• Tidak ada hasil yang ditemukan

Padi hibrida adalah satu jenis padi yang merupakan keturunan pertama dari persilangan antar dua varietas yang berbeda. Pengembangan hibrida didasari oleh gejala heterosis atau vigor hibrida. Heterosis merupakan fenomena biologis yang menunjukan keunggulan hasil persilangan F1 melebihi kedua

tetuanya. Pada generasi lebih lanjut yaitu pada F2 akan terjadi segregasi

sehingga manfaat heterosis hilang dan tidak didapatkan individu yang sama dengan penampilan hibrida F1 (Virmani et al. 1997).

Keunggulan berupa gejala heterosis tersebut dapat berupa hasil, vigor tanaman, ketahanan terhadap kondisi suboptimum, daya adaptasi maupun karakter lainnya (Yuan 2003; Virmani 1994). Heterosis yang tinggi dari suatu kombinasi hibrida akan didapatkan dari pasangan tetua yang memiliki komposisi genetik tertentu. Berdasarkan penampilan hibrida F1, terdapat tiga kriteria

heterosis: (1) mid-parent heterosis yaitu perbandingan rata-rata F1 dengan

nilai rata-rata kedua tetua; (2) heterobeltiosis yaitu perbandingan nilai rata-rata F1

dengan nilai rata-rata tetua tertinggi; (3) standar heterosis yaitu perbandingan rata-rata F1 dengan varietas pembanding (check variety) (Virmani et al. 1997).

Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan padi hibrida adalah : (1) tingkat produktivitas galur-galur non hibrida tidak bisa ditingkatkan lagi sekalipun telah diupayakan secara optimal, (2) semakin terbatasnya ketersediaan lahan dan input energi dalam mendukung sarana produksi padi, (3) permintaan terhadap padi cenderung meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk, (4) galur padi hibrida telah mampu meningkatkan potensi hasil

sebesar 15-20% lebih tinggi dari galur padi inbrida yang ditanam petani, (5) beberapa padi hibrida telah menunjukan toleransi yang lebih baik terhadap

kondisi kekeringan dan salinitas (Virmani et al. 1997).

Padi termasuk tanaman menyerbuk sendiri yang dalam kondisi normal tingkat penyerbukan silang sangat rendah. Karena sifatnya yang menyerbuk sendiri tersebut untuk menghasilkan hibrida hanya dimungkinkan bila bunga jantan pada tanaman betina bersifat mandul atau dibuat tidak berfungsi, dengan cara membentuk galur mandul jantan (GMJ). Teknik produksi benih yang memanfaatkan GMJ tersebut terdiri dari sistem hibrida dua galur dan tiga galur.

8 S sensiti Sterilit (1) tid galur dalam P meliba pelest tiga ga meles pelest kecua suatu memb terseb 2003). dilihat Gam Sistem dua ive genic m ty (TGMS) d dak memerlu fertil denga produksi be Padi hibrida atkan tiga g ari (B) dan g alur, agar b tarikan GMJ ari ini memil li sitoplasm galur yang d berikan prod but juga dise . Kostitusi g pada Gamb mbar 2 Hubu hibrid galur dalam male steril

dan galur fer ukan galur an sifat-sifat enih hibrida a di Indone galur tetua m galur pemuli enih GMJ d J tersebut t liki sifat yang

anya norma dapat memu duktivitas ya ebut sebaga genetik dala bar 2. ungan antar da (dikutip d m produksi p (PGMS) at rtil (Yuan et pelestari da yang baik (Virmani et a esia dikemb meliputi galu ih kesuburan dapat selalu tanpa meng g sama deng al. Untuk ulihkan kesu ang tinggi ai galur res am produksi ra tiga galu dari Yuan et padi hibrida tau Temper al. 2003). K alam produk dapat digu al 2003) bangkan me ur mandul ja n (R). Pada dihasilkan d gubah sifat-s gan GMJ da memproduk uburan galur (heterosis). storer (Virma i benih hibr r komponen al. 2003) menggunak rature-sensit Keuntungan s ksi benih TG nakan seba elalui sistem antan sitopl produksi pa diperlukan g sifat yang d alam hampir ksi benih hi r mandul jan Galur pem ani et al. 19 rida sistem n utama pe kan Photope tive Genic sistem ini ad GMS, (2) se agai tetua ja m 3 galur, asmik (A), adi hibrida si galur yang d dimilikinya. G semua kara brida diperl ntan tersebu mulih kesub 998; Yuan e tiga galur d mbentuk pa eriod- Male dalah emua antan yang galur stem dapat Galur akter, lukan t dan buran et al. dapat adi

9

Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul

jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat dari varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan dari berbagai kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan (You et al. 2006).

Secara alami kondisi susunan genetik dari padi adalah homozigot- homogen, sedangkan kondisi tanaman hibrida adalah heterozigot-homogen. Yang dimaksud dengan heterozigot-homogen adalah dalam individu tanaman yang sama kontruksi gen bersifat heterozigot, sedangkan antar individu tanaman dalam populasi yang sama bersifat homogen (Satoto & Suprihatno 2008).

Uji Kemurnian Benih

Standar mutu yang harus dipenuhi telah ditetapkan untuk mendapatkan benih dengan jaminan mutu. Standar mutu tersebut mencakup persiapan sumber benih, kegiatan di lapang sampai dengan benih siap dipasarkan. Persyaratan mutu yang harus dipenuhi di lapangan mencakup persentase campuran varietas lain yang diperbolehkan, isolasi jarak dan isolasi waktu. Persyaratan mutu di laboratorium mencakup kadar air benih, kemurnian fisik benih (benih murni, kotoran benih, biji benih tanaman lain, biji benih gulma) dan daya berkecambah (SNI 2003).

Pengujian mutu benih merupakan bagian penting dalam proses sertifikasi benih yang dilakukan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Pengujian mutu benih yang dilakukan mencakup mutu benih di pertanaman dan di laboratorium. Pemeriksaan pertanaman oleh petugas dilakukan beberapa tahap pada fase-fase pertumbuhan untuk verifikasi kemurnian varietas di lapangan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakter tanaman sesuai dengan deskripsi varietasnya. Pengujian kemurnian benih di laboratorium dilakukan dengan memisahkan tiga komponen benih murni, benih tanaman lain, dan kotoran benih yang selanjutnya dihitung presentase dari ketiga komponen benih tersebut. Benih murni adalah bagian dari contoh kerja yang mewakili lot benih dari spesies termaksud, termasuk persentase dari setiap spesies yang ada sebesar lima persen atau lebih (Copeland & McDonald 1995) dimana benih tidak dibedakan antar varietas hanya antar spesies (Desai et al.

10

Perbandingan dengan contoh autentik dari varietas dimaksud biasanya dilakukan untuk memudahkan analis dalam mengidentifikasi suatu varietas. Pada beberapa tanaman sangat sulit membedakan dengan pasti dari dua spesies berbeda yang berasal dari genus yang sama. Sebagai contoh dua spesies ryegrass, Lolium perenne dan L. multiforum hanya dapat dibedakan melalui persentase bulu pada bagian belakang benih. Akan tetapi bulu pada benih rontok/hilang saat prosesing benih (perontokan dan pembersihan) dan menjadikan benih dari dua spesies yang berbeda tersebut tidak dapat dibedakan. Bila hal ini terjadi maka benih murni diidentifikasi sebagi genus bukan berdasarkan spesies tertentu.

Uji kemurnian benih di laboratorium lebih mengarah pada kemurnian fisik bukan pada kemurnian genetik karena penilaian hanya dilakukan berdasarkan penilaian visual saja. Pada beberapa spesies tanaman yang memiliki kemiripan antar varietas yang cukup besar, uji kemurnian berdasarkan penilaian visual akan sangat riskan. Saat ini terdapat beberapa metode untuk verifikasi varietas di laboratorium, salah satu diantaranya adalah dengan uji pewarnan phenol untuk gandum Triticum aestivum (ISTA 2008). Uji pewarnaan phenol ini belum bisa diaplikasikan secara luas karena hanya berlaku untuk beberapa varietas saja. Pada padi pengujian phenol tingkat keterulangannya sangat rendah dan sangat bervariasi antar individu biji (Wahyuni et al. 2008) sehingga tidak dapat digunakan untuk uji kemurnian benih padi.

Karakter morfologi telah umum digunakan untuk mengevaluasi perbedaan, keseragaman dan kestabilan dalam karakterisasi varietas. Tetapi pemuliaan saat ini cenderung menghasilkan varietas-varietas yang secara fenotipik sangat mirip. Selain itu evaluasi morfologi kurang akurat dalam menilai derajat kemurnian genetik secara tepat karena memiliki beberapa kelemahan yaitu : (1) keragaman morfologi terbatas bila ditetapkan pada keturunan hasil persilangan (hibrid) lanjut kerena karakter morfologinya hampir mirip, (2) karakter morfologi dipengaruhi lingkungan, (3) tidak dapat digunakan untuk menduga jarak genetik karena tidak konsisten. Tampilan fenotipik tanaman sebenarnya merupakan interaksi GxE (genetik x lingkungan), sementara potensi genetik (G) tidak mampu dideteksi secara baik. Selain itu kebanyakan karakter morfologi belum diketahui pengendali genetiknya (Smith & Smith 1992).

11

Marka Molekuler

Potensi penggunaan marka sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik tanaman telah dikenal sejak lama. Marka bisa dikategorikan sebagai marka morfologi, sitologi dan yang terbaru adalah marka molekuler (Moritz & Hilis 1996). Dengan berkembangnya teknologi biomolekuler maka kegiatan identifikasi varietas dan estimasi kemurnian genetik benih dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler.

Marka molekuler seringkali dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berupa fragmen DNA. Keunggulan utama penanda molekuler adalah (a) keakuratan tinggi dan tidak dipengaruhi lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gen, (b) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (c) pada pengujian hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu (d) penggunaannya pada kegiatan seleksi pemuliaan tanaman dapat mempercepat proses seleksi dan lebih hemat pada pengujian selanjutnya di lapangan (Kasim & Azrai 2004).

Beberapa prinsip dasar dan metodologi dari marka molekuler yaitu : (a) marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA, (b) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction /PCR), (c) marka molekuler berdasarkan PCR yang dilanjutkan hibridisasi, dan (d) sekuensing DNA berdasarkan marka (Gupta et al. 2002). Marka DNA berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) menjadi teknologi pilihan karena menjanjikan efisiensi dan kepastian/akurasi dalam identifikasi. Contoh marka DNA adalah: RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeats), ISSR (Inter Simple Sequence Repeats), RAF (Randomly Amplified DNA Fingerprinting).

Marka SSR (Marka Mikrosatelit)

DNA genom terdiri dari DNA sekuen khas (specific sequence) dan DNA sekuen berulang (repetitive sequence). DNA sekuen berulang dalam genom eukariot dapat mencapai lebih dari 90% DNA total yang ada dalam genom tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar ukuran genom suatu tanaman, cenderung makin besar pula proporsi DNA sekuen berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA sekuen berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al. 1984), gandum dan kerabat liarnya mencapai

12

70% (Flavel 1980) kedelai mencapai 60% (Walbot & Goldberg 1979), dan pada padi mencapai 50% (McCouch et al. 1988).

Terdapat tiga kelas pengulangan fraksi DNA pada individu eukariot, yaitu fraksi sangat berulang (highly repeated fraction), fraksi berulang secara moderat (moderatly repeated fraction), dan fraksi tidak berulang (nonrepeated fraction). Fraksi sekuen sangat berulang terdiri atas (1) satelit DNA, (2) minisatelit DNA dan (3) mikrosatelit DNA. Pengulangan sekuennya tersusun secara tandem. Satelit DNA biasanya jarang ditemukan dalam lokus genom karena perulangannya yang sangat tinggi (biasanya antara 1000 sampai 100 000 kopi) bentuknya sangat panjang, sering berada pada bagian heterokromatin dengan panjang fragmen berulang 2 sampai beberapa ribu pasang basa tetapi umumnya ditentukan 100-300 pasang basa. Minisatelit DNA biasanya banyak terdapat dalam genom, rata-rata sekuen berulang sekitar 10-60 bp dan menunjukan derajat pengulangan yang lebih rendah (Weising et al. 1995). Mikrosatelit DNA juga disebut sebagai fragmen berulang sederhana atau perulangan tandem sederhana, terdiri atas sekuen-sekuen pendek 2-5 bp dan rata-rata pengulangannya maksimum 100 kali (Karp 1998) pengulangannya berurutan dimana jumlah dari nukletidanya bervariasi (Rafalski et al. 1996).

Variasi jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamada et al.

1982). Teknik PCR pada mikrosatelit hanya menggunakan DNA dalam jumlah sedikit dengan daerah amplifikasi yang kecil 100-300 bp dari genom. Selain itu marka mikrosatelit dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena sample yang dibutuhkan untuk ekstraksi DNA sangat sedikit, selain itu dapat menggunakan bagian tanaman lain seperti biji atau serbuk sari (Senior et al. 1996). Produk amplifikasi hasil PCR tersebut dapat dideteksi menggunakan elektroforesis pada suatu gel dengan standar sekuen. Bila nol alel teramati maka kondisi alel tidak teramplifikasi selama PCR (Rohrer et al. 1994).

Marka makrosatelit merupakan marka genetik yang bersifat kodominan, dapat mendeteksi keragaman alel. Beberapa pertimbangan untuk penggunaan marka mikrosatelit diantaranya : (a) marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi, dan lokasi genom dapat diketahui; (b) merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan dan seleksi genotipe untuk

13

karakter yang diinginkan; (c) studi genetik populasi dan analisis diversitas genetik (Powell et al. 1996).

Mikrosatelit telah banyak digunakan untuk keperluan pemuliaan (USDA- ARS 2003), analisis genetik, dan untuk perlindungan varietas tanaman (Cooke & Reeves 2003). Sejumlah penelitian telah dilakukan yang bertujuan untuk mengembangkan metode pengujian rutin untuk identifikasi varietas dan metode cepat untuk mengetahui kualitas dan kemurnian varietas yang bersegregasi. Identifikasi varietas dengan menggunakan mikrosatelit marka DNA (digunakan 19 marka SRR) yang dilakukan pada benih kedelai berhasil membedakan 11 varietas dan 133 asesi. Metode ini juga dapat membedakan dua varietas yang tidak dapat dibedakan melalui metode di lapangan dan di laboratorium (Meesang

et al. 2001). Marka SSR juga efektif dalam identifikasi varietas dan uji kemurnian pada 5 hibrida padi beserta galur tetuanya ( Ye-yun et al 2005). Pada pengujian kemurnian genetik pada F1 tomat hibrida ”Hezuo906” digunakan

metode RAPD (218 marker), ISSR (54 marker) dan SSR (49 primer). Didapatkan dua marka RAPD dominan dan dua primer SSR kodominan untuk pengujian kemurnian benih. Dapat disimpulkan dari metode tersebut, bahwa terdapat 10 dari 208 individu hibrida yang diuji merupakan hibrida yang ’salah’, dan secara keseluruhan kemurnian benih dari lot tersebut adalah 95,1%. (Liu et al. 2006). Yashitola et al. (2002) mengevaluasi kemurnian padi hibrida menggunakan marka mikrosatelit dan STS (Secuence Tagged Site).

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Dokumen terkait