HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA
PEKERJA PEMBUAT BATU BATA DI DESA PURWODADI KECAMATAN PAGAR MERBAU KABUPATEN DELI SERDANG
TAHUN 2011
SKRIPSI
Oleh:
NIM. 061000116 YORI VERA TAYLORI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) PADA
PEKERJA PEMBUAT BATU BATA DI DESA PURWODADI KECAMATAN PAGAR MERBAU KABUPATEN DELI SERDANG
TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH
NIM. 061000116 YORI VERA TAYLORI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul:
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH)
PADA PEKERJA PEMBUAT BATU BATA DI DESA PURWODADI KECAMATAN
PAGAR MERBAU KABUPATEN DELI SERDANG TAHUN 2011
Oleh:
NIM. 061000116 YORI VERA TAYLORI
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 21 April 2012
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
dr. Muhammad Makmur Sinaga, MS
NIP. 19571117 198702 1 002 NIP. 19620206 199203 1 002 Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes
Penguji II Penguji III
Eka Lestari Mahyuni, SKM, M.Kes
NIP. 19791107 200511 2 003 NIP.19730523 200812 2 002 Umi Salmah, SKM, M.Ke
Medan, April 2012
Fakultas Kesehatan Mayarakat Universitas Sumatera Utara
Dekan,
ABSTRAK
Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah. Penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminths ini dapat ditemukan pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan tanah seperti pekerja pembuat batu bata yang menggunakan tanah liat sebagai bahan utama pembuatan batu bata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pembuat batu bata tradisional di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang yang berjumlah 488 orang dengan besar sampel sebanyak 60 orang menggunakan rumus Vincent Gaspersz. Metode pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya pekerja berada pada kategori pengetahuan buruk (53,3%) dan kategori sikap buruk (55%). untuk hasil uji hipotesis pengetahuan diperoleh hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths. Kemudian untuk sikap diperoleh hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap pekerja dengan kejadian kecacingan soil transmitted.
Disarankan kepada petugas kesehatan di Desa Purwodadi untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan kepada pekerja pembuat batu bata yang mencakup pendidikan kesehatan mengenai kecacingan.
ABSTRACT
Soil Transmitted Helminths disease is a disease that is transmitted through the Soil. Soil transmitted disease can be found in jobs that relate directly with Soil like a brick makers who use clay as a main ingredient of brick making. The aim of this research is to know the relation of knowledge and attitude of workers with the incidence of soil transmitted helminthes on the brick makers in the purwodadi village, PagarMerbau district, Deli Serdang Regency in 2011
This research is an analytical survey research. The population in this study are all workers of traditional brick makers in the purwodadi village, PagarMerbau district, Deli Serdang Regency, amounting to 488 people with a sample of 60 people with Vincent Gaspersz formula. The method of sample selection is simple randon sampling.
A result of research indicates commonly the category of poor knowledge (53,3%) and the category of bad attitudes (55%). In the result, there are the significant relation between the level of knowledge with the incidence of Soil Transmitted Helminths. Then there are not the significant relation between attitudes with the incidence of soil transmitted helminthes.
As a suggestion. For the puskesmas officer in purwodadi village to improve health promotion to the workers of brick maker that includes health education about the Soil Transmitted Helminths.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
Nama : Yori Vera Taylori
Tempat/Tanggal Lahir : Payakumbuh, 23 Desember 1987
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Jumlah Bersaudara : 8 (Delapan) orang
Alamat : Jl. Jendral Sudirman No 90 Kelurahan
Balai Gurun, Payakumbuh
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02 Payakumbuh, 1994-2000
2. Madrasah Tsanawiyah Payakumbuh, 2000-2003
3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 02 Payakumbuh, 2003-2006
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam
bagi Rasulullah SAW, keluarga dan para sahabatnya karena atas berkat dan
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Alhamdulillah, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pekerja dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011”.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih
terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memperkarya materi
skripsi ini.
Dalam penulisan ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak, baik secara moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:
1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Kepala Departemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja dan juga selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan
3. dr. Muhammad Makmur Sinaga, MS, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak menyumbangkan waktu dan pikiran untuk penulisan skripsi ini.
4. Ibu Eka Lestari Mahyuni, SKM, M.Kes dan Umi Salamah SKM, M.Kes
sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik serta motivasi
kepada peneliti untuk perbaikan skripsi ini.
5. Ibu Lita Sri Andayani, SKM, MKes selaku dosen pembimbing akademik
penulis pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh staf pengajar FKM USU serta dosen peminatan Bagian Keselamatan
dan Kesehatan Kerja yaitu Ibu dr. Halinda Sari Lubis, MKKK., Ibu Dra. Lina
Tarigan, Apt.,MS., Ibu Ir. Kalsum, M.Kes, Ibu Arfah Mardiana, S.Spsi,
M.Psi., dan Ibu Isyatun Mardhiyah Syahri, SKM., M.Kes.
7. Kepala Desa Purwodadi Bapak Ismail yang telah memberikan izin melakukan
penelitian skripsi ini dan Bpk Sugiri selaku pelaksana kepala desa purwodadi
yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian ini.
8. Bapak Dr. Achmad Chaidir selaku plt. direktur utama Rumah Sakit Sultan
Sulaiman, beserta staff. khususnya Ibu B. Dewi Korawati, SKM, dan Ibu Eko
Wardaningsih, SKM yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian
skripsi ini.
9. Ayahanda Mufti Anas dan Ibunda Yaslinar yang dengan sabar dan penuh
cinta, perhatian, kasih dan sayang memberikan dukungan moral, spiritual dan
material hingga penulis bisa menyelesaikan studi di FKM USU.
10.Saudara-saudariku yang tercinta, Uda Yantes Mufri Naldi, Uni Meri
Widyanti, Uni Mishelen Efryenti, Uda Yandres Triputra, yang selalu
mendukung lewat setiap doa-doa dan motivasinya.
11.Abang, teman dan adik satu kos kakanda Hamid Rizal, kakanda Budi Santoso
Sitepu, kakanda Fakhrul Razi, sahabatku Pendi Nasution, adinda Jufriadi,
dan adinda Togar Pasaribu atas dukungan, motivasi dan perhatian yang
diberikan kepada penulis.
12.Sahabat-sahabatku seperjuangan ketika menjabat sebagai MPKPK HMI FKM
USU Afdal, Juli, Irmayani, Rina yang telah menyemangati penulis dalam
penulisan skripsi ini.
13.Teman-teman PBL, kak Widi Astuti, Arito Silaban, Dina Waldani, Umy
Habibah Pane, dan Lia yang telah sama-sama berjuang
14.Adik- adik yang turut membantu penulis dalam melakukan penelitian ini
Mayan Sari Hasibuan, Rizka Wita, Rifandi Raflis, dan Jupe.
15.Semua yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
Semoga Allah SWT melimpahkan karunia dan berkah-Nya pada kita semua.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca.
Medan, 15 April 2012
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Daftar Riwayat Hidup ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... viii
Daftar Gambar ... xi
Daftar Tabel ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 5
1.3.Tujuan ... 5
1.3.1 Tujuan Umum ... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ... 6
1.4.Manfaat ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1. Pengetahuan ... 8
2.2. Sikap ... 10
2.3. Kecacingan ... 13
2.3.1. Pengertian Kecacingan ... 13
2.3.2. Soil Transmitted Helminths (STH) ... 14
2.3.2.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 14
2.3.2.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) ... 16
2.3.2.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) ... 18
2.3.3. Pencegahan Kecacingan ... 21
2.4. Batu Bata ... 22
2.4.1. Proses Pembuatan Batu Bata ... 23
2.4.2. Pekerja Pembuat Batu Bata ... 25
2.4.3. Dampak Kecacingan Pada Pekerja Pebuat Batu Bata 26 2.5.Kerangka Konsep ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29
3.1.Jenis Penelitian ... 29
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
3.2.1.Lokasi Penelitian ... 29
3.2.2.Waktu Penelitian ... 29
3.3. Populasi dan Sampel ... 30
3.3.1. Populasi ... 30
3.3.2. Sampel ... 30
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 31
3.4.1. Data Primer ... 31
3.4.2. Data Sekunder ... 32
3.5. Defenisi Operasional ... 33
3.6. Aspek Pengukuran ... 33
3.6.1. Pengetahuan ... 34
3.6.2. Sikap ... 34
3.7. Analisa Data ... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 36
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 36
4.1.1. Letak Geografis ... 36
4.1.2. Gambaran Demografi ... 37
4.1.3 Sosial Budaya ... 38
4.2. Karakteristik Responden ... 38
4.3. Pengetahuan Responden tentang Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 39
4.4. Sikap Responden tentang Kecacaingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 45
4.5. Data Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH)Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 48
4.6. Hubungan Pengetahuan Pekerja dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 49
BAB V PEMBAHASAN ... 52
5.1. Karakteristik Responden ... 52
5.2. Pengetahuan Responden tentang Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 53
5.3. Sikap Responden tentang Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 55
5.4. Data Angka Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata ... 57
5.5. Hubungan Pengetahuan Pekerja dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 59
5.6. Hubungan Sikap Pekerja dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 63
6.1. Kesimpulan ... 63
6.3. Saran ... 64
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) ... 14
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Desa
Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2011 ... 38 Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang
Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 39 Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan
tentang Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi
Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 44 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang
Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 45 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap tentang
Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 47 Tabel 4.6. Distribusi Prevalensi Kecacingan Soil Transmitted
Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2011 ... 48 Tabel 4.7. Distribusi Responden Terinfeksi Kecacingan Soil
Transmitted Helminths (STH) Berdasarkan Jenis Infeksi Cacingpada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa
Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2011 ... 48 Tabel 4.8. Tabulasi Silang Antara Tingkat Pendidikan Responden
Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 49 Tabel 4.9. Tabulasi Silang Antara Tingkat Pendidikan Responden
dengan Sikap tentang Kejadian Kecacingan Soil
Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan padar Merbau
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 ... 50 Tabel 4.10.. Tabulasi Silang Antara Sikap dengan Pengetahuan
tentang Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa
Purwodadi Kecamatan padar Merbau Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2011 ... 51 Tabel 4.11. Distribusi Hubungan Pengetahuan Responden dengan
Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2011 ... 52 Tabel 4.12. Distribusi Hubungan Sikap Responden dengan Kejadian
ABSTRAK
Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah. Penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminths ini dapat ditemukan pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan tanah seperti pekerja pembuat batu bata yang menggunakan tanah liat sebagai bahan utama pembuatan batu bata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang tahun 2011.
Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pembuat batu bata tradisional di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang yang berjumlah 488 orang dengan besar sampel sebanyak 60 orang menggunakan rumus Vincent Gaspersz. Metode pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya pekerja berada pada kategori pengetahuan buruk (53,3%) dan kategori sikap buruk (55%). untuk hasil uji hipotesis pengetahuan diperoleh hasil terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths. Kemudian untuk sikap diperoleh hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap pekerja dengan kejadian kecacingan soil transmitted.
Disarankan kepada petugas kesehatan di Desa Purwodadi untuk meningkatkan penyuluhan kesehatan kepada pekerja pembuat batu bata yang mencakup pendidikan kesehatan mengenai kecacingan.
ABSTRACT
Soil Transmitted Helminths disease is a disease that is transmitted through the Soil. Soil transmitted disease can be found in jobs that relate directly with Soil like a brick makers who use clay as a main ingredient of brick making. The aim of this research is to know the relation of knowledge and attitude of workers with the incidence of soil transmitted helminthes on the brick makers in the purwodadi village, PagarMerbau district, Deli Serdang Regency in 2011
This research is an analytical survey research. The population in this study are all workers of traditional brick makers in the purwodadi village, PagarMerbau district, Deli Serdang Regency, amounting to 488 people with a sample of 60 people with Vincent Gaspersz formula. The method of sample selection is simple randon sampling.
A result of research indicates commonly the category of poor knowledge (53,3%) and the category of bad attitudes (55%). In the result, there are the significant relation between the level of knowledge with the incidence of Soil Transmitted Helminths. Then there are not the significant relation between attitudes with the incidence of soil transmitted helminthes.
As a suggestion. For the puskesmas officer in purwodadi village to improve health promotion to the workers of brick maker that includes health education about the Soil Transmitted Helminths.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat
kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang berkualitas. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman
Pengendalian Cacingan bahwa pembangunan kesehatan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan tersebut mempunyai
tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat (Depkes RI, 2006).
Tahun 2010 merupakan tahun yang ditargetkan untuk mencapai Indonesia
Sehat 2010. Namun, target ini bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya. Hal ini
dapat dilihat dari masih tingginya penyakit menular di masyarakat, salah satunya
adalah kecacingan yang biasanya ditularkan melalui tanah Soil Transmitted
Helminths.
Golongan cacing yang menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia
adalah Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides), Trichuris trichura (T. trichura), dan
cacing tambang yaitu: Necator americanus (N. americanus), dan Ancylostoma
duodenale (A. duodenale). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
kecacingan antara lain: faktor sosial ekonomi, status gizi, penataan kesehatan
lingkungan, hygienitas, sanitasi serta pendidikan dan perilaku individu (Refirman,
1998).
Lapangan pekerjaan yang sangat erat kaitannya dengan infeksi kecacingan
menggunakan tanah liat sebagai bahan baku utamanya. Tanah liat yang lembab
merupakan tempat yang baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides dan
Trichuris Trichiura menjadi bentuk yang infektif. Sedangkan tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva pada cacing tambang adalah tanah gembur (pasir, humus)
(Gandahusada, 2000).
Pengetahuan dan sikap pekerja tentang kecacingan sangat penting bagi
pekerja pembuat batu agar terhindar dari infeksi kecacingan. Kurangnya pengetahuan
yang menimbulkan kebiasaan tidak memakai alas kaki akan memudahkan terjadinya
penularan infeksi Soil Transmitted Helminths, terutama untuk penularan Soil
Transmitted Helminths yang terjadi dengan cara larva filariform menembus kulit
manusia (Suhartono dkk, 1998).
Berbagai penelitian menemukan bahwa tingkat produktivitas tenaga kerja di
Indonesia masih tergolong rendah. Selain penyebab yang berkaitan dengan
ketrampilan kerja, kondisi kesehatan dan kesegaran jasmani pekerja Indonesia juga
terbukti masih rendah. Suryodibroto (1994) melaporkan bahwa 46,6% dari pekerja
wanita di Jakarta dan sekitarnya ternyata menderita anemia dan 45,6% di antaranya
terbukti mengidap cacingan (Depkes RI, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi (1995) tentang prevalensi kecacingan
pada pekerja pembuat bata merah di desa Mekar Mukti Cikarang Bekasi Jawa Barat
dengan jumlah pekerja yang diperiksa sebanyak 70 orang. Hasil pemeriksaan tinja
memperlihatkan 43 tinja (95,5%) positif Ascaris lumbricoides, 5 tinja (11,11 %)
positif Trichuris trichiura dan 4 tinja (8,88%) positif cacing tambang dan 2 tinja
Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Mochammad Taufik (2008)
tentang hubungan antara pengetahuan dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted
Helminths pada pekerja genteng di Desa Kedawung Kabupaten Kebumen Jawa
Tengah dengan jumlah pekerja yang diperiksa sebanyak 40 orang adalah ditemukan
dari 40 pekerja, 22,5% terinfeksi Soil Transmitted Helminths, yang terdiri dari 5%
terinfeksi Ascaris lumbricoides, dan 17,5% terinfeksi Trichuris trichiura.
Berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p = 0,031 (p < 0,05) untuk
hubungan antara pengetahuan dengan infeksi Soil Transmitted Helminths dengan
angka prevalensi sebesar 4,31.
Dalam proses pembuatan batu bata ini ada beberapa tahapan yang harus
dilalui, diantaranya: penggalian bahan mentah, pengolahan bahan mentah,
pembentukan batu bata, pengeringan batu bata, dan pembakaran batu bata
(Suwardono, 2002). Dari beberapa tahapan tersebut, proses penggalian bahan mentah,
pengolahan bahan mentah, pembentukan batu bata merupakan proses yang
memungkinkan terjadinya infeksi kecacingan. Infeksi kecacingan dapat terjadi dalam
proses ini karena dalam melakukan proses ini pekerja tidak menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) seperti sarung tangan dan sepatu boot dalam proses
pelakasanaannya sehingga dengan cara yang seperti itu sangat dimungkinkan
masuknya larva cacing ke dalam kulit yang pada akhirnya akan menyebabkan infeksi
kecacingan.
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah industri di Sumatera
Utara, baik industri formal maupun informal (industri rumah tangga). Industri rumah
dalam pembangunan, baik di bidang sosial ekonomi maupun pembangunan fisik di
Kabupaten Deli Serdang.
Industri rumah tangga tersebut dapat memproduksi batu-bata lebih kurang 32
juta per bulan, bila dirupiahkan senilai Rp. 5,28 milyar per bulan yang merupakan
salah satu sumber pendapatan daerah Deli Serdang. Kecamatan Pagar Merbau adalah
salah satu daerah industri rumah tangga batu bata yang berada di Kabupaten Deli
Serdang (Nasution, 2004)
Desa Purwodadi merupakan salah satu desa di Kecamatan Pagar Merbau
Kabupaten Deli Serdang yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 649 KK dan
dibagi kedalam 2 dusun yaitu Dusun Purwodadi I dan Dusun Purwodadi II dimana
dusun Purwodadi I terbagi kedalam Dusun Purwodadi IA dan Dusun Purwodadi IB.
Berdasarkan Ekspose Desa Purwodadi tahun 2011 diketahui bahwa sebanyak 231 KK
penduduk memiliki mata pencaharian sebagai pembuat batu bata. Pekerjaan pembuat
batu bata merupakan salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan tanah atau
tanah liat dan menggunakan tanah atau tanah liat sebagai bahan bakunya. Penggunaan
alat pelindung diri seperti sepatu atau alas kaki dan sarung tangan sangat di butuhkan
dalam pekerjaan ini karena jika kita tidak menggunakan alat pelindung diri dalam
melakukan pekerjaan ini dimungkinkan cacing dapat masuk ke kulit yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan.
Berdasarkan hasil survei di lapangan, mayoritas penduduk di Desa Purwodadi
memiliki mata pencaharian sebagai pembuat batu bata dimana dalam proses
pembuatan batu bata mayoritas penduduk disana masih menggunakan cara yang
pelindung diri seperti sepatu atau alas kaki dan sarung tangan. Berbagai keluhan yang
berhubungan dengan gejala kecacingan ditemukan pada pekerja pembuat batu bata
diantaranya adanya gangguan pencernaan, nyeri di perut , dan gejala-gejala anemia
seperti merasa lemas dan cepat lelah. Melihat kondisi di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan
kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu
bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah
terdapat hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil
Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi
Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian
kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengetahuan pekerja tentang kejadian kecacingan Soil
Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi
Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
2. Untuk mengetahui sikap pekerja tentang kejadian kecacingan Soil Transmitted
Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan
Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
3. Untuk mengetahui kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada
pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
4. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan pekerja dengan kejadian kecacingan
Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa
Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
5. Untuk mengetahui hubungan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil
Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan dan pekerja dalam
upaya penanggulangan penyakit kecacingan pada pekerja.
2. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam upaya mengimplementasikan berbagai
teori yang diperoleh selama proses belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain untuk studi lebih lanjut tentang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan juga dapat didefenisikan
sebagai sekumpulan informasi yang dipahami, yang diperoleh dari proses belajar
semasa hidup dan dapat dipergunakan sewaktu-waktu sebagai alat penyesuaian diri,
baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab
masalah–masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk
menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat
diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya (Notoatmodjo, 2003).
Dalam Notoatmodjo (2003), Asosiasi Psikologi Amerika berpendapat bahwa
dalam tidaknya pengetahuan seseorang terhadap penguasaan materi dapat
digolongkan dalam enam tingkatan. Tingkatan tersebut dapat dijelaskan sebagai
Domain on the taxonomy of educational objectives (domain kognitif pengetahuan),
yaitu :
1. Tahu, yaitu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk di dalam pengetahuan ini ialah mengingat kembali
(recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat
diukur dari kemampuan orang tersebut menyebutkannya, menguraikan,
mendefinisikan.
2. Memahami, diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menguraikan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap suatu objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi, yaitu diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di
sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dalam konteks atau situasi lain.
4. Analisis, yaitu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen terapi masih di dalam struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis, yaitu menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formalisasi dari formulasi-formulasi yang telah ada.
6. Evaluasi, yaitu kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara dalam kuesioner
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2003).
2.2. Sikap
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap merupakan reaksi atau respon yang
masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Disebut juga bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan juga merupakan
pelaksanaan motif tertentu.
Menurut Gerungan (2002), sikap merupakan pendapat maupun pandangan
seseorang tentang suatu objek yang mendahului tindakannya. Sikap tidak mungkin
terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat atau mengalami sendiri suatu objek.
Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan ataupun sikap perasaan tertentu,
tetapi sikap tersebut terbentuk sepanjanag perkembangannya. Peranan sikap didalam
kehidupan manusia sangat besar, sebab apabila sudah terbentuk pada diri manusia,
maka sikap itu akan turut menentukan cara-cara tingkah lakunya terhadap
objek-objek sikapnya. Adanya sikap akan menyebabkan manusia akan bertindak secara
khas terhadap objeknya (Gerungan, 2002).
Sikap dapat dibedakan menjadi :
1. Sikap Sosial
Suatu sikap sosial yang dinyatakan oleh cara-cara kegiatan yang sama dan
berulang-ulang terhadap objek sosial. Sikap sosial menyebabkan terjadinya cara-cara
biasanya objek sosial itu dinyatakan tidak hanya oleh seseorang saja tetapi oleh orang
lain yang sekelompok atau se-masyarakat.
2. Sikap Individual
Sikap individual dimiliki hanya oleh seorang saja. Dimana sikap-sikap
individual berkenaan dengan objek-objek yang bukan merupakan objek perhatian
sosial.Sikap-sikap individual dibentuk karena sifat-sifat pribadi diri sendiri
(Gerungan, 2002).
Sikap dapat diartikan sebagai suatu bentuk kecendrungan untuk bertingkah
laku, dapat juga diartikan sebagai suatu bentuk respon evaluatif yaitu suatu respon
yang sudah dalam pertimbangan oleh individu yang bersangkutan.
Sikap mempunyai karakteristik:
1. Selalu ada objeknya
2. Biasanya bersifat evaluatif
3. Relatif mantap
4. Dapat diubah
Sikap adalah kecendrungan untuk berespon baik secara positif atau negatif
terhadap orang lain, objek atau situasi. Sikap tidak sama dengan perilaku dan
kadang-kadang sikap tersebut baru diketahui setelah seseorang itu berperilaku. Tapi sikap
juga selalu tercermin dari perilaku seseorang (Ahmadi, 2003).
Menurut Ahmadi (2003), sikap dibedakan menjadi :
a. Sikap positif, yaitu : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima
atau mengakui, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana
b. Sikap negatif, yaitu: sikap yang menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui
terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berada.
Sikap bila dilihat dari strukturnya mempunyai tiga komponen pokok yaitu:
1. Komponen kognitif (kepercayaan/keyakinan) yaitu segala sesuatu ide atau
gagasan tentang sifat atau karakteristik umum suatu objek.
2. Komponen afektif (kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek)
biasanya merupakan perasaan terhadap suatu objek.
3. Komponen psikomotorik (kecenderungan untuk bertindak).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).
Menurut Notoatmodjo (2003), sikap mempunyai beberapa tingkatan yaitu:
1. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan.
2. Merespon (responding) memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari suatu
sikap, karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan lepas pekerjaan itu benar atau salah
adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Bertanggungjawab (responsible), bertanggung jawab atas sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko atau merupakan sikap yang paling tinggi.
4. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu
objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan
hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden.
2.3. Kecacingan
2.3.1. Pengertian Kecacingan
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa
cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. Parasit adalah
mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik
di luar atau di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi dari tubuh inangnya. Pada kasus
cacingan, maka cacing tersebut bahkan dapat melemahkan tubuh inangnya dan
menyebabkan gangguan kesehatan (Gani, 2002).
Infeksi kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing kelas
nematode usus khususnya yang penularan melalui tanah, diantaranya Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) (Gandahusada, 2000).
Cacingan biasanya terjadi karena kurangnya kesadaran akan kebersihan baik
terhadap diri sendiri ataupun terhadap lingkungannya. Cacingan dapat menular
melalui telur yang tertelan dan masuk ke dalam tubuh ataupun larva cacing yang
2.3.2. Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmited Helminths (STH) adalah cacing yang untuk menyelesaikan
siklus hidupnya perlu hidup di tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk
yang infektif bagi manusia. Prevalensi Soil Transmited Helminths yang paling banyak
di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang
(Gandahusada, 2000).
2.3.2.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Satu-satunya hospes definitive cacing ini adalah manusia. Penyakit yang
disebabkan cacing ini disebut askariasis. Cacing jenis ini banyak ditemukan di daerah
tropis dengan kelembapan tinggi. Di Indo nesia prevalensi askariasis tinggi, terutama
terjadi pada anak-anak. Frekuensinya antara 60% sampai 90% (Onggowaluyo, 2000).
a. Siklus Hidup
Telur yang infektif bila tertelan manusia menetas menjadi larva di usus halus.
Larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran di
paru-paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari
trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena
adanya rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke osofagus,
terakhir sampai di usus halus dan menjadi dewasa. Mulai dari telur matang yang
tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan
(Onggowaluyo, 2000). Setelah 2 bulan menginfeksi cacing-cacing betina akan
bertelur sekitar ± 20.000/hari (Uttiek, 2006).
Cacing yang besar berukuran 20-25 cm tinggal menyebar di sepanjang usus
sayuran yang tidak dimasak. Bila telur tertelan, setelah melalui berbagai tahap
perkembangan di dalam tubuh, cacing dewasa akan timbul di usus kecil (D.B. Jelliffe,
[image:32.612.123.463.187.523.2]1994).
Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) (Sumber : medicastore.com)
b. Gejala Klinis
1. Larva : Menimbulkan kerusakan pada paru-paru dalam menyebabkan "Loeffler
Syndrome" dengan gejala : demam, batuk, infiltrasi paru-paru, oedema, asthma,
leucocytosis, ensionfilia.
2. Cacing dewasa : Penderitanya disebut Ascariasis. Penderita dengan infeksi
ringan biasanya menjalani gejala gangguang usus ringan seperti: mual, nafsu
makan berkurang, diare, dan konstipsi. Pada infeksi berat terutama pada
anak-anak dapat terjadi malapsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Dalam
sehari setiap ekor cacing menghisap 0.14 gr karbohidrat dalam usus halus
penderita (Onggowaluyo, 2000).
c. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung.
Dijumpainya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Cacing dewasa dapat
keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau melalui anus
(Onggowaluyo, 2000).
d. Epidemiologi
Cacing ini ditemukan kosmopolit, di Indonesian frekuensinya tinggi.
Frekuensinya antara 60-90%. Tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu yang berkisar
antara 25-300C merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya telur
Ascaris lumbricoides menjadi infektif (Gandahusada, 2000).
2.3.2.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Sarna halnya dengan cacing gelang, cacing cambuk juga banyak ditemukan di
daerah tropis seperti di Indonesia, bila cacing gelang senang tinggal di usus halus,
trichuriasis. Hospes definit cacing ini adalah manusia. Frekuensinya di Indonesia
tinggi, terutama di daerah-daerah pedesaan, frekuensi antara 30-90%. Angka infeksi
tertinggi ditemukan pada anak-anak (Onggowaluyo, 2000).
a. Siklus Hidup
Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila menelan telur matang dan telur itu
menetas dalam usus halus. Untuk perkembangan larvanya, cacing ini tidak
mempunyai siklus paru. Cacing dewasa terdapat di daerah kolon terutama sekum.
Waktu yang diper lukan untuk pertumbuhan mulai dari telur sampai menjadi dewasa
Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris Trichiura) (Sumber : medicastore.com)
b. Gejala Klinis
Infeksi berat terutama terjadi pada anak. Cacing ini tersebar di seluruh kolon
dan rektum. Cacing ini menyebabkan pendarahan di tempat perlekatan dan dapat
menimbulkan anemia. Pada anak, infeksi terjadi menahun dan berat. Gejala-gejala
yang terjadi yaitu diare yang diselingi sindrom disentri, anemia, proplapsus rektal,
dan berat badan turun. (Onggowaluyo, 2000). Gejala timbul bisa berupa penyakit
usus buntu bila ada cacing di bagian itu, nyeri perut, diare dengan mulas (lendir
kental dan licin), kotoran disertai sedikit darah, penurunan berat badan, terjadi
prolapsus rektum (penonjolan di daerah anus) (Uttiek, 2006).
c. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau
menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsus rekti (Uttiek. 2006).
d. Epidemiologi
Cacing ini ditemukan kosmopolit. Frekuensi di Indonesia tinggi berkisar
30-90% di daerah pedesaan. Telur tumbuh dengan baik di tanah liat, tempat lembab dan
teduh dengan suhu optimum kira-kira 300C. Cacing ini ditemukan di semua daerah
yang memiliki sanitasi yang mendukung pertumbuhannya (Gandahusada, 2000).
Ada dua spesies cacing tambang yang penting, Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus. Penyakit yang disebabkan oleh parasit itu disebut Nekatoriosis
ankilostomiasi (Onggowaluyo, 2000).
Cacing ini terdapat di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain yang
beriklim sarna terutama di daerah pertambangan dan perkebunan yang lingkungannya
bersanitasi jelek. Di Indonesia frekwensinya tinggi ± 70%.
a. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup didalam usus halus manusia. Cacing melekat infeksi
pada mukosa dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada
manusia dapat terjadi melalui penetrosi kulit oleh larva filaniform yang ada di tanah.
Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia
dengan waktu 1-1,5 hari telur menetas dan mengeluarkan larva. Selanjutnya dalam
larva filariform dapat bertahan di dalam tanah selama 7-8 minggu (Onggowaluyo,
2000).
Larva cacing ini masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang utuh, terutama
melalui tangan ketika dia memegang benda-benda yang mengandung larva. Dari
pori-pori, larva cacing ini masuk ke aliran darah, lalu ke jantung, paru-paru, dilanjutkan
melalui tenggorokan sampai ke usus. Umumnya cacing ini akan tinggal di usus halus
dan menjadi dewasa.
Seperti lazimnya cacing jenis lain, betinanya akan bertelur dan telurnya akan
keluar lagi bersama tinja. Di tanah, telur akan menetas dalam 2 hari dan dalam 3-5
Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Tambang (Hook Worm) (Sumber : medicastore.com)
b. Gejala Klinis
1. Larva : Setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa.
Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak rasa gatal semakin hebat
dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder apabila larva mengadakan migrasi
ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya
tergantung pada jumlah larva tersebut.
2. Cacing dewasa : Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa
dapat berupa jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan darah
c. Diagnosa
Menurut metoda Harada Mori diagnosis pasti infeksi cacmg tambang
ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja dan larva yang dibiakan dalam tinja.
Skala beratnya infeksi cacing tambang diketahui berdasarkan jumlah telur yang
ditemukan dalam tinja (Onggowaluyo, 2000).
d. Epidemiologi
Cacing tambang ditemukan kosmopolit, di Indonesia insiden tertinggi
ditemukan pada pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah,
mendapat infeksi lebih dari 70%. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah
tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus
28-320C sedangkan untuk Ancylostoma duodenale 23-250C. Pada umumnya
Ancylostoma duodenale lebih kuat (Gandahusada, 2000)
2.3.3. Pencegahan Kecacingan
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan ini dapat dilakukan
dengan (Onggowaluyo, 2002) :
a. Pencegahan Primer
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban, menjaga
kebersihan perorangan.
2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah kontak
manusia dengan tanah yang mengandung bentuk infektif. Salah satu caranya
adalah dengan memakai alas kaki jika keluar rumah.
4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran
mentah/lalapan diharapkan agar mencuci sayur dengan benar.
5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman
dihimbau untuk mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan pemupukan
dan menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu bot dan sarung tangan.
6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan
yang baik dan cara menghindari penyakit kecacingan.
b. Pencegahan Sekunder
1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan obat
antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan.
2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut harus
segera diberi obat cacing.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan melakukan tindakan medis berupa
operasi
.
2.4. Batu Bata
Batu bata merah adalah unsur bangunan yang digunakan untuk membuat
liat dengan atau tanpa campuran bahan-bahan lain yang kemudian dibakar pada suhu
tinggi hingga tidak dapat hancur lagi apabila direndam dalam air (SII-0021-78).
Sedangkan definisi batu bata menurut SNI 15-2094-1991, merupakan suatu
unsur bangunan yang diperuntukkan pembuatan konstruksi bangunan dan yang dibuat
dari tanah dengan atau tanpa campuran bahan-bahan lain, dibakar cukup tinggi,
hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam dalam air.
2.4.1. Proses Pembuatan Batu Bata
Proses pembuatan batu bata melalui beberapa tahapan, meliputi penggalian
bahan mentah, pengolahan bahan, pembentukan, pengeringan, pembakaran,
pendinginan, dan pemilihan. Adapun tahap-tahap pembuatan batu bata, yaitu sebagai
berikut (Suwardono, 2002):
1. Penggalian Bahan Mentah
Penggalian bahan mentah batu bata merah sebaiknya dicarikan tanah liat yang
tidak terlalu plastis, melainkan tanah liat yang mengandung sedikit pasir untuk
menghindari penyusutan. Penggalian tanah liat dilakukan dengan menggunakan alat
tradisional, berupa cangkul. Sebelumnya tanah liat dibersihkan dari akar pohon,
plastik, daun, dan sebagainya agar tidak ikut terbawa. Kemudian menggali sampai ke
bawah sedalam 1,5 – 2,5 meter atau tergantung kondisi tanah liat. Tanah liat yang
sudah digali dikumpulkan dan disimpan pada tempat yang terlindungi. Semakin lama
tanah liat disimpan, maka akan semakin baik karena menjadi lapuk. Tahap tersebut
dimaksudkan untuk membusukkan organisme yang ada dalam tanah liat.
Tanah liat sebelum dibuat batu bata merah harus dicampur dengan abu atau
pasir secara merata yang disebut dengan pekerjaan pelumatan. Pekerjaan pelumatan
dilakukan secara manual dengan cara diinjak-injak oleh orang atau hewan dalam
keadaan basah dengan kaki atau diaduk dengan tangan. Bahan campuran yang
ditambahkan pada saat pengolahan harus benar-benar menyatu dengan tanah liat
secara merata. Bahan mentah yang sudah jadi ini sebelum dibentuk dengan cetakan,
terlebih dahulu dibiarkan selama 2 sampai 3 hari dengan tujuan memberi kesempatan
partikel-partikel tanah liat untuk menyerap air agar menjadi lebih stabil, sehingga
apabila dibentuk akan terjadi penyusutan yang merata.
3. Pembentukan Batu Bata
Bahan mentah yang telah dibiarkan 2 – 3 hari dan sudah mempunyai sifat
plastisitas sesuai rencana, kemudian dibentuk dengan alat cetak yang terbuat dari
kayu. Supaya tanah liat tidak menempel pada cetakan, maka cetakan kayu tersebut
dibubuhi abu atau pasir terlebih dahulu. Lantai dasar pencetakan batu bata merah
permukaannya harus rata dan ditaburi abu. Langkah awal pencetakan batu bata yaitu
letakkan cetakan pada lantai dasar pencetakan, kemudian tanah liat yang telah siap
dilemparkan pada bingkai cetakan dengan tangan sambil ditekan-tekan sehingga
tanah liat memenuhi segala sudut ruangan pada bingkai cetakan. Selanjutnya cetakan
diangkat dan batu bata mentah hasil dari cetakan dibiarkan begitu saja agar terkena
sinar matahari. Batu bata mentah tersebut kemudian dikumpulkan pada tempat yang
terlindung untuk diangin-anginkan.
Pengeringan batu bata yang dibuat secara tradisional, proses pengeringannya
mengandalkan kemampuan alam. Proses pengeringan batu bata akan lebih baik bila
berlangsung secara bertahap agar panas dari sinar matahari tidak jatuh secara
langsung, maka perlu dipasang penutup plastik. Apabila proses pengeringan terlalu
cepat dalam artian panas sinar matahari terlalu menyengat akan mengakibatkan
retakan-retakan pada batu bata nantinya. Batu bata yang sudah berumur satu hari dari
masa pencetakan kemudian dibalik. Setelah cukup kering, batu bata tersebut
ditumpuk menyilang satu sama lain agar terkena angin. Proses pengeringan batu bata
memerlukan waktu dua hari jika kondisi cuacanya baik. Sedangkan pada kondisi
udara lembab, maka proses pengeringan batu bata sekurang-kurangnya satu minggu.
5. Pembakaran Batu Bata
Pembakaran yang dilakukan tidak hanya bertujuan untuk mencapai suhu yang
dinginkan, melainkan juga memperhatikan kecepatan pembakaran untuk mencapai
suhu tersebut serta kecepatan untuk mencapai pendinginan. Selama proses
pembakaran terjadi perubahan fisika dan kimia serta mineralogi dari tanah liat
tersebut.
2.4.2. Pekerja Pembuat Batu Bata
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pekerja pembuat batu bata adalah orang yang mempunyai mata pencaharian
sebagai pembuat batu bata yang sebagian besar waktu mereka dalam bekerja bergulat
bata merupakan kelompok pekerja yang bergerak dalam sektor informal. Menurut
ILO, sektor informal didefenisikan sebagai cara melakukan pekerjaan apapun dengan
karakteristik mudah dimasuki, bersandar pada sumber daya lokal, usaha milik sendiri,
beroperasi dalam skala kecil, padat karya dan teknologi adaptif, memiliki keahlian di
luar sistem pendidikan formal, tidak terkena langsung regulasi, dan pasarnya
kompetitif. Sedangkan menurut BPS, sektor informal diartikan sebagai suatu
Perusahaan Non Direktori (PND) dan Usaha Rumah Tangga (URT) dengan jumlah
tenaga kerja kurang dari 20 orang (Depkes RI, 2008).
Sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik khas
seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil,
unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan
tenaga kerja dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Para pekerja yang
menciptakan sendiri lapangan kerjanya. Di sektor informal biasanya tidak memiliki
pendidikan formal (Depkes RI, 2008).
Pada umumnya mereka tidak mempunyai ketrampilan khusus dan kekurangan
modal. Oleh sebab itu produktivitas dan pendapatan mereka cenderung lebih rendah
daripada kegiatan-kegiatan bisnis yang ada di sektor formal. Selain itu mereka yang
berada di sektor informal tersebut juga tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan
fasilitas kesejahteraan (Depkes RI, 2008).
2.4.3. Dampak Kecacingan terhadap Pekerja Pembuat Batu Bata
Penyakit kecacingan sering kali menyebabkan berbagai penyakit di dalam
perut dan berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Infeksi penyakit
berakibat terhadap penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, juga berperan
sebagai faktor yang lebih memperburuk keadaan kekurangan gizi yang sudah ada
sehingga memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai macam infeksi
(Onggowaluyo, 2001).
Infeksi kecacingan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan
(absorbsi) serta metabolisme makanan sehingga menyebabkan kekurangan gizi.
Penderita kecacingan, nafsu makannya menurun sehingga makanan yang masuk akan
berkurang dan jumlah cacing yang banyak dalam usus akan mengganggu pencernaan
serta penyerapan makanan. Infeksi kecacingan selain berperan sebagai penyebab
kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya tubuh terhadap
infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk daya tahan tubuh
terhadap berbagai macam infeksi (Onggowaluyo, 2001).
Infeksi cacingan jarang sekali menyebabkan kematian langsung, namun
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak. Berbagai
penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak
dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. (Gandahusada, 2003).
Pekerja batu bata memiliki resiko yang tinggi terhadap kejadian kecacingan
karena dalam proses pembuatannya mengalami kontak langsung dengan tanah. Gejala
kecacingan pada orang dewasa diantaranya: lesu dan lemas akibat anemia, berat
badan rendah, batuk tidak sembuh-sembuh, dan nyeri diperut. Salah satu dampak
yang terlihat akibat anemia pada pekerja batu bata adalah penurunan produktivitas
Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingginya kecacingan adalah kesadaran hygiene perorangan (personal
hygiene) yang kurang dan rendahnya pengetahuan mengenai penyakit kecacingan
tersebut (Gandahusada, 203)
2.5. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
2.6. Hipotesis
1. Ha: Adanya hubungan pengetahuan pekerja dengan kejadian
kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat
batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2011.
2. Ha: Adanya hubungan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan
Soil Transmitted Helminths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di
Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2011 Pengetahuan Pekerja
Sikap Pekerja
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik yaitu penelitian yang
mencoba menggali bagaimana kejadian kecacingan terjadi serta untuk mengetahui
hubungan pengetahuan dan sikap pekerja dengan kejadian kecacingan Soil
Transmitted Helmiths (STH) pada pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi
Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau
Kabupaten Deli Serdang. Dipilihnya daerah ini sebagai lokasi penelitian karena
alasan sebagai berikut:
1. Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang merupakan
salah satu daerah di Deli Serdang yang mayoritas penduduknya memiliki mata
pencaharian sebagai pembuat batu bata.
2. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan sikap
pekerja dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helmiths (STH) pada
pekerja pembuat batu bata di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau
Kabupaten Deli Serdang.
3.2.2. Waktu Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek dan subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2007). Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pekerja pembuat batu bata secara tradisional di Desa Purwodadi
Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang yang berjumlah 488 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2007). Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
Dimana:
n : Besar sampel
N : Jumlah populasi
P : Proporsi, bila peneliti tidak mengetahui besarnya P dalam populasi, maka P : 0,5
G : Galat pendugaan (Gaspersz, 1991)
Berdasarkan rumus diatas, maka besarnya sampel minimal yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Dibulatkan menjadi 60 orang. Maka sampel dalam penelitian sebanyak 60 orang.
Pada penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah adalah
simple random sampling yaitu penarikan sampel yang diambil sedemikian rupa
sehingga tiap unit penelitian atau suatu elementer dari populasi mempunyai
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Penarikan sampel diambil
dengan cara undian. Nomor yang keluar dari hasil undian mewakili nama-nama
pekerja yang diperoleh berdasarkan profil Desa Purwodadi
3.4. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data
sekunder.
3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui:
1. Wawancara langsung oleh penulis kepada para pekerja pembuat batu bata di Desa
Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang yang berpedoman
pada kuesioner yang telah dipersiapkan. Wawancara yang dilakukan merupakan
2. Uji Laboratorium
Pemeriksaan tinja untuk mendapat informasi yang lebih akurat mengenai infeksi
cacing. Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas Laboratorium RS Sultan Sulaiman
Serdang Bedagai. Dalam penelitian ini pemeriksaan laboratorium menggunakan
teknik natif. Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur
cacing dengan kotoran disekitarnya.
Alat dan Bahan yang diperlukan : 1. Gelas obyek
2. Pipet tetes
3. Lidi
4. Cover glass
5. Mikroskop
6. Tinja
7. Eosin 2%
Cara kerja pemeriksaan tinja dengan teknik Natif :
1. Gelas obyek yang bersih di teteskan 1-2 tetes NaCl fisiologi atau eosin 2%
2. Dengan lidi, di ambil sedikit tinja dan taruh pada larutan tersebut
3. Dengan lidi tadi, kita ratakan /larutkan, kemudian di tutup dengan gelas
4. Identifikasi di bawah mikroskop untuk mengetahui larva cacing dan jenis
cacing Soil Transmitted Helminths (STH) yang diderita oleh responden.
3.4.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Kantor Lurah Pagar Merbau dan dari
literatur-literatur yang berhubungan dan mendukung penelitian.
3.5. Definisi Operasional
1. Kejadian Kecacingan adalah penyakit infeksi yang di derita oleh responden
yang disebabkan oleh parasit berupa cacing Soil Transmitted Helminths
(STH) yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma
diodenale dan Necator americanus.
2. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang
kecacingan.
3. Sikap adalah pendapat atau respon yang masih tertutup dari responden
tentang kecacingan.
4. Pekerja pembuat batu bata adalah orang yang mempunyai mata pencaharian
sebagai pembuat batu bata yang sebagian besar waktu mereka dalam bekerja
bergulat dengan tanah liat sebagai media utama pembuatan batu bata.
3.6. Aspek Pengukuran
Skala pengukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkatan pengetahuan
pekerja pembuat batu bata dengan kejadian kecacingan adalah skala inkeles. Yaitu
jawaban. Sedangkan untuk mengukur sikap pekerja pembuat batu bata dengan
kejadian kecacingan mengunakan skala Guttman berupa pilihan “setuju” atau “tidak
setuju” (Arikunto, 2009).
3.6.1. Pengetahuan
Pengetahuan responden diukur berdasarkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Pertanyaan berjumlah 16 dengan total skor
32.
Adapun ketentuan pemberian skor yaitu:
1. Untuk pertanyaan nomor 1,2,3,4, dan 5 jika menjawab “a” diberi skor 2, jika
menjawab “b” diberi skor 1 dan jika menjawab “c” diberi skor 0.
2. Untuk pertanyaan nomor 6,7,8,9, dan 10 jika menjawab “a” diberi skor 0, jika
menjawab “b” diberi skor 2 dan jika menjawab “c” diberi skor 1.
3. Untuk pertanyaan nomor 11,12,13,14,15 dan 16 jika menjawab “a” diberi skor 0,
jika menjawab “b” diberi skor 1 dan jika menjawab “ c” diberi skor 2.
Berdasarkan jumlah skor, selanjutnya tingkat pengetahuan responden
dikategorikan sebagai berikut (Arikunto, 2009) :
1. Baik, apabila skor yang diperoleh > Median dari seluruh skor yang ada
2. Buruk, apabila skor yang diperoleh ≤ Median dari seluruh skor yang ada
3.6.2. Sikap
Pengukuran sikap responden dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dengan alternatif jawaban “setuju” dan “tidak setuju”. Pertanyaan
Adapun ketentuan pemberian skor yaitu: jika responden menjawab setuju
diberi skor = 2 dan jika menjawab tidak setuju diberi skor = 0. Khusus untuk
pertanyaan nomor 1, 10, 11, 12, 13 dan 14, jawaban setuju diberi skor = 0 dan
jawaban tidak setuju diberi nilai = 2
Berdasarkan jumlah skor, selanjutnya tingkatan sikap responden dikategorikan
sebagai berikut (Arikunto, 2009) :
1. Baik, apabila skor yang diperoleh > Median dari seluruh skor yang ada
2. Buruk, apabila skor yang diperoleh ≤ Median dari seluruh skor yang ada.
3.7. Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil laboratorium dan wawancara langsung, diolah
secara komputerisasi dan dianalisis dengan menggunakan uji Chi- Squre pada tingkat
kepercayaan 90% atau α 0,1. Uji Chi-Squre digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel bebas dengan variabel terikat. Hasil dari pengujian disajikan dalam
bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi dipergunakan sebagai dasar pembahasan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Adapun gambaran umum dalam penelitian ini meliputi: letak geografis Desa
Purwodadi, gambaran demografi Desa Purwodadi, kondisi sosial budaya desa
purwodadi.
4.1.1. Letak Geografis
Desa Purwodadi merupakan salah satu desa di Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten
Deli Serdang. Secara geografis Desa Purwodadi terletak pada dataran tinggi dengan
ketinggian tanah dari permukaan laut sekitar 2 meter. Suhu udara rata-rata sekitar
23-330C. Banyaknya curah hujan pertahun rata – rata 2.000 mm. Desa Purwodadi
memiliki luas wilayah 82 hektar; 25 hektar merupakan lahan pemukiman/pekarangan
dan 57 Hektar merupakan lahan tegalan/lading.
Desa Purwodadi terdiri dari 3 dusun yaitu Dusun Purwodadi IA, Dusun Purwodadi
IB, dan Dusun Purwodadi II.
Adapun batas-batas wilayah Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau
Kabupaten Deli Serang adalah sebagai berikut:
• Sebelah Timur berbatasan dengan PTPN II Pagar Merbau
• Sebelah Barat berbatasan dengan PTPN II Tanjung Garbus
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukamulia
4.1.2. Gambaran Demografi
Jumlah penduduk Desa Purwodadi adalah sebanyak 649 Kepala Keluarga atau
2.519 jiwa yang terdiri dari 1.279 jiwa laki-laki dan 1.240 jiwa perempuan.
Penduduk Desa purwodadi memeluk agama Islam sebanyak 2495 Jiwa dan agama
Kristen sebanyak 24 jiwa.
Desa Purwodadi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pagar
Merbau Kabupaten Deli Serdang yang mayoritas penduduknya memiliki mata
pencaharian sebagai pembuat batu bata. Dari expose Desa Purwodadi tahun 2011
diketahui bahwa dari 649 Kepala Keluarga, 231 Kepala Keluarga diantaranya
bermata pencaharian sebagai pembuat batu bata.
Tingkat pendidikan penduduk Desa Purwodadi sebagian besar tamat SLTP. Berikut
[image:54.612.134.533.455.676.2]tabel tingkat pendidikan penduduk desa purwodadi.
Tabel 4.1 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2010
No Tingkat Pendidikan Tahun 2010
1 Buta Huruf 8 orang
2. Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ) 35 Orang
3. Taman Kanak – Kanak ( TK ) 13 Orang
4. Tidak Tamat SD 120 Orang
5. Tamat SD 261 Orang
6. Sedang SD 178 Orang
7. Tamat SLTP 423 Orang
8. Sedang SMP 90 Orang
9. Tamat SLTA 296 Orang
10 Sedang SLTA 63 Orang
11 Akademi 17 Orang
12. Sedang Akademi 8 Orang
13. Perguruan Tinggi 12 Orang
14. Sedang di Perguruan Tinggi 20 Orang
4.1.3. Sosial Budaya
Dari segi sosial budaya, Desa purwodadi memiliki heterogenitas etnis yang cukup
tinggi. Sebagian besar penduduk memiliki suku bangsa Jawa, selain itu suku bangsa
yang cukup dominan yaitu Minangkabau, Batak. Meskipun tingkat heterogenitas etnis
penduduk yang cukup tinggi namun soliditas masyarakat tampak kuat.
4.2 Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diamati dalam penelitian ini meliputi umur, jenis
[image:55.612.113.528.373.644.2]kelamin, dan pendidikan. Karakteristik responden disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik di Desa Purwodadi Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011
No. Karakteristik Responden n %
Umur (Tahun)
1. 18-24 4 6,7
2. 25-31 3 5,0
3. 32-38 6 10,0
4. 39-45 16 26,7
5. 46-52 18 30,0
6. 53-59 10 16,6
7. 60-66 3 5,0
Jumlah 60 100,0
Jenis Kelamin
1. Laki-laki 37 61,7
2. Perempuan 23 38,3
Jumlah 60 100,0
Pendidikan
1. Tidak tamat SD 9 15,0
2. Tamat SD 21 35,0
3. Tamat SLTP 22 36,7
4. Tamat SLTA 8 13,3
Jumlah 60 100,0
Berdasarkan tabel 4.2. di atas dapat dilihat bahwa responden termuda adalah umur 18
kisaran umur 46-52 tahun, yaitu sebanyak 18 orang (30,0%). Jenis kelamin responden
paling banyak laki-laki sebanyak 37 orang (61,7%). Tingkat pendidikan sebagian
besar responden adalah tamat SLTP, yaitu sebanyak 22 orang (36,7%) dan tingkat
pendidikan terendah responden adalah tamat SLTA, yaitu sebanyak 8 orang (13,3%).
4.3. Pengetahuan Responden tentang Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) Pada Pekerja Pembuat Batu Bata
Pengetahuan responden adalah sesuatu yang diketahui responden tentang
kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) dan upaya pencegahannya. Adapun
daftar pertanyaan yang termasuk dalam pengetahuan meliputi: pengetahuan
responden tentang pengertian kecacingan, penyebab kecacingan, gejala-gejala
kecacingan, orang yang dapat terinfeksi cacing, cacing/telur cacing masuk melalui
apa, penyebab infeksi cacing, telur cacing masuk ke tubuh dalam bentuk apa, kuku
yang kotor apakah dapat menyebabkan kecacingan, apakah kecacingan dapat
menyebabkan produktivitas menurun, apakah kecacingan dapat menyebabkan
kekurangan darah, akibat kecacingan, minum obat cacing sebaiknya berapa bulan
sekali, menghindari kotak langsung dengan tanah apakah dapat menghindari