• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Batu Bata

2.4. Batu Bata

Batu bata merah adalah unsur bangunan yang digunakan untuk membuat suatu bangunan. Bahan bangunan untuk membuat batu bata merah berasal dari tanah

liat dengan atau tanpa campuran bahan-bahan lain yang kemudian dibakar pada suhu tinggi hingga tidak dapat hancur lagi apabila direndam dalam air (SII-0021-78).

Sedangkan definisi batu bata menurut SNI 15-2094-1991, merupakan suatu unsur bangunan yang diperuntukkan pembuatan konstruksi bangunan dan yang dibuat dari tanah dengan atau tanpa campuran bahan-bahan lain, dibakar cukup tinggi, hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam dalam air.

2.4.1. Proses Pembuatan Batu Bata

Proses pembuatan batu bata melalui beberapa tahapan, meliputi penggalian bahan mentah, pengolahan bahan, pembentukan, pengeringan, pembakaran, pendinginan, dan pemilihan. Adapun tahap-tahap pembuatan batu bata, yaitu sebagai berikut (Suwardono, 2002):

1. Penggalian Bahan Mentah

Penggalian bahan mentah batu bata merah sebaiknya dicarikan tanah liat yang tidak terlalu plastis, melainkan tanah liat yang mengandung sedikit pasir untuk menghindari penyusutan. Penggalian tanah liat dilakukan dengan menggunakan alat tradisional, berupa cangkul. Sebelumnya tanah liat dibersihkan dari akar pohon, plastik, daun, dan sebagainya agar tidak ikut terbawa. Kemudian menggali sampai ke bawah sedalam 1,5 – 2,5 meter atau tergantung kondisi tanah liat. Tanah liat yang sudah digali dikumpulkan dan disimpan pada tempat yang terlindungi. Semakin lama tanah liat disimpan, maka akan semakin baik karena menjadi lapuk. Tahap tersebut dimaksudkan untuk membusukkan organisme yang ada dalam tanah liat.

Tanah liat sebelum dibuat batu bata merah harus dicampur dengan abu atau pasir secara merata yang disebut dengan pekerjaan pelumatan. Pekerjaan pelumatan dilakukan secara manual dengan cara diinjak-injak oleh orang atau hewan dalam keadaan basah dengan kaki atau diaduk dengan tangan. Bahan campuran yang ditambahkan pada saat pengolahan harus benar-benar menyatu dengan tanah liat secara merata. Bahan mentah yang sudah jadi ini sebelum dibentuk dengan cetakan, terlebih dahulu dibiarkan selama 2 sampai 3 hari dengan tujuan memberi kesempatan partikel-partikel tanah liat untuk menyerap air agar menjadi lebih stabil, sehingga apabila dibentuk akan terjadi penyusutan yang merata.

3. Pembentukan Batu Bata

Bahan mentah yang telah dibiarkan 2 – 3 hari dan sudah mempunyai sifat plastisitas sesuai rencana, kemudian dibentuk dengan alat cetak yang terbuat dari kayu. Supaya tanah liat tidak menempel pada cetakan, maka cetakan kayu tersebut dibubuhi abu atau pasir terlebih dahulu. Lantai dasar pencetakan batu bata merah permukaannya harus rata dan ditaburi abu. Langkah awal pencetakan batu bata yaitu letakkan cetakan pada lantai dasar pencetakan, kemudian tanah liat yang telah siap dilemparkan pada bingkai cetakan dengan tangan sambil ditekan-tekan sehingga tanah liat memenuhi segala sudut ruangan pada bingkai cetakan. Selanjutnya cetakan diangkat dan batu bata mentah hasil dari cetakan dibiarkan begitu saja agar terkena sinar matahari. Batu bata mentah tersebut kemudian dikumpulkan pada tempat yang terlindung untuk diangin-anginkan.

Pengeringan batu bata yang dibuat secara tradisional, proses pengeringannya mengandalkan kemampuan alam. Proses pengeringan batu bata akan lebih baik bila berlangsung secara bertahap agar panas dari sinar matahari tidak jatuh secara langsung, maka perlu dipasang penutup plastik. Apabila proses pengeringan terlalu cepat dalam artian panas sinar matahari terlalu menyengat akan mengakibatkan retakan-retakan pada batu bata nantinya. Batu bata yang sudah berumur satu hari dari masa pencetakan kemudian dibalik. Setelah cukup kering, batu bata tersebut ditumpuk menyilang satu sama lain agar terkena angin. Proses pengeringan batu bata memerlukan waktu dua hari jika kondisi cuacanya baik. Sedangkan pada kondisi udara lembab, maka proses pengeringan batu bata sekurang-kurangnya satu minggu. 5. Pembakaran Batu Bata

Pembakaran yang dilakukan tidak hanya bertujuan untuk mencapai suhu yang dinginkan, melainkan juga memperhatikan kecepatan pembakaran untuk mencapai suhu tersebut serta kecepatan untuk mencapai pendinginan. Selama proses pembakaran terjadi perubahan fisika dan kimia serta mineralogi dari tanah liat tersebut.

2.4.2. Pekerja Pembuat Batu Bata

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Pekerja pembuat batu bata adalah orang yang mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat batu bata yang sebagian besar waktu mereka dalam bekerja bergulat dengan tanah liat sebagai media utama pembuatan batu bata. Pekerja pembuat batu

bata merupakan kelompok pekerja yang bergerak dalam sektor informal. Menurut ILO, sektor informal didefenisikan sebagai cara melakukan pekerjaan apapun dengan karakteristik mudah dimasuki, bersandar pada sumber daya lokal, usaha milik sendiri, beroperasi dalam skala kecil, padat karya dan teknologi adaptif, memiliki keahlian di luar sistem pendidikan formal, tidak terkena langsung regulasi, dan pasarnya kompetitif. Sedangkan menurut BPS, sektor informal diartikan sebagai suatu Perusahaan Non Direktori (PND) dan Usaha Rumah Tangga (URT) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang (Depkes RI, 2008).

Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik khas seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Para pekerja yang menciptakan sendiri lapangan kerjanya. Di sektor informal biasanya tidak memiliki pendidikan formal (Depkes RI, 2008).

Pada umumnya mereka tidak mempunyai ketrampilan khusus dan kekurangan modal. Oleh sebab itu produktivitas dan pendapatan mereka cenderung lebih rendah daripada kegiatan-kegiatan bisnis yang ada di sektor formal. Selain itu mereka yang berada di sektor informal tersebut juga tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan fasilitas kesejahteraan (Depkes RI, 2008).

2.4.3. Dampak Kecacingan terhadap Pekerja Pembuat Batu Bata

Penyakit kecacingan sering kali menyebabkan berbagai penyakit di dalam perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Infeksi penyakit kecacingan selain berperan sebagai penyebab kekurangan gizi yang kemudian

berakibat terhadap penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk keadaan kekurangan gizi yang sudah ada sehingga memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai macam infeksi (Onggowaluyo, 2001).

Infeksi kecacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan (absorbsi) serta metabolisme makanan sehingga menyebabkan kekurangan gizi. Penderita kecacingan, nafsu makannya menurun sehingga makanan yang masuk akan berkurang dan jumlah cacing yang banyak dalam usus akan mengganggu pencernaan serta penyerapan makanan. Infeksi kecacingan selain berperan sebagai penyebab kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai macam infeksi (Onggowaluyo, 2001).

Infeksi cacingan jarang sekali menyebabkan kematian langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak. Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. (Gandahusada, 2003).

Pekerja batu bata memiliki resiko yang tinggi terhadap kejadian kecacingan karena dalam proses pembuatannya mengalami kontak langsung dengan tanah. Gejala kecacingan pada orang dewasa diantaranya: lesu dan lemas akibat anemia, berat badan rendah, batuk tidak sembuh-sembuh, dan nyeri diperut. Salah satu dampak yang terlihat akibat anemia pada pekerja batu bata adalah penurunan produktivitas pada pekerja.

Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kecacingan adalah kesadaran hygiene perorangan (personal hygiene) yang kurang dan rendahnya pengetahuan mengenai penyakit kecacingan tersebut (Gandahusada, 203)

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Dokumen terkait