• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani dan Morfologi Cabai

Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens, Capsicum chinense, dan Capsicum frutescens

(Kusandriani, 1996). Kentang (Solanum tuberosum L.), terung (Solanum melongena L.), takokak (Solanum torvum Swartz.) merupakan contoh tanaman lain yang masih sekerabat dengan cabai.

Cabai merupakan tanaman herba yang tumbuh tegak dengan batang berkayu dan cabang berjumlah banyak. Ketinggian tanaman cabai yaitu 50-150 cm dengan lebar tajuk tanaman sampai 90 cm. Struktur perakaran cabai diawali dari akar tunggang yang sangat kuat yang bercabang-cabang ke samping dengan akar-akar rambut (Kusandriani, 1996).

Daun cabai merupakan daun tunggal dan tipis dengan ukuran yang bervariasi, biasanya berbentuk lanset atau bulat telur lebar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Warna pada daun cabai berbeda-beda tergantung varietasnya, biasanya berwarna hijau atau hijau tua (Kusandriani, 1996).

Bunga cabai mekar pada pagi hari ±2 jam sesudah matahari terbit dan membukanya kurang dari satu hari (Ashari, 1995). Bunga cabai bersifat tunggal, tumbuh pada ujung ruas, dan merupakan bunga lengkap karena memiliki kelopak, mahkota, benang sari dan putik. Warna mahkota bunga berbeda-beda tergantung varietasnya, ada yang berwarna putih, kuning terang, ungu, dan lainnya. Dalam satu bunga terdapat satu putik dan lima sampai delapan helai benang sari. Kondisi bunga yang hermaprodit tersebut memungkinkan cabai untuk melakukan penyerbukan sendiri, walau tidak menutup kemungkinan terjadinya penyerbukan silang. Posisi putik lah yang mempengaruhi penyerbukan, jika kepala putiknya lebih tinggi dari kotak sari akan terjadi penyerbukan silang, sebaliknya jika posisi putik lebih rendah dari kotak sari akan terjadi penyerbukan sendiri (Kusandriani, 1996).

Bentuk buah cabai bermacam-macam mulai dari memanjang, bulat, segitiga, campanulate, sampai blocky. Permukaan buah cabai pun ada yang halus,

semi-keriting, dan keriting. Buah cabai memiliki warna yang bervariasi dari hijau, kuning, atau bahkan ungu ketika muda dan kemudian berubah menjadi merah, jingga, kuning atau campuran warna ini, seiring dengan meningkatnya umur buah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Rongga pada buah cabai berbeda-beda tergantung varietasnya. Di dalam rongga buah terdapat placenta yaitu tempat melekatnya biji, ukuran rongga buah berbeda tergantung ukuran buah (Kusandriani, 1996).

Syarat Tumbuh Cabai

Tanaman cabai dapat ditanam di berbagai lahan, baik di lahan sawah (basah), tegalan (kering), pinggir laut (dataran rendah), ataupun pegunungan (dataran tinggi) (Duriat, 1996). Suhu yang diperlukan tanaman cabai agar dapat tumbuh optimum yaitu 18oC - 27oC (Sumarni, 1996). Suhu yang terlalu tinggi atau di atas 32°C dapat menurunkan produksi karena tepung sari tidak dapat berfungsi. Curah hujan yang ideal untuk tanaman cabai yaitu berkisar antara 750 – 1 250 mm per tahun atau merata sepanjang tahun (Tani, 2008). Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan tanaman cabai mudah terserang penyakit, sedangkan curah hujan yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan buah.

Tanaman cabai dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, namun yang paling baik jika ditanam di tanah lempung berpasir yang banyak mengandung unsur hara, serta memiliki drainase dan aerasi yang baik. Derajat keasaman (pH) tanah yang baik untuk tanaman ini antara 5-6. Keadaan pH tanah sangat penting karena erat kaitannya dengan ketersediaan unsur hara dalam tanah (Sumarni, 1996). Kekurangan unsur hara akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Untuk pertumbuhan yang optimal, tanaman cabai membutuhkan intesitas cahaya matahari sekurang-kurangnya selama 10-12 jam untuk fotosintesis, pembentukan bunga dan buah, serta pemasakan buah (Wiryanta, 2002). Kekurangan sinar matahari dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman cabai menjadi lemah, pucat, dan memanjang (Tani, 2008).

Antraknosa pada Cabai

Antraknosa pada cabai disebabkan oleh cendawan Colletotrichum spp. Spesies utama dari genus Colletotrichum yang menyerang cabai adalah

Colletotrichum gloeosporioides, Colletotrichum acutatum, Colletotrichum capsici, Colletotrichum dematium, dan Colletotrichum coccodes (Kim et al., 1999). Di antara cendawan Colletotrichum spp, yang menyerang cabai,

Colletotrichum gloeosporioides memiliki kisaran inang yang luas pada tanaman

solanaceous dan berbagai biotipe lainnya, Colletotrichum acutatum telah menyebabkan kerusakan yang parah pada buah di beberapa daerah tropis (Cerkauskas, 2004).

Colletotrichum acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Warna koloni jika dibalik adalah oranye hingga merah muda atau dark olive. Konidia berbentuk silindris dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8 – 16.9) x 4.8 (4.0 – 5.7) µm. Suhu optimum untuk berkembang biak yaitu 28°C, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5.3 (4.0-6.0) mm/hari (AVRDC, 2004a).

Penyakit antraknosa menyerang hampir seluruh bagian tanaman, yaitu pada daun, batang, buah muda, dan buah matang. Penyakit antraknosa dapat menyerang pada seluruh fase pertumbuhan tanaman, bahkan pada saat pasca panen. Gejala serangan antraknosa pada biji menimbulkan kegagalan berkecambah, pada kecambah menimbulkan rebah kecambah, pada tanaman dewasa menimbulkan mati pucuk, dan pada buah menyebabkan buah menjadi busuk (Suryaningsih et al., 1996). Serangan antraknosa dapat berlanjut hingga pasca panen jika kondisi penyimpanan tidak diatur dengan baik. Gejala yang timbul pada buah yang terserang antraknosa yaitu timbulnya bercak-bercak yang semakin lama akan semakin melebar hingga seluruh buah akan dipenuhi bercak yang mengakibatkan buah akan mengerut dan mengering dengan warna kehitaman (Setiadi, 2008).

Cendawan penyakit antraknosa dapat bertahan baik pada biji, sebagai penyakit tular biji, pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi maupun pada inang yang lain (Suryaningsih et al., 1996). Infeksi cendawan dapat terjadi pada suhu 20-24°C dan kelembaban relatif udara yang mencapai 95%. Kondisi suhu dan

kelembaban yang tinggi membuat infeksi cendawan pada cabai semakin parah, bahkan pada cabai yang tahan sekalipun (AVRDC, 2004b). Jika cuaca kering, hanya akan terbentuk bercak kecil yang tidak meluas (Semangun, 2000).

Ketahanan terhadap Penyakit

Setiap tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap serangan patogen. Terdapat tanaman yang tahan terhadap serangan patogen, namun ada pula yang tidak tahan. Ketahanan terhadap penyakit dapat berlangsung dalam berbagai tahapan infeksi, mulai dari tahap perkecambahan spora pada permukaan tubuh inang sampai kolonisasi jaringan atau sampai reproduksi patogen pada permukaan inang atau dalam tubuh inang (Yudiarti, 2007). Ketahanan penyakit dikelompokkan menjadi ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Ketahanan struktural merupakan ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan oleh struktur tanaman itu sendiri yang menyebabkan patogen tidak menyukai atau tidak dapat melakukan invasi ke dalam tanaman tersebut, contohnya yaitu tebal dan kerasnya lapisan epidermis, adanya lignin pada dinding sel, atau adanya lapisan lilin pada permukaan buah. Ketahanan fungsional merupakan ketahanan yang disebabkan oleh adanya reaksi biokimiawi tanaman sehingga perkembangan patogen dapat terhambat, contohnya yaitu meningkatnya aktivitas enzim tertentu atau terbentuknya senyawa toksik tertentu (Agrios, 1997).

Ketahanan genetik merupakan salah satu bentuk ketahanan yang juga dimiliki oleh tanaman. Ketahanan genetik merupakan ketahanan tanaman yang dibawa oleh keturunan, dan dapat diperoleh dari hasil persilangan antara tanaman yang peka terhadap penyakit dengan tanaman yang tahan terhadap penyakit (Yudiarti, 2007). Sifat ketahanan cabai dikontrol oleh sebagian besar gen tunggal dominan atau gen tunggal resesif (Kallo, 1988)

Pemuliaan Tanaman Cabai

Pemuliaan tanaman merupakan suatu kegiatan untuk memperbaiki bentuk atau sifat tanaman dengan cara merubah susunan genetiknya sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan pemulia. Tujuan dari pemuliaan tanaman umumnya adalah untuk memperbaiki daya dan kualitas hasil, perbaikan daya resistensi

terhadap hama dan penyakit tertentu, perbaikan sifat-sifat hortikultura, serta perbaikan terhadap kemampuan untuk mengatasi cekaman lingkungan tertentu (Kusandriani dan Permadi, 1996). Kegiatan pemuliaan tanaman diawali dengan melakukan koleksi berbagai galur tanaman sebagai sumber plasma nutfah yang nantinya akan diidentifikasi dah dikarakterisasi. Beberapa plasma nutfah dipilih sebagai tetua berdasarkan hasil identifikasi dah karakterisasi, kemudian dijadikan bahan persilangan (hibridisasi) atau langsung diseleksi dengan menggunakan metode pemuliaan yang tepat. Tahap selanjutnya yaitu evaluasi terhadap hasil pemuliaan tersebut sebelum kultivar dilepas (Sujiprihati et al., 2008).

Cabai termasuk dalam tanaman yang kebanyakan melakukan penyerbukan sendiri, sehingga metode pemuliaanya disesuaikan dengan metode-metode yang berlaku umum bagi tanaman menyerbuk sendiri. Metode yang paling banyak digunakan adalah galur murni, seleksi massa, pedigree, Bulk-population, dan silang balik (back cross) (Allard, 1960). Meskipun demikian, tanaman cabai dapat melakukan pernyerbukan silang tergantung dari morfologi bunganya. Melakukan isolasi terhadap bunga merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyerbukan silang (Kusandriani dan Permadi, 1996).

Dokumen terkait