• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum (Sorgum bicolor L.) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan di daerah kering seperti di Afrika. Sorgum merupakan tanaman sereal yang besar di Ethiopia Timur. Sekitar 44% (149.030 ha) daerah Ethiopia Timur di budidayakan sorgum dan dianggap sebagai sarana utama untuk bertahan hidup bagi manusia di beberapa bagian semi kering Ethiopia Timur di mana seringkali tanaman gagal tumbuh karena rendahnya curah hujan (CSA, 1996). Dari benua Afrika menyebar luas ke daerah tropis dan subtropik. Tanaman ini memiliki adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, sehingga sorgum menyebar ke seluruh dunia. Negara penghasil utama sorgum adalah Amerika, Argentina, RRC, India, Nigeria dan beberapa Negara Afrika Timur, Yaman dan Australia (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Tanaman sorgum mirip dengan jagung, di Indonesia biji sorgum dikenal sebagai tanaman palawija dengan berbagai nama daerah, antara lain yaitu jagung pari, oncer/cantel (Jawa), gandrung, gandum (Minang kabau), jagung cetrik, degem, kumpay (Sunda), wataru hamu garai.

Uraian Botanis Taksonomi

Tanaman sorgum dapat diklasifikasikan sebagai berikut, kingdom

Monocotyledoneae, ordo Poales, family Graminaceae, genus Sorghum, species

Shorgum bicolor (L.) Moench.

Gambar 1. Tanaman sorgum dan akar

Morfologi

Doggett (1970) dan Huldquist (1973), dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) mengatakan bahwa batang sorgum padat. Batang berbentuk silinder mencapai ketinggian sekitar 3-4 m. Diameter batang berkisar antara 1.25 – 6.25 cm. Memiliki empulur yang ada berasa manis. Permukaan batang memuliki lapisan lilin dengan warna hijau ke abu-abuan ( Thakur, 1980).

Gambar 2. Batang sorgum dengan penampang melintang, terlihat empulur pada batang

Daun-daun biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas satu pelepah dan helaian. Pelepah daun membungkus batang dan melekat pada satu buku. Daun-daun yang dewasa (helaian) dapat mencapai 300 mm sampai 1350 mm dengan lebar yang bervariasi dari 15 sampai 150 mm pada bagian yang paling lebar. Pada

spesies-spesies liar, daun dapat sepanjang 300 – 750 mm tetapi biasanya sangat sempit 5-70 mm (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Gambar 3. Daun tanaman sorgum dan daun bendera pada pucuk tanaman membungkus malai

Berbeda dengan jagung, bunga jantan dan betina pada sorgum berada pada ujung malai. Malai terbuka dan relatif tebal. Sekitar 95% bunga sorgum menyerbuk sendiri (Metcalfe dan Elkins, 1980).

Gambar 4. Bunga sorgum mulai dari pembentukan malai hingga menjadi biji

Anatomi biji

Biji berbentuk bola dengan ujung tumpul. Pericarp dan testa menjadi satu. Memiliki anekaragam warna mulai dari putih jernih atau putih pucat sampai berbagai tingkat warna merah dan cokelat keunguan tua. Endospermnya keras dan seperti tanduk pada lapisan luarnya, putih dan seperti tepung ke bagian

dalamnya. Endosperm biasanya putih namun bisa kuning yang disebabkan oleh pigmen-pigmen karotenoid. Diameter biji bervariasi dari 4-8 mm dan beratnya sekitar 10-60 mg (Golsworthy dan Fisher, 1992)

Gambar 5. Biji sorgum dalam fase pengisian biji

Syarat Tumbuh Iklim

Sorgum adalah tanaman yang kuat dan mampu bertahan pada iklim yang ekstrim lebih dari tanaman serelia lain. Sorgum dapat bertahan pada bermacam-macam temperatur dari 15.5⁰C – 40.5⁰C, dengan curah hujan sekitar 35 – 150 mm/thn (Thakur, 1980). Sorgum dapat tumbuh hingga ketinggian 1500 m dpl dan dapat tumbuh dan menghasilkan di dataran rendah ditempat tanaman jagung tidak dapat tumbuh (Rismunandar, 1986). Sepanjang hidupnya tanaman sorgum memerlukan sinar matahari penuh, oleh karena itu saat tanam yang cocok adalah musim kemarau. Tanaman sorgum mampu beradaptasi pada daerah yang luas mulai 45⁰LU sampai dengan 40⁰LS mulai dari daerah dengan iklim tropis kering sampai daerah beriklim basah (Sumarno dan karsono, 1996), dengan kelembapan relatif 20 – 40 % (Sudaryono, 1996). Tanaman sorgum masih dapat menghasilkan biji pada lahan marginal (Sumarno dan Karsono, 1996).

Tanah

Sorgum juga dapat tumbuh pada tanah-tanah berpasir, ia dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 5.0 – 5.5 dan lebih bertoleransi terhadap tanah salin dibanding jagung. Tanaman sorgum dapat berproduksi pada tanah yang terlalu kritis bagi tanaman lainnya (Laemeheriwa, 1990). Sorgum cocok pada tanah liat berlempung yang kaya akan humus. Walaupun sorgum lebih mampu bertahan pada kondisi yang tergenang dibanding tanaman jagung, namun drainase yang lebih baik, cocok untuk pertumbuhannya (Thakur, 1980).

Agronomi

Cara budidaya tanaman sorgum mudah dengan biaya relatif murah, dapat ditanam secara monokultur maupun tumpang sari dan mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali setelah dilakukan pemangkasan pada batang bawah dalam satu kali tanam dengan hasil yang tidak jauh berbeda, tergantung pemeliharaan tanamannya. Selain itu tanaman sorgum lebih resisten terhadap serangan hama dan penyakit sehingga resiko gagal panen relatif kecil (Sumarno dan Karsono, 1996). Sorgum sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau. Hal ini dilakukan agar tanaman bisa tumbuh optimal dan malai terisi sempurna, selain untuk menghindari serangan cendawan. Agar diperoleh produksi yang tinggi sebaiknya dipilih benih yang bersertifikat dengan daya kecambah benih minimal 90% dengan bentuk dan warna yang seragam, seperti varietas Numbu dan Kawali. Sebelum penanaman tanah hendaknya diolah sedalam 15-20 cm untuk menggemburkan tanah, memperbaiki drainase, mendorong aktivitas mikro tanah sekaligus mematikan gulma.

Varietas

Data pada Tabel 1 adalah varietas yang sudah dilepas oleh pemerintah (Badan Litbang Pertanian Penelitian, Jagung, Sorgum dan Gandum oleh Balai Penelitian Serealia di Marros Sulawesi Selatan, data hingga tahun 2001.

Tabel 1. Varietas sorgum yang telah dilepas Badan Litbang Pertanian hingga thn 2001 yang di update terakhir tahun 2013

Varietas TT (cm) Umur Hasil Warna

(hari) (Ton/ha) Biji

No.6c (1970) 165-238 96-106 4.6-6.0 Coklat

UPCA-S2(1972) 180-210 105-110 4.0-4.9 Coklat

KD4 (1973) 140-180 90-100 +/-4.0 Putih kapur

Keris (1983) 80-125 70-80 2.5 Putih kotor

UPCA-S1 (1985) 140-160 90-100 +/-4.0 Putih kapur

Badik (1986) 145 80-85 3.0-3.5 Putih kapur

Negari Genjah +/-145 81 3.4-4.0

(1986)

Mandau (1991) 153 91 4.5-5.0 Coklat muda

Sangkur (1991) 150-180 82-96 3.6-4.0 Coklat muda

Kawali (2001) +/- 135 +/-100-110 2.96 Krem

Numbu (2001) +/-180 +/-100-105 3.11 Krem

Sumbe

Kebanyakan dari varietas sorgum merupakan hasil persilangan galur murni dari varietas lokal atau hasil seleksi dari persilangan beberapa varietas sorgum (Thakur, 1980). Varietas sorgum di Indonesia masih sedikit dan rendahnya perkembangan tanaman sorgum, hal ini disebabkan oleh rendahnya keragaman genetik dan produktivitas dari tanaman tersebut. Umur panen tanaman merupakan salah satu pertimbangan bagi petani dalam memilih varietas. Petani umumnya memilih varietas genjah (umur 89-95 hari). Dalam deskripsi varietas tanaman, sering kali suatu varietas dikelompokkan berdasarkan umur panen yaitu genjah, sedang dan dalam. Dikatakan varietas berumur dalam jika umur panen

lebih dari 95 hari (Soebandi, 1988). Varietas Numbu beradaptasi baik pada lahan kering masam, dengan hasil 5 ton/ha, tahan terhadap penyakit karat dan bercak daun. Varietas Kawali dicirikan oleh tanaman yang pendek (135 cm) dan malai yang agak tertutup, sehingga kurang disenangi oleh burung. Kedua varietas ini mempunyai umur dalam, berkisar antara 100-110 hari (Singgih dan Hamdani 2002).

Ekologi Pertumbuhan

Sorgum relatif lebih dapat beradaptasi pada kisaran kondisi ekologi yang luas. Tanaman sorgum, mempunyai keistimewaan lebih tahan terhadap kekeringan dan genangan bila dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya serta dapat tumbuh hampir disetiap jenis tanah. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tanah-tanah berat yang sering kali tergenang. Sorgum juga dapat tumbuh pada tanah-tanah berpasir. la dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 5,0-5,5 dan lebih bertoleransi terhadap salin (garam) tanah dari pada jagung (Laemeheriwa, 1990). Suhu optimum untuk pertumbuhan sorgum berkisar antara 23°C-30°C dengan kelembaban relatif 20-40%. Pada daerah-daerah dengan ketinggian 800 m diatas permukaan laut dimana suhunya kurang dari 20°C, pertumbuhan tanaman akan terhambat. Selama pertumbuhan tanaman, curah hujan yang diperlukan adalah berkisar antara 375 - 425 mm.

Laju pertumbuhan tanaman sorgum lebih cepat, umurnya hanya empat bulan sedangkan tebu 7-9 bulan, kebutuhan benih sorgum 5-10 kg/ha, sedangkan tebu 4.500-6.000 stek batang/ha. Menurut Almodares dan Hadi (2008), sorgum selain lebih adaptif terhadap perubahan iklim (kekeringan dan genangan) juga

potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol melalui fermentasi bagase, nira batang, dan biji.

Manfaat Sorgum

Selain sebagai pengganti bahan pangan, sorgum juga memiliki banyak manfaat. Sorgum bisa dijadikan sebagai bahan bakar nabati (biofuel), merupakan salah satu bahan yang berpotensi sebagai bahan baku etanol (Murty dan Sahni, 1990; Goldsworthy dan Fisher, 1992). Sementara itu batang dari sorgum manis (sweet sorghum) dapat diperas niranya untuk bahan pembuatan gula atau jiggery, bir, kertas, plastic bio, sirup, pati dan bermacam-macam makanan olahan (Murty dan Sahni, 1990). Selain itu sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas (biji) maupun ternak ruminansia untuk batang dan daunnya, serta sebagai bahan bangunan untuk batangnya (Goldsworthy dan Fisher, 1992). Beberapa varietas sorgum yang memiliki malai yang panjang bisa dimanfaatkan menjadi sapu. Sorgum mengandung komponen fitokimia seperti tannin, asam fenolat, antosianin, fitosterol dan polikosanol yang secara signifikan mempengaruhi kesehatan (Awika dan Rooney, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa komponen bioaktif yang terdapat dalam sorgum berfungsi sebagai anti oksidan dan dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Cho et al, 2000). Ekstrak sorgum dapat meningkatkan poliferasi sel limfosit (2-71%). Ekstrak sorgum mampu menghambat pertumbuhan sel kanker kolon raji hingga 80.08%. Hasil penelitian menujukkan bahwa ekstrak sorgum mampu menghambat poliferasi sel kanker (Shih et al, 2007; Awika et al. 2009).

Beberapa jenis makanan dari sorgum berdasarkan cara pengolahannya (Reddy et al. 1995; Vogel dan Graham, 1979, dalam Sirappa, 2003) yaitu:

1) makanan sejenis roti tanpa ragi misalnya chapatti dan tortilla, 2) makanan sejenis roti dengan ragi misalnya injera, kisia dan dosai, 3) makanan bentuk bubur kental misalnya to, tuwu, ugali, bagobe, sankati, 4) makanan bentuk bubur cair misalnya, ogi, ugi, ambili, edi, 5) makanan camilan misalnya pop sorgum, tape sorgum, emping sorgum, 6) sorgum rebus misalnya urap sorgum.

Gulma Sebagai TumbuhanPesaing

Kompetisi sebagai sebuah aksi berusaha mendapatkan apa yang lain yang bisa didapatkan dengan berusaha keras pada saat yang bersamaan (Zimdahl., 2004), juga merupakan interaksi antara tanaman-tanaman dan lingkungan dimana selama pertumbuhannya mengubah lingkungan sekitarnya dan perubahan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan komponen tanaman (Aspinal dan Milthorpe, 1959 dalam Zimdahl, 2004).

Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat faktor yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kerapatan gulma, tingkat cekaman air dan hara serta species gulma (Fadly et al, 2004). Untuk meminimalkan dampak dari kehadiran gulma Bengal dayflower pada tanaman kacang, petani perlu menjaga tanaman kacang mereka agar bebas dari gulma Bengal dayflower antara 3 dan 7 minggu setelah munculnya kacang (Webster et al, 2007).

Pengaruh gulma terhadap tanaman dapat terjadi secara langsung yaitu dalam hal bersaing untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Secara tidak langsung sejumlah gulma merupakan inang dari hama dan penyakit (Moenandir et al, 1996). Daya saing tanaman dengan gulma tidak selalu meningkat dengan penambahan nutrient (Bhaskar dan Vyas, 1988), walaupun respon gulma berbeda terhadap nutrient yang bervariasi (Hoveland et al, 1976,

dalam Ugen et al, 2002). Daya saing kacang dengan gulma terkait dengan indeks luas daun (Wortman, 1993). Indeks luas daun kacang bisa meningkat dengan semakin banyaknya nutrient yang tersedia, walaupun daya saing dari beberapa gulma dan kacang relatif bisa meningkat dibawah kondisi kekurangan nutrient (Ugen, etal, 2002).

Gulma merupakan penyebab kehilangan hasil tanaman budidaya lewat persaingan untuk cahaya, air, nutrisi, COᴤ, ruang dan lain-lannya. Kehilangan hasil tersebut dapat pula didekati dengan membandingkan hasil dari lahan bergulma dan bebas gulma (Munandir, 1993). Tingkat kehilangan hasil tergantung pada alam, tahap intensitas dan durasi persaingan dengan gulma (Bosnic dan Swanton, 1997, Knezevic et al, 2003). Tanpa pengendalian gulma musiman dapat menurunkan produksi kacang sampai 70% (Malik et al, 1993), dengan kehilangan produksi kacang 0.38 kg/ha untuk peningkatan biomassa gulma setiap 1 kg/ha (Chikoye et al, 1995). Kehadiran Bengal Dayflower yang cukup lama dengan kepadatan 10 tanaman/m², menurunkan produksi kapas hingga 40 sampai 60 % di Africa Barat (Ahanchede 1996 dalam Webster et al 2008). Gulma dapat mengakibatkan kerugian pada tanaman jagung (Lafitte, 1994).

Hasil penelitian Murrinie (2010) menyatakan keberadaan gulma dapat menurunkan bobot polong segar kacang tanah di Pati hingga 34,8 % per tanaman (36.6%/ha) dan bobot polong kering 37.4% per tanaman (32.3%/ha) serta menurunkan bobot biji 30.4%/ha.

Pengendalian gulma harus dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Murrinie, 2010).

Periode Kritis

Periode kritis merupakan suatu masa dimana tanaman sangat rentan dengan kehadiran gulma, yang mengakibatkan tanaman tidak dapat memperoleh zat nutrisi sepenuhnya, akibat kehadiran gulma sebagai pesaing. Penentuan periode kritis pengendalian gulma/the critical periode for weed control (CPWC) memperlihatkan pentingnya pengelolaan gulma waktu post emergence, khususnya pada tanaman toleran herbisida (Knezevic et al. 2003). Waktu penyiangan gulma merupakan komponen penting dari manajemen pengendalian gulma terpadu pada sistem produksi tanaman (Portugal dan Vidal, 2009). Penerapan periode kritis akan memaksimalkan efektivitas teknik pengendalian gulma dalam hal manfaat terhadap hasil panen di musim tertentu (Webster et al, 2007).

Bila tanaman bebas gulma selama periode kritisnya diharapkan produktivitasnya tidak terganggu, dengan diketahuinya periode kritis, pengendalian gulma menjadi ekonomis sebab hanya terbatas pada awal periode kritis, tidak harus pada seluruh siklus hidup tanaman (Moenandir, 1996). Persaingan gulma sebelum dan sesudah periode kritis tidak memberi effek yang berarti terhadap produksi tanaman (Monteiro et al, 2011).

Widyatama et al, (2010) dalam penelitiannya membuktikan dengan keberadaan gulma selama 0-4 minggu setelah tanam sudah dapat menurunkan hasil biji kering secara nyata, sedangkan apabila gulma dibiarkan tumbuh setelah umur 4 minggu setelah tanam tidak akan berpengaruh secara nyata terhadap hasil biji kering apabila dibandingkan dengan bebas gulma sampai panen

Hasil Penelitian Irfattongga et al (2011) menunjukkan bahwa perlakuan bebas gulma pada periode kritis untuk kedelai hitam memberikan pengaruh

terhadap hasil. Hasil dari perlakuan bebas gulma pada kedelai hitam, lebih tinggi dibandingkan perlakuan kedelai hitam bergulma. Hasil penelitian menunjukkan periode kritis kedelai hitam berada diantara umur 0-4 minggu.

Pengendalian gulma pada periode kritis untuk tanaman kentang menunjukkan total produksi 95%, artinya persentasi kehilangan hasil sangat sedikit yaitu hanya 5%, dan periode kritis ini diestimasi dari 26-66 dan dari 20-61 hari setelah berkecambah untuk masing-masing musim hujan dan musim kering dan jika pada periode kritis ini tidak dilakukan pengendalian gulma kehilangan produksi kentang bisa mencapai 86% (Monteiro et al, 2011). Pada tahun 2004 periode kritis pengendalian gulma antara 316-607 derajat pertumbuhan, penting untuk menghindari lebih besar dari 5% kehilangan produksi kacang pada interval 8 Juni dan 2 Juli. Pada tahun 2005, periode kritis pengendalian gulma antara 185-547 derajat pertumbuhan atau disebut juga GDD (Growing degree days) pada interval 30 Mei dan 3 Juli. Periode kritis ini tidak terjadi di awal musim tanam dan tidak berlangsung lama (Webster et al, 2007).

Periode kritis pengendalian gulma untuk tanaman bengal dayflower pada kapas tidak dapat diukur. Peneliti sebelumnya telah membuktikan bahwa kultur teknis tanaman seperti pemupukan, jarak tanam dan tanggal penanaman dapat mempengaruhi interaksi tanaman gulma dan durasi dari periode kritis pengendalian gulma (Evans, et al 2003; Knezevic et al. 2003), namun dalam penelitian Webster et al (2009) telah berhasil menemukan periode kritis pengendalian gulma Bengal dayflowers pada tanaman kapas adalah selama dua minggu dengan interval antara 0-12 minggu setelah penanaman. Periode kritis pada tanaman kapas yang ditanaman bulan juni 2004 mulai dari 16 HST selama

52 hari dengan derajat tumbuh 190-800, dengan kehilangan hasil kapas mencapai 40-60%. Dan pada Juni 2005 mulai dari 18 HST selama 59 hari dengan derajat tumbuh 190-910.

Pada hasil penelitian Hendrival et al (2014), memperlihatkan bahwa periode kritis kacang kedelai varietas kipas merah dalam persaingan dengan gulma terjadi pada saat tanaman berumur 2 – 6 minggu setelah tanam.

Hasil penelitian Pertiwi (2012) menunjukkan bahwa periode kritis tanaman kubis bunga saat berumur 14-28 hari setelah tanam, dengan titik kritis pada 21 HST. Kehilangan hasil kubis bunga karena persaingan dengan gulma terbesar pada perlakuan bergulma sepanjang musim tanam adalah 48.05%, sedangkan kehilangan hasil pada waktu periode kritis adalah 16.32 % - 32.98 %. Terjadi pengaruh yang signifikan pada bobot kering gulma dan komponen pertumbuhan kubis bunga akibat persaingan dengan gulma pada kedua perlakuan bergulma dan bebas gulma.

Hasil penelitian Rahayu et al (2003) menemukan bahwa periode kritis tanaman jagung manis dalam persaingan dengan gulma ada pada saat tanaman berumur 21 -28 hari setelah tanam.

Hasil penelitian Meriyanti (2010) terhadap tanaman padi sawah menginformasikan bahwa berdasarkan biomassa tajuk padi hibrida dan hasil gabah kering giling per hektar pada periode bergulma dan periode bersih gulma, maka periode kritis tanaman padi hibrida terhadap persaingan dengan gulma terjadi pada saat 2 MST hingga 6 MST. Implikasinya adalah bahwa gulma pada tanaman padi hibrida harus dikendalikan pada saat 2-6 MST agar kehilangan hasil tanaman padi akibat berkompetisi dengan gulma dapat dihindarkan.

Hasil penelitian Samosir (2010), menunjukkan periode kompetisi gulma

E. crus-galli nyata menurunkan jumlah anakan, jumlah daun, indeks luas daun, bobot kering akar dan tajuk, anakan produktif, biji isi, produksi gabah tanaman padi hibrida. Semakin lama gulma E.crus-galli berkompetisi dengan tanaman padi maka pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi hibrida akan semakin menurun. Semakin lama gulma E.crus-galli hadir di pertanaman padi maka semakin besar penurunan hasil padi. Berdasarkan peubah hasil gabah kering giling padi pada periode bersih gulma E.crus-galli dan bergulma gulma

E.crus-galli, periode kritis tanaman padi hibrida terhadap E.crus-galli terjadi pada umur 4-8 MST.

Kompetisi sebelum atau setelah periode kritis memiliki efek yang dapat diabaikan pada hasil panen (Monteiro et al, 2011)

Menyiang

Untuk mengurangi gulma petani melakukan penyiangan (hand weeding) karena mudah dan murah, selain itu juga ramah lingkungan (Moenandir, 1996), ini merupakan cara pengendalian yang sangat praktis, aman dan efisien dan terutama jika diterapkan pada suatu area yang tidak begitu luas dan di daerah yang cukup banyak tenaga kerja (Widyatama et al, 2010). Penyiangan termasuk pengendalian mekanis secara manual, yaitu dengan cara merusak sebagian atau seluruh gulma sampai terganggu pertumbuhannya atau mati, sehingga tidak mengganggu tanaman .

Efektifitas penyiangan sangat ditentukan oleh ketepatan dalam menetapkan waktu pelaksanaannya (Moenandir, 1996). Pemilihan waktu penyiangan yang tepat akan mengurangi jumlah gulma yang tumbuh serta dapat

mempersingkat masa persaingan. Dalam siklus hidup tumbuhan tidak semua fase pertumbuhan suatu tanaman budidaya peka terhadap kompetisi gulma (Widyatama et al, 2010). Penyiangan yang tepat dilakukan sebelum gulma memasuki fase generatif (Sukman dan Yakup, 1995). Pada awal pertumbuhan belum terjadi kompetisi antara tanaman dengan gulma, namun pengendalian gulma pada periode ini paling efisien dan efektif karena memberi kesempatan pada tanaman budidaya untuk tumbuh dan menguasai ruang tumbuh. Penyiangan dapat menekan pertumbuhan gulma juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah (Moenandir, 1993). Pengendalian gulma yang terlambat satu bulan dapat menurunkan hasil hingga 17% (Lamid, 1984, dalam Nasution et al, 2013).

Penyiangan yang dilakukan dengan tangan terhadap gulma (Parthenium hysterophorus L.) pada hari ke 19-89 dan 45-57 HST menunjukkan manfaat yang lebih tinggi pada produksi tanaman sorgum pada tahun 1999 dan tahun 2000, dimana kehilangan produksi hanya sekitar 10%, namun pada 61-68 HST menunjukkan persaingan yang lebih parah (Tamado et al, 2002). Waktu penyiangan yang tepat pada tanaman kedelai hitam (Glycine max (L.) Merill), cukup dilakukan pada saat tanaman berumur dua dan tiga minggu setelah tanam (Widyatama, et al. 2010).

Waktu penyiangan yang tepat merupakan salah satu aspek budidaya anaman sorgum yang penting. Karena pada awal pertumbuhan sorgum kurang dapat bersaing dengan gulma, karena itu harus diusahakan agar areal tanaman pada saat tanaman masih muda harus bersih dari gulma. ada pengaruh waktu penyiangan tehadap pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum (Tarigan et al, 2013).

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum (Sorgum bicolor L.) berasal dari negara Afrika. Tanaman ini sudah lama dikenal manusia sebagai penghasil pangan, dibudidayakan di daerah kering seperti di Afrika. Sorgum merupakan tanaman sereal yang besar di Ethiopia Timur. Sekitar 44% (149.030 ha) daerah Ethiopia Timur di budidayakan sorgum dan dianggap sebagai sarana utama untuk bertahan hidup bagi manusia di beberapa bagian semi kering Ethiopia Timur di mana seringkali tanaman gagal tumbuh karena rendahnya curah hujan (CSA, 1996). Dari benua Afrika menyebar luas ke daerah tropis dan subtropik. Tanaman ini memiliki adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan, sehingga sorgum menyebar ke seluruh dunia. Negara penghasil utama sorgum adalah Amerika, Argentina, RRC, India, Nigeria dan beberapa Negara Afrika Timur, Yaman dan Australia (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Tanaman sorgum mirip dengan jagung, di Indonesia biji sorgum dikenal sebagai tanaman palawija dengan berbagai nama daerah, antara lain yaitu jagung pari, oncer/cantel (Jawa), gandrung, gandum (Minang kabau), jagung cetrik, degem, kumpay (Sunda), wataru hamu garai.

Uraian Botanis Taksonomi

Tanaman sorgum dapat diklasifikasikan sebagai berikut, kingdom

Monocotyledoneae, ordo Poales, family Graminaceae, genus Sorghum, species

Shorgum bicolor (L.) Moench.

Gambar 1. Tanaman sorgum dan akar

Morfologi

Doggett (1970) dan Huldquist (1973), dalam Goldsworthy dan Fisher (1992) mengatakan bahwa batang sorgum padat. Batang berbentuk silinder mencapai ketinggian sekitar 3-4 m. Diameter batang berkisar antara 1.25 – 6.25 cm. Memiliki empulur yang ada berasa manis. Permukaan batang memuliki lapisan lilin dengan warna hijau ke abu-abuan ( Thakur, 1980).

Gambar 2. Batang sorgum dengan penampang melintang, terlihat empulur pada batang

Daun-daun biasanya terdapat secara berselang dalam dua baris pada sisi-sisi batang yang berlawanan dan masing-masing terdiri atas satu pelepah dan helaian. Pelepah daun membungkus batang dan melekat pada satu buku. Daun-daun yang dewasa (helaian) dapat mencapai 300 mm sampai 1350 mm dengan lebar yang bervariasi dari 15 sampai 150 mm pada bagian yang paling lebar. Pada

spesies-spesies liar, daun dapat sepanjang 300 – 750 mm tetapi biasanya sangat sempit 5-70 mm (Goldsworthy dan Fisher, 1992).

Gambar 3. Daun tanaman sorgum dan daun bendera pada pucuk tanaman membungkus malai

Berbeda dengan jagung, bunga jantan dan betina pada sorgum berada pada ujung malai. Malai terbuka dan relatif tebal. Sekitar 95% bunga sorgum menyerbuk sendiri (Metcalfe dan Elkins, 1980).

Gambar 4. Bunga sorgum mulai dari pembentukan malai hingga menjadi biji

Anatomi biji

Biji berbentuk bola dengan ujung tumpul. Pericarp dan testa menjadi

Dokumen terkait