• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hati

Unggas mempunyai hati yang relatif besar. Facies parietalis hati yang berbentuk konveks membujur diantara tulang dada (os sternum) dan tulang rusuk

(ossa costales), diantara lengkungan dan lambung otot. Besar, warna dan

konsistensi dari hati sangat bervariasi menurut spesies, umur dan kondisi pakan. Pada ayam umumnya mempunyai berat berkisar antara 30-50 g, pada itik antara 60-115 g, pada angsa antara 85-170 g dan pada burung merpati antara 8-10 g. Warna hati pada saat baru menetas adalah kuning, kemudian setelah berumur sekitar dua minggu berubah menjadi coklat kemerahan. Pada unggas dewasa, warna hati dapat mencapai merah coklat cerah. Konsistensi hati pada ayam dan burung merpati umumnya lunak, sedang itik dan angsa lebih padat namun rapuh.

Hati terdiri dari dua gelambir, lobus hepatis sinister dan lobus hepatis dexter. Kedua gelambir ini dibentuk melalui adanya takik yang sempit, incisura interlobaris cranialis dan takik yang dalam, incisura interlobaris caudalis. Antara kedua gelambir tersebut dihubungkan oleh jembatan parenkim yang terletak sentral, pars interlobaris.

Kantong empedu (vesica fellea) terletak di facies visceralis dari gelambir kanan hati. Pada bangsa ayam berbentuk seperti buah ‘pir’ sedangkan pada itik dan angsa berbentuk seperti saluran pipa. Bangsa burung merpati (Columbifermes) dan kakatua (psittacifermes) tidak mempunyai vesica fellea

(Setijanto 1998).

Dalam hati terdapat tiga jenis jaringan yang penting yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan susunan saluran empedu. Ketiga jaringan ini saling berhubungan erat, sehingga kerusakan satu jenis jaringan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lain (Darmawan 1996).

Lobus hati dibalut oleh kapsula yaitu kapsula serosa dan kapsula fibrosa. Pada unggas mempunyai kapsula yang relatif tipis. Dari kapsula hati terbentuk jaringan interlobus yang memisahkan lobus yang satu dengan lobus yang lainnya. Jaringan interlobus bisa terlihat secara jelas atau tidak jelas, seperti pada babi memiliki gambaran lobuler yang jelas karena jaringan ikat interlobus tebal

sedangkan pada hewan lain termasuk unggas tidak mempunyai jaringan interlobus yang tidak begitu jelas (Ressang 1984; Banks 1985).

Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar pada hati. Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme, sel-sel ini terletak di antara sinusoid-sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu (Lu 1995). Hepatosit mempunyai bentuk polihedral dengan batas-batas yang jelas (Banks 1985). Pada susunan hepatosit unggas, lembaran hepatosit terdiri dari dua sel hati sedangkan pada mamalia susunan lembaran hepatosit hanya terdiri dari satu sel hati. Diantara sel-sel hati terdapat canaliculi empedu yang terbentuk dari tiga sampai lima dinding hepatosit yang berdekatan (Randall & Reece 1989).

Segitiga kiernan dibentuk oleh pertemuan beberapa unit lobus-lobus hati. Di dalam segitiga kiernan terdapat percabangan-percabangan vena portal, pembuluh empedu dan percabangan arteri hepatika (Ressang 1984). Bilateral dari jalinan sel-sel hati diisi oleh sinusoid-sinusoid yang ditunjang serabut retikuler. Sinusoid mirip kapiler dengan lumen meluas dan jalinan sel-selnya tidak sempurna, sehingga banyak celah. Lumen dibalut oleh dua macam sel yakni sel endotelial dan sel kupfer yang lebih besar dan bersifat fagositik terhadap benda asing. Sel kupfer biasanya terletak di dekat sel endotelial akan tetapi mempunyai lamina basalis dan tidak mempunyai celah antar sel, tetapi benda-benda atau material dapat bergerak bebas antara plasma dan hepatosit. Walaupun hepatosit dan sinusoid dekat tetapi dipisahkan oleh celah yang disebut celah disse yang bervariasi lebar dan luasnya (Banks 1985; Eustis et al. 1990).

Sebagai organ dan kelenjar terbesar maka fungsi hati yang berkaitan langsung dengan sel-sel hati adalah :1) Sebagai kelenjar eksokrin, hati mensekresikan atau memproduksi empedu yang terdiri dari garam-garam empedu, pigmen-pigmen empedu dan sedikit asam lemak, sabun-sabun, lesitin dan garam-garam mineral. 2) Metabolisme lemak, protein dan karbohidrat. 3) Pembentukan darah merah. Hal ini terutama terlihat pada jenis burung, pada mamalia dalam keadaan luar biasa hati dapat turut membentuk eritrosit-eritrosit, misalnya pada anemia berat dan menahun. 4) Metabolisme dan menyimpan vitamin. Bila fungsi hati terganggu maka penyerapan vitamin K akan terganggu disamping itu penyerapan vitamin A, D, E juga ikut terganggu. 5) Metabolisme zat besi. Sel-sel

RES di dalam hati turut serta menghancurkan eritrosit-eritrosit pada beberapa jenis hewan. Besi yang dipisahkan dan disimpan di dalam hati untuk dipergunakan lagi pada pembuatan sel-sel darah merah baru. 6) Merombak bahan-bahan seperti obat, hormon dan bahan-bahan-bahan-bahan toksik yang masuk kedalam tubuh melalui proses biotransformasi. Hormon-hormon yang sudah selesai bekerja pada target organnya harus segara dirombak di dalam hati. 7) Sel-sel hati mampu untuk mensintesa gula, protein, lemak, urea dan bahan-bahan keton (Ressang 1984; Banks 1985).

Aliran darah yang masuk ke hati akan membawa nutrisi dan zat-zat toksik, sebagian besar zat toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah diserap zat tersebut dibawa oleh vena porta menuju hati (Lu 1995). Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton 1995). Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari 80% tanpa menyebabkan gejala yang berat dan dapat sembuh kembali secara sempurna (Ressang 1984).

Hati dapat mengalami beberapa perubahan diantaranya adalah degenerasi. Degenerasi hidropis dan degenerasi berbutir kadang terlihat pada sel-sel hati. Degenerasi hyalin jaringan ikat sering terjadi pada proses peradangan hati yang menahun, sedangkan pada degenerasi lemak terjadi penumpukan lemak di lobuli hati yang sering terlihat pada akhir masa kebuntingan karena kekurangan oksigen dan adanya bahan toksik dan lain-lain. Hati juga dapat mengalami nekrosa yang disebabkan oleh dua hal yaitu 1). Toksopatik, disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik. 2). Trofopatik, akibat kekurangan oksigen, zat-zat makanan dan sebagainya (Ressang 1984). Degenerasi lemak dan nekrosa merupakan stadium permulaan dari proses kelainan dalam hati yang kemudian

menjurus ke arah suatu proses peradangan. Peradangan di dalam hati dapat terjadi secara infeksius maupun non infeksius. Peradangan secara non infeksius secara umum disebabkan oleh toksin. Hepatitis non infeksius atau toksik dapat terjadi secara akut maupun kronis.

Degenerasi dapat terjadi pada sitoplasma dan inti sel. Degenerasi sitoplasma hati kadang-kadang disertai kelainan inti sekunder, atropi dan nekrosis sel, sehingga sel-sel menjadi hilang. Luas degenerasi lebih penting dari pada jenisnya bagi gangguan fungsi hati. Degenerasi yang sering terjadi di bagi beberapa macam, antara lain: 1) Degenerasi bengkak atau keruh (cloudy swelling). Perubahan ini ditandai oleh adanya sel-sel yang membengkak disertai sitoplasma yang bergranul (berbutir-butir) sehingga jaringan nampak keruh. Perubahan ini biasanya terjadi pada sel tubulus ginjal, sel hati dan sel otot jantung yang disebabkan oleh infeksi, demam, keracunan, suhu yang rendah dan tinggi, anoksia, gizi buruk dan gangguan sirkulasi. Perubahan yang terjadi bersifat reversibel. Sedangkan kebengkakan dan kekeruhan terjadi karena bertambahnya jumlah air dalam sel. 2) Degenerasi hidropik (degenerasi vakuoler). Pada degenerasi hidropik, edema intraseluler lebih mencolok dari pada degenerasi bengkak keruh. Meskipun masih reversibel tetapi menunjukkan kerusakan yang lebih keras. Penyebabnya dianggap sama dengan degenerasi bengkak keruh, hanya intensitasnya lebih dan dan jangka waktunya lebih lama. Kemunduran sering terjadi pada sel tubulus ginjal pada keadaan hipokalsemia, pada sel hati akibat racun-racun seperti karbon tetraklorida atau kloroform. Secara mikroskopis tampak vakuola yang jernih tersebar di dalam sitoplasma. Kadang-kadang vakuola kecil-kecil bersatu membentuk vakuola lebih besar sehingga inti sel terdesak ke pinggir (Saleh 1996).

Nekrosa ialah tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel yang disertai reaksi radang, kolaps atau bendungan rangka hati dengan eritrosit. Kelainan ini adalah tingkat lanjut degenerasi dan reversibel. Penyebab nekrosis sel hati ialah rusaknya susunan enzim dari hati. Malnutrisi, deplesi glikogen dan anoxia menahun dapat merupakan predisposisi untuk nekrosis sel hati akibat hepatotoksin (Darmawan 1996). Nekrosis diawali dengan perubahan inti sel (nukleus) yaitu hilangnya gambaran kromatin, inti sel

ini menjadi keriput, tidak vesikuler lagi, inti tampak lebih padat, warnanya gelap kehitaman (pyknotik), inti sel hati terbagi atas fragmen-fragmen, robek (karyoreksis) dan inti sel hati tidak lagi megambil warna banyak sehingga warnanya pucat, tidak nyata (karyolisis) (Saleh 1996).

Asam Lemak Tak Jenuh

Sumber Asam Lemak Omega 3 (n-3) dan Omega 6 (n-6)

Asam lemak tak jenuh ganda adalah jika terdapat dua atau lebih ikatan ganda dari atom C. Minyak yang berasal dari biji-bijian seperti minyak jagung, kaya akan asam lemak tak jenuh ganda. Pada tanaman, tidak seperti hewan, dapat menyisipkan ikatan tak jenuh dalam asam oleat (C18:1 n-9) antara ikatan tak jenuh pada posisi ke-9 dengan gugus metil. Enzim 12-desaturase dapat mengubah asam oleat menjadi bentuk asam linoleat (C18:2 n-6) yang dapat mengalami penjenuhan lebih lanjut pada posisi karbon ke-3 (n-3) oleh enzim 15-desaturase yang menghasilkan asam linoleat (C18:3 n-3) (BNF 1994).

Asam linoleat : n-6 (C18:2) CH3-(CH2)4-CH=CH-CH2-CH=(CH2)7-COOH Asam linolenat : n-3 (C18:3) CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)7-COOH 5,18,11,14,17- asam eikosapentaenoat (C20:5 n-3) CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)3-COOH 4,7,10,13,16,19-asam dokoheksaenoat (C22:6 n-3) CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)2-COOH

Gambar 1. Rantai karbon beberapa asam lemak n-3 dan n-6 (Sumber : Kreutler, 1980)

Lokasi ikatan rangkap ganda pada rantai karbon dari asam lemak tak jenuh ganda menyebabkan perbedaan yang besar, bagaimana asam lemak tersebut dimetabolisasi. Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke-3 dari gugus metil yang paling ujung dinamakan asam lemak omega 3 (n-3). Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke-6 dari gugus metil yang paling ujung dikatakan asam lemak omega 6 (n-6). Kebanyakan asam lemak n-3 adalah α-linolenat (18:3), asam eikosapentaenoat (EPA 20:3), dan asam lemak dokosaheksaenoat (DHA 22:6); asam linoleat adalah sebagian besar dari n-6. α

-l D f b y ( y e d G linolenat da DHA dijum fitoplankton Hati biosintesis d yakni “Fatty (C16:0) dan Ada yang berper enzim yang desaturase, 6 Gambar 2. an linoleat d mpai pada h n (Kreutler 1 Me organ yang dikatalisasi o y acid synthe asam Steara beberapa en ran dalam m g berperan m 6-desaturase Transforma utama yang (sumber: BN ditemukan d hewan laut, 980). etabolisme A g sangat pe oleh kelomp etase”. Prod at (C18:0) (B nzim yang be memperpanj menambah e, 5-desatura si metabolik g mengalam NF 1994) dalam minya terutama b Asam lema enting dalam pok enzim da duk akhir yan BNF 1994). erperan dalam ang rantai k ikatan tak se dan 4- de k dari tiga mi penambah ak tanaman bangsa ikan k Tak Jenu m biosintesis alam bentuk ng dihasilkan m proses me karbon yaitu jenuh dari saturase. kelompok a han karbon , sedangkan n yang men uh s asam lem k multi komp n adalah asa etabolisme a u enzim elo asam lemak asam lemak dan ikatan n EPA dan ngkonsumsi mak. Reaksi plek enzim am palmitat asam lemak ongase dan k yaitu 9-k ta9-k jenuh tak jenuh.

Asam lemak n-3 dan n-6 lebih lanjut dimetabolisasi dalam sel. Asam linoleat dalam sel akan diperpanjang menjadi 20 karbon dan dapat mengalami penjenuhan, ikatan rangkap bertambah, menghasilkan arachidonat. Alpha linolenat dapat diperpanjang menjadi 20 karbon dan 2 ikatan rangkap bertambah menjadi “eicosa penta enoic” (EPA). Pada beberapa kejadian asam arachidonat dan EPA dimetabolisasi menjadi “docosa hexa enoic acid” (DHA) (Kreutler 1980).

Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) Terhadap Respon Kekebalan

Pada ayam broiler menunjukkan bahwa sumber lemak dan komposisi asam lemak, bisa mempengaruhi komposisi jaringan lymphoid dan fungsi sel imun (Fritsche et al. 1991a). Defisiensi PUFA mengurangi proliferasi limfosit, produksi Interkulin-2 (IL-2), monocyte and polymorphonuclear (PMN) cell chemotaxis pada mamalia (Kinsella et al. 1990; Lefkowith 1990). Rendah dan tingginya konsumsi PUFA berhubungan dengan menurunnya produksi antibodi dan proliferasi limfosit, sedangkan optimal respon kekebalan terjadi pada konsumsi linoleat sebanyak 47% dari total asam lemak (Friedman & Sklan 1995). Hasil penelitian Friedman dan Sklan (1997), menunjukkan bahwa produksi antibodi berhubungan secara kuadratik terhadap konsentrasi linoleat dan total n-6 PUFA serum. Respon produksi antibodi yang optimal terjadi pada konsentrasi linoleat plasma 40-50% dari total asam lemak.

Peranan (n-3) PUFA Terhadap Respon Kekebalan

Peningkatan penambahan minyak ikan (0,5%; 1% dan 2%) dalam ransum meningkatkan performa dan dapat menurunkan dampak inflammatory response

tetapi tidak mengubah respon immune pada ayam yang sedang tumbuh (Korver & Klasing 1997)

Frietsche et al. (1991a), melaporkan bahwa ayam yang diberi ransum yang mengandung 7g menhaden oil per 100g ransum mempunyai respon antibodi tertingi terhadap sheep red blood cells dibanding ayam yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau minyak canola. Cellular immune

splenocytes pada broiler yang diberi makan 7g minyak ikan lebih rendah dibanding yang diberi 7g minyak jagung/100g ransum, meskipun citotoxicity dari

pheripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan tersebut (Frietsche & Cassity 1992).

Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek pengaturan imunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi Anti-sheep red blood cell pada tikus yang diberi 17g minyak ikan + 3g minyak jagung/100g ransum dan suplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100g ransum, ternyata lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung minyak jagung dengan suplementasi vitamin E yang sama (Frietsche et al. 1992).

Interaksi PUFA dengan vitamin E

Meskipun memberikan pengaruh positif, suplementasi minyak ikan juga memberikan pengaruh negatif seperti meningkatnya peroksidasi lemak. Efek peningkatan peroksidasi lemak berdampak buruk terhadap fungsi kekebalan tubuh. Zoshke & Messner (1984), melaporkan bahwa mitogenesis limfosit ditekan oleh produk peroksidasi.

Peningkatan metabolit peroksidasi lemak bisa disebabkan oleh menurunnya status vitamin E dalam plasma yang mempunyai peran sebagai antioksidan. Kelebihan asam lemak tak jenuh dalam ransum bisa merangsang kekurangan Vitamin E dan akibatnya adalah kejadian defisiensi seperti distrofi otot (Manalu 1999).

Infectious Bursal Disease

Infectious Bursal Disease (IBD) atau sering juga disebut Gumboro

disebabkan oleh virus RNA dari famili Birnaviridae dan virionnya mempunyai garis tengah antara 55 sampai 65 μm. IBD merupakan virus yang tidak memiliki selubung, konfigurasi berbentuk iksosahedral (Hirai dan Shimakura 1974). Pada partikel virus IBD ditemukan 4 struktur protein yang berhasil diidentifikasi, dua kompenen yang besar yaitu VP2 dan VP3 sedangkan komponen yang kecil dari virion adalah VP1 dan VP4. virus ini memiliki genom bersegmen dua: A dan B yang tersusun dari dua untaian RNA sehingga dinamakan Birnavirus (Fahey et al.

Pemanasan pada temperature 56°C selama 5 jam dan 60°C selama lebih dari 30 menit atau pada suhu 37°C selama 90 menit, virus ini masih bertahan. Akan tetapi dengan pemanasan pada temperarur 70°C selama 30 menit virus akan mati (Beton

et al. 1967). Virus penyebab gumboro tahan terhadap pH rendah (2,0) selama satu jam tetapi tidak tahan terhadap pH basa (12,0). Virus IBD tahan terhadap senyawa phenol dan methiolate, namun virus akan mati dengan pemberian formaldehida konsentrasi 5% (Beton et al.1967).

McFeran et al.(1980) melaporkan bahwa virus IBD asal Eropa terdiri dari serotype I dan II selain itu juga diketahui adanya variasi susunan asam amino antigen diantara isolat IBD tersebut. Diantara virus serotipe I dan II, juga diketahui ada variasi dalam susunan antigen antara galur yang berbeda. Galur yang berbeda itu disebut subtipe atau varian. Subtipe didefenisikan sebagai kelompok isolat virus yang dapat dibedakan dari isolat virus lainnya dalam serotipe yang sama dengan jalan netralisasi virus atau uji proteksi silang. Virus varian menyebabkan pengecilan bursa fabricius lebih cepat dan menimbulkan efek negatif lebih berat terhadap organ timus. Selain itu virus varian tersebut tidak dapat dinetralkan oleh antibodi asal induk maupun antibodi hasil vaksinasi dengan virus standar. Virus varian juga mempunyai sifat biologik yang berbeda dari virus standar (Lukert & Saif 1991).

Infeksi alam akibat virus IBD serotipe II tidak menimbulkan perubahan klinik karena bersifat sedikit patogen atau tidak patogen sama sekali. Virus ini biasanya menyerang kalkun namun secara serologik dapat juga ditemukan pada ayam pedaging dan pembibit. Serotipe I bersifat sangat patogen dan banyak ditemukan di peternakan pembibit. Kedua serotipe ini dapat dibedakan dengan uji netralisasi (Mahardika & Beth 1995).

Menurut Beton et al. (1967) IBD adalah penyakit menular dan sangat kontagius serta penyebaran sangat cepat melalui kontak langsung antara ayam sehat (muda) dengan ayam terinfeksi pada peternakan. Infeksi tidak langsung dengan virus IBD dapat terjadi karena agennya dapat bertahan hidup di lingkungan sekitar peternakan hingga 3-4 bulan. Benda-benda yang berada di tempat terjadinya penyakit berpotensi menularkan virus pada ayam rentan. Pada umumnya penularan penyakit terjadi karena adanya kontaminasi pada makanan

dan air minum ayam. Virus IBD dapat bertahan hidup sampai 6 bulan pada alas kandang yang kering dan dapat bertahan lebih dari satu tahun pada kandang yang tidak terpakai. Selain itu serangga (misalnya tungau dan nyamuk), burung liar, tikus mungkin juga berperan dalam penularan. Hal tersebut dengan berhasil diisolasinya virus IBD dari satu jenis cacing Alphatobius disperinus dan nyamuk

Aedes vexanus (Anonimus 1997).

Infectious Bursal Disease atau Penyakit Gumboro biasanya menyerang ayam yang berumur antara satu hari sampai tujuh minggu, namun dapat ditemukan pada ayam umur 15 minggu. Ayam yang paling rentan terhadp infeksi penyakit Gumboro adalah yang berumur antara 3 sampai 6 minggu, sehingga kerugian ekonomi yang terbesar akibat serangan penyakit Gumboro berkisar antara umur-umur tersebut (Hitchner 1978).

Masa inkubasi penyakit ini sangat singkat yaitu antara 18-24 jam sedangkan tanda klinik yang terlihat dalam 2-3 hari. Terdapat dua bentuk penyakit Gumboro, bentuk pertama adalah bentuk penyakit Gumboro yang klasik atau klinis. Penyakit Gumboro bentuk ini menyerang ayam yang berumur antara 3-6 minggu. Ayam yang terserang penyakit ini menunjukkan tanda-tanda seperti depresi secara umum dan diikuti dengan hilangnya nafsu makan, sakit secara tiba-tiba, bulu kusut, lemah, malas bergerak, kepala sering menunduk dan paruhnya dimasukkan ke dalam litter. Bila ayam yang terinfeksi dipaksa untuk berjalan, akan terlihat jalannya kaku atau jatuh kesamping dan ayam yang seperti ini akan mati dalam waktu singkat. Tanda lain adalah bulu disekitar kloaka kotor, feses berair serta berwarna keputih-putihan. Ayam akan mematuk-matuk daerah kloaka. Hal ini dapat merupakan suatu tanda adanya kelainan di daerah tersebut dan sering kali timbul sebagai manifestasi gejala dini penyakit Gumboro (Winterfield & Hitchner 1964). Gumboro bentuk klinis juga dapat dicirikan dengan adanya perdarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot paha bagian tengah atau bagian pinggiran perut (lateral abdomen).

Bentuk Gumboro yang kedua adalah bentuk subklinik atau disebut juga bentuk dini. Bentuk kedua ini besar pengaruhnya terhadap perekonomian perternakan ayam. Penyakit Gumboro bentuk ini menyerang ayam berumur antara 0 sampai 2 hari. Pada saat terjadi infeksi, ayam tidak memperlihatkan gejala

klinis. Akan tetapi dapat merusak sistem kekebalan ayam yang terinfeksi, sehingga pada ayam umur dini hal ini mempunyai dua akibat utama. Pertama, akan meningkatkan kerentanan ayam terhadap infeksi viral dan bakteri lainnya. Kedua, akan menurunkan respon terhadap vaksinasi penyakit lain seperti

Newcastel Disease (Edwards 1981).

Giambrone (1979) menyatakan bahwa ayam yang terinfeksi subklinik akan kehilangan kekebalan tubuh secara permanen sehingga mudah terserang oleh virus, bakteri maupun cendawan. Menurut Subekti (2000) infeksi IBD juga dapat diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus dan Avian nepritis. Ayam yang terinfeksi sejak dini akan mengalami penekanan respon antibodi terhadap vaksinasi, juga terhadap infeksi oleh kuman lain (Hirai et al. 1979).

Gambaran yang paling menarik dari patogenitas dan perubahan patologi adalah replikasi selektif dari birnavirus pada bursa fabricius yang membesar (sampai lima kali ukuran normal), edema, hiperemia dan berwarna krem, dengan garis memanjang yang mencolok. Perdarahan terjadi di bawah serosa dan terdapat fokus nekrosis di seluruh parenkim bursa. Pada pemeriksaan juga dapat ditemukan bursa mengalami atrofi dan berwarna abu-abu serta ginjal biasanya membesar dengan penumpukan asam urat akibat dehidrasi, dan kemungkinan terbentuk kompleks kekebalan pada glomeruli.

Perubahan pascamati IBD adalah adanya bercak kemerahan (hemorhagi) pada otot dada dan paha bagian dalam, titik perdarahan pada daerah perbatasan organ proventrikulus dengan lambung dan tanda khas yang terlihat adalah nekrosis pada bursa fabricius disertai dengan perdarahan dan edema peribursal (Da Silva et al.1992).

Dokumen terkait