadi kehilangan air dan karena adanya tambahan akumulasi senyawa terlarut sehingga lebih menurunkan potensial osmotik. Ingram dan Bartels (1996) menyatakan potensial air daun total dapat dipelihara selama cekaman kekeringan sedang, melalui penyesuaian osmotik dengan melibatkan senyawa osmotik kompatibel.

Menurut Ingram dan Bartels (1996) dan Nguyen et al. (1977) senyawa organik terlarut yang terlibat pada penyesuaian osmotik bervariasi, antara lain gula-gula, asam organik, asam amino, dan senyawa terlarut kompatibel. ABA dan prolina merupakan senyawa yang memegang peranan penting untuk toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan (Kim & janick 1991; Hanson et al. 1979)

Prolina merupakan salah satu senyawa osmotik yang dibiosintesis dan diakumulasi pada berbagai jaringan tanaman yang dicekam kekeringan, terutama pada bagian daun (Yang dan Kao 1999). Fungsi lain yaitu memproteksi adanya denaturasi protein, sebagai sumber energi dari group asam amino dan merupakan protektan bagi enzim akibat pengaruh toksik biologi seperti urea, oleh karena itu prolina dikenal sebagai salah satu osmoprotektan (Notle et al. 1997). Sebagai osmoprotektan, prolina diduga sangat terlibat dalam osmoregulasi, menjaga kelarutan protein, kestabilan membran fosfolipid dan juga sebagai sumber cadangan karbon, nitrogen dan energi (Walton et al. 1998). Peranan prolina tidak hanya terbatas pada penyesuaian osmotik yang dikaitkan dengan status air, tetapi

juga mempunyai peranan lain seperti menetralisir pengaruh toksik NH; hasil hidrolisis protein sebagai sumber energi dan sumber N bagi pemulihan proses tanaman pasca cekaman kekeringan (Levitt 1980).

Prolina dijumpai terakumulasi lebih banyak pada tanaman yang lebih toleran terhadap cekaman kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang peka (Kirkham 1990; Yoshiba et al. 1997). Akumulasi prolina merupakan salah satu respon pada tanaman akibat cekaman kekeringan. Hasil penelitian Maesteri et al. (1995) menunjukkan bahwa kandungan prolina pada Coffea arabica clan C. canehora dapat meningkat dua kali lebih bayak pada kondisi cekaman kekeringan dibandingkan dengan tanpa perlakuan kekeringan. Dingkuhn et al. (1991) melaporkan bahwa akumulasi prolina berbeda antar kultivar padi dan berkorelasi negatif dengan potensial air dan berkorelasi positif dengan penyesuaian osmotik.

Delauney dan Verna (1983) menyatakan bahwa ditemukan indikasi korelasi positif antara akumulasi prolina dan adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan dan garam positif. Oleh karena itu sejumlah peneliti menyatakan bahwa prolina dapat dipertimbangkan sebagai indikator seleksi menyangkut adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan, terutama cekaman kekeringan dan salinitas (Kuznetsov dan Shevyakova 1997; Yoshiba et al. 1997).

Akumulasi prolina pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan disebabkan oleh aktivasi biosintesis prolina dan inaktivasi degradasi prolina. Hasil penelitian hubungan antara ekspresi gen-gen untuk enzim yang terlibat dalam biosintesis dan metabolisme prolina dan akumulasi prolina dibawah kondisi cekaman kekeringan menunjukkan bahwa level prolina pada tanaman diatur pada level transkripsi selama terjadinya cekaman kekeringan. Pada tanaman tingkat tinggi, prolina disintesis melalui lintasan asam glutamin dan ornitin. Lintasan dari glutamin merupakan rute primer untuk biosintesis prolina dalam kondisi cekaman kekeringan (Madan et al. 1995; Yoshiba et al. 1997). Prolina disintesis dari glutamin melalui dua senyawa intermediet yaitu glutamin semialdehyde (GSA) dan Pyrroline-5-carboxylate (P5C). Ada dua enzirn yang berperan dalam biosintesis prolina yaitu P5C synthetase (P5CS) pada step awal dan P5C reductase (P5CR) pada step kedua (Gambar 3).

Enzim P5CS adalah senyawa yang mengkatalis biosintesis prolina melalui jalur glutamat pada tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa P5CS merupakan penyandi enzim yang menjadi faktor pembatas dalam biosintesis prolina pada tanaman tingkat tinggi (Hu CA et al. 1992). Gen yang menyandi P5CS telah berhasil diisolasi dari berbagai tanaman yaitu dari Vigna aconitifolia (Hu CA et al. 1992), Arabidopsis thaliana dan padi serta ekspresi dan fungsinya telah diteliti. Dalam kondisi salinitas tinggi dan kekeringan, stimulasi biosistesis prolina berkorelasi dengan meningkatnya level P5CS.

Over-ekspresi dari P5CS menghasilkan akumulasi prolina pada tanaman transgenik dan terbukti meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Over-produksi prolina mampu meningkatkan secara significan terhadap biomassa akar dan perkembangan bunga pada tanaman transgenik di bawah kondisi cekaman kekeringan atau cekaman osmotik. Transformasi gen P5CS yang berasal dari V. aconitifolia ke tanaman tembakau di bawah kendali promoter konstitutif CaMV 35S, secara nyata terbukti menghasilkan aktivitas enzim P5CS yang lebih tinggi dan meningkatkan produksi prolina 10 sampai 18 kali lebih banyak dibandingkan tanaman non transgenik. Hasil membuktikan bahwa aktivitas enzim P5CS mempunyai peranan penentu dalam sintesis prolina. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa over-ekspresi gen P5CS mampu meningkatkan kandungan prolina secara nyata dan over-produksi prolina dapat meningkatkan pula toleransi tanaman transgenik tersebut terhadap cekaman kekeringan (Kavi Kishor et al. 1995).

Hasil penelitian pada tanaman padi yang diintroduksi gen P5CS dari mothbean (Vigna aconitifolia L.) mampu menunjukkan peningkatan aktivitas gen P5CS 5,3 sampai 9,8 kali lebih tinggi dan meningkatkan kandungan prolina 167 sam 252 % lebih tinggi dibandingakn tanaman control. Tanaman padi transgenik yang membawa gen P5CS juga dapat meningkatakn biomassa tanaman dalam kondisi cekaman kekeringan melalui peningkatan panjang akar 48%, berat tajuk 32% dan berat akar 164% lebih tinggi dibandingkan tanaman control (Zhu et al. 1998).

(A) Lintasan biosintesis L-prolina dari L-glutamin:

(B) Berbagai gen penyandi enzim untuk biosintesis L-prolina:

Gambar 3 Lintasan biosintesis L-prolina dari L-glutamin dan berbagai gen penyandi enzim yang diperlukan untuk biosintesis L-prolina. Gen P5CS merupakan gen penyandi enzim kunci dalam biosintesis prolina, yang ekspresinya meningkat dengan adanya cekaman kekeringan (dehidrasi) dan menurun dalam kondisi non-cekaman (rehidrasi)

L-glutamine

(L-glu)

Pyrroline- 5- b l t Glutamic- semialdehy d

L-

prolinae

(L-pro)

P5C dehydroge- nase (P5CDH) Prolinae dehydro- genase (ProDH) Spontan Pyrroline 5-carboxylase synthetase (P5CS) P5C reductase (P5CR) Spontan Dehidrasi Rehidrasi ABA

L-glu

GSA

P5C

L-pro

P5CDH ProDH

Spontan

P5CS P5CR Spontan

P5CDH gene ProDH gene

P5CS gene

P5CR gene

Dehidrasi

Dehidrasi Rehidrasi Rehidrasi

Plasmid pBI-P5CS

Molekul DNA sirkular yang terdapat bebas di dalam sitoplasma sel bakteri

Dokumen terkait