• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Potensi

Potensi alam dalam kamus Kehutanan RI tahun 1989 adalah mengenai kandungan gejala alam dari suatu kawasan. Menurut Undang-undang (UU) Nomor 9 tahun 1990, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Potensi wisata adalah mengenai kandungan gejala alam dari suatu kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek dan daya tarik suatu perjalanan wisata.

Menurut Prosiding lokakarya wana wisata (1986) dalam Rimbawanti (2003) mengemukakan bahwa potensi wisata secara umum meliputi berbagai kekhasan yaitu:

a. Estetis : keindahan alam, keunikan gejala alam seperti air terjun, kawah, sumber air panas, dan lain-lain serta keindahan untuk lintas alam

b. Biologis : Keanekaragaman dari jenis-jenis flora dan fauna

c. Historis : Keanekaragaman peninggalan sejarah

d. Scientist : Untuk penelitian ilmu pengetahuan

Potensi wisata yang dikemukaan Yoeti (1997) yaitu obyek pariwisata yang dapat dilihat, disaksikan, dilakukan atau dirasakan. Obyek tersebut dapat berupa:

1. Berasal dari alam, dapat dilihat dan disaksikan secara bebas

(pada tempat-tempat tertentu harus bayar untuk masuk, seperti cagar alam, kebun raya, dan lain-lain) seperti: iklim, pemandangan, vegetasi hutan, flora dan fauna, sumber kesehatan.

2. Merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang dapat dilihat, disaksikan, dan dipelajari seperti: monumen dan peninggalan masa lalu, tempat-tempat budaya, dan perayaan-perayaan tradisional.

Ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan. Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekowisata mengintegrasikan kegiatan pariwisata, konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga masyarakat setempat dapat ikut serta menikmati keuntungan dari kegiatan wisata tersebut melalui pengembangan potensi-potensi lokal yang dimiliki (Hadinoto, 1996).

Obyek dan Daya Tarik Wisata

Pariwisata pada saat ini menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya pada sektor kehutanan. Pada sektor kehutanan, ekowisata diharapkan dapat menjadi kegiatan yang paling penting dalam memulihkan kerusakan hutan dan mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Kawasan hutan yang dikelola dengan tujuan ganda akan tercapai bila dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata alam (Fandeli dan Mukhlison, 2000).

Objek dan daya tarik wisata merupakan salah satu unsur penting dalam dunia kepariwisataan. Dimana objek dan daya tarik wisata dapat menyukseskan program pemerintah dalam melestarikan adat dan budaya bangsa sebagai aset yang dapat dijual kepada wisatawan. Objek dan daya tarik wisata dapat berupa alam, budaya, tata hidup dan sebagainya yang memiliki daya tarik dan nilai jual untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh wisatawan. Dalam arti luas, apa saja yang mempunyai daya tarik wisata atau menarik wisatawan dapat disebut sebagai

Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Objek dan daya tarik wisata terdiri atas :

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna

2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum,

peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan

Selanjutnya dijelaskan bahwa pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola, dan membuat objek-objek baru sebagai objek dan daya tarik wisata.

Menurut Hamid (1996) obyek wisata didefenisikan sebagai segala sesuatu yang menarik dan telah dikunjungi wisatawan sedangkan daya tarik adalah segala sesuatu yang menarik namun belum tentu dikunjungi. Daya tarik tersebut masih memerlukan pengelolaan dan pengembangan sehingga menjadi obyek wisata yang mampu menarik kunjungan. Sedangkan Suwantoro (1997) menyatakan bahwa objek wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi dan berdaya tarik bagi wisatawan serta ditujukan untuk pembinaan cinta alam, baik dalam kegiatan alam maupun setelah pembudidayaan. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.

Menurut Wiwoho (1990) daya tarik tersebut antara lain dapat berupa :

1. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat alamiah seperti iklim, pemandangan alam, lingkungan hidup, fauna, flora, kawah, danau, sungai, gua-gua, tebing, lembah dan gunung.

2. Sumber-sumber buatan manusia berupa sisa-sisa peradaban masa lampau, monumen bersejarah, rumah peribadatan, museum, tempat pemakaman dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat manusiawi. Sumber manusiawi melekat pada penduduk dalam bentuk warisan budaya misalnya tarian, sandiwara, drama, upacara adat, upacara penguburan mayat, upacara keagamaan, upacara perkawinan dan lain-lain.

Menurut Siswanto (2006), unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi 5 unsur :

1. Objek dan daya tarik wisata.

Daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.

2. Prasarana wisata.

Prasarana wisata adalah sumberdaya alam dan sumberdaya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan wisata.

3. Sarana wisata.

Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya.

4. Tata laksana/infrastruktur.

Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata, baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah dan dibawah tanah.

5. Masyarakat/lingkungan.

Daerah tujuan wisata yang memiliki berbagai objek dan daya tarik wisata akan mengundang kehadiran wisatawan. Masyarakat di sekitar objek wisatalah yang akan menyambut kehadiran wisatawan tersebut dan sekaligus akan memberikan layanan yang diperlukan oleh para wisatawan.

Menurut MacKinnon et al. (1990), faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah :

1. Letaknya dekat, cukup dekat, atau jauh dengan bandar udara internasional atau pusat kota

2. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit, atau berbahaya

3. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik 4. Kondisi sarana prasarana harus mendukung

5. Kawasan tersebut memiliki beberapa keistimewaan yang berbeda

6. Memiliki tambahan budaya yang sangat menarik serta beberapa atraksi wisata 7. Unik dalam penampilannya

8. Memiliki fasilitas rekreasi pantai atau tepian danau, sungai, air terjun, kolam renang atau tempat rekreasi lainnya.

9. Kawasan cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga menjadi bagian kegiatan wisatawan

10. Sekitar kawasan tersebut memiliki pemandangan indah 11. Keadaan makanan dan akomodasi tersedia

Yoeti (1985) menyatakan bahwa suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata (DTW) yang baik harus mengembangkan 3 hal agar daerah tersebut menarik untuk dikunjungi yakni:

a) Adanya something to see yaitu adanya sesuatu yang menarik untuk dilihat yang dalam hal ini objek wisata yang berbeda dengan tempat-tempat lain (mempunyai keunikan tersendiri)

b) Adanya something to buy yaitu terdapat sesuatu yang menarik untuk dibeli. Dalam hal ini dijadikan cindera mata untuk dibawa pulang ke tempat masing-masing

sehingga di daerah tersebut harus ada fasilitas untuk dapat berbelanja atau shopping yang menyediakan souvenir maupun kerajinan tangan lainnya

c) Adanya something to do yaitu suatu aktivitas yang dapat dilakukan di tempat itu yang dapat membuat orang yang berkunjung merasa betah di tempat tersebut

Analisis Kesiapan Masyarakat

Pendekatan yang dipakai untuk mengkaji analisis kesiapan masyarakat dalam pengembangan secara partisipatif adalah 'Participatory Rural Appraisal' atau PRA. Participatory Rural Appraisal ini adalah sekumpulan teknik dan alat yang mendorong masyarakat desa untuk turut serta meningkatkan dan menganalisa pengetahuannya mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar

mereka dapat membuat rencana dan tindakan. Kajian keadaan pedesaan secara

partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi maupun permasalahannya (Hikmat, 2001).

PRA mengutamakan masyarakat agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dalam kegiatan program pengembangan. PRA terdiri dari sekumpulan teknik atau alat yang dapat dipakai untuk mengkaji keadaan pedesaan. Teknik ini berupa visual (gambar, tabel, bentuk) yang dibuat oleh masyarakat sendiri dan dipergunakan sebagai media diskusi masyarakat tentang keadaan mereka sendiri serta lingkungannya. Beberapa teknik yang terkenal meliputi:

1. Pemetaan kawasan desa

2. Kalender musim

3. Transek (penelusuran desa)

PRA biasanya sudah diawali dengan proses sosialisasi pemberdayaan masyarakat. Kualitas informasi yang digali dengan PRA biasanya tinggi, namun kuantitatif kadang-kadang kurang tepat. Walaupun kita tidak tahu apakah informasi seratus persen benar, yang penting bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran. Untuk itu, dimanfaatkan prinsip triangulasi atau pengecekan kembali dan pemeriksaan ulang. Kajian keadaan pedesaan Partisipatif tahap pertama adalah dalam siklus pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Setelah kajian, masyarakat akan masuk tahap perencanaan kemudian pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi. Setelah itu, mereka lanjutkan dengan ulang mengkaji sebagai dasar untuk rencana baru (Mustafa, 1988).

Pengembangan desa wisata

Perencanaan merupakan proses pembuatan keputusan tentang apa yang harus dikerjakan dimasa depan dan bagaimana melakukannya. Perencanaan harus memperhatikan keadaan sekarang secara realistis dan faktor potensial yang dapat dikembangkan. Perencanaan usaha harus dimulai dengan survei terperinci mengenai sifat dan bentuk pengembangan yang direncanakan terutama dalam hal sumberdaya yang dimiliki (Kusmayadi, 2004).

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2003) menyatakan bahwa secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.

Berdasarkan segi pengelolaannya ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam yang secara ekonomi

berkelanjutan dan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Sumberdaya kawasan pedesaan yang di dalamnya mencakup sumberdaya fisik, sosial dan budaya ternyata dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Seringkali masyarakat pedesaan tidak menyadari bila wilayahnya memiliki nilai lebih yang tidak dimiliki wilayah lainnya (Fauzi, 2004).

Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat pada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar, lebih baik, dan memajukan sesuatu yang lebih awal kepada yang lebih akhir atau dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks. Dari segi kualitatif, pengembangan berfungsi sebagai upaya peningkatan yang meliputi penyempurnaan program ke arah yang lebih baik, di mana hal-hal yang dikembangkan meliputi aktivitas manajemen yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi (Ramly, 2007).

Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam pengembangan pariwisata menurut Dimjati (1999) adalah :

1. Wisatawan (tourist) dengan melakukan penelitian tentang wisatawan sehingga dapat diketahui karakteristik wisatawan yang diharapkan datang.

2. Pengangkutan (transportasi) adalah bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia baik dari negara asal atau angkutan ke obyek wisata.

3. Atraksi/obyek wisata (attraction) mengenai apa yang dilihat, dilakukan dan dibeli di daerah tujuan wisata (DTW) yang dikunjungi.

4. Fasilitas pelayanan (service facilities).

5. Informasi dan promosi (information) yaitu cara-cara promosi yang akan dilakukan baik melalui iklan atau paket yang tersedia.

Desa wisata merupakan suatu bentuk lingkungan permukiman yang sesuai dengan tuntutan wisatawan dalam menikmati, mengenal dan menghayati atau

kegiatan hidup masyarakatnya (mencakup kegiatan hunian, interaksi sosial, kegiatan adat setempat dan sebagainya), sehingga terwujud suatu lingkungan yang harmonis, rekreatif, dan terpadu dengan lingkungannya (Ikaputra, 1985).

Desa wisata merupakan bentuk desa yang memiliki ciri khusus di dalamnya, baik alam dan budaya, serta berpeluang dijadikan komoditi bagi wisatawan. Wujud desa wisata itu sendiri bahwa desa sebagai obyek dan subyek pariwisata. Sebagai objek, merupakan tujuan kegiatan pariwisata, sedangkan sebagai subyek adalah sebagai penyelenggara, apa yang dihasilkan oleh desa akan dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung dan peran aktif masyarakat sangat menentukan kelangsungan desa wisata itu sendiri (Soebagyo, 1991).

Sebagai suatu bentuk struktur dari kegiatan pariwisata, desa wisata erat kaitannya dengan kegiatan tinggal menetap di dalam atau dekat dengan kehidupan masyarakat pedesaan, belajar mengenai desa dan budaya lokal serta cara hidup masyarakat serta seringkali turut berpartisipasi dalam aktivitas pedesaan. Dalam perencanaan dan pengembangan serta pengelolaan masyarakat terlibat secara penuh sehingga dengan demikian diharapkan keuntungan dapat diterima oleh penduduk itu sendiri (Basuki, 1992).

Menurut Romani (2006) tindakan bijaksana dengan memperhatikan kepentingan serta kondisi lingkungan perlu diperhatikan dalam mengembangkan sebuah desa wisata, khususnya di wilayah yang masih memiliki ikatan serta sifat tradisional. Sebagai model dasar pembentukan sebuah desa wisata, harus memperhatikan pemilihan site dalam merencanakan fasilitas yang hendak digunakan. Perlu koordinasi dengan penduduk serta kerjasama antara mereka sendiri untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan serta pemasaran yang efektif. Prinsip penting lainnya dalam pengembangan desa wisata adalah

menomersatukan proses pelibatan penduduk setempat dalam tukar gagasan, tindakan, pengambilan keputusan, dan kontrol dalam mengembangkan kegiatan pariwisata pedesaan. Dengan demikian diharapkan dari kegiatan yang lahir nantinya dapat memberikan kerangka kerja yang simboisis mutualisme, saling menguntungkan antara masyarakat dan wisatawan.

Terdapat beberapa kriteria desa wisata yaitu :

1. Atraksi wisata adalah semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil

ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa

2. Jarak tempuh adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat

tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi

3. Besaran desa biasanya menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah

penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung kepariwisataan pada suatu desa

4. Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan merupakan aspek penting

mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa. Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem kemasyarakatan yang ada (Mukaryanti dan Saraswati, 2005).

Strategi melibatkan peran serta masyarakat dapat dilakukan antara lain dengan:

1. Menginformasikan kepada penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi

bila pariwisata pedesaan masuk ke desa mereka

3. Menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan

4. Meningkatkan pemahaman tentang pariwisata dan dampaknya

5. Mendorong hubungan antar wisatawan dan penduduk setempat

(Ahimsa-putra, dkk, 2000).

Prinsip penting lainnya yang patut diperhatikan dalam pengembangan desa wisata:

1. Mengembangkan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta

pelayanannya yang dekat atau di dalam desa itu sendiri

2. Fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk,

secara individu atau bekerjasama

3. Pengembangan yang didasarkan kepada sifat budaya tradisional suatu desa

(human life) atau sifat atraksi yang dekat dengan alam (nature based).

Untuk itu pada beberapa wilayah pedesaan yang telah menjadi bagian dari kegiatan wisata desa perlu diupayakan peningkatan aspek yang telah disebutkan di atas, yakni aspek fisik, sosial dan budaya serta kelembagaannya agar dapat menjadi desa-desa wisata (Ahimsa-Putra, 2000).

Kondisi Kawasan Wisata Danau Linting

Kawasan Danau Linting merupakan danau vulkanik yang sangat indah dan unik memiliki luas permukaan danau sekitar 5.512 m² dengan total luas kawasan lebih kurang 3 hektar. Dibandingkan dengan Danau Toba yang sudah terkenal sebagai icon wisata Sumatera Utara, masih banyak orang yang belum mengenal pesona Danau Linting. Selain danau yang indah, disekitar danau terdapat pohon-pohon besar yang rimbun sehingga menghadirkan landscape yang sangat menarik. Jarak Danau Linting dari Medan sekitar 49 km dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama 1 jam 45 menit. Salah satu

kendala orang untuk mengunjungi danau ini adalah kondisi jalan menuju lokasi yang masih kurang baik dan transportasi yang kurang lancar.

Secara administratif Danau Linting berada di Desa Sibunga-bunga Hilir, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menetapkan kawasan Danau Linting ini sebagai kawasan wisata melalui Surat Keputusan Bupati Deli Serdang Nomor 556/272/DS/Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Wisata Danau Linting di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Dalam surat keputusan bupati tersebut, radius 100 meter dari pinggir danau dinyatakan sebagai kawasan lokasi wisata. Meskipun sudah ditetapkan sebagai kawasan wisata, namun Danau Linting baru dikelola secara serius oleh Perangkat Desa Sibunga-bunga terhitung sejak awal September baru-baru ini.

Danau Linting memiliki keunikan dengan warna air hijau kebiru-biruan, airnya yang terasa panas, dan mengandung belerang. Secara geologis, kawasan Danau Linting memiliki struktur batuan kapur dengan semburan air panas sebagai hasil dari proses geothermal. Pada hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional, Danau Linting banyak dikunjungi pengunjung lokal khususnya dari daerah Medan dan sekitarnya. Masyarakat di luar Desa Sibunga-bunga Hilir ternyata sudah banyak yang mengetahui keberadaan lokasi ini. Dari sisi pemasaran, adanya pengunjung yang rutin datang pada hari libur menunjukkan bahwa Danau Linting cukup marketable dan akan cukup menjanjikan apabila dikelola secara professional.

Melihat dari karakteristik Danau Linting, sepertinya danau ini dulunya adalah sebuah kawah atau retakan dari peristiwa vulkanik. Hal ini dilihat dari beberapa hal yang bisa ditemui di danau ini seperti kandungan belerangnya yang cukup tinggi, serta kedalamannya yang masih menjadi misteri hingga saat ini.

Berdasarkan hasil penelusuran melalui google earth, kawasan Danau Linting yang terletak di desa Sibunga-bunga Hilir Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu

secara geografis berada pada koordinat 3º13’46,10’’LU dan 98º43’34,15’’BT. Kawasan yang berbatasan langsung dengan Danau Linting adalah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Durian IV Mbelang b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Simalungun c. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Rumah Rih d. Sebelah barat berbatasan dengan desa Rumah Rih

Pihak Kecamatan STM Hulu memposisikan Danau Linting dengan mengintegrasikan pengelolaan kawasan bersama desa-desa yang memiliki lahan pertanian yang berbatasan langsung dengan Danau Linting khususnya yang berasal dari ketiga desa tersebut agar tidak memasuki kawasan dalam radius 100 meter dari bibir danau (Depbudpar,2011).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Suwantoro (2002) mengemukakan bahwa wisata alam adalah bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan tata lingkungan. Wisata alam meliputi obyek dan kegiatan yang berkaitan dengan rekreasi dan pariwisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan ekosistemnya, baik dalam bentuk asli (alami) maupun perpaduan dengan buatan manusia. Akibatnya tempat-tempat rekreasi di alam terbuka yang sifatnya masih alami dan dapat memberikan kenyamanan sehingga semakin banyak dikunjungi orang (wisatawan).

Adanya potensi alam, flora dan fauna, keindahan alam, keunikan budaya, bahasa, latar belakang sejarah, dan keramahan penduduk lokal merupakan daya tarik dari obyek wisata untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Untuk pengembangan potensi alam di Provinsi Sumatera Utara yang belum dikelola sebagai obyek wisata dan obyek wisata yang pengelolaannya belum intensif diperlukan rencana pengembangannya. Disadari bahwa dengan adanya beberapa kendala seperti keterbatasan dana, tenaga, sarana, dan prasarana menyebabkan pengembangan kawasan pelestarian alam sebagai obyek wisata serta pengembangan obyek wisata yang belum intensif tidak dapat dilaksanakan sekaligus.

Salah satu kawasan wisata yang menarik adalah Danau Linting yang berada di daerah puncak bukit kecil di desa Sibunga-bunga Hilir, Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu, kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Kawasan Danau Linting yang meliputi luas areal kurang lebih 3 Ha termasuk radius 100 meter dari pinggir danau telah ditunjuk menjadi kawasan lokasi wisata sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah

Tingkat II Deli Serdang Nomor 556/272/DS/Tahun 1999. Secara administrasif kawasan wisata ini terletak di desa Sibunga-bunga Kabupaten Deli Serdang. Danau Linting ini memiliki potensi kepariwisataan yang sangat tinggi berupa kombinasi antara alam yang berbukit dengan danau yang berair biru. Kondisi ini menciptakan panorama alam yang sangat indah dan menarik dengan keadaan yang sejuk.

Kawasan Danau Linting yang memiliki potensi wisata yang cukup menjanjikan, ternyata belum dikelola secara serius oleh pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang. Padahal melalui SK Nomor 556/272/DS/Tahun 1999, kawasan ini ditetapkan menjadi obyek wisata dan telah dikunjungi oleh wisatawan khususnya dari lokal. Beberapa bukti di lapangan yang menunjukkan sisa pengelolaan obyek wisata ini tampak dari jalur trekking di sekitar danau yang sudah tidak terawat lagi. Potensi wisatawan yang datang berkunjung, belum benar-benar digarap secara serius, sehingga tidak berdampak pada perkembangan wilayah secara minimnya kontribusi ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah lokal.

Terlepas dari alasan pemerintah tidak mengelola potensi pariwisata di kawasan Danau Linting karena masalah aksesibilitas dan kondisi jalan, pemerintah daerah juga masih terlihat masih kurang mendorong pihak investor untuk menanamkan modalnya di

Dokumen terkait