• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Stres

2.2.1. Pengertian Stres

Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai akibat tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas tidak selaras dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stres (Siagian, 2015).

Menurut Hager (1999) dalam Waluyo (2015), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang menekan (stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu terhadapnya.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan dan King, 1986 dalam Waluyo 2015).

Menurut Cooper (1994) dalam Potter & Perry (2005) stres didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek. Stres juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman yang

11

dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.

Sedangkan menurut Widyastuti (2004) stres merupakan persepsi manusia terhadap situasi atau kondisi lingkungan. Dari beberapa pengertian stres tersebut dapat disimpulkan bahwa stres adalah keadaan yang bersifat internal atau eksternal dan persepsi terhadap situasi lingkungan berupa ketidakmampuan mengatasi ancaman baik mental, fisik, emosional dan spiritual yang dapat mempengaruhi kesehatan individu.

Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stres. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai stresor internal (berasal dari dalam diri seseorang) atau eksternal (berasal dari luar diri seseorang (Potter & Perry, 2005). Sumber stres dapat berupa: biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Berhadapan dengan suatu stresor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terjadinya stres yang mengakibatkan gangguan karena stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman sehingga menimbulkan kecemasan.

Widyastuti (2004) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: eustres dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi. Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dalam tahap lanjut seperti terjadinya penyakit kardiovaskuler juga

12

konsekuensi organisasi berupa tingkat ketidakhadiran (absenteisme) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan kondisi fisik sampai dengan kematian.

2.2.2. Sumber Stres

Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan sumber stres secara umum yaitu stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang (misalnya demam, kondisi kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah) dan stresor eksternal yang berasal dari luar diri seseorang (misalnya prubahan suhu lingkungan, pekerjaan, perubahan dalam peran keluarga atau sosial, serta tekanan dari pasangan).

Suatu keadaan dapat menimbulkan stres pada seseorang tapi belum tentu akan menimbulkan hal yang sama terhadap orang lain. Menurut Patton (1998) dalam Tarwaka (2010) perbedaan reaksi antara individu tersebut sering disebabkan karena faktor psikologis dan sosial yang dapat merubah dampak stresor bagi individu, faktor faktor tersebut antara lain :

1) Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik, intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status pernikahan dan lain-lain. 2) Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,

kepasrahan, kepercayaan diri, kecemasan dan lain-lain.

3) Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

4) Strategi untuk menghadapi setiap stres yang muncul. 2.2.3. Tingkatan Stres

Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,

13

pengalaman dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres dan mekanisme koping. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Dengan kata lain bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh persepsi dan respon yang berbeda terhadap stres tersebut. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressfull. Sehingga respon terhadap stresor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu. Potter & Perry (2005) membagi tingkatan dalam stres menjadi tiga bagian, antara lain :

1) Situasi Stres Ringan

Stres ringan merupakan stresor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas serta kritikan dari atasan. Kondisi ini berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam. Stresor ini bukan resiko signifikan yang dapat menimbulkan gejala yang muncul akibat stres. Akan tetapi, stresor ringan dan banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit. 2) Situasi Stres Sedang

Kondisi stres sedang berlangsung lebih lama, beberapa jam sampai beberapa hari. Jenis stresor yang dihadapi misalnya perselisihan dengan rekan kerja, anak yang sedang sakit, serta ketidakhadiran anggota keluarga dalam waktu yang lama.

14

3) Situasi Stres Berat

Kondisi stres berat merupakan kondisi kronis yang belangsung lama, durasinya mulai beberapa minggu sampai beberapa tahun. Jenis stresor yang dihadapi misalnya, perselisihan perkawinan, kesulitan keuangan yang berkepanjangan, serta penyakit kronis. Semakin sering dan semakin lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan.

Menurut Amberg (1979) dalam Hawari (2001), bahwa tahapan stres sebagai berikut (Sunaryo, 2004) :

1) Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.

2) Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk, dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai

3) Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak tertaur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu dan mudah jatuh pingsan

4) Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit

15

dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

5) Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panic.

6) Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin, dan banyak keluar keringat, loyo serta pingsan atau collaps.

2.3. Stres Kerja

2.3.1. Pengertian Stres Kerja

Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulan stres kerja. Bila ia sanggup mengatasi stresor kerja tersebut artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut distres (Waluyo, 2015).

NIOSH (1999) dalam Tarwaka (2010) mendefinisikan stres akibat kerja sebagai respon emosional dan fisik yang bersifat mengganggu atau merugikan yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai kapabilitas, sumber daya atau keinginan pekerja. Sedangkan Widyastuti (2004) mengatakan bahwa tidak ada

16

pekerjaan yang bebas dari stres, karena setiap pekerjaan memiliki beberapa tingkat tantangan dan kesulitan sehingga seseorang yang mampu mempertahankan rasa pengendalian diri dalam lingkungan kerja akan menerima setiap urusan dalam pekerjaan sebagai tantangan dan bukan ancaman. Namun tidak semua orang memiliki pengendalian diri seperti ini, sehingga setiap urusan dalam pekerjaan dianggap sebagai ancaman dan bukan sebagai tantangan. Hal inilah yang menyebabkan seseorang mengalami stres kerja.

2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

Penyebab stres di tempat kerja terdiri dari tiga kategori yaitu stresor fisik, psikofisik dan psikologis (Clark,1995 dan Wantoro, 1999 dalam Tarwaka, 2010). Selanjutnya menurut Cartwright, et al (1995) dalam Tarwaka (2010) penyebab stres akibat kerja dibedakan menjadi 6 kelompok penyebab, yaitu:

1) Faktor Intrinsik Pekerjaan

Faktor tersebut meliputi keadaan fisik lingkungan kerja yang tidak nyaman, stasiun kerja yang tidak ergonomis, kerja shift, jam kerja yang panjang, pekerjaan beresiko tinggi dan berbahaya, beban kerja berlebih, dan lain-lain. Beban kerja berlebih dapat dipengaruhi karena faktor tuntutan tugas yang bersifat fisik (misalnya kuantitas pekerjaan) maupun mental yang lebih menitikberatkan pada pekerjaan otak dan ketrampilan yang dimiliki serta irama pekerjaan.

2) Faktor Peran Individu dalam Organisasi Kerja

Beban tugas yang bersifat mental dan tanggung jawab dari suatu pekerjaan lebih memberikan stres yang tinggi dibanding dengan beban kerja fisik. Karasek, et al (1988) dalam suatu penelitian tentang stres akibat kerja menemukan bahwa karyawan yang mempunyai beban psikologis lebih tinggi

17

dan ditambah dengan keterbatasan wewenang untuk mengambil keputusan, mempunyai resiko terkena penyakit jantung koroner dan tekanan darah yang tinggi.

3) Faktor Hubungan Kerja

Kualitas hubungan yang kurang baik antara pekerja, atasan maupun kolega di tempat kerja adalah faktor yang potensial sebagai penyebab terjadinya stres. Kecurigaan antara pekerja, kurangnya komunikasi, ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda adanya stres akibat kerja.

4) Faktor Pengembangan Karir

Faktor pengembangan karir yang dapat memicu stres adalah ketidakpastian pekerjaan seperti adanya reorganisasi perusahaan dan mutasi kerja, promosi berlebihan atau kurang, promosi yang terlalu cepat atau tidak sesuai dengan kemampuan individu.

5) Faktor Struktur Organisasi dan Suasana Kerja

Penyebab stres yang berhubungan dengan struktur organisasi dan model manajemen yang dipergunakan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain kurangnya pendekatan paartisipatoris, konsultasi yang tidak efektif, kurangnya komunikasi dan kebijaksanaan kantor. Selain itu seringkali pemilihan dan penempatan pekerja pada posisi yang tidak tepat juga dapat menyebabkan stres.

6) Faktor di Luar Pekerjaan

Faktor kepribadian seseorang (ekstrovert atau introvert) juga dapat menyebabkan stres. Perselisihan antar anggota keluarga, lingkungan tetangga dan komunitas juga merupakan faktor penyebab timbulnya stres

18

yang kemungkinan besar masih akan terbawa dalam lingkungan kerja.

Menurut Greenberg (2002) faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja meliputi kombinasi dari :

1) Faktor Pekerjaan yang Bersumber Pada Pekerjaan, terdiri dari :

a) Sumber intrinsik pekerjaan termasuk tuntutan fisik meliputi bising, vibrasi, higiene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup kerja shift/kerja malam, beban kerja, kondisi kerja yang sedikit menggunakan aktivitas fisik, waktu kerja yang menekan, dan resiko pekerjaan yang berbahaya.

b) Peran dalam organisasi. Peran yang merupakan pembangkit stres, meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab kepada orang lain, konflik batasan reorganisasi baik secara internal maupun eksternal.

c) Perkembangan karir, terdiri dari promosi ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja yang kurang, ambisi perkembangan karir yang terhambat.

d) Hubungan interpersonal di tempat kerja. Meliputi kurangnya hubungan interpersonal dengan pimpinan, tim kerja (dokter, rekan sekerja, pasien dan keluarganya) atau dengan bawahan serta kesulitan mendelegasikan tanggungjawab.

e) Pengawasan atasan. Kurangnya pengawasan dari supervisor, kepala ruangan atau pengawasan dari managemen keperawatan yang lebih tinggi dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya stres perawat (NIOSH, 2008).

19

2) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu

Diantaranya adalah tingkat kecemasan, toleransi terhadap hal yang ambigu/ketidakjelasan, pola tingkah laku tipe A.

3) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu di Luar Organisasi Mencakup segala unsur kehidupan yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja dalam suatu oraganisasi sehingga memberi tekanan pada individu seperti masalah keluarga, kesulitan finansial, peristiwa krisis dalam hidup.

2.3.3. Stres Perawat Psikiatri

Perawat dalam melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan, selalu berhubungan langsung dengan pasien dengan berbagai macam keluhan, jenis penyakit, karakter, budaya, latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi yang berbeda-beda sehingga dapat menyebabkan stres bagi perawat.

Beberapa studi meneliti bahwa stres perawat berbeda menurut sub spesialisasinya, dan beberapa studi menggunakan instrumen penilaian stres (stres assessmentinstrumen) yang valid digunakan pada perawat umum namun tidak valid

digunakan pada perawat psikiatri (Konstantinos & Christina, 2008). Menurut penelitian Konstantinos & Christina, (2008), faktor penyebab stres kerja perawat psikiatri adalah karakteristik negatif pasien, hubungan interpersonal baik dengan atasan, dokter, maupun sesama perawat dan manajemen organisasi. Pasien dengan resiko kekerasan merupakan penyebab stres yang paling sering pada perawat psikiatri, pasien dapat bertindak agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera fisik atau psikologis pada orang

20

lain atau menimbulkan kerusakan harta benda selain itu kurangnya dukungan dari manajemen juga merupakan sumber stres bagi perawat psikiatri.

Dawson, dkk (2005) juga yang mengungkapkan bahwa kekerasan merupakan masalah yang sering terjadi diruang perawatan psikiatri akut dan intensif. Perawat beresiko mengalami perilaku kekerasan yang dilakukan pasien baik berupa kekerasan verbal, fisik dan pasif. Kekerasan verbal yang dialami dapat berupa ancaman, kata –

kata kasar, ejekan, hinaan ataupun makian, secara fisik berupa penyerangan dan pemukulan, dan secara pasif seperti menolak minum obat, makan dan minum.

Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011) disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi. Perilaku kekerasan dari pasien merupakan penyebab stres paling sering bagi perawat psikiatri.

Penelitian yang dilakukan Ulfah (2011) yang berjudul tingkat stres kerja pada perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun 2011 menunjukan bahwa didapati perawat dengan tidak ada stres kerja ada 18,8%, perawat dengan stres kerja ringan ada 64, 1 % dan perawat dengan stres sedang ada 17, 1 %. Faktor-faktor penyebab stres kerja diantaranya jenis kelamin, usia, masa kerja, beban kerja dan jumlah pasien dirawat perminggu

Penelitian Ratnaningrum (2012) mengenai tingkat stres perawat di ruang psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan bahwa 20 dari 30 perawat mengalami stres rendah dan sisanya mengalami stres sedang. Faktor-faktor yang menyebabkan stres perawat adalah masalah dalam merawat pasien, hubungan interpersonal, peran atasan, masalah dengan keluarga pasien dan masalah manajemen rumah sakit.

21

Menurut penelitian yang dilakuakan Aiska (2014) mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta menunjukan rata-rata perawat mengalami stres kerja sedang sebanyak 63 orang (60,0 %) dan 40 % adalah stres ringan, dan faktor yang berpengaruh signifikan pada tingkat stres kerja adalah faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan terakhir, masa kerja, dan beban kerja.

Berdasarkan beberapa penelitian diatas peneliti menyimpulkan bahwa penyebab stres pada perawat di ruang psikiatri disebabkan karena beban kerja, resiko pekerjaan (resiko kekerasan dari pasien), lingkungan kerja, hubungan interpersonal baik dengan rekan kerja, atasan, dan kolega serta dikaitkan dengan karakteristik demografi individu. Berikut akan dijelaskan masing-masing faktor :

1) Karakteristik Individu

a) Umur

Potter & Perry (2005), membagi masa dewasa menjadi masa dewasa menjadi masa dewasa awal (20 - 34 tahun), dewasa tengah (35 – 65 tahun) dan dewasa akhir (65 - 70 tahun sampai kematian). Usia 20 - 34 tahun dikategorikan sebagai masa dewasa awal dan transisi dewasa tengah, dimana pada usia dewasa awal seseorang mulai berpisah dengan keluarga, mulai bekerja, masa transisi menjadi dewasa tengah ditandai lebih peduli dengan perubahan yang berhubungan dengan reproduksi sehingga pada usia ini biasanya seseorang telah menikah, bekerja dan memiliki anak.

Menurut teori yang dikemukakan Dessler (2004), usia produktif adalah 25- 30 tahun yang pada usia ini seseorang sedang memilih pekerjaan yang sesuai dengan karir individu tersebut dan puncak karir dicapai pada usia 40 tahun. Pada masa ini seseorang dapat mengalami stres berkaitan dengan

22

masalah perkawinan, pekerjaan dan pengasuhan anak. Umur berhubungan dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap pemikiran yang matang. Pekerja dengan umur lebih tua akan semakin mampu menunjukan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, semakin mampu berpikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda darinya dan semakin dapat menunjukan kematangan intelektual dan psikologinya.

Handoko (2014) juga menyatakan bahwa semakin tua umur karyawan, maka kepuasan kerjanya akan semakin tinggi. Karyawan yang memperoleh kepuasan kerja akan mencapai kematangan psikologis dan menurunkan resiko terjadinya stres kerja. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Russeng, dkk (2007) menunjukan bahwa stres pada perawat yang berumur dibawah 40 tahun lebih banyak mengalami stres daripada perawat yang berumur ditas 40 tahun.

Penelitian Aiska (2014) menyatakan terdapat hubungan antara usia dan stres kerja pada perawat dimana responden yang berusia 30-40 tahun lebih rentan mengalami stres kerja.

b) Jenis Kelamin

Menurut Brizendine (2007) keadaan hormonal antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu hal penting dalam penyesuaian diri pada kondisi fisik dan psikis. Hormon testosteron dan progesteron diduga mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-laki cenderung stabil ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga mempengaruhi psikis dan perasaan perempuan pada kondisi tertentu. Kondisi tertentu ini akan berpengaruh secara psikis terhadap perilaku perempuan dalam menyelesaikan

23

permasalahan yang dihadapi. Hal ini mempengaruhi kecenderungan stres perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Menurut Russeng, dkk (2007) faktor individu jenis kelamin menunjukan bahwa kecenderungan perempuan untuk mengalami stres kerja lebih besar dari laki-laki. Tuntutan peran ganda umumnya dialami perempuan yang melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sehingga lebih rentan mengalami stres. Tuntutan pekerjaan, rumah tangga dan ekonomi berpotensi menyebabkan wanita karir rentan mengalami stres (Anitawidanti, 2010).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aiska (2014) yang menunjukan perawat perempuan memiliki tingkat stres lebih tinggi daripada perawat laki-laki.

c) Masa Kerja

Cooper dalam Munandar (2014) yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah masa kerja, baik masa kerja yang sebentar ataupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres dan diperberat dengan adanya beban kerja yang besar.

Pekerja yang bekerja <5 tahun dapat mengalami stres kerja karena belum bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Selain itu minimnya pengalaman dan menghadapi berbagai masalah pasien serta ditambah dengan beban kerja yang besar maka mengakibatkan mereka mengalami stres kerja. Sedangkan pekerja yang telah bekerja diatas 5 tahun biasanya memiliki tingkat kejenuhan yang lebih daripada pekerja yang baru

24

bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat menyebabkan stres dalam bekerja (Munandar, 2014).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gobel, dkk (2014) yang menyatakan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja perawat.

d) Tingkat Pendidikan

Dilihat dari faktor tingkat pendidikan, orang-orang dengan tingkat pendidikan lebih tinggi mendapat jenjang karir yang lebih tinggi pula dan cenderung lebih mendapat kepuasan kerja. Mereka bisa memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan pekerjaan-pekerjaan mereka memungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka punyai. Karyawan yang terampil cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar sehingga resiko mengalami stres akan lebih rendah. (Handoko, 2014).

Dalam penelitian Aiska (2014) perawat tingkat pendidikan D3 memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada yang berpendidikan S1. Perawat dengan tingkat pendidikan diploma lebih mudah terpapar stres dibandingkan perawat yang pendidikannya lebih tinggi (Golubic, dkk, 2009).

e) Status Pernikahan

Pekerja yang telah berstatus menikah terutama yang berjenis kelamin perempuan akan memiliki peran ganda yaitu dalam pekerjaannya dan rumah tangga. Sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki akan memiliki beban dan kewajiban yang lebih besar bila telah berkeluarga sehingga laki-laki dituntut untuk bekerja lebih keras sehingga kecenderungan terjadinya stres semakin besar (Russeng, dkk , 2007). Dalam Tarwaka (2010) juga disebutkan salah

25

satu pencetus stres adalah masalah dalam keluarga yang kemungkinan besar akan terbawa ke lingkungan kerja.

Hal ini sesuai dengan penelitian Aiska (2014) yang menunjukan perawat dengan status menikah memiliki tingkat stres lebih tinggi dibanding yang belum menikah.

2) Faktor Intrinsik Pekerjaan a) Beban Kerja

Secara umum beban kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja, kuantitas pekerjaan, tanggungjawab terhadap pekerjaan, pelimpahan tugas, waktu kerja dan irama kerja. Apabila tidak ada tekanan atau ketegangan yang berlebihan baik secara fisik maupun mental, maka tingkat intensitas pembebanan kerja optimum dapat dicapai. Pembebanan kerja berlebih dapat memicu terjadinya stres kerja (Tarwaka, 2010).

NIOSH (2008) menyatakan bahwa beban kerja merupakan salah satu

Dokumen terkait