• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Genetik Melon (Cucumis melo L.)

Melon (Cucumis melo L.) adalah salah satu tanaman hortikultura yang tersebar luas di dunia dan mempunyai peran penting dalam perdagangan internasional. Perbedaan bentuk dan warna buah pada melon diketahui sebagai pembeda morfologi dan penggunaannya. Bagian utama tanaman ini adalah daging buah yang bisa dikonsumsi langsung sebagai dessert dan salad.

C. melo L. adalah spesies yang paling polimorfis dalam satu genus. Contoh polimorfisme yang terbesar adalah pada buah. Robinson dan Decker (1999) mengklasifikasikan varietas melon menjadi enam kelompok yaitu:

I) Kelompok cantaloupe (umumnya disebut juga muskmelon)

Ciri dari kelompok cantaloupe adalah permukaan kulit berjala/net dengan ukuran buah sedang, warna daging buah jingga sampai kehijauan dan memiliki aroma buah yang khas.

II) Kelompok inodorus (winter melon)

Melon dalam kelompok ini dicirikan dengan permukaan buah licin dan tidak berjala/net, ukuran lebih besar dari melon cantaloupe, daging buah berwarna putih sampai kehijauan, dengan aroma tidak menyengat.

III) Kelompok flexuosus (snake melon)

Kelompok melon ini memiliki ciri bentuk buah panjang dan ramping. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan, ukuran buah berkisar dari panjang 20 hingga 100 cm dengan diameter 4 hingga lebih dari 10 cm. IV) Kelompok conomon (pickling melon)

Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) ciri-ciri kelompok ini adalah permukaan kulit buahnya empuk dan halus, buah berbentuk silinder, panjang 20-30 cm, diameter 6-9 cm, daging buah agak tebal dan berwarna putih, kelompok ini termasuk dalam kelompok melon manis.

V) Kelompok dudaim (pome melon/Queen Anee’s pocket).

Ciri-ciri melon dalam kelompok ini adalah ukuran buah kecil, berbentuk bulat, daging buah berwarna putih dan kulit buah tipis. Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menambahkan kelompok melon ini memiliki kulit buah garis-garis hijau gelap dan hijau terang yang berubah menjadi jingga kecoklatan ketika matang.

VI) Kelompok momordica (phoot snap melon)

Melon kelompok ini memiliki bentuk silindris, daging buah berwarna putih atau kuning pucat, kandungan gula kurang, tekstur buah renyah, permukaan kulit licin dan buahnya agak pecah saat matang.

Greuter et al.(1994) menyatakan bahwa spesies C. melo L. telah dibagi dalam dua sub-spesies: agrestis dan melo. Sub-spesies agrestis telah diklasifikasikan dalam lima varietas. Sub-spesies melo telah diklasifikasikan dalam sebelas varietas; yang salah satu diantaranya adalah varietas baru Tibish.

Taha (2002) menyatakan bahwa Sudan merupakan daerah asal melon karena di daerah tersebut sampai saat ini masih bisa dijumpai melon tipe liar dan melon budidaya. Tanaman melon tipe liar (C. melo agrestis) yang dalam bahasa lokalnya Humaid, secara alami tumbuh bersama dengan melon buah (C. melo

5

cantaloupensis). Menurut Piterad et al.(1999), budidaya melon Tibish dan tipe liarnya yaitu melon Humaid (C. melo agrestis) menjadi petunjuk bahwa melon berasal dari Sudan. Melon tipe liar tersebut telah dikarakterisasi dan dievaluasi ketahanannya terhadap hama dan penyakit .(Tahir & Yousif, 2000) (Tabel 1).

Pemanfaatan melon tipe liar dalam pemuliaan ketahanan hama dan penyakit memberikan harapan dalam mengatasi meningkatnya kerusakan akibat serangan hama dan penyakit pada melon. Terdapat permasalahan yang dihadapi dalam membudidayakan melon tipe liar yang sebagian besar hanya dipergunakan sebagai sayur, yaitu sangat rendahnya kualitas buah, seperti rasa, aroma maupun kemanisan buah. Introgresi sifat ketahanan yang dimiliki oleh melon tipe liar kedalam melon buah merupakan salah satu upaya dalam memperbaiki sifat ketahanan hama dan penyakit pada melon buah.

Tabel 1. Sumber ketahanan hama dan penyakit diantara tipe berbeda pada sumber keragaman genetik dari Sudan

Hama dan penyakit

Melon tipe liar agrestis (humaid) Melon budidaya Tibish Melon budidaya jenis lain Fusarium race 0 + + + Fusarium race 1 + + - Fusarium race 2 + + + Fusarium race 1-2 + + -

Spaerotheca fuliginea race 1 + - +

Spaerotheca fuliginea race 2 + - +

Erisyphe cichoracearum race 1 + - +

ZYMV pathotype 0 + + -

CABYV + - -

WCSV + - -

New viral disease syndromes + -

Leaf miner + +

Fruit fly + + -

Bemisia sp + -

Keterangan : (+) ketahanan ada, (-) ketahanan tidak ada

Virus Kuning dan Bemisia sp sebagai Vektor.

Begomovirus (Bean golden mosaic virus) atau sering dikenal virus kuning merupakan salah satu nama genus dari famili Geminiviridae: Mastrevirus, Curtovirus, Tospovirus dan Begomovirus (ICTV, 2002). Famili Geminiviridae

dibedakan dalam tiga subgroup, subgroup pertama memiliki genom yang

monopartit, menginfeksi tanaman-tanaman monokotiledon dan ditularkan oleh vektor wereng daun (leafhopper); subgroup kedua juga ditularkan oleh vektor wereng daun, dan memiliki genom monopartit, tetapi menginfeksi tanaman- tanaman dikotiledon; subgroup ketiga memiliki anggota yang paling banyak dan beragam, dengan genom bipartit, menginfeksi tanaman-tanaman dikotiledon dan ditularkan oleh serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci Genn.) (Gilbertson et al.1991). Begomovirus ditularkan oleh serangga kutu kebul (whiteflies) dari genus

6

virus yang termasuk kelompok ini adalah Bean golden mosaic virus (BGMV) dan

Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) (van Regenmortel et al. 1999)

Virus menyebabkan penyakit tidak dengan cara mengkonsumsi sel atau membunuhnya dengan toksin, tetapi dengan menggunakan subtansi sel inang, mengisi ruang dalam sel dan mengganggu proses dan komponen seluler, yang selanjutnya mengacaukan metabolisme sel dan menyebabkan kondisi dan substansi sel abnormal yang mengganggu fungsi dan kehidupan sel atau organisme (Agrios, 1997). Virus masuk ke dalam jaringan tumbuhan antara lain melalui luka yang dibuat secara mekanik atau oleh vektor atau masuk ke dalam

ovule bersama tepung sari yang terinfeksi. Infeksi virus sangat ditentukan oleh bagian asam nukleatnya, yang pada sebagian besar virus tumbuhan berupa RNA. Beberapa jenis virus tumbuhan membutuhkan enzim RNA transkriptase untuk memperbanyak diri dan menginfeksi. Kemampuan RNA virus memproduksi baik RNAnya sendiri maupun protein tertentu, menunjukkan bahwa RNA membawa faktor genetik tertentu (Bos, 1994).

Infeksi Virus kuning telah terjadi pada beberapa tanaman penting seperti kacang-kacangan, mentimun, tomat, cabai dan ubikayu pada daerah tropis dan sub-tropis, serta beberapa rumput (Ambrozevicius et al. 2002). Sedikitnya 17

Begomovirus telah dilaporkan menginfeksi tomat di daerah Amerika dan Karibia, seperti misalnya Texas pepper virus, Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV),

Tomato mosaic virus (ToMoV), Tomato golden mosaic virus (TGMV), Tomato yellow mosaic virus (TYMV) dan lain-lain.

Berbeda dengan penyakit lain, penyakit yang disebabkan oleh virus pada umumnya sulit dikendalikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (1) virus adalah organisme obligat yang bertahan dalam sel hidup; (2) virus memiliki inang yang luas (Bos, 1994) penyebarannya di seluruh areal pertanaman dapat berlangsung sangat cepat; (3) belum tersedianya pestisida yang efektif untuk mengendalikan virus. Metode pengendalian virus yang paling praktis dan dapat diharapkan keberhasilannya adalah dengan menggunakan varietas tahan (Duriat, 1996).

Virus kuning ditularkan oleh serangga vektor kutu kebul (Bemisia tabaci,

ordo Hemiptera, famili Aleyrodidae) dengan cara persisten sirkulatif (Idris et al.

2001; Brown & Czosnek, 2002). Periode makan akuisisi dan inokulasi pada umumnya masing-masing adalah 10-60 menit dan 10-30 menit (Brown & Czosnek, 2002). Periode laten virus ini di dalam vektornya lebih dari 20 jam. Virus dapat bertahan di dalam vektor selama lebih dari 20 hari namun tidak sepanjang masa hidup kutu kebul. Virus tersebut dapat dibawa oleh serangga pada tahapan larva atau dewasa namun tidak diturunkan ke keturunannya.

Bemisia sp mempunyai sebaran geografis yang sangat luas dan menyerang sekitar 500 spesies dari 63 famili mulai dari tanaman sayur, buah, bunga serta gulma (Salati et al. 2002). Bemisia sp merupakan hama yang menjadi faktor pembatas produksi tanaman pangan dan umbi-umbian di seluruh dunia karena

Bemisia sp dapat secara langsung menyebabkan kerusakan pada tanaman dan secara tidak langsung merupakan vektor virus tanaman (Brown, 1994). Menurut Berlinger (1986) ada tiga bentuk kerusakan yang disebabkan oleh Bemisia sp

yaitu (1) kerusakan langsung; disebabkan oleh bekas tusukan stiletnya. Akibat aktivitas makan tersebut tanaman menjadi lemah dan layu, menurunkan pertumbuhan tanaman dan hasil. (2) kerusakan tidak langsung; disebabkan

7 akumulasi embun madu yang dihasilkan oleh Bemisia sp. Embun madu merupakan substrat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun dan buah, akibatnya dapat menurunkan efisiensi fotosintesis dan menurunkan mutu buah yang akan dijual. (3) kerusakan karena kemampuannya sebagai vektor virus; populasi Bemisia sp yang kecil sudah dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman.

Pemuliaan untuk Ketahanan Tanaman Terhadap Virus

Terdapat tiga metode yang biasa digunakan untk mengendalikan virus. Pertama, menghilangkan sumber inokulum di lapangan diantaranya dengan eradikasi tanaman yang telah terinfeksi virus, dan membersihkan gulma yang menjadi inang virus. Kedua, mencegah atau menghambat penyebaran virus dari satu pertanaman ke pertanaman lain. Penyebaran virus sebagian besar ditularkan oleh serangga vektor, maka pencegahan penyebaran virus dapat dilakukan dengan mengendalikan serangga vektor, baik secara kimiawi maupun biologis. Ketiga adalah dengan menggunakan kultivar tahan (Harrison, 1987). Penggunaan kultivar tahan adalah metode yang paling baik diantara ketiga metode pengendalian virus. Penggunaan kultivar tahan disamping memberikan kepastian pengendalian virus yang lebih baik, metode ini merupakan metode yang aman, tidak mencemari lingkungan, tidak memerlukan keterampilan khusus bagi petani dan dapat mengendalikan virus kapanpun mulai menyerang (Fraser, 1992).

Penyakit timbul karena adanya interaksi antara patogen dan inang serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Tingkat kerentanan tanaman inang terhadap penyakit ditentukan oleh tingkat ketahan inang terhadap patogen. Derajat infeksi atau derajad tingkat serangan bergantung pada agresifitas virus dan kerentanan inang, sedangkan keparahan gejala bergantung pada virulensi virus dan kerentanan inang. Patogen mempunyai keragaman sifat dan pertumbuhan yang memiliki strain-strain yang berbeda agresivitas atau virulensinya (Santoso, 2003). Upaya perbaikan ketahanan penyakit pada suatu varietas perlu dipahami sebagai hubunngan antara inang, patogen dan lingkungan, sehingga terhindar dari kesalahan seleksi.

Tanaman dinyatakan tahan terhadap virus adalah jika tanaman mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman. Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus pada sel tertentu sehingga virus tidak menyebar ke sel-sel lain (Matthews, 1991). Mekanisme ketahanan dalam tanaman dapat berupa penghambatan penyebaran virus dari (1) sel terinfeksi ke sel sekitarnya atau penyebaran antar sel (2) sel parenkim ke jaringan pengangkut atau penyebaran antar jaringan (3) jaringan pengangkut ke sel parenkima daun baru/penyebaran antar organ tanaman. Tanaman tahan terhadap virus juga dapat disebabkan karena tanaman tidak disukai serangga vektor penyebar virus (Matthews, 1991). Ditinjau dari aspek tanaman inang, perilaku vektor virus Bemisia, secara eksternal banyak dipengaruhi oleh karakter fisik permukaan daun, seperti bulu dan bentuk daun, serta bergetah atau tidak, sedangkan secara internal lebih banyak dipengaruhi oleh pH daun.

Fraser (1992) menyatakan bahwa alel resisten dominan sempurna umumnya berkaitan dengan mekanisme lokalisasi virus yang melibatkan lesion

8

local. Alel dominan atau resesif tidak sempurna memungkinkan virus menyebar ke seluruh tanaman, tetapi menghambat multiplikasi virus atau perkembangan gejala. Sedangkan alel resesif penuh mungkin berkaitan dengan kekebalan.

Tahapan yang penting dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit adalah mendapatkan sumber ketahanan dan menentukan pola pewarisan sifat ketahanan tanaman inang serta sifat genetik dan interaksi antara inang dengan patogen (Russell, 1981). Tahapan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika pengkajian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik dalam laboratorium, rumah kaca maupun di lapang. Masalah yang sering dihadapi adalah 1) penentuan dan penilaian ketahanan, 2) identifikasi genetik dari sifat ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, kaitan gen, serta adanya bermacam-macam strain virus.

Penentuan dan penilaian ketahanan diperlukan untuk membedakan antara tanaman yang tahan dan rentan secara tepat. Untuk keperluan tersebut maka dalam setiap pengujian dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan terciptanya kondisi lingkungan epidemik yang mampu memberikan kondisi

epifitotik patogen (Russell, 1981).

Metode yang umum dilakukan untuk membuat kondisi seluruh tanaman yang teruji terinfeksi virus adalah melakukan inokulasi buatan. Hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan keberhasilan inokulasi buatan adalah 1) inokulum harus tetap bermutu tinggi, 2) penerapan inokulasi sedapat mungkin diusahakan seragam untuk setiap tanaman, 3) kondisi lingkungan pada saat inokulasi dan dalam jangka waktu inkubasi harus sesuai bagi pertumbuhan parasit yang bersangkutan, 4) tanaman inang yang diuji harus bebas dari penyakit lain dan harus dalam keadaan fisiologis yang cocok untuk terjadinya infeksi atau serangan patogen (Green, 1991).

Pengujian ketahanan terhadap penyakit yang dilakukan didalam rumah kaca memiliki beberapa kelebihan dibanding di lapangan, antara lain (1) inokulasi dapat terkontrol dengan baik dengan kondisi lingkungan relatif stabil dan optimal bagi pertumbuhan penyakit (2) kemungkinan adanya escape rendah (3) kontaminasi patogen ke areal pertanaman dapat ditekan. Kelemahan pengujian yang dilakukan di rumah kaca adalah hasil evaluasi yang diperoleh umumnya kurang representative dari apa yang sebenarnya terjadi di lapang (Niks & Lindhout, 2000).

Pewarisan Sifat Ketahanan terhadap Penyakit Virus Kuning

Perakitan varietas tahan virus dapat dilakukan melalui seleksi plasma nutfah dan persilangan antar tetua terpilih. Sifat tahan ini dapat berasal dari varietas yang berbeda, varietas komersial, spesies liar sekerabat, spesies lain dalam satu genus, atau genus lain (Niks et al. 1993). Dalam upaya tersebut diperlukan adanya beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain 1) diantara tanaman yang dibudidayakan, terdapat genotipe yang tahan terhadap virus, 2) gen yang mengendalikan sifat tahan virus ini sebaiknya tidak terpaut dengan sifat agronomis yang tidak diinginkan, 3) pemindahan gen dari tanaman tahan ke tanaman penerima harus dapat dilakukan melalui hibridisasi.

Ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat merupakan sifat kualitatif yang dikendalikan oleh gen mayor atau sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh

9 banyak gen minor. Apabila ketahanan dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor, ragam ketahanan akan menunjukkan sebaran diskontinu sehingga umumnya indifidu tanaman yang tahan mudah diidentifikasi. Klasifikasi tanaman dalam populasi yang bersegregasi dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu tahan (infeksi rendah) dan rentan (infeksi tinggi) (Russel, 1981).

Gen-gen yang mengikuti prinsip Mendel (disebut gen mayor) peranan ragam lingkungan relatif kecil dibandingkan peranan ragam lingkungan gen-gen minor. Jumlah gen mayor umumnya tidak banyak dan peranan faktor lingkungan relatif kecil, sehingga ragam fenotipe yang ditampilkan dalam populasi bersegregasi sebagian besar merupakan ragam genetik, bersifat diskontinu dan merupakan akibat adanya efek dominan.

Ketahanan sering dikendalikan secara poligenik dan perbedaan antara tanaman tahan dengan tanaman rentan dalam populasi bersegregasi tidak jelas. Dalam hal ini wujud penampilan ketahanan merupakan ragam kontinu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil. Hasil penelitian McCreight at al.

(2008) menunjukkan bahwa dari data F1, F2 dan back cross dari F1 hasil persilangan galur melon top mark dan PI 313970, sifat ketahan terhadap (Cucurbite leaf crumple virus) CuLCrV dikendalikan oleh gen tunggal resesif.

Analisis Kekerabatan

Jarak genetik dalam kultivar dapat digunakan untuk mengukur divergensi genetik rata-rata antar kultivar. Informasi mengenai hubungan genetik antara genotype-genotipe dalam satu spesies sangat bermanfaat untuk seleksi tetua dalam program hibridisasi. Program pemuliaan suatu spesies hendaknya dimulai dengan memilih tetua-tetua yang memiliki jarak genetik yang jauh, tetapi dengan sifat- sifat agronomis yang baik (Machado, 2000). Analisis gerombol bertujuan untuk mengelompokkan individu-individu atau objek berdasarkan karakter-karakter yang mereka miliki, sehingga individu-individu dengan deskripsi yang sama akan dikumpulkan kedalam gerombol yang sama secara matematis (Hair et al. 1995).

Informasi yang dihasilkan dari analisis gerombol (cluster analysis) bermanfaat bagi pemulia dalam kaitannya dengan keanekaragaman genetik (genetik diversity). Secara teori, perbedaan fenotipik umumnya juga mencerminkan perbedaan (keanekaragaman) genetik. Beranjak dari konsep ini, Autrique et al. (1996), van Beunigen dan Busch (1997) dan Johns et al. (1997) menggunakan karakter tumbuh kembang, fisiologi dan morfologi untuk menghitung jarak dan keanekaragaman genetik dari sejumlah besar koleksi tanaman.

Korelasi dan Sidik Lintas Antar Karakter

Korelasi merupakan tingkat keeratan antar karakter. Gambaran tingkat keeratan antar dua karakter dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi. Nilai korelasi dapat bernilai negatif maupun positif. Rentang nilai korelasi -1 sampai dengan +1. Nilai koefisien koreasi semakin mendekati -1 atau +1 maka hubungan antar karakter semakin erat dan semakin mendekati nilai nol maka kedua karakter tersebut semakin tidak ada hubungan satu sama lain. Besaran dari koefisien

10

korelasi tidak menggambarkan hubungan sebab akibat antara dua peubah (Mattjik & Sumertajaya, 2002).

Informasi tingkat keeratan hubungan suatu karakter dengan karakter lain penting bagi pemulia untuk mendapatkan dua sifat unggul pada satu varietas yang akan dikembangkan, contohnya kerapatan trikhoma dan sifat ketahanan terhadap virus. Dua karakter yang memiliki hubungan yang erat dapat diharapkan berada pada satu individu (Roy, 2000).

Nilai korelasi tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat dari tingkat keeratan antar karakter tersebut (Roy, 2000; Mattjik & Sumertajaya, 2000). Analisis korelasi hanya berfungsi memperlihatkan pola hubungan antar karakter seperti hasil dan komponen hasil. Selain itu analisis korelasi memiliki kelemahan karena dapat terjadi salah penafsiran yang disebabkan adanya interaksi antar komponen hasil (Budiarti et al. 2004). Hubungan kausal antar peubah tak bebas dan peubah-peubah bebas menurut Budiarti et al. (2004) dapat diketahui dengan menggunakan analisis sidik lintas (pathway analysis). Melalui analisis sidik lintas dapat diketahui pengaruh langsung dan tidak langsung antar variabel-variabel bebas dengan variabel tidak bebas (katahanan virus) sehingga akan lebih memudahkan pemulia dalam melakukan seleksi, terutama karakter-karakter yang berpengaruh langsung terhadap ketahanan virus serta sebagai landasan bagi pemulia dalam progam perbaikan tanaman.

Roy (2000) mendisain metode analisis sidik lintas untuk tujuan interpretasi sistem koefisien korelasi dalam lintas sebab akibat. Variabel tak bebas Y sangat dipengaruhi sejumlah variable bebas X. Sementara R merupakan residual dari interkorelasi. Penjabaran dari hasil sidik lintas dilakukan dengan melihat nilai koefisien korelasi (r) dan nilai pengaruh langsungnya (C). Jika koefisien korelasi dari suatu karakter bernilai positif akan tetapi pengaruh langsungnya bernilai negatif, maka pengaruh tak langsunglah yang lebih berperan terhadap adanya korelasi tersebut. Apabila koefisien korelasi dari dua karakter nilainya hampir sama dengan pengaruh langsungnya, maka efektifitas seleksi langsung yang dilakukan akan tercapai (Singh & Chaudhary, 2001).

Wirnas et al., (2005) dengan menggunakan analisis sidik lintas pada pisang memilih karakter yang dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengembangkan varietas pisang dengan berat buah per tandan lebih besar adalah tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, rata-rata panjang daun dan ratarata lebar daun, umur panen, jumlah buah per sisir, dan rata-rata berat buah. Sundari et al. (2005) menyatakan bahwa parameter hasil rata-rata, rata-rata hasil geometrik dan indeks toleran terhadap cekaman merupakan tolok ukur yang baik untuk memilih genotipe yang berpotensi hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman intensitas cahaya rendah.

11

UJI KETAHANAN PLASMA NUTFAH MELON

(Cucumis melo L.) TERHADAP PENYAKIT VIRUS KUNING

ABSTRAK

Keragaman genetik merupakan dasar dalam pemuliaan tanaman. Program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan sumber ketahanan terhadap penyakit virus kuning merupakan langkah penting dalam pengembangan varietas tahan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahan genotipe-genotipe melon terhadap penyakit virus kuning, informasi ketahanan yang didapat digunakan untuk pemilihan induk tahan dan rentan, selanjutnya digunakan dalam pembentukan materi kegenetikan. Hasil pengujian ketahanan terhadap penyakit virus kuning pada 20 genotipe melon menunjukkan terdapat satu genotipe MEV1 dari grup dudaim dengan kategori ketahanan sangat tahan dengan intensitas serangan virus 0% dan 19 genotipe lainnya (cantaloupe dan inodorous) menunjukkan kategori ketahanan sangat rentan dengan kisaran intensitas serangan virus sebesar 66.8 - 98.11%. Genotipe MEV1 grup dudaim digunakan sebagai genotipe donor (tetua tahan) yang mangandung gen ketahanan terhadap penyakit virus kuning. Tetua rentan dipilih dari grup cantaloupe dan inodorous. Materi kegenetikaan yang dibentuk adalah set populasi hasil persilangan antar satu tetua tahan dengan sembilan tetua rentan sehingga dihasilkan sembilan turunan pertama (F1), selanjutnya turunan pertama dilakukan selfing menghasilkan sembilan turunan kedua (F2).

Kata kunci : dudaim, materi genetik, penyakit virus kuning, tetua tahan

ABSTRACT

Genetic variability is the basic of plant breeding. Plant breeding program to obtain the source of resistance to yellow virus is an important step in the development of resistant variety. The objective of this study is to evaluate of resistance on melon genotypes to yellow virus, the expected resistance result use for selection resistant and susceptible parents. Examination of resistance to yellow virus in twenty genotipes melon showed one line from the dudaim group (MEV1) was high resistance to YV (0%), other lines belong to cantaloupe and inodorous showed highly susceptible performance, with diseases intensity 66.85- 98.11%. Genotype MEV1 used for resistant parent, susceptible parent select from cantaloupe and inodorous group. The genetic material obtained from population set as crossing between one resistant parent and nine susceptible parents, this cross result revealed nine first progenies (F1) and it selfed cross between F1 until revealed nine second progenies (F2).

12

PENDAHULUAN

Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Hal ini karena kebutuhan melon yang terus meningkat, harga yang relatif lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan komoditas lainnya. Meski demikian melon merupakan tanaman yang memerlukan perhatian yang khusus dan sangat intensif dalam perawatannya. Perubahan kondisi lingkungan dan perkembangan hama dan penyakit akan sangat berpengaruh terhadap kualitas buah yang dihasilkan. Salah satunya serangan penyakit virus kuning yang akhir-akhir ini menjadi masalah besar bagi petani melon, karena dampak serangannya sangat merugikan bahkan hingga gagal panen. Penyakit virus kuning pada melon disebabkan oleh infeksi Begomovirus

anggota kelompok Geminivirus (famili Geminiviridae). Penyakit virus kuning

Dokumen terkait