• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morfologi dan Sistematika Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea brasiliensis

yang berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama bahan tanaman karet alam dunia (Penebar Swadaya, 2006).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks (Wikipedia, 2008) .

Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing. Tepinya rata dan gundul (Wikipedia, 2008).

Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi jumlah biji biasanya ada tiga kadang enam sesuai dengan jumlah ruang. Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warnaya coklat kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas. Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Wikipedia, 2008)

Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang terdapat dalam malai payung tambahan yang jarang. Pada ujungnya terdapat lima taju yang

sempit. Panjang tenda bunga 4-8 mm. Bunga betina berambut vilt. Ukurannya lebih besar sedikit dari yang jantan dan mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahib dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan memiliki sepuluh benang sari yang tersusun menjadi satu tiang. Kepala sari terbagi dalam 2 karangan, tersusun satu lebih tinggi dari yang lainnya. Paling ujung adalah bakal buah yang tidak tumbuh sempurna (Penebar Swadaya, 2006).

Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai enam ruang. Garis tengah buah 3-5 cm. Bila buah sudah masak, maka akan pecah dengan sendirinya. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Jadi, jumlahnya biasanya tiga, kadang enam sesuai dengan jumlah ruang (Penebar Swadaya, 2006).

Sesuai dengan sifat dikotilnya, akar tanaman karet merupakan akar tunggang. Akar ini mamapu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi dan besar (Penebar Swadaya, 2006).

Sistematika tanaman karet menurut Nazarudin dan Paimin (2006) dalam Wikipedia (2008) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Gambar 1. Tegakan Karet (Hevea brasiliensis) di Desa Togur Kecamatan Dolok Silau Kabupaten Simalungun.

Persyaratan Tempat Tumbuh Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Agar tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan lateks yang optimal, maka harus diperhatikan syarat-syarat lingkunagn yang diinginkan oleh tanaman ini. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang diinginkan yang cocok akan menunjang pertumbuhan (Penebar Swadaya, 2006).

Pada dasarnya tanaman karet memerlukan persyaratan terhadap kondisi iklim untuk menunjang pertumbuhan dan keadaan tanah sebagai media

tumbuhnya. Menurut Nazarudin dan Paimin (2006) dalam Wikipedia (2008),

sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, terutama Brazil yang beriklim tropis, maka karet juga cocok ditanam di daerah-daerah tropis lainnya. Adapun persyaratan tumbuh tanaman karet adalah :

1). Iklim

Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 15o LS

dan 15o LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga

2). Curah hujan

Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai

4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai dengan 150 HH/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan

berkurang.

3). Tinggi tempat

Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet. Suhu optimal diperlukan berkisar antara 250C sampai 350C.

4). Angin

Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk penanaman karet.

5). Tanah

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya.

Berbagai jenis tanah sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut <2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, solum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya cukup

subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3,0 - pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH 3,0 dan pH >8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain: solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas, aerase dan drainase cukup, tekstur tanah remah, porous dan dapat menahan air, struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir, tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm, kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro, reaksi tanah dengan pH 4,5-pH 6,5, kemiringan tanah <16% dan permukaan air tanah <100 cm.

Daur Hidrologi

Daur hidrologi adalah suatu pola perdauran yang umum yang terdiri dari susunan gerakan-gerakan air yang rumit dan juga transformasinya. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai air yang mengalir dari atmosfer ke daratan, ke laut sampai pada atmosfer kembali (Lee, 1990).

Konsep dasar daur hidrologi merupakan sesuatu yang berguna sebagai titik awal untuk mempelajari hidrologi secara akademis. Daur ini dimulai dengan penguapan air laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi bergerak kearah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di tempat ia jatuh, dan akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi), dan transpirasi oleh tanaman (Linsley danFranzini, 1989).

Tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena adanya perbedaan presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim dan juga dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Sirkulasi udara ini dipengaruhi oleh situasi meteorologi (suhu, tekanan atmosfer, angin, dan lain-lain) dan kondisi topografi. Air permukaan tanah dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi adalah air yang terdapat dalam proses sirkulasi ini. Jadi, jika sirkulasi ini tidak merata maka akan terjadi bermacam-macam kesulitan (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Infiltrasi

Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses masuknya air ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah keadaan jenuh pada lapisan tanah bagian atas terlampaui, sebagian dari air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal dengan proses perkolasi. Laju maksimal gerakan air masuk ke dalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya, apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Asdak, 1995).

Menurut Sri Harto (1993), proses infiltrasi adalah bagian yang sangat penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran di sungai. Dengan adanya proses infiltrasi maka dapat mengurangi terjadinya banjir, mengurangi terjadinya erosi tanah. Selain itu kegunaan dari infiltrasi adalah memenuhi kebutuhan tanaman dan vegetasi akan air, mengisi

kembali reservoir tanah dan menyediakan aliran sungai pada saat musim kemarau (Seyhan, 1990).

Proses Terjadinya Infiltrasi

Ketika air hujan menyentuh permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses masuknya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir tegak lurus ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi yang lain, gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah dan ke arah horizontal. Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relatif kecil (USDA Natural Resouces Conservation Service, 1998). Dapat dikatakan bahwa, proses infiltrasi melibatkan tiga proses yang saling tidak tergantung satu sama lain, yaitu (1) proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, (2) tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah, (3) proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping, dan atas).

Meskipun tidak saling tergantung, ketiga proses tersebut saling terkait. Besarnya laju infiltrasi pada tanah tidak bervegetasi tidak akan pernah melebihi laju intensitas hujan (Asdak, 1995).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Infiltrasi

Proses infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan unsur organik, jenis dan kedalaman serasah, dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya (Asdak, 1995).

Dalam beberapa hal tertentu, infiltrasi dapat berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi maksimum setiap tanah bersangkutan (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Setiap jenis tanah mempunyai karakteristik laju infiltrasi yang berbeda-beda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang

berbeda pula. Makin padat suatu tanah, maka semakin kecil laju infiltrasinya (Sri Harto, 1993). Menurut Asdak (1995), Tanah dengan pori-pori jenuh air

mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil dibandingkan tanah dalam keadaan kering.

Besarnya kelembaban tanah pada lapisan teratas sangat mempengaruhi laju infiltrasi. Potensial kapiler bagian bawah lapisan tanah yang menjadi kering (oleh evaporasi) kurang dari kapasitas menahan air normal akan meningkat jika lapisan teratas dibasahi oleh curah hujan. Peningkatan potensial kapiler ini,

bersama-sama dengan gravitasi akan mempercepat infiltrasi

Menurut Sri Harto (1993), kelembaban tanah yang selalu berubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, laju infiltrasi dalam tanah tersebut semakin kecil. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa kalau dalam satu jenis tanah terjadi infiltrasi, infiltrasinya makin lama makin kecil.

Pengaruh tanaman diatas permukaan tanah menurut Sri Harto (1993), ada dua yaitu berfungsi menghambat aliran air dipermukaan sehingga kesempatan berinfiltrasi besar, sedangkan yang kedua sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan tanah. Sehingga makin baik penutupan tanah, maka laju infiltrasi cenderung lebih tinggi.

Jika permukaan tanah tertutup oleh pohon-pohon dan rumput-rumputan maka infiltrasi dapat dipercepat. Tumbuh-tumbuhan bukan hanya melindungi permukaan tanah dari gaya pemampatan curah hujan, tetapi juga lapisan humus yang terjadi mempercepat penggalian-penggalian serangga dan lain-lain yang akhirnya akan mempercepat laju infiltrasi (Sosrodarsono dan Takeda, 2003).

Keadaan tajuk penutup tanah yang rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah, dan dengan demikian akan mengurangi infiltrasi. Sementara sistem perakaran vegetasi dan serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan permeabilitas tanah dan dengan demikian, meningkatkan laju infiltrasi (Asdak, 1995).

Kapasitas Infiltrasi

Penghitungan kapasitas infiltrasi sama dasarnya dengan penghitungan infiltrasi. Dasar infiltrasi didefenisikan sebagai kecepatan maksimum tanah yang memberikan kondisi tanah dapat menyerap air hujan. Kuantitas kecepatan infiltrasi didefenisikan sebagai nilai volume air didalam per unit tanah dari suatu area per satuan waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi bervariasi seperti penutupan tanah dan vegetasi, faktor-faktor fisik, karakteristik tanah, faktor iklim, karakteristik air, dan lain-lain (Singh, 2001).

Kapasitas infiltrasi yaitu kemampuan tanah dalam merembeskan banyaknya air ke dalam tanah. Semakin besar aliran kapasitas infiltrasi, maka aliran permukaan akan makin kecil. Dengan demikian maka infiltrasi air yang

semaksimal mungkin ke dalam tanah akan dapat mengendalikan erosi

(Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

Faktor-faktor yang terpenting yang dapat menentukan daya infiltrasi air ke dalam tanah adalah tekstur tanah, kompaksi atau pemadatan tanah, dan struktur tanah (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2002).

Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan relatif jumlah fraksi pasir, debu dan liat. Gabungan dari ketiga fraksi ini menentukan kelas tekstur tanah. Tekstur tanah adalah merupakan sifat fisik tanah yang tidak banyak berubah walaupun proses pembentukan tanah berlangsung secara aktif. Tanah yang berpasir atau berliat akan terus berpasir dan berliat pada jangka waktu yang lama (Saidi, 2006).

Tekstur tanah adalah salah satu sifat tanah yang sangat mempengaruhi tanah itu sendiri. Tekstur tanah berhubungan dengan ukuran partikel mineral tanah. Ukuran partikel tanah ini akan mempengaruhi sifat kapasitas peganga air tanah dan juga aerasinya. Ukuran dari partikel tanah mempengaruhi permukaan tanah dan juga ukuran ruang pori tanah tersebut. Hal ini perlu diketahui karena kebanyakan reaksi-reaksi tanah terjadi pada permukaan tanah (Plaster, 1992).

Ukuran untuk masing-masing komponen penyusun tekstur tanah tersebut aalah untuk liat berukuran 0,002 mm, untuk debu berukuran 0,002-0,06 mm, dan pasir berukuran sekitar 0,06-2,0 mm. Perbedaan komposisi ketiga komponen atau fraksi tersebut akan menyebabkan daya infiltrasi yang berbeda pula (Kartasapoetra, 1989).

Untuk menentukan golongan tekstur tanah berdasarkan kandungan pasir, debu dan liat, fraksi-fraksi tanah ini biasanya dinyatakan dengan persen (%). Menurut Kartasapoetra et.al (1987), berdasarkan pasir, debu dan liat dibagi dalam 3 golongan atau kelas dasar, yaitu :

1. Tanah berpasir (sandy soil), yaitu tanah dimana kandungan pasirnya >70% yang bila dalam keadaan lembab tanah berpasir terasa kasar dan tidak lekat. Termasuk juga dalam hal ini yaitu tanah pasir dan tanah lempung berpasir

(sandy and loamy sand soil).

2. Tanah berlempung (loamy soil), merupakan tanah yang kandungan debu-liat

relative sama. Tanah tersebut tidak terlalu lepas dan juga tidak terlalu lekat. 3. Tanah liat, yaitu tanah dengan kandungan liatnya >35, dan biasanya tidak

lebih kecil dari 40%. Tanah liat sangat lekat dan bila kering akan menjadi angat keras.

Besar dari pori tanah tergantung dari ukuran partikel tanah. Tanah yang liatnya tinggi memiliki pori-pori tanah yang sempit. Sedangkan tanah yang mengandung banyak pasir memiliki pori-pori yang kecil tetapi luas atau banyak. Air akan mengalir deras pada tanah yang memiliki pasir yang tinggi dan ini disebut dengan macropori. Pori-pori yang kecil atau yang sering disebut sebagai

micropori mampu untuk menahan air. Kedua ukuran pori tanah tersebut sangat

penting, dimana untuk menahan air dibutuhkan tanah yang mikropori dan untuk makropori untuk menahan udara (Plaster, 1992).

Tipe-tipe tanah (pasir, debu dan liat) dapat mengontrol laju infiltrasi. Sebagai contoh, Permukaan tanah yang berpasir secara umum memiliki laju

infiltrasi yang tinggi dari pada tanah yang permukaannya liat (National Soil Survey Center, 1998). Dan kenyataanya juga pada beberapa

pengamatan memang kapasitas infiltrasi pada fraksi pasir adalah lebih besar dibandingkan dengan fraksi liat, hal ini memang dipengaruhi oleh karena liat kaya akan pori yang halus tetapi miskin akan pori yang besar. Sebaliknya pasir miskin akan pori halus namun kaya akan pori yang besar (Kartasapoetra, 1989).

Air bergerak lebih cepat melalui pori-pori dan ruang pori yang besar pada tanah berpasir dari pada melalui pori-pori yang kecil pada tanah liat. Ketika kandungan bahan organik tanah rendah, akan berpengaruh signifikan dalam hal kerentanan terhadap pengerasan fisik tanah (Soil Quality Institute et.al, 2001).

Berdasarkan kelas teksturnya maka tanah digolongkan menjadi

(Hanafiah, 2005):

1) Tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir berarti tanah yang mengandung

2) Tanah bertekstur halus atau berliat berarti tanah yang mengandung minimal 37,5% liat, liat berdebu atau liat berpasir.

3) Tanah bertekstur sedang atau tanah berlempung, terdiri dari :

a) Tanah bertekstur sedang tetapi agak kasar, meliputi tanah bertekstur

lempung berpasir (sandy loam) atau lempung berpasir halus.

b) Tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur lempung berpasir

sangat halus, lempung (loam), lempung berdebu (silty loam) atau debu (silt), dan

c) Tanah bertekstur sedang tetapi agak halus mencakup lempung liat (clay loam), lempung liat berpasir (sandy clay loam), atau lempung liat berdebu (sandy-silt loam).

Tabel 1. Proporsi fraksi tanah menurut kelas tekstur tanah :

Kelas tekstur tanah Proporsi (%) fraksi tanah

Pasir Debu Liat

1. Pasir (Sandy)

2. Pasir berlempung (Loam sandy) 3. Lempung berpasir (sandy loam) 4. Lempung (loam)

5. Lempung liat berpasir (sandy clay

loam)

6. Lempung liat berdebu (sandy silt loam) 7. Lempung berliat (clay loam)

8. Lempung berdebu (silty loam) 9. Debu (silt)

10.Liat berpasir (sandy clay) 11.Liat berdebu (silty clay) 12.Liat (clay) >85 70-90 40-87,5 22,5-52,5 45-80 <20 20-45 <47,5 <20 45-62,5 <20 <45 <15 <30 <50 30-50 <30 40-70 15-52,5 50-87,5 >80 <20 40-60 <40 <10 <15 <20 10-30 20-37,5 27,5-40 27,5-40 <27,5 <12,5 37,5-57,5 40-60 >40 Sumber : Hanafiah (2005).

Agregat dan Struktur Tanah

Struktur tanah didefenisikan sebagai penyusunan partikel-patikel tanah menjadi agregat. Partikel tanah bukan hanya unsur pasir, debu dan liat, tetapi juga termasuk agregat atau unsur struktur yang telah dibentuk oleh agregasi dari fraksi mekanis terkecil (Saidi, 2006).

Struktur tanah dapat dibagi kedalam struktur makro dan sturktur mikro. Struktur makro adalah penyusun agregat-agregat tanah satu dengan yang lainnya, sedangkan struktur mikro adalah penyusun butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk atau agregat-agregat satu sama lain dibatasi oleh bidang-bidang belah alami. Menurut Kartasapoetra et.al (1987) tipe dan kedudukan struktur tanah dapat dibedakan menjadi tiga jenis struktur mikro, yaitu :

1. Remah-lepas, dapat dilihat dengan jelas tanpa alat pembantu. Keadaannya

tampak cerai berai, mudah digusur atau didorong ke tempat-tempat yang dikehendaki.

2. Remah-sedang, cenderung agak bergumpal dan akan tampak jelas jika

profilnya diperhatikan, susunan lapisan-lapisan tanah tampak ada dalam agregasi atau bergumpalan dan terdapat pula yang berporous berlubang-lubang, memudahkan air menerobos menyerap ke dalam lapisan-lapisan tanah bagian bawah.

3. Kondisi lengket-lengket, umumnya sangat kompak bila dalam bentuk

gumpalan dan amat berat apabila digali serta keras bila diolah, terlebih bila dalam keadaan kering, gumpalan-gumpalannya sangat keras dan terdapat retakan-retakan, sedang bila dalam keadaan basah kondisinya sangat lengket.

Secara umum partikel tanah tersebut dikelompokkan menjadi tiga kategori. Yang berdiameter >2 cm disebut dengan batu, berdiameter antara 2 mm dan 2 cm disebut kerikil, dan berdiameter <2 mm disebut dengan bahan tanah halus. Dalam analisis tanah, bahan tanah yang halus dapat dipisahkan menjadi 3 fraksi utama,yaitu: pasir, debu dan liat (Notohadiprawiro, 1998).

Tanah-tanah yang memiliki kekuatan agregat tanah yang kuat menjadi granular atau struktur tanah yang memiki laju infiltrasi yang tinggi dari pada tanah yang mempunyai agregat yang lemah, massive atau struktur plate. Tanah-tanah yang memiliki ukuran struktur yang lebih kecil memiliki laju infiltrasi yang lebih

tinggi dari pada tanah-tanah yang ukuran agregat tanahnya besar (National Soil Survey Center, 1998). Menurut Plaster (1992), pasir memiliki

bentuk seperti butiran, jadi tanah berpasir jarang mempunyai struktur yang baik. Tanah berpasir secara umum permebel, jadi butiran pasir tanah memiliki laju infiltrasi dan aerasi yang baik.

Kondisi tanah hutan umumnya remah dan memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah dan penyerapan air oleh tumbuhan hutan serta bentang lahan alami dari hutan, maka terjadi pengurangan limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah. Jadi hutan berperan sebagai filter (saringan) dan pada peran ini sangat menentukan fungsi hidrologi hutan pada kawasan daerah aliran sungai (DAS) (Widianto et.al, 2003).

Pembukaan lahan hutan menjadi lahan perkebunan umumnya dilakukan dengan cara menebang dan membakar hutan. Kegiatan ini dapat menyebabkan rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kerusakan struktur tanah tentu akan berdampak terhadap penurunan jumlah makroporositas tanah dan akan diikuti dengan penurunan laju infiltrasi tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Kerusakan struktur tanah yang demikian akan menyebabkan

berubahnya pola aliran air di dalam sistem tata guna lahan

(Suprayogo, et.al, 2002).

Kerusakan struktur tanah diawali dengan penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah akan berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut selain menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah sehingga menjadi agregat atau partikel yang

lebih kecil juga menyebabkan terbentuknya kerak di permukaan tanah (soil

crusting) yang mempunyai sifat padat dan keras bila kering. Agregat atau

partikel-partikel yang

halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan

Dokumen terkait