• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wortel (Daucus carota L.)

Wortel termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berbentuk semak (perdu) yang tumbuh tegak dengan ketinggian antara 30-100 cm, tergantung jenis dan varietasnya. Tanaman wortel berumur pendek, yakni berkisar antara 70-120 hari, tergantung pada varietasnya. Dalam sistematika tumbuh-tumbuhan, tanaman wortel diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji ) Subdivisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)

Kelas : Dicotyledonae (biji berkeping dua atau biji belah) Ordo : Umbelliferales

Famili : Umbelliferae/Apiaceae/Ammiaceae Genus : Daucus

Spesies : Daucus carota L.

Tanaman wortel memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Dalam pertumbuhannya, akar tunggang akan mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi tempat penyimpanan cadangan makanan. Akar tunggang yang telah berubah bentuk dan fungsi inilah yang sering disebut atau dikenal sebagai “ umbi wortel”. Akar serabut menempel pada akar tunggang yang telah membesar (umbi), tumbuh menyebar ke samping, dan berwarna kekuning-kuningan (putih gading) (Cahyono 2002).

Tanaman wortel banyak ragamnya, tetapi bila dilihat bentuk umbinya dapat dibagi menjadi 3 golongan, yakni :

a) Tipe Chantenay, berbentuk bulat panjang dengan ujung yang tumpul. b) Tipe Imperator, berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing.

c) Tipe Nantes, merupakan tipe gabungan antara imperator dan chantenay.

Tanaman wortel merupakan sayuran dataran tinggi yangpada permulaan tumbuh menghendaki cuaca dingin dan lembab. Tanaman ini bisa ditanaman sepanjang tahun baik musim kemarau maupun musim hujan dan membutuhkan

lingkungan tumbuh dengan suhu udara yang dingin dan lembab. Pertumbuhan dan produksi umbi membutuhkan suhu udara optimal antara 15.6-21.1˚C. Suhu udara yang terlalu tinggi (panas) seringkali menyebabkan umbi kecil-kecil (abnormal) dan berwarna pucat/kusam, bila suhu udara terlalu rendah (sangat dingin) maka umbi yang terbentuk menjadi panjang kecil.Di Indonesia, wortel umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian 1000-1200 m dpl,di dataran medium (ketinggian lebih dari 500 m dpl) produksi dan kualitas kurang memuaskan.

Keadaan tanah yang cocok untuk tanaman wortel adalah subur, gembur, banyak mengandung bahan organik (humus), tata udara dan tata airnya berjalan baik (tidak menggenang). Jenis tanah yang paling baik adalah andosol. Jenis tanah ini pada umumnya terdapat di daerah dataran tinggi (pegunungan). Tanaman wortel dapat tumbuh baik pada keasaman tanah (pH) antara 5.5-6.5, untuk hasil optimal diperlukan pH 6.0-6.8. Pada tanah yang pH nya kurang dari 5.0 tanaman wortel akan sulit membentuk umbi. Pada tanah yang mudah becek atau mendapat perlakuan pupuk kandang yang berlebihan, sering menyebabkan umbi wortel berserat, bercabang, dan berambut (Rukmana 1995).

Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)

Empat spesies nematoda Meloidogyne spp. yang mempunyai arti ekonomi penting dalam budi daya sayuran yaitu M. incognita, M. arenaria, M. javanica, dan M. hapla. Puru pada sistem akar merupakan gejala awal yang berasosiasi dengan infeksi Meloidogyne spp. Puru yang disebabkan oleh nematoda betina terdapat pembengkakan pada silinder pusatnya, terjadi perubahan bentuk pada unsur jaringan pengangkutan. Nematoda betina yang berbentuk bulat dikelilingi oleh parenkim, mudah diamati dengan mikroskop perbesaran lemah pada akar yang diberi zat warna (Netscher & Sikora 1978). Nematoda betina menetap di dalam jaringan akar tanaman inang dan membentuk kantung telur (gambar 1).

6

a b ( Sumber: Agrios 2005)

Gambar 1 Paket telur menempel pada bagian posterior nematoda betina (1a), nematoda betina dewasa di dalam jaringan tanaman inang (1b).

Klasifikasi

Semua nematoda parasitik tumbuhan termasuk filum Nematoda. Genus nematoda parasitik tumbuhan yang penting pada umumnya termasuk ordo Tylenchida, tetapi ada beberapa yang termasuk ordo Dorylaimida (Agrios 1988). Klasifikasi nematoda Meloidogyne spp. menurut (Dropkin 1989) adalah sebagai berikut :

Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Sub Kelas : Secernenteae Ordo : Thylenchida Famili : Meloidogynidae Genus : Meloidogyne Spesies : Meloidogyne spp.

Morfologi dan Anatomi

Morfologi dan anatomi penting dalam mempelajari taksonomi dan memahami fungsi fisiologisnya, interaksi dengan lingkungan, serta hubungan timbal balik dengan tanaman inangnya. Dalam satu siklus hidup Meloidogyne terjadi perubahan morfologisnya yaitu bentuk telur, larva (juvenil), dan dewasa (jantan dan betina).Nematoda puru akar betina bentuknya membulat seperti

apukat, berwarna putih kekuningan, diameter tubuh memanjang antara 440-1300 µm dan lebar 325-700µm. Nematoda betina bersifat menetap (sedentary) dalam akar dan mempunyai dua buah indung telur (ovarium) (Mulyadi 2009).

Biologi

Telur terbentuk di dalam badan betina, yang akhirnya betina ini menjadi kantong telur yang membengkak (Semangun 2006). Telur-telurnya diletakkan di dalam kantung telur yang gelatinus yang mungkin untuk melindungi telur-telur tersebut dari kekeringan dan jasad renik. Puru terbentuk dari interaksi antara inang dan parasit, pada puru tersebut muncul kantong telur. Kantong telur yang baru terbetuk biasanya tidak berwarna dan menjadi coklat setelah tua. Telur-telur mengandung zigot sel tunggal apabila baru diletakkan (Dropkin 1989).

NPA tumbuh dan berkembang, dimulai dari pertumbuhan embrio dalam telur (embriogenesis). Kondisi lingkungan yang sesuai antara lain adanya tanaman inang (menghasilkan eksudat akar yang merangsang penetasan telur) dan kelembaban yang cukup juvenil 2 (J2) akan mendukung telur menetas (Mulyadi 2009). Siklus hidup NPA dan terbentuknya gejala penyakit puru akar ditunjukkan pada gambar 2.

8 Larva stadia dua menetas, mereka aktif bergerak baik di dalam tanah maupun dalam jaringan tanaman. Stadia J2 dari Meloidogyne merupakan satu- satunya stadia yang bersifat infektif. Pada umumnya J2 melakukan penetrasi ke dalam akar di jaringan yang berada di belakang ujung akar yaitu daerah yang sedang mengalami perpanjangan. Larva stadia dua yang telah melakukan penetrasi ke dalam akar kemudian migrasi antar sel di daerah korteks mencari tempat makan (feeding site) yang sesuai. Bagian kepala biasanya di tepi jaringan pengangkutan sedang bagian tubuh yang lain di korteks. Stilet mencucuk dinding- dinding sel di sekitarnya, selain itu stilet juga mengeluarkan sekresi dari kelenjar esofagus yang mengakibatkan terbentuknya sel-sel raksasa (giant cells atau syncytia) yang merupakan sumber makanan bagi nematoda. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan jumlah sel yang tidak normal (hiperplasia) serta peningkatan ukuran sel yang tidak normal (hipertrofi) dari jaringan tanaman yang mengakibatkan terbentuknya puru atau galls. Selama terbentuknya sel-sel raksasa dan puru akar, larva stadia dua mengalami perubahan bentuk membesar seperti “botol” (flask-shaped).

Betina bentuk tubuhnya seperti buah alpukat setelah mengalami pergantian kulit kedua, ketiga, dan keempat. Perkembangan nematoda jantan terjadi setelah pergantian kulit ketiga, dalam tubuh larva stadia tiga yang terbentuk seperti botol tersebut terbentuk tubuh nematoda silindris memanjang (vermiform) dan dilengkapi dengan bagian tubuh nematoda jantan. Siklus hidup NPA dari saat terjadinya awal makan (initial feeding) sampai terbentuknya nematoda dewasa antara 3-8 minggu (Mulyadi 2009).

Perbandingan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh lingkungan. Nematoda jantan akan lebih banyak apabila akar terserang berat dan zat makanan tidak cukup. Eksudat akar mampu meningkatkan penetasan, tetapi senyawa tersebut tidak mempengaruhi keberhasilan daur hidupnya (Dropkin 1989).

Reproduksi dan Perkembangan

Reproduksi bersifat amfimiktik (nematoda jantan dan betina terpisah) atau partenogenetik (nematoda jantan tidak ada, tidak berfungsi, atau sangat sedikit). Telurnya diletakkan secara tunggal atau berkelompok di dalam suatu massa gelatinus yang dikeluarkan oleh nematoda betina. Massa telur tersebut biasanya berasosiasi pada nematoda betina yang tubuhnya menggelembung dan menjadi menetap. Nematoda pada umumnya mempunyai empat stadium larva antara stadium telur dan dewasa diantaranya terjadi pergantian kulit untuk mencapai ukuran yang lebih besar (Singh & Sitaramaiah 1994).

Produksi telur sangat banyak antara 24-112 butir per hari, dalam jangka waktu yang panjang, sehingga jumlah totalnya dapat mencapai 800-3000 butir setiap betina. Telur menetas secara terus-menerus, seringkali berlangsung sampai berkembangnya generasi berikutnya (Semangun 2006). Daur hidupnya bervariasi tergantung pada inang dan suhu, paling cepat 3 minggu dan paling lama beberapa bulan (Dropkin 1989).

Ekologi

Dao (1970)menunjukkan bahwa populasi nematoda menyesuaikan terhadap keadaan iklim setempat. Suhu optimum untuk perkembangan nematoda berkaitan dengan terdapatnya budidaya sayuran di daerah tropik, suatu faktor yang menjamin terjadinya infeksi puru akar secara serius. Suhu optimum untuk M. hapla paling rendah 5˚C yaitu lebih rendah daripada untuk spesies utama yang lain di daerah tropik. M. hapla terdapat terbatas di daerah dataran tinggi di tropik dan di daerah budidaya yang beriklim sedang. M. incognita, M. javanica, dan M. arenaria terdapat di daerah yang suhu rata-ratanya 36˚C atau lebih rendah dari pada yang terjadi pada bulan yang terpanas(Taylor et al. 1982). M. incognita terdapat pada area geografis yang lebih luas dari pada spesies lain dan memiliki kisaran inang yang sangat luas. Spesies ini terdapat pada tempat dengan suhu tahunan rata-rata berkisar antara 18-30˚C, dengan populasi terbanyak pada tempat

10 yang kisaran suhunya antara 24-27˚C. Spesies ini biasanya ditemukan dan berkorelasi dengan keberadaan M. javanica. M. javanica juga memiliki kisaran inang yang luas pada daerah yang curah hujannya tinggi atau rendah. Spesies ini selalu berada sepanjang tahun. Populasi M. arenaria seringkali menghasilkan banyak puru kecil berbentuk manik-manik yang tidak berbentuk akar lateral yang pendek. Tanaman rentan yang terinfeksi populasi M. hapla seringkali menghasilkan gejala pada akar yang dapat mendiagnosa spesies ini. Puru cenderung mengecil dan banyak cabang pada akar yang terpisah yang membuat sistem akar bergerombol dan menyusut (Eisenback et al. 1981). Suhu berpengaruh terhadap perkembangan embrio dalam telur, penetasan, tumbuh, reproduksi, penyebaran, dan kemampuan bertahan hidup (Mulyadi 2009).

Tekstur dan struktur tanah berkaitan langsung dengan kapasitas kandungan air dan aerasi serta pengaruhnya terhadap kehidupan nematoda, penetasan, dan parahnya kerusakan. Tipe tanah dan pH juga mempunyai pengaruh terhadap distribusi nematoda. Tipe tanah berpengaruh terhadap tipe budidaya tanaman, oleh sebab itu mempengaruhi distribusi nematoda, timbulnya populasi, dan intensitas kerusakan (Taylor et al. 1982). Tanah-tanah ringan lebih baik untuk nematoda dan tanah lempung menghambat (Dropkin 1989). Meloidogyne spp. pada umumnya didapatkan pada berbagai tipe tanah, namun demikian kerusakan berat umumnya terjadi di daerah dengan tipe tanah ringan atau berpasir. Nematoda puru akar tumbuh dan berkembang normal pada pH tanah antara 6.4- 7.0. Pada pH tanah dibawah 5.2 pertumbuhan dan perkembangannya terhambat (Mulyadi 2009).

Gejala Penyakit NPA

Nematoda endoparasitik merupakan nematoda yang masuk ke dalam jaringan akar. Nematoda endoparasitik yang bersifat dapat berpindah tetap aktif dan bergerak di dalam jaringan tempat dia makan. Nematoda endoparasitik yang bersifat menetap (sedentary) maka nematoda betina akan memperolah

makanannya dari satu tempat tertentu (sel-sel asuh), yang kemudian nematoda tersebut kehilangan mobilitasnya dan tubuhnya menggelembung (Luc et al. 1995).

Puru yang timbul pada sistem akar merupakan gejala awal yang berasosiasi dengan infeksi Meloidogyne spp. Puru yang disebabkan olehnematoda betina menyebabkan pembengkakan pada silinder pusatnya, terjadi perubahan bentuk pada unsur jaringan pengangkutan. Ukuran dan bentuk puru tergantung pada spesies, jumlah nematoda di dalam jaringan, inang, dan umur tanaman. Tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi nematoda, akar-akarnya bereaksi terhadap kehadiran Meloidogyne spp. dengan membentuk puru besar dan lunak, sedangkan pada kebanyakan tanaman sayuran yang lain purunya besar dan keras. Gejala penyakit kadang-kadang berupa puru yang sangat kecil dan pada beberapa kasus puru yang terjadi tidak tampak adanya puru. Gejala penyakit pada tanaman monokotil seperti bawang merah dan bawang prei sangat tidak jelas, gejala yang utama adalah adanya tonjolan massa telur.

Tanaman yang terinfeksi berat oleh Meloidogyne spp. sistem akar normal berkurang sampai pada batas jumlah akar yang berpuru berat dan menyebabkan sistem pengangkutan mengalami disorganisasi secara total. Akar baru hampir tidak terjadi. Sistem akar fungsinya benar-benar terhambat dalam menyerap dan menyalurkan air maupun unsur hara. Tanaman mudah layu, khususnya dalam keadaan kering dan tanaman sering menjadi kerdil. Pertumbuhan terhambat dan daun mengalami klorosis. Di Muangthai, tanaman sering mengalami kelayuan tanpa terjadi klorosis dan disebut “ penyakit layu hijau” .

Bibit yang terinfeksi menyebabkan banyak tanaman mati pada tempat pembibitan dan apabila ditanam tidak dapat hidup. Tanaman yang dapat hidup, bunga dan produksi buahnya sangat kurang. Infeksi yang berkelanjutan menyebabkan puru dapat terinfeksi oleh jamur dan bakteri penyebab busuk. Infeksi yang menyebabkan stele yang keras merupakan satu-satunya sisa sistem akar yang masih utuh (Netscher & Sikora 1978). Kompleks penyakit yang disebabkan NPA dan patogen layu bakteri adalah salah satu penyebab banyaknya kematian sayuran yang diketahui saat ini (Mai 1985).

12 Spesies Nematoda Meloidogyne spp.

M. incognita termasuk endoparasit, yakni hidup di dalam tanah dalam waktu pendek dan kemudian masuk ke perakaran tanaman. Nematoda dapat bergerak bebas di dalam tanah dan tertarik pada eksudat, yaitu cairan yang dikeluarkan oleh akar tanaman. M. incognita merupakan penyebab penyakit yang penting di seluruh daerah tropika (Semangun 2006). Nematoda tersebut bersifat polifag. Spesies tanaman yang menjadi inang nematoda tersebut sekitar 700 spesies, beberapa diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel, waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006). Tanaman rentan yang terinfeksi populasi M. incognita membentuk puru yang muncul satu demi satu, akan tetapi biasanya kumpulan puru terbentuk luas dan kadang membentuk puru yang besar. Tipe puru tidak dipertimbangkan untuk digunakan dalam identifikasi spesies (Eisenback et al. 1981).

M. javanica diketahui di Jawa sejak tahun 1885 pada tebu, tersebar di seluruh dunia, khususnya di daerah tropika sampai ketinggian 3000 m dpl. Spesies tersebut merupakan nematoda puru akar yang paling dominan di pegunungan. Kisaran inangnya lebih dari 700 tumbuhan inang, diantaranya teh, tembakau, kentang, tomat, famili Cucurbitaceae, pohon buah-buahan, serealia, dan tanaman hias. Puru yang ditimbulkan oleh nematoda ini sama dengan pada puru yang ditimbulkan oleh M. incognita.

M. arenaria tersebar di seluruh dunia, meskipun tidak seluas M. javanica dan M. incognita. Tanaman inangnya sekitar 330 jenis tumbuhan, khususnya bermacam-macam sayuran, serealia, rumput-rumputan, kacang-kacangan, buah- buahan, tembakau, dan beberapa varietas kapas (Semangun 2006).

M. hapla menyebabkan gejala yang berbeda dengan gejala yang disebabkan oleh kebanyakan spesies lain. Purunya hanya kecil, bentuknya seperti bola dan terbentuk cabang akar yang banyak berasal dari jaringan puru yang menyebabkan terjadinya suatu sistem akar yang disebut “akar cambang” (Netscher & Sikora 1978).

Identifika Scan cepat dap SEM mem yang ting identifikas mikroskop membukti nematoda akan lebih melalaui p & Carter 1 Tekn taksonomi khusus. K penandaan pantat me pembeda a Gambar 3 a

asi Morfoloogi Spesies MMeloidogynne spp.

nning Elect pat memerik mberikan ga ggi. Metode si. Detail m p cahaya. C ikan keguna dengan me h cepat dar pola perinea 1985). tron Micros ksa detail m ambar 3 dim e SEM ce morfologi ya iri-ciri yang aan dalam p elihat sidik p ripada deng al adalah tid scope (SEM morfologi n mensi denga enderung m ang seringk g dapat dilih proses iden pantat, bent gan tes perb dak dapat m M) merupak nematoda s an resolusi ti mahal dan ali dilihatad hat oleh mik ntifikasi nem

tuk kepala j bedaan inan membedaka

kan alat yan secara meny inggi dan ti tidak siap dalah denga kroskop cah matoda. Ide antan, dan m ng. Kelema n antara ras ng dalam w yeluruh. M ingkat kefok tersedia u an menggun haya sudah entifikasi sp morfologi j ahan identi s spesies. (S waktu Metode kusan untuk nakan dapat pesies antan fikasi Sasser nik identif i pada spes Karakter itu n pada bag emiliki bag antar spesie fikasi mor sies Melo meliputi: si ian pantat gian-bagian es (gambar 3 rfologi yan idogyne sp idik pantat, nematoda b n tertentu 3). ng banyak pp. memfok dimana itu betina dewa yang dapa dilakukan kuskan pada u adalah ran asa (Mai 1 at dijadikan n oleh pe a ciri morf ngkaian lua 985). Pola n sebagai eneliti fologi r dari sidik dasar b 3 Nematod penampan Eisenback da Meloidog ng pola sid k et al. 198 gyne spp. b dik pantat N 1) betina dewa NPA(Meloi asa (3a), ba idogyne spp agian-bagian p.) (3b)(Sum n dari mber:

14 Banyak spesies Meloidogyne spp. yang telah teridentifikasi, namun yang paling banyak dijumpai hanya ada 4 spesies yaitu: M. incognita, M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla. Empat spesies tersebut dapat dibedakan berdasarkan pola perineal yang merupakan karakter diagnostik. Kenampakan paling khas pada Meloidogyne adalah pada pola perineal yaitu pola atau gambaran khas pada kutikula di bagian tubuh posterior nematoda betina yang dapat digunakan untuk mencirikan masing-masing spesies nematoda tersebut. Bagian-bagian dari pantat nematoda yang dapat dijadikan penciri untuk identifikasi morfologi antara lain bagian lengkungan dorsal, bidang lateral, striasi, dan ujung ekor nematoda jantan (Mulyadi 2009) ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan morfologis empat spesies utama Meloidogyne spp. berdasarkan pola perineal

Spesies

Dorsal arch (lengkungan dorsal)

Bidang lateral Striasi Ujung ekor

M. incognita Tinggi seperti persegi panjang Mempunyai garis-garis di bidang lateral, striasi ditandai adanya bagian yang patah atau seperti porok Kasar, bergelombang, kadang-kadang zig-zag Sering dengan distict whort (alur-alur) melingkar jelas M. javanica Rendah, membulat Mempunyai garis-garis dibidang lateral Kasar, halus sampai sedikit bergelombang Sering dengan alur melingkar jelas

Spesies

Dorsal arch (lengkungan

dorsal)

Bidang lateral Striasi Ujung ekor

M. arenaria Rendah, membulat Tidak mempunyai garis-garis dibidang lateral Kasar, halus sampai sedikit bergelombang Umumnya tidak mempunyai alur melingka jelas M. hapla Rendah, membulat Tidak mempumyai garis-garis di bidang lateral Halus sampai sedikit bergelombang Tidak mempunyai alur melingkar yang jelas ditandai adanya “bintik-bintik” atau punctations (Sumber: Eisenback 1985)

Identifikasi Spesies Meloidogyne spp. Secara Molekuler

Teknik identifikasi tidak terbatas berdasarkan yang berhubungan dengan stadia (telur, juvenil, atau nematoda dewasa), namun sudah memanfaatkan kemajuan teknologi molekuler. Teknik molekuler telah banyak taksonomis untuk mengidentifikasi spesies nematoda yang sulit dilakukan melalui karakteristik morfologi dan kisaran inang. Teknik molekuler untuk identifikasi nematoda dapat dilakukan dengan PCR, menggunakan marker dan sikuen DNA (Harris et al. 1990).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah 1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, 2) oligonukleotida primer, yaitu suatu

16 sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, 3) deoksiribonukleatida trifosfat (dNTP), dan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer.

Proses PCR menggunakan amplifikasi beberapa menit dari DNA yang telah diekstraksi dari nematoda dewasa, telur, atau juvenil dan menjadi bahan untuk analisis lebih lanjut (Haris et al. 1990). Amplifikasi PCR ditujukan untuk gen target menggunakan sepasang oligonukleotida spesifik (forward dan reverse primers). Kepastian variasi dalam ukuran atau sekuen nukleotida dari produk amplifikasi PCR dapat digunakan untuk identifikasi dan karakterisasi (Singh 2009). Power dan Harris (1993) telah menjelaskan perbedaan spesies Meloidogyne spp. berdasarkan amplifikasi DNA dari mitokondria. Pita fragmen PCR berbeda ukurannya pada spesies yang berbeda jelas terlihat saat produk PCR diseparasi dalam gel agarose.

Beberapa genom telah berhasil digunakan dalam identifikasi spesies Meloidogyne. Ribosomal DNA repeat units (rDNA) yang terdiri dari internal transcribed spacer (ITS 1 dan ITS 2 telah digunakan untuk karakterisasi speises Meloidogyne (Blok et al. 1997, Wiliamson et al. 1997, Zijlstra 1997, Zijltra et al. 1997). Sikuen gen yang mengkode protein yang lain juga dapat digunakan dalam identifikasi spesies jika diketahui proteinnya (Tesarova et al. 2004).

Reaksi thermo cycle pada proses PCR dijelaskan menurut Yuwono (2006). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA templete (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal. Denaturasi DNA dilakukan dengan suhu 95˚C selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55˚C sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Suhu 55˚C yang digunakan untuk penempelan primer pada dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada suhu yang lebih rendah (37˚C), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang

lebih tinggi (55˚C), spesifitas reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya akan menurun.

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya dilakukan selama 1-2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72˚C selama 1.5 menit. DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan setelah polimerasi. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu menjadi 95˚C. Rantai DNA yang baru berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.

Reaksi-reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulang lagi sampai 25- 30 kali (siklus) sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di dalam campuran reaksi.

Semua reaksi PCR akan dilakukan dengan Peltier Thermal Cycler (PTC- 200, MJ Research, Inc.,Waltham, MA). Setiap reaksi akan mempunyai volume akhir sebanyak 25 µl di dalam tube berukuran 0.2 ml dan mengandung 2.5 µl 10X PCR buffer (10 mM Tris, pH 8.3, 50 mM MgCl2, Triton X-100), 0.8 µM primer masing-masing, 0.05 mMdNTP masing-masing, dan 0.5 unit DNA polymerase . Setiap reaksi PCR menggunakan DNA murni sebagai templet, 30 ng DNA yang digunakan pada masing-masing reaksi. Primer M. Incognita menggunakan program PCR: 94˚C, 3 min; (94˚C, 1 min; 58˚C, 1 min; 72˚C, 1 min) x 35; 72˚C, 10 min. ITS rDNA primer, programnya adalah: 94 ˚C, 3 min; (94 ˚C, 1 min; (55 ˚C, 1 min; 72˚C, 1 min) x 35; 72˚C, 8 min. Sebanyak 10 µl dari produk

Dokumen terkait