GAMB
YAN
SETELA
BARAN H
NG DITAN
AH PEMB
FAKU
INS
HISTOPAT
NTANG V
BERIAN M
NIVIC B
ULTAS KE
STITUT P
TOLOGI H
VIRUS
Inf
MINYAK
CO SIMAM B04103050
EDOKTE
PERTANIA
2007
HATI AY
fectious Bu
K IKAN DA
MORA
RAN HEW
AN BOGO
YAM BRO
ursal Dise
AN VITAM
WAN
OR
OILER
ease
GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER
YANG DITANTANG VIRUS
Infectious Bursal Disease
SETELAH PEMBERIAN MINYAK IKAN DAN VITAMIN E
NIVICO SIMAMORA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakutas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
NIVICO SIMAMORA. Gambaran Histopatologi Ayam Broiler Yang Ditantang Virus Infectious Bursal Disease Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER YANG DITANTANG VIRUS
Infectious Bursal Disease
SETELAH PEMBERIAN MINYAK IKAN DAN VITAMIN E
Nama : Nivico Simamora
NRP : B04103050
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D
NIP. 131 760 847
Mengetahui :
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
NIP. 131 129 090
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Doloksanggul, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal
16 Juni 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak
R.Simamora dan Ibu B. Manullang (Alm).
Tahun 1997 penulis lulus dari SD Santa Maria Doloksanggul dan
melanjutkan pendidikan di SLTP Santa Lusia Doloksanggul dan lulus pada tahun
2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Bintang Timur 1 Balige
dan lulus pada tahun 2003.
Tahun 2003 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI, jurusan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini.. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2006 – Juli 2007. Penelitian
ini dilakukan terdorong oleh keinginan untuk memanfaatkan limbah dari industri
pengalengan ikan yaitu berupa minyak ikan menjadi campuran pakan ternak. Pada
kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang mendukung hingga terselesaikannya tugas akhir ini, khususnya kepada:
1. Orangtua tercinta (Bapa/Oma) atas segala perhatian, kesabaran dan doanya.
Rimta, Nuria, Tati, dan Nella atas dukungannya.
2. drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing atas saran, kritik,
serta masukan yang diberikan.
3. drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D selaku dosen penguji.
4. Ir. Denny Rusmana Msi. Atas segala bantuannya sehingga terselenggaranya
penelitian ini.
5. Teman-teman sepenelitian Bangkit, Elpitha dan Mudia. Teman seangkatan,
teman-teman satu kost wisma alamanda Desman, Freddy et al. 6. Seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari semua pihak. Kiranya dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Bogor, September 2007
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………...
DAFTAR TABEL………...
DAFTAR GAMBAR……….. vii
viii
ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……… Tujuan Penelitian ………... Manfaat Penelitian ………...
1 2 2
DAFTAR PUSTAKA
Hati……… Asam Lemak Tak Jenuh
Sumber Asam lemak n-3 dan n-6... Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh... Peranan Asam Lemak Tak jenuh Ganda Terhadap Respon
kekebalan... Peranan (n-3) PUFA Terhadap Respon Kekebalan…………... Interaksi PUFA dengan Vitamin E………..…... Infectious Bursal Disease (IBD)………...
3
7 8
9 9 10 10
MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat... Materi... Metoda...
14 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN... 17
KESIMPULAN DAN SARAN... 23
DAFTAR PUSTAKA... 24
LAMPIRAN... 27
Halaman
1. Komposisi ransum penelitiaan………...
2. Data kerusakan organ hati berdasarkan gambaran histopatologi, yang
ditunjukkan berdasarkan skoring………...……….... 15
17
Halaman
1. Rantai karbon beberapa asam lemak n-3 dan n-6………
2. Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh
utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh……
3. Model kandang ayam penelitian………
4. Hati normal, sel hepatosit tersusun radier terhadap vena sentralis.
Pewarnaan HE (perbesaran objektif 10X)………
5. Hati mengalami degenerasi berbutir dan degenerasi lemak.
Pewarnaan HE (perbesaran objektif 10X)……..………
6. Hati mengalami perdarahan dan sarang radang. Pewarnaan HE
(perbesaran objektif 10X)………..
7. Grafik perbandingan rataan skor kerusakan histopatologi hati broiler
pada tiap perlakuan……… 7
8
14
18
18
19
PENDAHULUAN
Latar belakang
Peningkatan jumlah penduduk di dunia, terutama di wilayah Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut menyebabkan terjadi pula
peningkatan permintaan kebutuhan protein yang berasal dari hewan. Peningkatan
jumlah penduduk yang semakin pesat membuat perubahan yang nyata terhadap
permintaan protein hewani. Untuk memenuhi permintaan protein hewani, maka
para peternak harus mencari cara yang efisien untuk mengoptimalkan
produktivitas ternak yang dipeliharanya. Banyak cara telah dilakukan di bidang
peternakan untuk meningkatkan produksi ternak agar dapat mengimbangi
permintaan masyarakat akan protein hewani. Salah satu cara yang sering
dilakukan oleh para peternak adalah pencegahan penyakit dengan memperbaiki
kualitas pakan yang dapat meningkatkan kekebalan (imunitas) ternak.
Ada beberapa zat makanan yang dapat ditambahkan kedalam makanan
untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh ternak diantaranya asam lemak tak
jenuh ganda (PUFA). Minyak yang kaya asam lemak omega 6 (n-6) dan omega 3
(n-3) pada tingkat tertentu dapat meningkatkan imunitas (Friedman & Sklan
1997). Pemberian minyak yang kaya asam lemak n-3 dalam ransum ayam broiler
ternyata mampu menghasilkan respon titer antibodi yang lebih tinggi terhadap
sheep red blood cell dibandingkan dengan yang diberi minyak yang mengandung asam lemak n-6 (Frietsche et al. 1991a).
Ransum ayam broiler lebih dari 50% adalah jagung. Pakan jagung kaya
akan asam lemak n-6, sehingga perlu ditambahkan minyak yang kaya asam lemak
n-3 dalam upaya meningkatkan imbangan asam lemak n-3 dan n-6. salah satu
sumber minyak yang kaya asam lemak n-3 yaitu minyak ikan. Di Indonesia
terdapat 72 industri pengalengan ikan yang menyerap bahan baku ikan segar
sekitar 90683 ton (BPS 1997), dengan tingkat produksi minyak sekitar 0,1 -0,5%
dari bahan bakunya.
Rusmana et al. (2000), melaporkan bahwa penambahan minyak ikan tuna sebesar 6% dalam ransum ayam kampung dapat meningkatkan imbangan asam
GAMB
YAN
SETELA
BARAN H
NG DITAN
AH PEMB
FAKU
INS
HISTOPAT
NTANG V
BERIAN M
NIVIC B
ULTAS KE
STITUT P
TOLOGI H
VIRUS
Inf
MINYAK
CO SIMAM B04103050
EDOKTE
PERTANIA
2007
HATI AY
fectious Bu
K IKAN DA
MORA
RAN HEW
AN BOGO
YAM BRO
ursal Dise
AN VITAM
WAN
OR
OILER
ease
GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER
YANG DITANTANG VIRUS
Infectious Bursal Disease
SETELAH PEMBERIAN MINYAK IKAN DAN VITAMIN E
NIVICO SIMAMORA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakutas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
NIVICO SIMAMORA. Gambaran Histopatologi Ayam Broiler Yang Ditantang Virus Infectious Bursal Disease Setelah Pemberian Minyak Ikan dan Vitamin E. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : GAMBARAN HISTOPATOLOGI HATI AYAM BROILER YANG DITANTANG VIRUS
Infectious Bursal Disease
SETELAH PEMBERIAN MINYAK IKAN DAN VITAMIN E
Nama : Nivico Simamora
NRP : B04103050
Menyetujui :
Dosen Pembimbing
drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D
NIP. 131 760 847
Mengetahui :
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
NIP. 131 129 090
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Doloksanggul, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal
16 Juni 1985. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Bapak
R.Simamora dan Ibu B. Manullang (Alm).
Tahun 1997 penulis lulus dari SD Santa Maria Doloksanggul dan
melanjutkan pendidikan di SLTP Santa Lusia Doloksanggul dan lulus pada tahun
2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Bintang Timur 1 Balige
dan lulus pada tahun 2003.
Tahun 2003 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI, jurusan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini.. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2006 – Juli 2007. Penelitian
ini dilakukan terdorong oleh keinginan untuk memanfaatkan limbah dari industri
pengalengan ikan yaitu berupa minyak ikan menjadi campuran pakan ternak. Pada
kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang mendukung hingga terselesaikannya tugas akhir ini, khususnya kepada:
1. Orangtua tercinta (Bapa/Oma) atas segala perhatian, kesabaran dan doanya.
Rimta, Nuria, Tati, dan Nella atas dukungannya.
2. drh. Agus Setiyono, MS. Ph.D selaku dosen pembimbing atas saran, kritik,
serta masukan yang diberikan.
3. drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D selaku dosen penguji.
4. Ir. Denny Rusmana Msi. Atas segala bantuannya sehingga terselenggaranya
penelitian ini.
5. Teman-teman sepenelitian Bangkit, Elpitha dan Mudia. Teman seangkatan,
teman-teman satu kost wisma alamanda Desman, Freddy et al. 6. Seluruh pihak yang telah membantu penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari semua pihak. Kiranya dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Bogor, September 2007
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………...
DAFTAR TABEL………...
DAFTAR GAMBAR……….. vii
viii
ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……… Tujuan Penelitian ………... Manfaat Penelitian ………...
1 2 2
DAFTAR PUSTAKA
Hati……… Asam Lemak Tak Jenuh
Sumber Asam lemak n-3 dan n-6... Metabolisme Asam Lemak Tak Jenuh... Peranan Asam Lemak Tak jenuh Ganda Terhadap Respon
kekebalan... Peranan (n-3) PUFA Terhadap Respon Kekebalan…………... Interaksi PUFA dengan Vitamin E………..…... Infectious Bursal Disease (IBD)………...
3
7 8
9 9 10 10
MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat... Materi... Metoda...
14 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN... 17
KESIMPULAN DAN SARAN... 23
DAFTAR PUSTAKA... 24
LAMPIRAN... 27
Halaman
1. Komposisi ransum penelitiaan………...
2. Data kerusakan organ hati berdasarkan gambaran histopatologi, yang
ditunjukkan berdasarkan skoring………...……….... 15
17
Halaman
1. Rantai karbon beberapa asam lemak n-3 dan n-6………
2. Transformasi metabolik dari tiga kelompok asam lemak tak jenuh
utama yang mengalami penambahan karbon dan ikatan tak jenuh……
3. Model kandang ayam penelitian………
4. Hati normal, sel hepatosit tersusun radier terhadap vena sentralis.
Pewarnaan HE (perbesaran objektif 10X)………
5. Hati mengalami degenerasi berbutir dan degenerasi lemak.
Pewarnaan HE (perbesaran objektif 10X)……..………
6. Hati mengalami perdarahan dan sarang radang. Pewarnaan HE
(perbesaran objektif 10X)………..
7. Grafik perbandingan rataan skor kerusakan histopatologi hati broiler
pada tiap perlakuan……… 7
8
14
18
18
19
PENDAHULUAN
Latar belakang
Peningkatan jumlah penduduk di dunia, terutama di wilayah Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut menyebabkan terjadi pula
peningkatan permintaan kebutuhan protein yang berasal dari hewan. Peningkatan
jumlah penduduk yang semakin pesat membuat perubahan yang nyata terhadap
permintaan protein hewani. Untuk memenuhi permintaan protein hewani, maka
para peternak harus mencari cara yang efisien untuk mengoptimalkan
produktivitas ternak yang dipeliharanya. Banyak cara telah dilakukan di bidang
peternakan untuk meningkatkan produksi ternak agar dapat mengimbangi
permintaan masyarakat akan protein hewani. Salah satu cara yang sering
dilakukan oleh para peternak adalah pencegahan penyakit dengan memperbaiki
kualitas pakan yang dapat meningkatkan kekebalan (imunitas) ternak.
Ada beberapa zat makanan yang dapat ditambahkan kedalam makanan
untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh ternak diantaranya asam lemak tak
jenuh ganda (PUFA). Minyak yang kaya asam lemak omega 6 (n-6) dan omega 3
(n-3) pada tingkat tertentu dapat meningkatkan imunitas (Friedman & Sklan
1997). Pemberian minyak yang kaya asam lemak n-3 dalam ransum ayam broiler
ternyata mampu menghasilkan respon titer antibodi yang lebih tinggi terhadap
sheep red blood cell dibandingkan dengan yang diberi minyak yang mengandung asam lemak n-6 (Frietsche et al. 1991a).
Ransum ayam broiler lebih dari 50% adalah jagung. Pakan jagung kaya
akan asam lemak n-6, sehingga perlu ditambahkan minyak yang kaya asam lemak
n-3 dalam upaya meningkatkan imbangan asam lemak n-3 dan n-6. salah satu
sumber minyak yang kaya asam lemak n-3 yaitu minyak ikan. Di Indonesia
terdapat 72 industri pengalengan ikan yang menyerap bahan baku ikan segar
sekitar 90683 ton (BPS 1997), dengan tingkat produksi minyak sekitar 0,1 -0,5%
dari bahan bakunya.
Rusmana et al. (2000), melaporkan bahwa penambahan minyak ikan tuna sebesar 6% dalam ransum ayam kampung dapat meningkatkan imbangan asam
dengan n-6 diharapkan dapat menekan metabolisme asam lemak n-6 lebih lanjut
menjadi eicosanoid yang bersifat inflamation (Prescott 1984; Billiar et al. 1988). Suplementasi minyak ikan dapat juga memberikan pengaruh negatif
seperti meningkatnya peroksidasi lemak (Meydani et al. 1991; Wander et al. 1997). Peningkatan metabolit peroksidasi lemak dapat disebabkan oleh
menurunnya status vitamin E dalam plasma yang berperan sebagai antioksidan.
Kelebihan asam lemak tak jenuh dalam ransum bisa merangsang kekurangan
Vitamin E dan akibatnya adalah kejadian defisiensi seperti distrofi otot (Manalu
1999).
Hati merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua
alasan yang menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80%
suplai darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal.
Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan
zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua,
hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi
pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton
1995). Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar
pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari
80% tanpa menyebabkan gejala yang berat dan dapat sembuh kembali secara
sempurna.
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi hati
ayam broiler yang ditantang virus infectious bursal disease setelah pemberian minyak ikan dan vitamin E.
Manfaat penelitian
Memberikan informasi dasar gambaran histopatologi hati ayam broiler
TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Unggas mempunyai hati yang relatif besar. Facies parietalis hati yang berbentuk konveks membujur diantara tulang dada (os sternum) dan tulang rusuk
(ossa costales), diantara lengkungan dan lambung otot. Besar, warna dan
konsistensi dari hati sangat bervariasi menurut spesies, umur dan kondisi pakan.
Pada ayam umumnya mempunyai berat berkisar antara 30-50 g, pada itik antara
60-115 g, pada angsa antara 85-170 g dan pada burung merpati antara 8-10 g.
Warna hati pada saat baru menetas adalah kuning, kemudian setelah berumur
sekitar dua minggu berubah menjadi coklat kemerahan. Pada unggas dewasa,
warna hati dapat mencapai merah coklat cerah. Konsistensi hati pada ayam dan
burung merpati umumnya lunak, sedang itik dan angsa lebih padat namun rapuh.
Hati terdiri dari dua gelambir, lobus hepatis sinister dan lobus hepatis dexter. Kedua gelambir ini dibentuk melalui adanya takik yang sempit, incisura interlobaris cranialis dan takik yang dalam, incisura interlobaris caudalis. Antara kedua gelambir tersebut dihubungkan oleh jembatan parenkim yang terletak
sentral, pars interlobaris.
Kantong empedu (vesica fellea) terletak di facies visceralis dari gelambir kanan hati. Pada bangsa ayam berbentuk seperti buah ‘pir’ sedangkan pada itik
dan angsa berbentuk seperti saluran pipa. Bangsa burung merpati
(Columbifermes) dan kakatua (psittacifermes) tidak mempunyai vesica fellea
(Setijanto 1998).
Dalam hati terdapat tiga jenis jaringan yang penting yaitu sel parenkim
hati, susunan pembuluh darah dan susunan saluran empedu. Ketiga jaringan ini
saling berhubungan erat, sehingga kerusakan satu jenis jaringan dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan lain (Darmawan 1996).
Lobus hati dibalut oleh kapsula yaitu kapsula serosa dan kapsula fibrosa.
Pada unggas mempunyai kapsula yang relatif tipis. Dari kapsula hati terbentuk
jaringan interlobus yang memisahkan lobus yang satu dengan lobus yang lainnya.
Jaringan interlobus bisa terlihat secara jelas atau tidak jelas, seperti pada babi
sedangkan pada hewan lain termasuk unggas tidak mempunyai jaringan interlobus
yang tidak begitu jelas (Ressang 1984; Banks 1985).
Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar pada hati.
Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme,
sel-sel ini terletak di antara sinusoid-sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu
(Lu 1995). Hepatosit mempunyai bentuk polihedral dengan batas-batas yang jelas
(Banks 1985). Pada susunan hepatosit unggas, lembaran hepatosit terdiri dari dua
sel hati sedangkan pada mamalia susunan lembaran hepatosit hanya terdiri dari
satu sel hati. Diantara sel-sel hati terdapat canaliculi empedu yang terbentuk dari tiga sampai lima dinding hepatosit yang berdekatan (Randall & Reece 1989).
Segitiga kiernan dibentuk oleh pertemuan beberapa unit lobus-lobus hati.
Di dalam segitiga kiernan terdapat percabangan-percabangan vena portal,
pembuluh empedu dan percabangan arteri hepatika (Ressang 1984). Bilateral dari
jalinan sel-sel hati diisi oleh sinusoid-sinusoid yang ditunjang serabut retikuler.
Sinusoid mirip kapiler dengan lumen meluas dan jalinan sel-selnya tidak
sempurna, sehingga banyak celah. Lumen dibalut oleh dua macam sel yakni sel
endotelial dan sel kupfer yang lebih besar dan bersifat fagositik terhadap benda
asing. Sel kupfer biasanya terletak di dekat sel endotelial akan tetapi mempunyai
lamina basalis dan tidak mempunyai celah antar sel, tetapi benda-benda atau
material dapat bergerak bebas antara plasma dan hepatosit. Walaupun hepatosit
dan sinusoid dekat tetapi dipisahkan oleh celah yang disebut celah disse yang
bervariasi lebar dan luasnya (Banks 1985; Eustis et al. 1990).
Sebagai organ dan kelenjar terbesar maka fungsi hati yang berkaitan
langsung dengan sel-sel hati adalah :1) Sebagai kelenjar eksokrin, hati
mensekresikan atau memproduksi empedu yang terdiri dari garam-garam empedu,
pigmen-pigmen empedu dan sedikit asam lemak, sabun-sabun, lesitin dan
garam-garam mineral. 2) Metabolisme lemak, protein dan karbohidrat. 3) Pembentukan
darah merah. Hal ini terutama terlihat pada jenis burung, pada mamalia dalam
keadaan luar biasa hati dapat turut membentuk eritrosit-eritrosit, misalnya pada
anemia berat dan menahun. 4) Metabolisme dan menyimpan vitamin. Bila fungsi
hati terganggu maka penyerapan vitamin K akan terganggu disamping itu
RES di dalam hati turut serta menghancurkan eritrosit-eritrosit pada beberapa
jenis hewan. Besi yang dipisahkan dan disimpan di dalam hati untuk
dipergunakan lagi pada pembuatan sel-sel darah merah baru. 6) Merombak
bahan-bahan seperti obat, hormon dan bahan-bahan-bahan-bahan toksik yang masuk kedalam tubuh
melalui proses biotransformasi. Hormon-hormon yang sudah selesai bekerja pada
target organnya harus segara dirombak di dalam hati. 7) Sel-sel hati mampu untuk
mensintesa gula, protein, lemak, urea dan bahan-bahan keton (Ressang 1984;
Banks 1985).
Aliran darah yang masuk ke hati akan membawa nutrisi dan zat-zat toksik,
sebagian besar zat toksik memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal. Setelah
diserap zat tersebut dibawa oleh vena porta menuju hati (Lu 1995). Hati
merupakan organ yang paling sering mengalami kerusakan. Ada dua alasan yang
menyebabkan hati mudah terkena racun. Pertama, hati menerima 80% suplai
darah dari vena porta yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal.
Substansi zat-zat toksik termasuk tumbuhan, fungi, bakteri, logam, mineral dan
zat-zat kimia lain yang diserap ke darah portal ditransportasikan ke hati. Kedua,
hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi
pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton
1995). Hati merupakan organ sekresi terbesar dan mungkin merupakan kelenjar
pertahanan yang terpenting dalam tubuh. Sel hati dapat rusak hingga lebih dari
80% tanpa menyebabkan gejala yang berat dan dapat sembuh kembali secara
sempurna (Ressang 1984).
Hati dapat mengalami beberapa perubahan diantaranya adalah degenerasi.
Degenerasi hidropis dan degenerasi berbutir kadang terlihat pada sel-sel hati.
Degenerasi hyalin jaringan ikat sering terjadi pada proses peradangan hati yang
menahun, sedangkan pada degenerasi lemak terjadi penumpukan lemak di lobuli
hati yang sering terlihat pada akhir masa kebuntingan karena kekurangan oksigen
dan adanya bahan toksik dan lain-lain. Hati juga dapat mengalami nekrosa yang
disebabkan oleh dua hal yaitu 1). Toksopatik, disebabkan oleh pengaruh langsung
agen yang bersifat toksik. 2). Trofopatik, akibat kekurangan oksigen, zat-zat
makanan dan sebagainya (Ressang 1984). Degenerasi lemak dan nekrosa
menjurus ke arah suatu proses peradangan. Peradangan di dalam hati dapat terjadi
secara infeksius maupun non infeksius. Peradangan secara non infeksius secara
umum disebabkan oleh toksin. Hepatitis non infeksius atau toksik dapat terjadi
secara akut maupun kronis.
Degenerasi dapat terjadi pada sitoplasma dan inti sel. Degenerasi
sitoplasma hati kadang-kadang disertai kelainan inti sekunder, atropi dan nekrosis
sel, sehingga sel-sel menjadi hilang. Luas degenerasi lebih penting dari pada
jenisnya bagi gangguan fungsi hati. Degenerasi yang sering terjadi di bagi
beberapa macam, antara lain: 1) Degenerasi bengkak atau keruh (cloudy swelling). Perubahan ini ditandai oleh adanya sel-sel yang membengkak disertai sitoplasma
yang bergranul (berbutir-butir) sehingga jaringan nampak keruh. Perubahan ini
biasanya terjadi pada sel tubulus ginjal, sel hati dan sel otot jantung yang
disebabkan oleh infeksi, demam, keracunan, suhu yang rendah dan tinggi,
anoksia, gizi buruk dan gangguan sirkulasi. Perubahan yang terjadi bersifat
reversibel. Sedangkan kebengkakan dan kekeruhan terjadi karena bertambahnya
jumlah air dalam sel. 2) Degenerasi hidropik (degenerasi vakuoler). Pada
degenerasi hidropik, edema intraseluler lebih mencolok dari pada degenerasi
bengkak keruh. Meskipun masih reversibel tetapi menunjukkan kerusakan yang
lebih keras. Penyebabnya dianggap sama dengan degenerasi bengkak keruh,
hanya intensitasnya lebih dan dan jangka waktunya lebih lama. Kemunduran
sering terjadi pada sel tubulus ginjal pada keadaan hipokalsemia, pada sel hati
akibat racun-racun seperti karbon tetraklorida atau kloroform. Secara mikroskopis
tampak vakuola yang jernih tersebar di dalam sitoplasma. Kadang-kadang vakuola
kecil-kecil bersatu membentuk vakuola lebih besar sehingga inti sel terdesak ke
pinggir (Saleh 1996).
Nekrosa ialah tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan
inti atau tidak tampaknya sel yang disertai reaksi radang, kolaps atau bendungan
rangka hati dengan eritrosit. Kelainan ini adalah tingkat lanjut degenerasi dan
reversibel. Penyebab nekrosis sel hati ialah rusaknya susunan enzim dari hati.
Malnutrisi, deplesi glikogen dan anoxia menahun dapat merupakan predisposisi
untuk nekrosis sel hati akibat hepatotoksin (Darmawan 1996). Nekrosis diawali
ini menjadi keriput, tidak vesikuler lagi, inti tampak lebih padat, warnanya gelap
kehitaman (pyknotik), inti sel hati terbagi atas fragmen-fragmen, robek
(karyoreksis) dan inti sel hati tidak lagi megambil warna banyak sehingga
warnanya pucat, tidak nyata (karyolisis) (Saleh 1996).
Asam Lemak Tak Jenuh
Sumber Asam Lemak Omega 3 (n-3) dan Omega 6 (n-6)
Asam lemak tak jenuh ganda adalah jika terdapat dua atau lebih ikatan
ganda dari atom C. Minyak yang berasal dari biji-bijian seperti minyak jagung,
kaya akan asam lemak tak jenuh ganda. Pada tanaman, tidak seperti hewan, dapat
menyisipkan ikatan tak jenuh dalam asam oleat (C18:1 n-9) antara ikatan tak
jenuh pada posisi ke-9 dengan gugus metil. Enzim 12-desaturase dapat mengubah
asam oleat menjadi bentuk asam linoleat (C18:2 n-6) yang dapat mengalami
penjenuhan lebih lanjut pada posisi karbon ke-3 (n-3) oleh enzim 15-desaturase
yang menghasilkan asam linoleat (C18:3 n-3) (BNF 1994).
Asam linoleat : n-6 (C18:2)
CH3-(CH2)4-CH=CH-CH2-CH=(CH2)7-COOH
Asam linolenat : n-3 (C18:3)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)7-COOH
5,18,11,14,17- asam eikosapentaenoat (C20:5 n-3)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)3-COOH
4,7,10,13,16,19-asam dokoheksaenoat (C22:6 n-3)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)2-COOH
Gambar 1. Rantai karbon beberapa asam lemak n-3 dan n-6 (Sumber : Kreutler, 1980)
Lokasi ikatan rangkap ganda pada rantai karbon dari asam lemak tak jenuh
ganda menyebabkan perbedaan yang besar, bagaimana asam lemak tersebut
dimetabolisasi. Jika ikatan rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke-3 dari
gugus metil yang paling ujung dinamakan asam lemak omega 3 (n-3). Jika ikatan
rangkap yang pertama terdapat pada karbon ke-6 dari gugus metil yang paling
ujung dikatakan asam lemak omega 6 (n-6). Kebanyakan asam lemak n-3 adalah
α-linolenat (18:3), asam eikosapentaenoat (EPA 20:3), dan asam lemak
-l D f b y ( y e d G linolenat da DHA dijum fitoplankton Hati biosintesis d
yakni “Fatty
(C16:0) dan Ada yang berper enzim yang desaturase, 6 Gambar 2.
an linoleat d
mpai pada h
n (Kreutler 1
Me
organ yang
dikatalisasi o
y acid synthe
asam Steara
beberapa en
ran dalam m
g berperan m
6-desaturase
Transforma utama yang (sumber: BN
ditemukan d
hewan laut,
980).
etabolisme A
g sangat pe
oleh kelomp
etase”. Prod at (C18:0) (B
nzim yang be
memperpanj menambah e, 5-desatura si metabolik g mengalam NF 1994) dalam minya
terutama b
Asam lema
enting dalam
pok enzim da
duk akhir yan
BNF 1994).
erperan dalam
ang rantai k
ikatan tak
se dan 4- de
k dari tiga mi penambah
ak tanaman
bangsa ikan
k Tak Jenu
m biosintesis
alam bentuk
ng dihasilkan
m proses me
karbon yaitu
jenuh dari
saturase.
kelompok a han karbon
, sedangkan
n yang men
uh
s asam lem
k multi komp
n adalah asa
etabolisme a
u enzim elo
asam lemak
asam lemak dan ikatan
n EPA dan
ngkonsumsi mak. Reaksi plek enzim am palmitat asam lemak ongase dan
k yaitu
Asam lemak n-3 dan n-6 lebih lanjut dimetabolisasi dalam sel. Asam
linoleat dalam sel akan diperpanjang menjadi 20 karbon dan dapat mengalami
penjenuhan, ikatan rangkap bertambah, menghasilkan arachidonat. Alpha
linolenat dapat diperpanjang menjadi 20 karbon dan 2 ikatan rangkap bertambah
menjadi “eicosa penta enoic” (EPA). Pada beberapa kejadian asam arachidonat dan EPA dimetabolisasi menjadi “docosa hexa enoic acid” (DHA) (Kreutler 1980).
Peranan Asam Lemak Tak Jenuh Ganda (PUFA) Terhadap Respon Kekebalan
Pada ayam broiler menunjukkan bahwa sumber lemak dan komposisi
asam lemak, bisa mempengaruhi komposisi jaringan lymphoid dan fungsi sel imun (Fritsche et al. 1991a). Defisiensi PUFA mengurangi proliferasi limfosit, produksi Interkulin-2 (IL-2), monocyte and polymorphonuclear (PMN) cell chemotaxis pada mamalia (Kinsella et al. 1990; Lefkowith 1990). Rendah dan tingginya konsumsi PUFA berhubungan dengan menurunnya produksi antibodi
dan proliferasi limfosit, sedangkan optimal respon kekebalan terjadi pada
konsumsi linoleat sebanyak 47% dari total asam lemak (Friedman & Sklan 1995).
Hasil penelitian Friedman dan Sklan (1997), menunjukkan bahwa produksi
antibodi berhubungan secara kuadratik terhadap konsentrasi linoleat dan total n-6
PUFA serum. Respon produksi antibodi yang optimal terjadi pada konsentrasi
linoleat plasma 40-50% dari total asam lemak.
Peranan (n-3) PUFA Terhadap Respon Kekebalan
Peningkatan penambahan minyak ikan (0,5%; 1% dan 2%) dalam ransum
meningkatkan performa dan dapat menurunkan dampak inflammatory response
tetapi tidak mengubah respon immune pada ayam yang sedang tumbuh (Korver & Klasing 1997)
Frietsche et al. (1991a), melaporkan bahwa ayam yang diberi ransum yang mengandung 7g menhaden oil per 100g ransum mempunyai respon antibodi
tertingi terhadap sheep red blood cells dibanding ayam yang diberi ransum yang mengandung lemak hewan, minyak jagung atau minyak canola. Cellular immune
splenocytes pada broiler yang diberi makan 7g minyak ikan lebih rendah dibanding yang diberi 7g minyak jagung/100g ransum, meskipun citotoxicity dari
pheripheral blood leukocytes tidak dipengaruhi oleh perlakuan tersebut (Frietsche & Cassity 1992).
Level tinggi konsumsi minyak ikan, rupanya mempunyai perbedaan efek
pengaturan imunomodulator dibanding level rendah. Respon antibodi Anti-sheep red blood cell pada tikus yang diberi 17g minyak ikan + 3g minyak jagung/100g ransum dan suplementasi dengan 30 atau 90 mg vitamin E/100g ransum, ternyata
lebih tinggi dibanding yang diberi ransum yang mengandung minyak jagung
dengan suplementasi vitamin E yang sama (Frietsche et al. 1992).
Interaksi PUFA dengan vitamin E
Meskipun memberikan pengaruh positif, suplementasi minyak ikan juga
memberikan pengaruh negatif seperti meningkatnya peroksidasi lemak. Efek
peningkatan peroksidasi lemak berdampak buruk terhadap fungsi kekebalan
tubuh. Zoshke & Messner (1984), melaporkan bahwa mitogenesis limfosit ditekan
oleh produk peroksidasi.
Peningkatan metabolit peroksidasi lemak bisa disebabkan oleh
menurunnya status vitamin E dalam plasma yang mempunyai peran sebagai
antioksidan. Kelebihan asam lemak tak jenuh dalam ransum bisa merangsang
kekurangan Vitamin E dan akibatnya adalah kejadian defisiensi seperti distrofi
otot (Manalu 1999).
Infectious Bursal Disease
Infectious Bursal Disease (IBD) atau sering juga disebut Gumboro
disebabkan oleh virus RNA dari famili Birnaviridae dan virionnya mempunyai
garis tengah antara 55 sampai 65 μm. IBD merupakan virus yang tidak memiliki
selubung, konfigurasi berbentuk iksosahedral (Hirai dan Shimakura 1974). Pada
partikel virus IBD ditemukan 4 struktur protein yang berhasil diidentifikasi, dua
kompenen yang besar yaitu VP2 dan VP3 sedangkan komponen yang kecil dari
virion adalah VP1 dan VP4. virus ini memiliki genom bersegmen dua: A dan B
yang tersusun dari dua untaian RNA sehingga dinamakan Birnavirus (Fahey et al.
Pemanasan pada temperature 56°C selama 5 jam dan 60°C selama lebih dari 30
menit atau pada suhu 37°C selama 90 menit, virus ini masih bertahan. Akan tetapi
dengan pemanasan pada temperarur 70°C selama 30 menit virus akan mati (Beton
et al. 1967). Virus penyebab gumboro tahan terhadap pH rendah (2,0) selama satu jam tetapi tidak tahan terhadap pH basa (12,0). Virus IBD tahan terhadap senyawa
phenol dan methiolate, namun virus akan mati dengan pemberian formaldehida
konsentrasi 5% (Beton et al.1967).
McFeran et al.(1980) melaporkan bahwa virus IBD asal Eropa terdiri dari serotype I dan II selain itu juga diketahui adanya variasi susunan asam amino
antigen diantara isolat IBD tersebut. Diantara virus serotipe I dan II, juga
diketahui ada variasi dalam susunan antigen antara galur yang berbeda. Galur
yang berbeda itu disebut subtipe atau varian. Subtipe didefenisikan sebagai
kelompok isolat virus yang dapat dibedakan dari isolat virus lainnya dalam
serotipe yang sama dengan jalan netralisasi virus atau uji proteksi silang. Virus
varian menyebabkan pengecilan bursa fabricius lebih cepat dan menimbulkan
efek negatif lebih berat terhadap organ timus. Selain itu virus varian tersebut tidak
dapat dinetralkan oleh antibodi asal induk maupun antibodi hasil vaksinasi dengan
virus standar. Virus varian juga mempunyai sifat biologik yang berbeda dari virus
standar (Lukert & Saif 1991).
Infeksi alam akibat virus IBD serotipe II tidak menimbulkan perubahan
klinik karena bersifat sedikit patogen atau tidak patogen sama sekali. Virus ini
biasanya menyerang kalkun namun secara serologik dapat juga ditemukan pada
ayam pedaging dan pembibit. Serotipe I bersifat sangat patogen dan banyak
ditemukan di peternakan pembibit. Kedua serotipe ini dapat dibedakan dengan uji
netralisasi (Mahardika & Beth 1995).
Menurut Beton et al. (1967) IBD adalah penyakit menular dan sangat kontagius serta penyebaran sangat cepat melalui kontak langsung antara ayam
sehat (muda) dengan ayam terinfeksi pada peternakan. Infeksi tidak langsung
dengan virus IBD dapat terjadi karena agennya dapat bertahan hidup di
lingkungan sekitar peternakan hingga 3-4 bulan. Benda-benda yang berada di
tempat terjadinya penyakit berpotensi menularkan virus pada ayam rentan. Pada
dan air minum ayam. Virus IBD dapat bertahan hidup sampai 6 bulan pada alas
kandang yang kering dan dapat bertahan lebih dari satu tahun pada kandang yang
tidak terpakai. Selain itu serangga (misalnya tungau dan nyamuk), burung liar,
tikus mungkin juga berperan dalam penularan. Hal tersebut dengan berhasil
diisolasinya virus IBD dari satu jenis cacing Alphatobius disperinus dan nyamuk
Aedes vexanus (Anonimus 1997).
Infectious Bursal Disease atau Penyakit Gumboro biasanya menyerang ayam yang berumur antara satu hari sampai tujuh minggu, namun dapat
ditemukan pada ayam umur 15 minggu. Ayam yang paling rentan terhadp infeksi
penyakit Gumboro adalah yang berumur antara 3 sampai 6 minggu, sehingga
kerugian ekonomi yang terbesar akibat serangan penyakit Gumboro berkisar
antara umur-umur tersebut (Hitchner 1978).
Masa inkubasi penyakit ini sangat singkat yaitu antara 18-24 jam
sedangkan tanda klinik yang terlihat dalam 2-3 hari. Terdapat dua bentuk penyakit
Gumboro, bentuk pertama adalah bentuk penyakit Gumboro yang klasik atau
klinis. Penyakit Gumboro bentuk ini menyerang ayam yang berumur antara 3-6
minggu. Ayam yang terserang penyakit ini menunjukkan tanda-tanda seperti
depresi secara umum dan diikuti dengan hilangnya nafsu makan, sakit secara
tiba-tiba, bulu kusut, lemah, malas bergerak, kepala sering menunduk dan paruhnya
dimasukkan ke dalam litter. Bila ayam yang terinfeksi dipaksa untuk berjalan,
akan terlihat jalannya kaku atau jatuh kesamping dan ayam yang seperti ini akan
mati dalam waktu singkat. Tanda lain adalah bulu disekitar kloaka kotor, feses
berair serta berwarna keputih-putihan. Ayam akan mematuk-matuk daerah kloaka.
Hal ini dapat merupakan suatu tanda adanya kelainan di daerah tersebut dan
sering kali timbul sebagai manifestasi gejala dini penyakit Gumboro (Winterfield
& Hitchner 1964). Gumboro bentuk klinis juga dapat dicirikan dengan adanya
perdarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot paha bagian tengah atau
bagian pinggiran perut (lateral abdomen).
Bentuk Gumboro yang kedua adalah bentuk subklinik atau disebut juga
bentuk dini. Bentuk kedua ini besar pengaruhnya terhadap perekonomian
perternakan ayam. Penyakit Gumboro bentuk ini menyerang ayam berumur antara
klinis. Akan tetapi dapat merusak sistem kekebalan ayam yang terinfeksi,
sehingga pada ayam umur dini hal ini mempunyai dua akibat utama. Pertama,
akan meningkatkan kerentanan ayam terhadap infeksi viral dan bakteri lainnya.
Kedua, akan menurunkan respon terhadap vaksinasi penyakit lain seperti
Newcastel Disease (Edwards 1981).
Giambrone (1979) menyatakan bahwa ayam yang terinfeksi subklinik
akan kehilangan kekebalan tubuh secara permanen sehingga mudah terserang oleh
virus, bakteri maupun cendawan. Menurut Subekti (2000) infeksi IBD juga dapat
diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus dan Avian nepritis. Ayam yang terinfeksi sejak dini akan mengalami penekanan respon antibodi terhadap
vaksinasi, juga terhadap infeksi oleh kuman lain (Hirai et al. 1979).
Gambaran yang paling menarik dari patogenitas dan perubahan patologi
adalah replikasi selektif dari birnavirus pada bursa fabricius yang membesar
(sampai lima kali ukuran normal), edema, hiperemia dan berwarna krem, dengan
garis memanjang yang mencolok. Perdarahan terjadi di bawah serosa dan terdapat
fokus nekrosis di seluruh parenkim bursa. Pada pemeriksaan juga dapat
ditemukan bursa mengalami atrofi dan berwarna abu-abu serta ginjal biasanya
membesar dengan penumpukan asam urat akibat dehidrasi, dan kemungkinan
terbentuk kompleks kekebalan pada glomeruli.
Perubahan pascamati IBD adalah adanya bercak kemerahan (hemorhagi)
pada otot dada dan paha bagian dalam, titik perdarahan pada daerah perbatasan
organ proventrikulus dengan lambung dan tanda khas yang terlihat adalah
nekrosis pada bursa fabricius disertai dengan perdarahan dan edema peribursal
MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di kandang Percobaan Fakultas Peternakan dan di
Bagian Patologi, Departemen klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan
Desember 2006 sampai Juli 2007.
Materi Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah day old chick
(DOC) sebanyak 190 ekor CP 707 yang terlebih dahulu diseleksi untuk
mendapatkan bobot badan yang seragam.
Kandang Penelitian
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 1 x 1 x 0,6 m3
sebanyak 19 buah yang terbuat dari bambu dan ram kawat. Alas kandang diberi
sekam padi yang diganti setiap 5 hari. Setiap kandang dilengkapi dengan sebuah
tempat pakan, tempat air minum dengan kapasitas 5 liter yang terbuat dari plastik,
dan lampu pijar 100 watt sebagai pemanas. Model kandang ayam penelitian
[image:33.612.134.312.500.607.2]ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 3. Model kandang ayam penelitian.
Ransum Penelitian
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis,
ransum biasa (tanpa minyak ikan dan Vitamin E), dimana dalam ransum biasa
[image:34.612.128.503.145.348.2]minyak ikan diganti dengan minyak kelapa.
Tabel 1. komposisi ransum penelitiaan
Bahan Ransum Terpilih Ransum Biasa
Jagung (%) 50 50
B. kedelai (%) 39 39
M. kelapa (%) - 6
M. ikan (%) 6 -
CaCO3 (%) 1,155 1,155
Dicalsium Phospat (%) 2,145 2,145
Premix (%)
Vitamin E (%)
1,68 1,68
0,02 -
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah alat bedah, kantong plastik transparan,
gelas objek, cover glass, kertas tissue, spidol tahan air, spuit, timbangan,
mikroskop dan alat bantu lainnya yang dipergunakan sesuai keperluan.
Bahan yang digunakan adalah pakan ayam, minyak ikan, vitamin E, air
bersih, alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, xylol, Buffer netral formalin (BNF) 10%, pewarna HE, vaksin ND (aktif), vaksin IBD (intermediet), Virus IBD,
aquades dan desinfektan.
Metoda Pemeliharaan dan Perlakuan Ayam
Hewan penelitian yang digunakan adalah DOC sebanyak 190 ekor yang
dipelihara selama 44 hari. DOC dibagi secara acak kedalam 5 kelompok
perlakuan, yaitu :
1. Ransum terpilih + divaksin (A)
2. Ransum terpilih + tidak divaksin (B)
3. Ransum terpilih + tidak divaksin + ditantang virus IBD (C)
5. Ransum biasa + divaksin + ditantang virus IBD (E)
Pada setiap kelompok perlakuan, DOC dibagi lagi secara acak ke dalam 4
sub-kelompok. Sehingga setiap sub-kelompok terdapat 10 ekor ayam. Ransum
diberikan sesuai dengan kebutuhan ayam. Pada kelompok ayam yang divaksin,
vaksinasi yang diberi adalah vaksin ND pada umur 4 hari (melalui tetes mata) dan
pada umur 19 hari (melalui air minum) kemudian vaksin IBD pada umur 11 hari
(melalui air minum). Dosis vaksin yang digunakan 107 EID50. Infeksi virus IBD
dilakukan pada hari ke-26 dengan dosis 106 LD50.
Pengambilan Organ Hati
Ayam diambil satu ekor secara acak dari setiap sub-kelompok untuk
dinekropsi kemudian organ hatinya dikoleksi. Pengambilan sampel dilakukan
sebanyak 4 kali, yaitu pada hari ke-15, 30, 37 dan 44. selanjutnya dilakukan
pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pemeriksaan Histopatologi
Pengamatan preparat untuk mengetahui perubahan pada hati dilakukan di
bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 40X sebanyak 10 lapang pandang.
Pengamatan dilakukan dengan metode skor, data hasil rataan skor dianalisa secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Kriteria pemberian skor yaitu:
Skor 0 : Normal (relatif tidak ada perubahan)
Skor 1 : oedema, perdarahan
Skor 2 : degenerasi berbutir, sarang radang
Skor 3 : degenerasi lemak, nekrosis
Data hasil rataan skor dari 10 lapang pandang di klasifikasikan
berdasarkan interval yang didapat dari nilai tertinggi skor dibagi dengan jumlah
pengelompokan skor (3/4 = 0,75), yaitu:
0,00 ≤ X ≤ 0,75 = 0
0,76 ≤ X ≤ 1,50 = 1
1,51 ≤ X ≤ 2,25 = 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan secara mikroskopis terhadap preparat histopatologi
organ hati ayam setelah pemberian minyak ikan dan vitamin E sebagai
imunomodulator dan paparan virus IBD menunjukkan tingkatan perubahan lesio
berupa oedema, perdarahan, degenerasi berbutir, degenerasi lemak dan nekrosa.
[image:36.612.131.508.259.404.2]Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data kerusakan organ hati berdasarkan gambaran histopatologi, yang ditunjukkan berdasarkan skoring.
Perlakuan
Umur
15 30 37 44
A 0 0 1 0
B 0 0 1 0
C 0 1 1 2
D 0 1 1 1
E 1 2 2 3
Ket:
A : Ransum terpilih + divaksin B : Ransum terpilih + tidak divaksin C : Ransum terpilih + tidak divaksin +
ditantang virus IBD
D : Ransum terpilih + divaksin + ditantang virus IBD
E : Ransum biasa + divaksin + ditantang virus IBD
0 : normal (relatif tidak ada perubahan)
1 : oedema, perdarahan
m A d m p H p G m y p a ( d m Berd minyak ikan
A dan B) ti
seperti pada
sentralis. Pe
ditantang v
menimbulka
perlakuan te
Hal ini didu
[image:37.612.219.419.307.458.2]sempurna se pada pengam Gambar 4. P Gam minyak ikan
yaitu pada h
pada hari ha
adanya sel-s
(berbutir-bu
sarang radan
dan air ya
membengka
dasarkan dat
n dan vitami
dak memper
a Gambar 4
erubahan ti
virus IBD
an perubaha
ersebut meng
uga karena pr
ehingga dar
matan hanya
Hati norma Pewarnaan H
mbaran histop
n, vitamin E
hari ke-30 d
ari ke-44 per
sel hepatosi
utir) sehingg
ng. Degener
ang menyeb
ak dan sito
ta pada Ta
n E baik yan
rlihatkan ad
, dimana se
dak terjadi
dan vaksin
an histopato
galami peru
roses pengel
rah masih te
a bersifat lok
al, sel hepat HE (perbesar
patologi org
E tidak diva
dan hari ke-3
rubahan ber
it yang mem
ga jaringan
rasi berbutir
babkan men
oplasma leb
abel 2 terlih
ng divaksin
danya peruba
el-sel hepato
mengingat
n yang dibe
ologi hati m
ubahan berup
luaran darah
ertahan di ja
kal pada bebe
tosit tersusu ran objektif
gan hati pada
aksin dan di
37 perubaha
rupa degener
mbengkak d
nampak ke terjadi kare ningkatnya bih granula hat kelompo maupun tida ahan histopa osit tersusun kedua per erikan pada meskipun pa
pa oedema d
h pada penye
aringan dan
erapa lapang
un radier ter 10X)
a kelompok
itantang viru
an berupa oe
rasi berbutir
disertai sitop
eruh dan te
ena ganggua
tekanan os
ar serta hi
ok ayam y
ak divaksin
atologi (relat
n radier terh
rlakuan ters
a kelompok
ada hari
ke-dan perdarah
embelihan ya
oedema ya
gan pandang
rhadap vena
perlakuan y
us IBD (kel
edema dan p
r yang ditand
plasma yang
erlihatnya f
an metabolis
smotik intr
ilangnya m
yang diberi
(kelompok
tif normal)
hadap vena
sebut tidak
k A tidak
-37, kedua han ringan. ang kurang ang terlihat . a sentralis. yang diberi lompok C) perdarahan, dai dengan g bergranul fokus-fokus me protein
a sel, sel
G y d h h d n h y k d d d d a a t G
Gangguan m
yang diberik
Pada
ditantang v
histopatolog
hati pada ke
dimana pad
normal) hal
hari ke-26. N
yang ringan
kerusakan y
Pada
ditantang v
degenerasi
degenerasi l
degenerasi
akumulasi l
[image:38.612.212.432.496.645.2]sedikit seper Dege apabila tela terjadi nekro
Gambar 5. metabolisme kan. a kelompok virus IBD
gi berupa oe
lompok perl
da nekropsi
ini diduga
Namun, peru
hal ini didu
ang disebabk
a kelompok p
virus IBD)
meskipun
lebih domin
lemak. Ha
lemak berup
rti yang ditu
enerasi berbu
ah berlanjut
osis dan men
Hati menga Kelompok p
e protein dan
ayam yang
(kelompok
edema dan p
lakuan C dan
I (hari ke-1
terjadi karen
ubahan yang
uga minyak i
kan paparan
perlakuan E
memperlih
dibeberapa
nan, terutama
al ini dibuk
pa vakuola-njukkan pad utir biasanya lama, dege nimbulkan g
a
alami degen perlakuan E.
n air tersebu
g diberi miny
D) umum
perdarahan
n D terlihat m
15) belum m
na pemberia
g ditimbulka
ikan dan vit
n virus terseb
(tidak diber atkan perub tempat di a degenerasi ktikan pada -vakuola lem
da Gambar 5
a terjadi pad
enerasi akan
angguan fun
nerasi berbut . Pewarnaan
ut diduga ak
yak ikan, vi
mnya memp
(skor 1). Pe
mulai pada n
memperlihatk
an virus IBD
n hanya mer
amin E berp
but.
ri minyak ik
bahan histo
ijumpai nek
i berbutir da
a pengamat
mak namun
5.
da awal infek
n semakin p
ngsi hati (Re
b
tir (a) dan n HE (perbes
kibat infeksi
itamin E, div
perlihatkan
erubahan hi
nekropsi II (
kan perubah
D baru dilak
rperlihatkan
peran menek
kan dan vitam
opatologi ha
krosa tetapi
an sudah me
tan terlihat
n dalam jum
ksi yang ring
parah, bahk
essang 1984)
degenerasi saran objekti
i virus IBD
vaksin dan perubahan stopatologi hari ke-30) han (relatif kukan pada perubahan kan tingkat
min E serta
G k p o k m d y a G d r d e r b H p Perd
Gambar 6. P
kelompok in
pengganti m
oleh infek
[image:39.612.211.432.315.466.2]kumpulan sa melawan an darah, namu yang terama ayam menga
Gambar 6. Tubu daerah infek radang yang dominan pa eosinofil leb radang yang Saran biasa diband
Hal ini ka
peningkatan
darahan dan s
Perubahan in
ni diberi vak
minyak ikan
ksi virus ter
arang radan
tigen yang m
un pada pre
ati hampir p
alami infeksi
Hati menga perlakuan E
uh yang me
ksi. Pada se
g dominan p
ada infeksi
bih dominan
g dominan ya
ng radang b
ding dengan
arena pena
n proporsi (n
sarang radan
ni timbul kar
ksin, hal ini
tidak dapat
rsebut tidak
g merupaka
masuk kedal
eparat histop
ada setiap la
i.
a
alami perdar E. Pewarnaan engalami inf tiap infeksi pada setiap virus, baso
n pada infek
aitu sel limfo
banyak ditem
n yang diber
ambahan m
n-3) PUFA t
ng juga terda
rena tantang
diduga miny
menekan tin
k seperti pa
an tanggap k
am tubuh. S
patologi sam
apangan pan
rahan (a) d n HE (perbe
feksi akan m
semua jenis
infeksi berb
ofil lebih do
ksi cacing. P
osit, ini men
mukan pada
ri ransum te
minyak ikan
erhadap (n-6
apat pada per
gan virus yan
yak kelapa y
ngkat kerusa
ada perlakua
kebal hewan
ecara norma
mpel E ini,
ndang. Hal i
b
dan sarang r saran objekt
mengeluarka
s sel radang
beda-beda, m
ominan pad
Pada pengam
nunjukan infe
a perlakuan
rpilih (miny
n dalam m
6) PUFA. M
rlakuan E, s
ng dilakukan
yang diberik
akan yang d
an C dan D
n secara alam
al sel radang
jumlah sara
ini menanda
radang (b). tif 10X)
an sel-sel ra
g dilepaskan
misalnya lim
da infeksi b
matan histop
eksi akibat v
E yang dib
yak ikan + v
makanan m
Membran sel eperti pada n meskipun kan sebagai ditimbulkan D. Adanya miah untuk
g ada dalam
ang radang
akan bahwa
Kelompok
adang pada
n, tetapi sel
a b O b i u b p p m i m t b d p b t k y ( o d t m h 1.5 2 2.5 akan PUFA
berpotensi s
Omega 3 (n
berbagai pr inflamasi da untuk mend berkonversi pada tempat prostaglandi Pada merupakan
interstium a
merupakan p
tubuh, masu
berdampinga
dua yaitu pe
pengamatan
Seca
berbutir (clo
transpor da kelaparan, k Bebe yang dapat (methionin, oksidasi asa
dari darah. H
terdiri dari
methionin. B
hati (infiltra
5 2 5
A (n-3) akan
sebagai med n-3) memililk rostaglandin an trombosi duduki temp menjadi pr t perlekatan in (Anonimu a pengamata suatu keada akibat pening proses kelua
uk ke dalam
an. Berdasar erdarahan re n histopatolog ara umum oudy swellin an metaboli kurang suplai erapa mekan menimbulk kolin) dan
am lemak. H
Hati mengub
phospholip
Bila zat-zat
si lemak) (R
n menekan
diator inflam
ki kemampu
yang mer
is. Omega 3
pat perlekata
rostaglandin
semakin se
us 2007).
an ditemuka
an dimana t
gkatan perm
arnya darah
m rongga tub
rkan cara ke
eksis dan pe
goi hati perd
penyebab d
g). Penyeba sme lemak
i oksigen da
nisme yang
kan degener
gangguan k
Hati secara k
bah lemak in
pid, untuk
ini tidak ad
Ressang 1984
pelepasan
mmation men uan untuk m
rupakan hor
3 berkompet
an enzim cy
. Semakin b
edikit pula o
an adanya o
terjadi pertum
miabilitas din
dari pembu
buh atau han
eluarnya dar
erdarahan dia
darahan didu
degenerasi
ab degeneras
, pakan ya
alam darah da
menggangu
asi lemak a
kofaktor mis
kontinu men
ni menjadi le
mengubah
da maka trigl
4). PUFA (n-6 njadi rendah mengurangi p rmon yang tisi dengan yclooxygena banyak ome
omega 6 yan
oedema dan
mbuhan jum
nding pembu
uluh darah b
nya masuk k
rah maka pe
apedesis (Jo
uga karena ad
lemak sam
si lemak anta
ang banyak
an bahan tok
u transpor da
antara lain salnya carnit ngambil trig emak jaringa lemak ini liserida terti Perlakuan Perlakuan Perlakuan 6), sehingga
h (Billiar et
produksi dan
terlibat pa
asam lemak
ase 1 (COX
ega 3 yang
ng dikonver
n perdarahan
mlah cairan p
uluh darah. P
bisa berupa k
kedalam jari
erdarahan da
ones et al. 1 danya infeks
ma dengan
ara lain oleh
mengandu
ksik.
an metabolis
defisiensi z
te yang pen
gliserida (lem
an yang seba
diperlukan
imbun di da
n A n B n C
a n-6 yang
al. 1988). n efektifitas
ada proses
k omega 6
X 1) untuk
Rataan skor
umur
Gambar 7. Grafik perbandingan rataan skor kerusakan histopatologi hati broiler pada tiap perlakuan.
Berdasarkan Gambar 7. dapat dilihat perbandingan tingkat kerusakan hati.
Pada setiap pengambilan sampel, kerusakan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan E (tanpa pemberian minyak ikan dan vitamin E) jika dibandingkan
dengan perlakuan yang lain (dengan pemberian minyak ikan dan vitamin E).
Tingkat keparahan akibat paparan virus IBD tergantung pada besarnya infeksi
virus, status kekebalan tubuh dan kondisi lingkungan. Dari kelima perlakuan,
empat diantaranya diberi ransum terpilih yaitu dengan tambahan ransum berupa
minyak ikan dan vitamin E, sedangkan satu perlakuan terakhir hanya diberi
ransum biasa (tanpa tambahan minyak ikan dan vitamin E). Hal ini menandakan
bahwa untuk meningkatkan kekebalan tubuh yang lebih baik sangat dibutuhkan
pemberian ransum yang baik dan mampu meningkatkan status imunitas secara
alamiah, salah satunya adalah minyak ikan. Sedangkan vaksinasi tentu akan
memberikan hasil yang maksimal apabila diseimbangkan dengan konsumsi pakan
yang baik dan mampu berperan sebagai imunomodulator terhadap ancaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan :
1. Pemberian minyak ikan dan vitamin E menunjukkan tingkat perubahan
histopatologi hati yang lebih ringan dibanding dengan yang tidak diberikan
minyak ikan dan vitamin E setelah ditantang virus IBD.
2. Kelompok yang diberi minyak ikan, vitamin E, tidak divaksin IBD dan
diinfeksi virus IBD menunjukkan perubahan histopatologi berupa perdarahan
dan degenerasi berbutir.
3. Gambaran histopatologi hati kelompok ayam yang diberi minyak ikan,
vitamin E, divaksin IBD serta diinfeksi virus IBD berupa oedema dan
perdarahan.
4. Lesio pada hati berupa perdarahan, degenerasi berbutir, degenerasi lemak dan
adanya sarang radang terdapat pada kelompok ayam yang diberi pakan tanpa
minyak ikan, vitamin E dan divaksin serta ditantang virus IBD.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh pemberian minyak
ikan dan vitamin E terhadap organ lain.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan pemberian
minyak ikan dan vitamin E dengan pakan yang mempunyai aktivitas sebagai
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 1997. Viral Disease.
http://www.msstate.Edu/sdept/poultry/disviral.Htm
Anonimus.2007. Penggunaan omega 3 untuk kelainan hati yang disebabkan pemberian nutrisi parenteral. http://www.kalbe.com 15 juni 2007
Banks WJ.1985. Applied Veterinary Histoligy. Ed ke-2. William & Wilkins. USA.
Beton WJ, Cover MS, Rosenberger JK and Lake RS.1967. Physicochemical Properties of Infectious Bursal Agent of Chickens. Avian Dis. 11:438-439
[BPS] Biro Pusat Statistik. 1997. Statistik Industri Indonesia. Jakarta : BPS
[BNF] British Nutrition Fondation’s. 1994. Unsaturated Fatty Acid, Nutritional and Physiological Significance. The Report of The British Nutrition Foundation’s, Task Force. London : Chapman & Hall
Billliar TR, Bankey PE, Svigen BA, Curran RD, West MA, Holman RT, Simmons RL, Cerra, F.B. 1988. Fatty Acid Intake and Kufper Cell Fungtion: fish oil alters eicosanoid and monokine production to endotoxin stimulation. Surgery 104: 343-349
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Mosby: St. louis. Pp. 209-245
Da Silva MNR, Mockett APA and Cook JKa. 1992 The Immunoglobulin M Response in Chicken Serum of Infectious Bursal Disease virus. Avian Pathol. 21: 517-512
Darmawan S. 1996. Patologi. Himawan: Bagian patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Bagian kedua, Hati dan Saluran Empedu
Edwards WA.1981. Subclinical Infectious Bursal Disease in The Broiler Industry.
Vet. Res. 45: 172-174
Eustis SL, GA Booman, T Harada dan JA Popp. 1990. Pathologi of The Fischer Rats, Reference and Atlas. Academic Press. San Diego. Liver; hlm 71-74
Fahey KJ, Erni K and Crooks J. 1989. A Conformatinal Immunogen on VP2 of Infectious Bursal Disease that Induces Virus-neutralizing Antibodies that Passively Protect Chickens. J. Gen. Virol. 70: 1473-1474
Frietsche KL, Cassity NA. Huang SC. 1991a. Effect of Dietary Fats Source on Antibody Production and Lymphocyte Proliferation in Chikens. Poul. Sci.
70: 611-617
Frietsche KL, Cassity NA. 1992. Dietary (n-3) Fatty acid Reduce Antibody Dependent Cell Cytotoxicity and Alter Eecosanoid Release by Chicken Immune Cells. Poult. Sci. 71: 1646-1657
Giambrone JJ. 1979. Effect of Early Infectious Bursal Disease Virus Infection on Immunity to Newcastle Disease in Adult Chickens. Poult. Sci. 58: 73-75
Hirai K, Shimakura S. 1974. The Immunodepresive Effect of Infectious Bursal Disease Virus in Chickens. Avian Dis. 24:950-965
Hirai K, Kunihiro K and Shimakura S. 1979. Characterization of Immunodepression in Chickens by IBDV. Avian Dis. 24: 950-965
Hitchner SB. 1978. Infectious Bursal Disease : Disease of Poultry. Ed ke-7. State University Press, Ames, lowa, 647-651
Jones Cl, RD Hunt, NW King. 1997 Veterinary Pathology. Ed ke-6 William & Willems, Philadelpia
Kinsella JE, Lokesh B, Broughton S, Whelan J. 1990. Dietary Plyunsaturated Fatty Acid and Eicosanoids: Potensial Effects on The Modulation of Inflammatory and Immune Cells. An overview, J. Nutr. 6:24-40
Korver DR, and Klasing KC. 1997. Dietary Fish Oil Alters Specific and Inflammatory Immune Response I chicks. J. Nutr. 127: 2039-2046
Kreutler PA. 1980. Nutrition in Prespective. USA: Prentice-hall, Inc Englewood
Lands WEM. 1986 Fish and Human Healt. Chicago: Departement of Biological Chemistry, University of Illionis, acedemic Pres, Inc.141-144
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Lukert PD and Saif YM. 1991. Infectious Bursal Disease. In : Disease of Poultry. 9th ed. Edition by MS Hosfsttad, HJ Barnes, BW Calnek, WM Reid and HW yoder. Lowa Univ. Press, Ames, lowa
Mahardika GNK and Becht H. 1995. Mapping of cross-reacting on the VP3 Structural Protein of The Infectious Bursal Disease virus. Arch. Virol. 140: 180-182
McFeran JB, Mcnulty MS, McKillop ER, Conner TJ and Allan GM. 1980. Isolation and Serological Studies Infectious Bursal Disease Virus in Fowl, Turkeys and Ducks. Avian Pathol. 9 : 935-404
Meydani M, NatielloF, Goldin B, free N, woods M, scheefer E, Blumberg S, Gorbach SL. 1991. Effect of Longterm Fish oil Suplementation on Vitamin E Status and Lipid Peroxidation in Woman. J. Nutr 121:484 491
Presscott SM. 1984 The Effect of Eicosapentaenoic Acid on Leukotrin B Production by Human Neutrophils. J. Biol. Chem. 259: 7615-7621
Randall CJ, Rodney L Reecae. 1989. Color Atlas of Avian Histhopathology. Mosby-Wolfe. 411-416
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Denpasar: Percetakan Bali
Rusmana D, Pilliang WG, Budajanto s. 2000 . Pengaruh Suplementase Minyak Ikan, Minyak Jagung dan ZnCO3 dalm Ransum terhadap Kandungan “ω-3, ω-6 PUFA” dan Kolesterol Telur dan Karkas Ayam Kampung. Bogor: Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Saleh S. 1996. Patologi. Himawan: Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Bagian Pertama, Kelainan Retrogresif dan Progresif
Setiyanto H. 1998. Anatomi Unggas. Laboratorium Anatomi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor
Subekti TS. 2000. Bibit, Vaksin dan Vaksinasi. Infovet. Edisi 074. hal 12-15
Wander RC, Hall JA, Gradin JL, Du SH, Jewe DE. 1997. The Ratio of Dietary (n-6) to (n-3) Fatty Acid Influence Immune System Function, Eicosanoid Metabolism, Lipid Peroxidation and Vitamin E Status in Aged Dogs
Winterfield RW and Hitchner SB. 1964. Gumboro Disease : Disease of Poultry. Edisi ke-5. State University Press, Ames, lowa. 448-502
Lampiran 1.
Pembuatan Preparat Histopatologi
a. Dehidrasi
Sediaan hati dalam tissue-cassete dimasukkan kedalam keranjang carrier
yang kemudian dipasang pada tissue processor yang berturut-turut
dicelupkan pada alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%. Kemudian
dimasukkan kedalam alkohol absolute I dan II, lalu dilakukan proses
penjernihan (clearing), yaitu dengan cara memasukkan sediaan yang
dibersihkan kedalam xylol I dan xylol II .
b. Perendaman (embedding dan pencetakan/bloking)
Proses perendaman sebaiknya dilakukan dekat sumber panas. Sediaan
dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah berisi paraffin cair dari tinggi
dinding cetakan dan kemudiaan setelah bagian dasar mulai membeku lalu
ditambahkan lagi dengan paraffin cair sampai penuh, dan diatur letaknya.
c. Pemotongan
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar dengan
ketebalan 5um. Hasil irisan berbentuk pita diapungkan di atas permukaan
air hangat (40 0C), baru kemudian dipilih irisan yang paling baik dan
diletakkan di atas gelas objek yang telah diolesi dengan ewit (campuran
albumin dan gliserin). Kemudian gelas objek disimpan dalam inkubator
selama 2 jam dengan temperatur suhu 56 0C dan preparat siap diwarnai.
d. Pewarnaan HE
Sebelum dilakukan pewarnaan, terlebih dahulu dilakukan proses defranasi
(penghilangan paraffin) dan proses rehidrasi (penambahan air). Hal ini
dilakukan agar zat warna dapat menyerap dengan sempurna. Defranasi
dilakukan dengan cara ; sediaan dimasukkan berturut-turut kedalam xylol
II dan xylol I, masing-masing selama 2 menit. Setiap kali dilakukan
pemindahan, daerah sekitar sediaan diusap dengan tissue tanpa menyentuh
organ. Rehidrasi dilakukan dengan cara ; sediaan dimasukkan
berturut-turut kedalam alkohol absolut II dan I masing-masing selama 2 menit,
kemudian kedalam alkohol 95%, 90%, dan 80% selama 1 menit. Setelah
kemudian dimasukkan kedalam pewarnaan Mayer’s Hematoxylin selama
1 menit. Setelah itu dimasukkan kedalam larutan lithium carbonate selama
15-30 detik dan dibilas diatas air mengalir. Selanjutnya sediaan
dimasukkan kedalam pewarnaan Eosin selama 2-3 detik, lalu dibilas
kembali dengan air mengalir. Setelah pewarnaan selesai, dilakukan proses
dehidrasi dengan cara memasukkan sediaan kedalam alkohol bertingkat
yaitu alkohol 80%, 90%, 95% sebanyak 10 celupan. Kemudian dilakukan
clearing dengan memasukkan sediaan kedalam xylol I selama 1 menit dan
kedalam xylol II selama 2 menit. Setelah itu preparat dikeringkan diudara
terbuka dan kemudian diteteskan perekat yaitu permount lalu ditutup
Lampiran 2.
Data rataan skoring lesio histopatologi hati ayam broiler.
perlakuan
umur
15 30 37 44
A
0,3 0,2 0,2 0,8
0,9 0,7 1,5 0,2
1 0,2 2 0,1
rata-rata 0,73 0,36 1,23 0,36
B
0,2 0,2 2 0,6
0,2 0,2 0,2 0,7
0,2 0,7 2 0,3
rata-rata 0,2 0,36 1,4 0,53
C
0 2 1,4 2
0 0,8 0,4 1,2
0 0,7 1,8 3
rata-rata 0 1,17 1,2 2,06
D
0,2 0,2 0,3 0,4
0,2 2 0,3 1,6
0,2 2 2 0,7
rata-rata 0,2 1,4 0,86 0,9
E
1,1 2,3 2 2,2
0,8 1,8 1,2 2,4
1,4 1,5 2,2
rata-rata 0,95 1,83 1,56 2,26
0,00 ≤ X ≤ 0,75 = 0
0,76 ≤ X ≤ 1,50 = 1
1,51 ≤ X ≤ 2,25 = 2
2,26 ≤ X ≤ 3,00 = 3
perlakuan
umur
15 30 37 44
A 0 0 1 0
B 0 0 1 0
C 0 1 1 2
D 0 1 1 1