• Tidak ada hasil yang ditemukan

Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

Gambar 2. Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Keterangan:

Menurut Mintardjo, et al (1985), klasifikasi Udang Vannamei adalah sebagai berikut:

Spesies : Litopenaeus vannamei

7 6

7

Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan spesies introduksi yang dibudidayakan di Indonesia. Udang putih yang berasal dari perairan Amerika Tengah. Negara-negara di Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil dan Meksiko sudah lama membudidayakan jenis udang yang dikenal juga dengan pasific white shrimp. Udang Vannamei secara resmi diperkenalkan pada masyarakat pembudidaya pada tahun 2001 setelah menurunnya produksi udang windu (Penaeus monodon) karena berbagai masalah yang dihadapi dalam proses produksi, baik masalah teknis maupun non teknis.

Spesies ini relatif mudah untuk berkembang biak dan dibudidayakan, maka udang putih menjadi salah satu spesies andalan dalam budidaya udang di beberapa negara dunia (Nurlaila, 2016).

Udang Vanamei memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan udang windu, yaitu dapat dipelihara dengan kisaran salinitas yang lebar (0,5-45 ppt), dapat ditebar dengan kepadatan yang tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2 , lebih resisten terhadap kualitas lingkungan yang rendah, dan waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus. Udang Vanamei yang dipelihara pada air laut memiliki kandungan protein yang tinggi, rendah kadar air sehingga membuat tekstur daging udang lebih padat, dan ekstrak dari udang yang dibudidaya pada air laut memiliki kandungan umami yang tinggi membuat rasa udang menjadi lebih gurih, memiliki rasa yang manis dan tidak mengandung off-flavor. Selain rasa, kandungan nutrien udang ini lebih baik dibandingkan udang air tawar atau payau serta memiliki pasar yang bagus, baik domestik maupun ekspor dengan harga dua kali lipat dibandingkan udang air tawar atau payau (Fendjalang, 2016).

Udang Vannamei karakteristik spesifik seperti mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas, mampu beradaptasi terhadap lingkungan bersuhu rendah, dan memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Udang Vanamei memiliki nafsu makan yang tinggi dan dapat memanfaatkan pakan dengan kadar protein rendah, sehingga pada sistem budidaya dengan pola semi intensif biaya pada pakan dapat diminimalisir. Dengan keunggulan yang dapat dimiliki tersebut, jenis udang ini sangat potensial dan prospektif untuk dibudidayakan (Riani, 2012).

Secara garis besar morfologi Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) terdiri dari dua bagian utama yaitu kepala (cephalothorax) dan perut (abdomen).

Pada kepala Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) dibungkus oleh lapisan kitin yang berfungsi sebagai pelindung, terdiri 10 dari antennulae, antenna,

mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan lima

pasang kaki jalan (peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda) (Nadhif, 2016).

Udang Vannamei dapat mengalami proses Molting yang merupakan proses pergantian cangkang saat udang dalam masa pertumbuhan. Pada fase ini, ukuran daging udang bertambah besar sementara cangkang luar tidak bertambah besar, sehingga untuk penyesuaiannya udang akan melepaskan cangkang lama dan membentuk kembali cangkang baru dengan bantuan kalsium. Sedangkan karapas baru yang tumbuh pada saat pertama setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran tubuh udang. Proses molting ini menghasilkan peningkatan ukuran tubuh dan bersifat periodik. Tekanan osmotik juga berhubungan dengan proses molting, hal ini menjadikan tubuhnya banyak menyerap air dari lingkungan sehingga membesar dan merangsang udang

9

untuk molting. Tubuh akan bertambah besar, kemudian mengalami pengerasan cangkang. Setelah cangkang luarnya keras, ukuran tubuh udang tetap sampai pada siklus molting berikutnya (Putra, 2016).

Habitat Udang Vanamei usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai. Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang menunjukkan tingkat usai. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5 tahun. Pada waktu musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya atau calon spawner berbondong-bondong ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50 meter untuk melakukan perkawinan. Udang dewasa biasanya berkelompok dan melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang (Nadhif, 2016).

Parasit Udang

Parasit adalah organisme yang hidupnya dapat menyesuaikan diri dan merugikan organisme lain yang ditempatinya (inang) dan menyebabkan penyakit.

Parasit merugikan inang tersebut karena mengambil nutrient dari inang yang dapat menyebabkan kematian. Parasit akan memilih lokasi penempelan sebaik mungkin di tubuh biota. Berdasarkan lokasi penempelannya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit, mesoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di kulit, insang, dan bagian permukaan luar tubuh dan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam sel organ. Mesoparasit adalah parasit yang hidupnya diantara ektoparasit dan endoparasit. Mesoparasit dapat ditemukan di kolon usus atau rongga tubuh lainnya (Ali et al., 2014).

Menurut Usman (2007), Faktor non biotik yang dapat merugikan biota air, sering juga disebut sebagai faktor non parasiter, terdiri beberapa faktor, antara lain:

a. Faktor lingkungan; Diantara faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan udang ialah pH air yang terlalu tinggi atau rendah, kandungan oksigen yang rendah, temperatur yang berubah secara tiba-tiba, adanya gas beracun serta kandungan racun yang berada di dalam air yang berasal dari pestisida, pupuk, limbah pabrik , limbah rumah tangga dan lain-lain.

b. Pakan. Penyakit dapat timbul karena kualitas pakan yang diberikan tidak baik.

Gizi rendah, kurang vitamin, busuk atau telalu lama disimpan serta pemberian pakan yang tidak tepat.

c. Turunan. Penyakit turunan atau genetis dapat berupa bentuk tubuh yang tidak normal dan pertumbuhan yang lambat

Penyakit parasit suatu penyakit yang disebabkan karena adanya aktivitas organisme parasit yang bersifat patogenik. Penyakit parasit udang yang disebabkan agen patogenik yang sering dijumpai di Indonesia terutama dari ektoparasit. Parasit udang dapat masuk ke dalam kolam selain terbawa oleh air, juga oleh tumbuh-tumbuhan, benda-benda, binatang renik yang lazim sebagai makanan alami udang. Parasit hanya dapat hidup apabila di dalam perairan terdapat udang sebagai inangnya (Riwidiharso, 2015).

Agen penyebab penyakit infeksius dapat disebabkan oleh organisme patogen dari golongan bakteri, parasit, jamur dan virus. Patogen parasitic jarang mengakibatkan wabah penyakit yang sporadis, namun pada intensitas penyerangan yang tinggi dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan

11

karena dapat mengakibatkan kematian. Di samping itu, infeksi parasit juga dapat menurunkan bobot, serta menurunkan ketahanan tubuh udang dan akan dimanfaatkan sebagai port of entry bagi penginfeksi sekunder oleh pathogen lain seperti jamur dan bakteri (Sumiati dan Yani, 2010).

Perbedaan antara ektoparasit dan endoparasit adalah kemampuan kontak langsung dengan lingkungan eksternal sedangkan endoparasit tidak. Ektoparasit lebih bebas berpindah dari suatu inang ke inang yang lain sehingga potensi penyebarannya lebih besar dalam suatu perairan tertutup. Endoparasit merupakan parasit yang dapat hidup di dalam tubuh inang, mengambil makanan dari inang

tersebut, sedangkan ektoparasit hidup di bagian luar dari inang.

(Ali et al., 2014).

Ektoparasit yang sering ditemukan pada Udang Vanamei adalah Zoothamnium sp dan Epistylis sp yang banyak menginfestasi seluruh permukaan tubuh dan insang (Farras, 2017).

Zoothamnium sp

Zoothamnium sp merupakan parasit bersifat ektoparasit yang dapat menyebabkan penyakit zoothamniosis pada udang vannamei. Tubuh terdiri dari zooid dan pedicle. Zooid berbentuk seperti kerucut hampir membulat. Diameter bagian antrior dan posterior lebih kecil dari pada bagian dorsal dan ventral. Parasit ini sering membentuk koloni yang tersusun pada tangkai yang bercabang-cabang namun bersifat "contractile", dari pembelahan menghasilkan "telotroch" yang merupakan fase berenang bebas (Putra, 2016).

Zoothamnium sp. merupakan salah satu jenis parasit yang sering menginfeksi Udang Vannamei jenis ini di temukan melekat pada permukaan

tubuh dan insang Udang Vannamei. Zoothamnium sp. merupakan ciliata yang hidup normal pada perairan berkualitas rendah sehingga meskipun kualitas perairan baik, parasit ini tetap bisa tumbuh (Nurlaila, 2016).

Zoothamnium sp menyerang udang pada semua stadia mulai dari telur, larva, juvenil dan dewasa pada kondisi perairan dengan oksigen terlarut rendah.

Protozoa ini menyerang pada permukaan tubuh, kaki renang, kaki jalan, rostrum dan insang. Organ yang terserang akan terlihat seperti diselaputi benda asing berwarna putih kecoklatan. Bila terjadi infeksi berat, penempelan ini menyebar ke seluruh permukaan tubuh sehingga disebut penyakit “udang berjaket“. Serangan protozoa tersebut mengakibatkan udang sulit bernafas, malas bergerak dan mencari makan (Putra, 2016).

Epistylis sp

Epistylis sp termasuk protozoa berukuran kecil dan memiliki tangkai, hidup berkoloni dan terdapat 2-5 zooid dalam satu tangkai, ektoparasit parasit ini dapat hidup secara berkoloni sehingg perumbuhannya lebih cepat daripada jenis parasit lainnya. Serta parasit ini dapat menyerang bagian luar tubuh Udang Vannamei (Farras,2017).

Epistylis sp hidup dalam bentuk koloni bertangkai yang tidak berkontraktil, mempunyai makronukleus kecil. Bentuk tubuhnya seperti lonceng namun lebih ramping dan mempunyai cilia pada membran adoral. Sel mampu

berkontraksi. Capsilia kecil berpasangan mengandung benang melingkar.

Epistylis sp adalah filter feeder dan merupakan ektoparasit pada udang dan predileksinya pada kulit dan insang (Putra, 2016).

13

Vorticella sp

Vorticella sp termasuk parasit yang menyerang bagian kerapaks, kaki renang, insang dan ekor Udang Vannamei, dengan ciri-ciri memiliki tangkai yang bersifat kontraktil, soliter yang berwarna kekuningan. Sehingga jenis parasit ini bersifat soliter sehingga perkembangan biakan relatif lambat. Umumnya parasit ini terdapat pada luar tubuh Udang Vannamei (Nurlaila, 2016).

Vorticella sp yang ditemukan berbentuk seperti lonceng, berwarna kekuning-kuningan, memiliki contracted cell, macronucleus, adoral membrane dan tangkai yang panjang. Tangkai pada ektoparasit ini akan memendek dan menggulung ketika distimulasi dengan gerakan. Pergerakan ektoparasit ini menyerupai Carchesium sp dimana tangkai pada Vorticella sp dapat memendek dan menggulung. Adanya pergerakan tersebut maka memungkinkan Vorticella sp. untuk berpindah tempat. Perairan bersubstrat dengan kandungan bahan organik tinggi sangat mendukung bagi kehidupan Vorticella sp (Setiyaningsih, 2014).

Prevalensi

Untuk mengetahui tingkat infeksi/serangan parasit dalam populasi inang dikenal istilah prevalensi, intensitas dan kelimpahan parasit. Prevalensi menggambarkan persentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan, intensitas menggambarkan jumlah parasit tertentu yang ditemukan pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi, sedangkan kelimpahan rata-rata adalah jumlah rata-rata parasit tertentu yang ditemukan dalam populasi pada ikan baik yang terinfeksi maupun tidak (Yuliartati, 2011).

Prevalensi adalah bagian dari studi epidemologi yang membawa pengertian jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu tempo waktu dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal. Prevalensi sepadan dengan insidensi dan tanpa insidensi penyakit maka tidak akan ada prevalensi penyakit. Insidensi merupakan jumlah kasus baru suatu penyakit yang muncul dalam satu priode waktu dibandingkan dengan unit populasi tertentu dalam periode tertentu. Insidensi memberitahukan tentang kejadian kasus baru. Prevalensi memberitahukan tentang derajat penyakit yang berlangsung dalam populasi pada satu titik waktu (Timmreck, 2001).

Perkembangan penyakit parasit ini perlu di pantau setiap saat, sehingga wabah penyakit yang besar dapat dihindari. Untuk memonitor populasi suatu parasit pada ikan dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi parasit yaitu dengan cara menghitung prevalensi dan derajat infeksi. Prevalensi adalah presentasi ikan yang terserang parasit atau proporsi dari organisme-organisme dalam keseluruhan populasi yang ditemukan terjadi pada ikan pada waktu tertentu dengan mengabaikan kapan mereka terjangkit (Muntalim, 2014).

Kualitas Air

Kualitas air merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya Udang Vannamei, sehingga apabila tidak memenuhi persyaratan maka air tersebut akan menjadi sumber penyakit yang berbahaya. Oleh karena itu perlu dijaga kondisi kualitas air yang optimum bagi Udang Vannamei sehingga udang akan selalu

sehat dan tidak stres serta tidak mudah terserang penyakit maupun parasit (Farras, 2017).

Suhu

15

Suhu air selalu naik dan turun sepanjang hari sesuai dengan suhu udara atau terik matahari di hari itu. Pada kolam budidaya yang dalam, (lebih dari 1 m) sering terjadi suhu air di lapisan permukaaan di siang hari yang panas menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan suhu air di lapisan bawah. Perbedaan suhu lebih dari 2oC kurang baik untuk kehidupan udang. Suhu mempengaruhi kondisi metabolisme organisme (Santosa, 2013).

Suhu air dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan, morfologi, reproduksi, tingkah laku, dan metabolisme biota air. Disamping itu suhu juga berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas, kecepatan reaksi unsur dan senyawa yang terkandung dalam air. Suhu perairan berkaitan erat pula dengan faktor lain seperti halnya kandungan oksigen terlarut dan aktivitas bakteri pengurai. Suhu yang tinggi akan menyebabkan salinitas air meningkat, karena terjadi pengentalan akibat penguapan (Suwoyo, 2011).

Pada suhu di bawah 25oC pertumbuhan udang mulai menurun. Suhu air yang sesuai akan meningkatkan aktivitas udang untuk makan, sehingga menjadikan udang cepat tumbuh besar. Suhu yan terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian udang. Demikian juga jika tejadi perubahan suhu secara drastis naik maupun turun juga akan menimbulkan kematian udang.

Keadaan suhu berpengaruh terhadap keadaan oksigen terlarut dalam air. Semakin tinggi suhu air semakin rendah kadar oksigen terlarut dalam air (Santosa, 2013).

Derajat Keasaman (pH)

Perubahan pH air dipengaruhi oleh sifat tanahnya. Tanah yang mengandung pirite menyebabkan pH air asam antara pH 3 – 4. Umumnya, pH air pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Penyebabnya yaitu adanya kegiatan

fotosintesis oleh pakan alami, seperti fitoplankton yang menyerap CO2. Sebaliknya, pada pagi hari, CO2 melimpah sebagai hasil pernapasan ikan. Nilai pH air dapat menurun karena proses respirasi dan pembusukan zat – zat organik.

Nilai pH rendah tersebut dapat menurunkan pH darah udang yang disebut proses acidosi sehingga fungsi darah untuk mengangkut oksigen-oksigen juga menurun (Suwoyo, 2011).

Kisaran derajat keasaman air yang cocok untuk budidaya udang adalah berkisar antara 6,6 –8,5 dan yang ideal adalah 6,6 –7,5. Derajat keasaman air juga berpengaruh terhadap pertumbuhan udang. Derajat keasaman yang sangat rendah dapat menyebabkan kematian udang. Demikian pula dengan derajat keasaman yang sangat tinggi juga dapat menyebabkan pertumbuhan udang terhambat.

Derajat keasaman berpengaruh terhadap kesuburan kehidupan jasad renik sebagai makanan udang di dalam tambak (Santosa, 2013).

Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme. Sumber oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung dipermukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasu garam (Sembiring, 2008).

Oksigen terlarut dalam air sangat berpengaruh terhadap aktivitas udang, seperti aktivitas berenang, pertumbuhan, reproduksi dan lainnya. Oksigen sangat diperlukan untuk pernafasan dan metabolism organisem perairan. Kandungan

17

organisme yang tidak mencukupi kebutuhan udang dan biota air dapat menyebabkan penurunan daya hidup udang. konsentrasi oksigen yang rendah di bawah 4 ppm, udang masih mampu bertahan hidup, tetapi nafsu makan udang menurun sehingga pertumbuhan udang akan menjadi pertumbuhan lamban (Santosa, 2013).

Pada malam hari fitoplankton akan menyerap oksigen telarut. Bila fitoplankton sangat pekat, oksigen yang diserap sangat banyak sehingga udang kehabisan oksigen di malam hari. Maka berdasarkan standar baku mutu PP No.82 Tahun 2001 (kelas II), tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air. Kisaran oksigen terlarut untuk kegiatan budidaya udang yaitu >

4mg/DO>5 mg/L sangat baik untuk kelangsungan kegiatan budidaya udang, sebab hasil yang didapatkan dalam penelitian masih berada diatas baku mutu kualitas air (Frasawi dkk, 2015).

Salinitas

Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Satuan salinitas adalah permil (‰), yaitu jumlah berat total (gram) material padat seperti NaCl yang terkandung dalam 1000 gram air laut. Tujuh ion utama yang berkontribusi terhadap salinitas adalah sodium, potasium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat dan bikarbonat. Salinitas merupakan bagian dari sifat fisik kimia suatu perairan selain suhu, pH, oksigen terlarut dan substrat. Salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi dan topografi pada suatu perairan.

Akibatnya salinitas suatu perairan dapat sama atau berbeda dengan perairan lainnya. Kisaran salinitas air laut adalah 30-35‰, estuari 5-35‰ dan air tawar 0,5-5‰. Salinitas suatu kawasan menentukan dominansi makhluk hidup pada

daerah tersebut yang terkait dengan tingkat toleransi spesies tersebut terhadap salinitas yang ada. (Astuti, 2017).

Salinitas perairan menggambarkan kandungan garam dalam suatu perairan dan besarannya dinyatakan dalam permil. Fluktuasi salinitas merupakan kondisi yang umum terjadi di daerah estuary. Bercampurnya massa air laut dengan air tawar menjadikan wilayah estuari memiliki keunikan tersendiri, yaitu dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi. Salinitas mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antara lain aspek laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikonsumsi, nilai konversi makanan, dan daya kelangsungan hidup (Amri, 2018).

Fosfat (PO4)

Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalm bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat.di perairan, bentuk unsure fosfor berubah secara terus menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis anara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem erairan (Effendi, 2003).

Kandungan fosfat dan nitrat secara alamiah berasal dari perairan itu sendiri yaitu melalui proses-proses penguraian, pelapukan ataupun dekomposisi tumbuh-tumbuhan dan sisa-sisa organisme mati. Selain itu juga tergantung pada keadaan

19

sekeliling diantaranya sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan, seperti buangan limbah ataupun sisa pakan dengan adanya bakteri terurai menjadi zat hara dan dalam proses penguraiannya banyak membutuhkan oksigen (Patty, 2015).

Amonia (NH3N)

Amonia merupakan sisa proses metabolisme organisme budidaya.

Amonium (NH4+

) bersifat non toksik, sedangkan yang berbentuk tak terionisasi (NH3) bersifat sangat toksik. Konsentrasi NH3 dipengaruhi atau ditentukan oleh pH dan suhu perairan. Melalui proses nitrifikasi, ammonia akan dioksidasi oleh bakteri menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Sebaliknya melalui proses dinitrifikasi nitrat akan direduksi oleh bakteri oleh bakteri menjadi nitrit dan dari nitrit menjadi ammonia atau N2 (Affandi dan Usman, 2002).

Masalah ekskresi ammonia pada ikan adalah dalam pergerakan ammonia dari insang ke air diluar tubuh ikan. NH3 akan terdifusi dengan cepat dari insang ke laju kecepatannya tergantung kepada pH air. Pada saat ph air meningkat, konsentrasi NH3 epithelium insang sulit. Jika Kandungan N tinggi bakteri nitrifikasi terhambat aktifitasnya dalam merombak ammonia menjadi nitrat, sehingga terjadi penimbunan ammonia (Tuwo, 2011).

Unsur Amonia dalam perairan terjadi karena hasil ekresi ikan dan juga terjadi kerena pembusukan sisa makanan dalam kolam. Ammonia dijumpai dalam air dalam bentuk ammonia bebas (NH3) dan ammonia bebas ternyata lebih toxic bagi ikan, terutama terhadap insang dan alat pernafasan. Ammonia dapat menempel pada lapisan mucus atau lendir, terutama pada insang dan usus juga merusaknya, Hal ini dapat menimbulkan pendarahan dan kerusakan pada

organ-organ bagian dalam. Kombinasi ammonia bebas dan ammonia terionisasi sangat tergantung pada nilai pH dan suhu air. Semakin tinggi pH semakin tinggi kandungan pH dalam air (Kordi, 2004).

Nitrat (NO3)

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrient utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi ntrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob (Effendi, 2003).

Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrient. Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/1, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar 0.2 mg/1 maka akan mengakibatkan eutrofikasi (Ira, 2013).

21

Dokumen terkait