• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah kejadian peningkatan tekanan darah di dalam arteri yang mengakibatkan suplai oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan peningkatan risiko berbagai penyakit seperti stroke, gagal jantung, serangan jantung maupun kerusakan ginjal yang merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Tekanan darah tinggi sangatlah berbahaya karena membuat jantung bekerja keras untuk mempompa darah ke tubuh (Bryg, 2009).

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah dikatakan tinggi jika pada saat duduk tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya.

Hipertensi menurut World Health Organization International Society of

Hypertension (1999) adalah naiknya tekanan darah sistolik (TDs) lebih dari 140

mmHg disertai tekanan darah diastolik (TDd) lebih dari 90 mmHg. Apabila TDs antara 140-149 mmHg serta TDd 90-94 mmHg, maka dikategorikan sebagai borderline hypertension. Namun terdapat kondisi yang menunjukkan TDs kurang atau sama dengan 90 mmHg diiukti dengan TDd 140 mmHg atau lebih, juga diklasifikasikan sebagai hipertensi. Kejadian ini biasa disebut sebagai isolated

systolic hypertension. Klasifikasi hipertensi selengkapnya menurut WHO

disajikan pada Tabel 1.

Mekanisme dan Gejala Terjadinya Penyakit Hipertensi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon renin akan

diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya.

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut WHO Klasifikasi

Hipertensi Tekanan Darah Sistolik (TDs) (mmHg) Tekanan Darah Diastolik (TDd) (mmHg) Normal Optimal Normal High normal < 120 < 130 130-139 < 80 < 85 85-89 Hypertension Borderline Grade 1 Grade 2 Grade 3 140-149 140-159 160-179 > 180 90-94 90-99 100-109 > 110 Isolated Systolic Hypertension (ISH) ISH Borderline ISH 140-149> 140 < 90< 90

Sumber: WHO-International Society of Hypertension Guidelines, 1999.

Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer. Hal ini dikarenakan, terjadinya hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena tidak memiliki gejala

khusus. Gejala ringan seperti pusing, gelisah, perdarahan pada hidung (mimisan), wajah kemerahan dan kelelahan tidak selalu berhubungan langsung dengan hipertensi. Hipertensi dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah secara teratur. Penderita hipertensi, apabila tidak ditangani dengan baik, akan mempunyai risiko besar sebagai penyebab kematian karena komplikasi kardiovaskular seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal.

Hipertensi berat (menahun) dan tidak diobati, bisa memunculkan gejala sakit kepala, jantung berdebar-debar, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, sering buang air kecil terutama di malam hari, telinga berdenging, gelisah, pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak.

Penyebab Penyakit Hipertensi

Ada dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer dan sekunder. Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang tidak/belum diketahui penyebabnya secara spesifik (Peckham, 1999). Sebanyak 95 persen hipertensi di dunia adalah hipertensi primer (Simon et al., 1999).

Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang timbul sebagai gejala dari penyakit lain. Pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, kelainan hormonal, maupun obat-obatan. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin).

Penyebab tekanan darah tinggi tidak dikenal. Dalam laporan kasus tekanan darah tinggi sebanyak 95% di Amerika Serikat, disebutkan bahwa penyebab kejadian yang tidak dapat ditentukan. Jenis tekanan darah tinggi ini disebut hipertensi esensial. Hipertensi esensial dihubungkan pada beberapa faktor risiko diantaranya sejarah penyakit di dalam keluarga, jenis kelamin wanita, usia dan

kelompok etnis, pola diet dan gaya hidup, merokok, kegemukan, kelebihan berat badan, aktifitas fisik yang kurang, konsumsi garam berlebihan, konsumsi alkohol (lebih dari 1-2 kali per hari), stres, usia lanjut, riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi, penyakit ginjal kronis, dan ketidaknormalan pada hormon adrenalin dan thyroid.

Di Amerika Serikat, ras kulit hitam memiliki kemungkinan dua kali lipat terkena tekanan darah tinggi dibandingkan ras kulit putih. Setelah umur 65, perempuan hitam tertinggi di dalam mengalami kejadian tekanan darah tinggi. Faktor-faktor lain yang terkait dengan hipertensi esensial termasuk didalmnya adalah obesitas, diabetes, stres, kurang asupan kalium, kalsium, dan magnesium; kurangnya aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol kronis (Bryg, 2009).

Sedangkan hipertensi sekunder adalah hipertensi yang timbul sebagai gejala dari penyakit lain. Pada hipertensi sekunder, penyebabnya diketahui. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah penyakit ginjal, kelainan hormonal, maupun obat-obatan. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Penyebab hipertensi lainnya yang jarang adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin).

Definisi dan Klasifikasi Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang paling umum ditemukan. Penyakit ini ditandai dengan naiknya kadar gula darah (hiperglikemia) dan tingginya kadar gula dalam urin (glikosuria). Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan menurunnya hormon insulin yang diproduksi kelenjar pankreas. Penurunan hormon insulin ini mengakibatkan seluruh gula (glukosa) yang dikonsumsi tubuh tidak dapat diproses secara sempurna, sehingga kadar glukosa dalam tubuh meningkat (Utami, 2003).

Kriteria diagnosis diabetes melitus diambil dari keputusan WHO, yaitu berdasarkan kadar gula gula atau glukosa darah. Diagnosis diabetes dapat dilakukan dengan mengukur kadar glukosa darah ketika puasa (10 jam) dan 1-2

jam setelah minum larutan glukosa 75 gram (tes toleransi glukosa oral). Kadar glukosa puasa tinggi menunjukkan bahwa produksi insulin tidak mencukupi, meskipun hanya untuk kebutuhan tubuh yang bersifat basal atau dasar (Utami, 2003). Komisi diabetes dari WHO merekomendasikan konsentrasi glukosa darah baik setelah puasa ataupun setelah dua jam diberi glukosa sebagaimana tampak dalam Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Klasifikasi diabetes berdasarkan konsentrasi glukosa

Sampel Darah

Konsentrasi glukosa (mg/100 ml)

Bukan Penderita Diabetes Penderita Diabetes Darah vena Darah kapiler Plasma darah < 110 < 120 < 135 > 130 > 140 > 155 Sumber: WHO, 2001

Penderita diabetes diakui sebagai kelompok yang mengalami bermacam-macam kerusakan dengan ditandai oleh adanya hiperglikemia dan intoleransi glukosa, yang merupakan manifestasi dari defisiensi insulin, kurang efektifnya kerja insulin, dan keduanya. Diabetes melitus yang diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan keadaan klinis, dibagi menjadi empat tipe, yaitu: Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, Gestational diabetes melitus (GDM) dan diabetes lainnya (Harris dan Zimmet; Alberti; Zimmet, Dfronzo, dan Keen, 1997 dalam IDF, 2000). Seseorang dikatakan diabetes apabila kadar gula darah puasa (fasting blood sugar) > 126 mg/dL (Alberti dan Zimmer, 1998 dalam Osman dan Al Nozha, 2000).

Pada tahun 1965 WHO dengan Expert Committe on Diabetes Mellitus mengeluarkan suatu laporan yang berisi klasifikasi pasien berdasarkan umur mulai diketahuinya penyakit. Kemudian diperkenalkan istilah-isltilah: childhood

diabetics, young diabetics, adult diabetics, dan elderly diabetics. Tahun 1968,

American Diabetes Association membuat rekomendasi mengenai tes toleransi glukosa. Pembagian ini mengenal istilah-istilah prediabetes, suspected diabetes,

chemical atau latent diabetes dan overt diabetes. Secara umum klasifikasi WHO

1980 sudah mulai diterima tetapi kemudian masuk beberapa usul dan komentar sehingga dalam klasifikasi baru WHO 1985, ditambahkan “malnutrition related diabetes mellitus”, sejajar dengan IDDM dan NIDDM (Soegondo, 2002).

Di Indonesia, Askandar pada tahun 1996 dan 1998 mencoba membuat suatu klasifikasi praktis untuk diabetes melitus dan membagi menjadi lima kelompok: IDDM, NIDDM, MODY, DM tipe X1 dan X2 yang identik dengan DM tipe 1 ½ (Zimmet, 1993 dalam Soegondo, 2002) dan DM tipe 3 identik dengan LADA

(Latent Autoimmune Diabetes of Adult) (Tuomi, 1993 dalam Soegondo, 2002).

Mekanisme dan Gejala Terjadinya Penyakit Diabetes Melitus

Pada penderita penyakit diabetes melitus, metabolisme karbohidrat terganggu sebagai akibat terganggunya produksi hormon insulin oleh pankreas. Defisiensi insulin menyebabkan tidak semua glukosa dapat diubah menjadi glikogen. Ini berarti sebagian glukosa yang berasal dari makanan tetap berada dalam darah. Tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) akan mendorong pembuangan kelebihan glukosa tersebut keluar tubuh melalui urin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya glikosuria.

Dengan sedikitnya glukosa yang dapat diubah menjadi glikogen, maka untuk memenuhi kebutuhan energi otot akan terjadi pengubahan glikogen hati menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis. Jadi tingginya kadar glukosa dalam darah selain berasal dari glukosa makanan yang tidak dapat diubah menjadi glikogen oleh tubuh, juga berasal dari proses glukoneogenesis yang masuk ke peredaran darah (Moehyi, 1997).

Moehyi (1997) menyebutkan bahwa hilangnya sebagian besar glukosa karena tidak dapat digunakan tubuh dan terbuangnya melalui urin membawa akibat terbawanya lemak tubuh (lipolisis) dan protein (proteolisis) untuk dijadikan sumber energi. Digunakannya asam lemak sebagai sumber energi akan menyebabkan terbentuknya zat keton yang terdiri dari asam asetoasetat betahidroksi butirat dan aseton. Kurangnya insulin dalam tubuh dapat menyebabkan jumlah zat keton yang tertumpuk dalam darah melebihi kemampuan tubuh untuk memecahnya dan penderita akan mengalami keracunan zat keton yang disebut ketoasidosis. Wetherhill dan Dean (2001) menyebutkan bahwa ketoasidosis menimbulkan rasa mual, muntah, meningkatnya detak jantung dan nafas menjadi lebih cepat.

Adapun pengklasifikasian penyakit diabetes melitus menurut ADA (1997) adalah sebagaimana tampak pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3. Klasifikasi etiologis diabetes melitus

Tipe Jenis Gangguan

Diabetes melitusTipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut

Diabetes melitusTipe 2 Bervariasi, mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

Diabetes melitusTipe Lain

Defek genetik fungsi sel beta; defek genetik kerja insulin; penyakit eksokrin pankreas; endokrinopati; karena obat/zat kimia; infeksi (rubella kongenital dan CMV; imunologi antibodi anti respepsol insulin); sindroma genetik lain.

Diabetes kehamilan - Sumber: ADA (1997)

Penyebab Terjadinya Diabetes Melitus

Menurut Utami (2003), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan diabetes melitus, diantaranya:

1. Faktor genetik (keturunan). Lebih dari 50% penderita diabetes melitus dewasa berasal dari keluarga dengan riwayat menderita diabetes melitus. 2. Virus dan bakteri. Virus yang diduga menyebabkan diabetes melitus adalah

Rubela, Mumps dan Human Coxsackievirus B4. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa virus dapat menyebabkan diabetes melitus melalui mekanisme infeksi sistolik pada sel beta yang mengakibatkan destruksi atau pengrusakan sel. Selain itu, melalui reaksi otoimunitas yang menyebabkan hilangnya otoimun pada sel beta.

3. Bahan toksik (beracun). Beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah Alloxan, Pyrinuron (rodentisia), dan

Streptozotocin (produk yang berasal dari sejenis jamur). Bahan toksik lain berasal dari singkong (cassava).

4. Faktor zat gizi. Diabetes melitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan zat gizi, baik sebagai faktor penyebab maupun sebagai pengobatan. Overnutrition merupakan faktor pertama yang diketahui menyebabkan diabetes melitus. Semakin lama dan semakin berat obesitas, maka semakin besar kemungkinan terjangkit diabetes melitus.

Faktor-faktor Risiko Hipertensi dan Diabetes Melitus

Menurut Proboprastowo (2003), faktor-faktor risiko yang paling erat hubungannya dengan hipertensi adalah obesitas, diabates melitus dan hiperlipidemia. Sementara menurut Soegondo (2002), seseorang yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus adalah: 1) orang dengan riwayat keluarga diabetes, 2) berstatus gizi obes (>20% berat badan ideal) atau IMT > 27 kg/m2, 3) umur di atas 40 tahun dengan faktor yang telah disebutkan di atas, 4) seseorang dengan tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg), 5) terdapat dislipidemia (kolesterol HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250 mg/dl, 6) seorang yang sebelumnya dinyatakan toleransi glukosa terganggu (TGT) atau GDPT, 7) semua wanita hamil 24-28 minggu, 8) wanita yang sebelumnya di dapat diabetes gestasional, dan 9) wanita yang melahirkan bayi > 4000 gram.

Selain kondisi di atas, hipertensi dan diabetes melitus juga bisa dipicu oleh faktor-faktor berikut:

Status Sosial Ekonomi dan Demografi

Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dalam hal ini laki-laki lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan dengan perempuan, dengan rasio sekitar 2.29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik, dan 3.76 untuk kenaikan tekanan darah diastolik. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan perempuan. Namun setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat, bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Karyadi, 2002).

Studi yang dilakukan oleh Abolfotouh et al. (1996) menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor yang secara signifikan membedakan prevalensi hipertensi, namun kemudian signifikan setelah dikontrol oleh faktor umur (p<0.05). Peningkatan prevalensi konsisten dan signifikan karena faktor umur pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, terutama pada kelompok umur lebih dari 45 tahun. Sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari penyakit kardiovaskuler karena peran hormone estrogen yang masih optimal.

Penelitian Ramachandran et al. (1992), Zimet (1993) dan Ohlson (1985) dalam Gopalan (1999) menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus di pedesaan di India lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan pada wanita (8.4% berbanding 7.9%). Begitu pula di Kepulauan Fiji, baik di perkotaan maupun di pedesaan, prevalensi diabetes melitus lebih banyak pada laki-laki berturut-turut 13.7%; 13.2%; 14.4% berbanding 12.6%. keadaan serupa terjadi di Mauritian Hindus (pedesaan) dengan perbandingan 14.4%: 12.6%. Sedangkan menurut Mather (1985), prevalensi di Asia Selatan hanya terjadi pada laki-laki sebesar 8.9%.

Seiring bertambahnya usia, tekanan darah cenderung meningkat. Hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih dari 40 tahun. Tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis. Tetapi di atas usia tersebut, justru wanita (setelah mengalami menapouse) berpeluang lebih besar. Para pakar menduga perubahan hormonal berperan besar dalam terjadinya hipertensi di kalangan wanita usia lanjut.

Peningkatan tekanan darah cenderung rendah pada bayi dan mulai meningkat pada masa kanak-kanak. Kemudian akan meningkat lebih nyata selama masa pertumbuhan dan pematangan fisik di usia remaja. Perubahan normal dan pematangan fisik cenderung lebih nyata pada anak-anak laki-laki dari pada anak perempuan dan amat menonjol pada anak-anak dengan berat badan berlebih (Semple, 1996).

Hasil studi Kotchen (1989) dalam Kotchen dan Kotchen (1989) menunjukkan bahwa tekanan darah pada anak-anak cenderung berlanjut ada masa dewasa. Setelah masa remaja, laju peningkatan tekanan darah sejalan dengan bertambahnya usia sangat bervariasi. Pada beberapa orang, perubahan tekanan darah sangat sedikit, namun pada orang lain dapat terjadi peningkatan yang nyata. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor bawaan ataupun oleh kebiasaan makan, cara hidup, dan faktor lain yang belum ditemukan. Faktor-faktor bawaan (genetik) penting dalam menentukan apakah seseorang akan menderita hipertensi ataukah tidak. Kemungkinan menderita hipertensi satu banding tiga, jika salah satu orangtua menderita hipertensi atau pernah mendapat stroke sebelum usia 70 tahun. Risiko ini meningkat menjadi tiga banding lima jika kedua orangtua mengalaminya (Semple, 1996).

Penyakit hipertensi paling dominan dijumpai pada kelompok umur 31-55 tahun (Arif, 2007). Pertambahan umur berpengaruh pada peningkatan kemungkinan untuk mengalami hipertensi (Gary, 2000). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tenyata prevalensi (angka kejadian) hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Dari berbagai penelitian epidemiologi yang dilakukan di Indonesia menunjukan 1,8-28,6% penduduk yang berusia diatas 20 tahun adalah penderita hipertensi. Menurut Soegondo (2002), salah satu faktor yang berisiko tinggi terkena diabetes melitus adalah mereka yang berusia > 40 tahun dengan faktor penyerta riwayat keluarga dengan diabetes melitus dan berstatus gizi lebih (gemuk atau obes).

Kondisi sosial ekonomi seseorang dapat didekati dari berbagai variabel diantaranya: tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan/pengeluaran. Ada kecenderungan orang dengan kondisi sosial ekonomi yang tinggi telah mengundang risiko terkena berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi dan diabetes melitus karena telah terjadi pergeseran gaya hidup ke arah yang lebih buruk. Status sosial ekonomi tinggi yang diantaranya ditandai dengan terjadinya peningkatan pendapatan/kesejahteraan membuka peluang terjadinya peningkatan konsumsi pangan secara berlebihan dan tidak terkendali/terkontrol, baik dari aspek jumlah maupun jenisnya.

Tingginya status sosial ekonomi seseorang juga dapat mempengaruhi pola aktivitas fisiknya. Peningkatan kesejahteraan akan membuat seseorang mengurangi aktivitas fisiknya. Kebiasaan berjalan kaki akan tergantikan dengan mengendarai sepeda motor atau mobil. Status sosial ekonomi yang tinggi akan cenderung mendorong seseorang terus mencari kesibukan, sehingga mengurangi porsi seseorang untuk berolah raga.

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilisasi

(utilization) zat gizi makanan (Riyadi, 2003). Kekurangan atau kelebihan zat gizi

dalam tubuh akan mempengaruhi status gizi yang pada akhirnya menyebabkan masalah gizi.

Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan masalah penting karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik, sedangkan secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi pangan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa et al. 2002).

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi seseorang. Menurut Supariasa et al. (2002), penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Disamping itu, IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema, asites, dan hepatomegali. Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

BB (kg) IMT = __________ TB2 (m2)

Keterangan:

IMT = Indeks Massa Tubuh BB = Berat badan (kg) TB = Tinggi Badan (m)

Klasifikasi status gizi dengan menggunakan IMT orang dewasa disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4. Kategori Ambang Batas IMT (kg/m2) untuk Indonesia

Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat

Kekurangan berat badan tingkat ringan

< 17,0 17,0-18,5

Normal >18,5-24.9

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat

>25,0-27,0 >27,0 Sumber: Departemen Kesehatan (Depkes) (1996)

Obesitas menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan ekonomi global yang signifikan. Hal ini dikarenakan tingginya prevalensi yang meningkat dengan cepat. Dan obesitas berkaitan dengan keadaan kronis pada diabetes, hipertensi, penyakit jantung dan kanker (WHO, 2000 dan 2003).

Obesitas juga dikenal sebagai faktor resiko pada diabetes tipe 2. Saat ini, diabetes tipe 2 juga sebagai penyakit utama pada orang dewasa. Kasus pertama diabetes tipe 2 pada orang muda ditemukan di USA pada dekade 1970an. Lima belas tahun yang lalu, peneliti masih menemukan kurang 3 % kasus diabetes pada anak-anak dan orang dewasa. Tetapi sekarang, mereka menemukan lebih dari 45 % kasus baru. Studi berikutnya yang terkait di Asia dan Eropa telah mengungkapkan hal yang sama dan terakhir, melaporkan bahwa diabetes tipe 2 pada anak-anak dan orang dewasa mulai meningkat di seluruh dunia (WHO, 2005).

Seseorang dikatakan obese bila berat badan melebihi 20% dari berat badan normal, dan mengalami penimbunan lemak yang berlebihan. Melalui studi epidemiologi, Bray dan kawan-kawan membuktikan hubungan antara Indeks

Massa Tubuh (IMT) dengan mortalitas yang berbentuk kurva J, yaitu semakin tinggi IMT pada seseorang yang kegemukan/obesitas, maka semakin tinggi risiko kematian. Hubungan obesitas dengan hipertensi telah banyak didokumentasikan. Data dari studi cross-sectional mengindikasikan terdapat hubungan kuat antara berat badan (atau indeks massa tubuh) dengan tekanan darah (kannell et al., 1967; Chiang; Perlman, Epstein; 1965; Stamler et al., 1976; mann 1974; MacMahon et al., 1987 dalam Kotchen dan Kotchen, 1999).

Terdapat sekitar 20% dari penderita hipertensi berstatus gizi lebih (overweight) (MacMahon et al., 1987 dalam Kotchen dan Kotchen, 1999). Dalam National Heart Foundation of Australia Risk Factor Prevalence Survey, diperkirakan sepertiga dari kasus hipertensi potensial disebabkan oleh obesitas pada laki-laki dan perempuan yang berusia 25-64 tahun. Pada laki-laki yang berusia antara 25 sampai 44 tahun hipertensi terjadi dua per tiga disebabkan oleh obesitas (Kotchen dan Kotchen, 1999).

Risiko terkena hipertensi pada IMT > 22,25 kg/m2 pada hasil penelitian Hypertension Study Group adalah 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan IMT < 18,09 kg/m2. Dalam penelitian yang sama IMT 18,09 – 22,25 kg/m2 berisiko terkena hipertensi adalah 1,72 kali lebih besar dibandingkan dengan IMT < 18,09 kg/m2 (Quasem et al., 2001).

Tershakovek et al. (2002) melaporkan bahwa status gizi (IMT) secara statistik berhubungan dengan tekanan darah sistolik dan diastolik. Lebih jauh lagi

Dokumen terkait