• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Six Sigma

Six Sigma merupakan sebuah sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk

mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis. Six Sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, data, dan analisa statistik, dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki dan menanamkan kembali proses bisnis

(Pande. et al.,2000).

Six Sigma merupakan suatu alat atau metode yang sistematis yang digunakan

untuk perbaikan proses dan pengembangan produk baru yang berdasarkan pada metode statistik dan metode ilmiah untuk mengurangi jumlah cacat yang telah didefinisikan oleh konsumen. Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan.

Apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau Defect Per

Million Opportunity (DPMO) atau mengharapakan bahwa 99,99966% dari apa yang

diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik.

Menurut Thomas Pyzdek pada buku “ The six sigma handbook “, Six Sigma adalah, pada dasarnya suatu tujuan kualitas proses, dimana sigma adalah tolak ukur penting dari variabel dalam proses.

Dalam metode ini, parameter yang dipakai : DPMO (defect per million opportunities), yaitu kegagalan per sejuta kesempatan dan COPQ (cost of poor quality), yaitu biaya yang dikeluarkan karena kualitas yang rendah.

Hubungan antara DPMO, COPQ dan tingkat pencapaian sigma dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1. DPMO pada sigma level

COPQ ( Cost of Poor Quality )

Tingkat pencapaian sigma DPMO COPQ 1-sigma 2-sigma 3-sigma 4-sigma 5-sigma 6-sigma

691.462 (sangat tidak kompetitif ) 308.538 (rata2 industri indonesia) 66.807

6.210 (rata2 industri USA) 233

3,4 (industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung Tidak dapat dihitung 25-40% dari penjualan 15-25% dari penjualan 5-15% dari penjualan < 1% dari penjualan

( Sumber : Gaspersz,2002 ).

Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana

yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability). (Sumber: “Pedoman Implementasi Six

Untuk mendapatkan “Defect Per Million Opportunities” (DPMO) terlebih dahulu harus mengetahui “Defect Per Opportunity” (DPO). “Defect Per

Opportunity” (DPO) adalah suatu ukuran kegagalan yang dihitung dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma yang menunjukkan banyaknya cacat atau kegagalan per satu juta kesempatan. Dihitung dengan menggunakan formula :

banyaknya cacat yang ditemukan DPO =

banyaknya unit yang diperiksa x CTQ potensial

Besarnya DPO ini, apabila dikalikan dengan konstanta 1.000.000, akan menjadi ukuran Defect Per Million Opportunities (DPMO). DPMO adalah ukuran kegagalan dalam program peningkatan kualitas Six Sigma yang menunjukkan kegagalan per sejuta kesempatan. Target dari pengendalian kualitas Six Sigma yang dijalankan oleh perusahaan sebesar 3,4 DPMO seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai 3,4 unit output yang cacat dari sejuta unit output yang diproduksi, tetapi diinterpretasikan sebagai dalam satu unit produk tunggal terdapat rata-rata kesempatan untuk gagal dari suatu karakteristik CTQ (Critical To Quality) adalah 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO). DPMO dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :

2.5.1. Konsep Six Sigma

Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai barang sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan/atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesepatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Sehingga 6-sigma otomatis lebih baik daripada 4-sigma, 4- sigma lebih baik daripada 3-sigma. Six Sigma juga dapat di anggap sebagai strategi trobosan yang memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatik) di tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability).(Gasperz,2002).

Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam six sigma akan diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi rujukan nilai sigma proses. Kita juga akan diperkenalkan dengan variasi proses (konsep untuk data continuous). Bukan berarti di dalam TQM hal tersebut tidak ada, hanya saja TQM

tidak terlalu mementingkan pembahasan tersebut. Namun apabila ingin lebih mengenal proses, kita lebih mengetahui bagaimana variasi proses/produk kita, artinya juga berapa sigma dari proses/produk kita, maka Six Sigma lebih memadai dalam hal ini.

Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dengan TQM dan program-program kualitas sebelumnya :

a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas.

b. Six Sigma menghasilkan Returns of investement yang besar (contohnya pada general electrics).

c. Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk menghasilkan hasil yang baik.

Tabel 2.2: Kelemahan TQM dan solusi Six Sigma

No Kelemahan TQM Solusi Six Sigma

1 Kurangnya integrasi Link (Hubungan) ke “lini dasar” bisnis dan personal 2 Kepemimpinan yang apatis Kepemimpinan di barisan depan

3 Konsep yang tidak jelas tentang

kualitas Pesan sederhana yang diulang – ulang 4 Gagal untuk menghancurkan

penghalang– penghalang internal

Prioritas terhadap fungsi manajemen proses lintas fungsi

5 Pelatihan yang tidak efektif Blackbelts, Greenbelts, Master Blackbelts 6 Fokus pada kualitas produk Perhatian pada semua proses bisnis

(Sumber: “The Six Sigma Way”, Penerbit Andi, Jogyakarta, Cavanagh,

Peter S. Pande, Robert P.Neuman 2002,).

Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam penerapan Six Sigma dibidang manufakturing, yaitu :

1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan).

2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (critical to

quality) individual. Critical to Quality adalah atribut–atribut yang sangat

penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek–praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan.

3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses–proses kerja, dan lain – lain.

4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ).

5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).

6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma. (Sumber: “Pedoman Implementasi Six Sigma”,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz, Vincent, 2002).

Perusahaan yang telah menerapkan metode ini salah satunya adalah Motorola. Beberapa keberhasilan Motorola yang patut dicatat dari aplikasi program Six Sigma adalah sebagai berikut :

 Peningkatan produktivitas rata-rata : 12,3 % per tahun.  Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84 %.  Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7 %.

 Penghematan biaya manufakturing lebih dari $ 11 miliar.

 Peningkatan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata : 17 % dalam penerimaan, keuntungan dan harga saham Motorola.

2.5.2. Faktor Penentu Dalam Six Sigma

Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain:

a. Costumer centric.

Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan :

1) Voice of coctumer (VOC), menyatakan keinginan pelanggan.

2) Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan elemen

yang dapat diukur.

3) Critical to quality (CTQ), permintaan yang paling penting bagi pelanggan.

4) Defect, bagian yang kurang memenuhi spesifikasi. b.Financial Result.

Total Quality Management (TQM) dikenal lebih dahulu dari pada Six

Sigma. Pada TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan prioritas

utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghasilkan banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan.

c. Management Engagement.

Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerjasama pada semua lini manajemen perusahaan.

d. Resources Commitment.

Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini.

e. Execution Infrastructure.

Six sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang-orang dari top

management sampai operasional dimana keseluruhannya memiliki fokus yang sama yaitu kepuasan pelanggan. (Sumber: “Lean Six Sigma”, McGraw-Hill

Companies, Inc George, Michael L, 2002).

Dokumen terkait