• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia papuana Becc)

Berdasarkan hasil identifikasi daun, batang dan akar tumbuhan Sungkai Sayur yang dilakukan di Herbarium Bogoreinse Biologi-LIPI Cibinong (hasil determinasi pada Lampiran 1), hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian ini dikenal dengan nama latin Albertisia papuana Becc, dengan sistematika sebagai berikut :

Devisi : Sprematophyta Sub devisi : Angispermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Menisspermales Suku : Menispermaceae

Jenis : Albertisia papuana Becc.

Morfologi

Tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) merupakan tumbuhan perdu yang tumbuh liar di tempat-tempat subur dan lembab pada daerah perbukitan atau dataran tinggi, tingginya 2-5 meter. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini menjalar dengan cara membelitkan batangnya. Daun berbentuk lonjong dengan ujung lancip berwarna hijau tua dengan tulang daun berbentuk ellips. Batang berwarna hijau muda, memiliki jarak tangkai daun yang rapat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang keras. Morfologi dan akar tumbuhan ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia Papuana Becc

Genus Albertisia spp kira-kira ada delapan belas spesies. Lima spesies terdapat di Asia Tenggara, sebelas berada di daerah tropis, dan subtropis Afrika dan satu lagi di daerah Afrika Selatan pada utara KwaZulu-Natal dan Mozambique (Wet 2005). Di Indonesia salah satu speciesnya Albertisia papuana Becc terdapat di Sumatera nama lokalnya sukang dan balait, sedangkan di Kalimantan Tengah dengan nama sungkai sayur dan ndeso.

Etnobotani tumbuhan

Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan. Biasanya pemanfaatan tumbuhan tersebut dihubungkan dengan konsep manusia mengenai pentingnya tumbuhan, obat dan sebaliknya, juga berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat mengenai tumbuhan tersebut.

Pemanfaatan ekstrak akar Albertisia delagoensis di Afrika (Wet 2005 ) : • Mengobati cacingan, menghilangkan rasa sakit pada saat menstruasi, • Memperbaiki fungsi seksual laki-laki

• Menghilangkan sesak napas

• Meredakan sakit badan dan influensa

• Mengobati luka bakar dengan menaruh abu akar pada luka bakar • Mengobati sakit punggung

• Memperlancar pencernaan bayi, dengan air rebusan akar dan daunnya

• Menjaga kesehatan bayi dalam kandungan dengan cara meminum air akar oleh wanita yang sedang hamil.

• Untuk menyembuhkan diare dan muntah • Untuk memperbaiki nafsu makan

Pemanfaatan daun Albertisia papuana Becc sehari-harinya sebagai penyedap makanan atau penguat rasa oleh masyarakat lokal Kalimantan Tengah (http://www.Albertecia.becc), dan akar dimanfaatkan sebagai obat penurun tekanan darah tinggi (anti hipertensi).

Bahan aktif adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara biologi. Aktivitasnya antara lain sebagai antimikroba yaitu suatu zat yang dapat membunuh mikroba seperti bakteri, khamir, dan kapang yang dapat digunakan untuk industri pangan dan farmasi. Zat bioaktif tumbuhan antara lain dapat berasal dari golongan terpenoid, fenolik dan alkaloid (Vickery & Vickery 1981, Mann 1987).

Hasil penelitian pada 224 tumbuhan dari suku menispermaceae tahun 1996, teridentifikasi ada 1858 alkaloid. Berdasarkan identifikasi senyawa pada Albertisia

delagoensis, adanya alkaloid baru yaitu O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline,

cycleanine dan dicentrin.. Uji ekstrak metanol pada daun dan akar tumbuhan jenis ini ternyata memberikan potensi sebagai anti plasmodium dan anti toksit (Wet 2005). Lohombo-Ekomba et al. (2004) telah melakukan pengujian aktivitas senyawa alkaloid sebagai anti bakterial, anti jamur, anti plasmodium dan anti toksit dari tumbuhan jenis

Albertisia villosa, diidentifikasi adanya senyawa alkaloid

bisbenzyltetrahidroisoquinoline, yaitu cycleanine, cocsoline dan N-desmethylcycleanine. Senyawa yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap parasit

Plasmodium falciparum adalah cycleanine. Sementara, menurut penelitian Marie et al.

(1987), pada tumbuhan Albertisia papuana terdapat empat senyawa alkaloid

bisbenzylisoquinoline baru, yaitu 2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine

dan norcocsuline. Struktur senyawa tersebut ditampilkan pada Gambar 2.

(b)

(c)

(d)

Gambar 2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline:(a) norcocsuline, (b) cycleanine, (c)

cocsoline, (d) pangkoramine (Sumber: Marie et al. 1987, Lohombo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005).

Alkaloid

Pengertian alkaloid

Alkaloid berasal dari kata ”alkali” yang berarti basa dan ”oid” yang berarti menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa (Fessenden & Fessenden 1997). Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang

mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai gugus amina atau amida) dan bersifat basa (Fax & Whitersell 1994). Senyawa tersebut dapat diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah-buah pada tumbuhan (Solmons 2004). Penggolongan senyawa ini belum seragam, seperti penggolongan berdasarkan bentuk cincin heterosiklik nitrogen, yaitu pirolidin, piperidin, isokuinolin, kuinolin, dan indol. Selain itu, ada penggolongan menurut biogenesisnya, yaitu alkaloid alisiklik, aromatik fenilalanin, dan aromatik indol. Substituen oksigen ditemukan sebagai gugus phenol (Ph-OH), metilendioksi (-OCH2-O) atau metoksi (-OCH3) pada posisi para dan meta dari cincin aromatik.

Penyebaran alkaloid

Menurut Achmadi (1986), bahwa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa utama, diantara golongan senyawa organik, alkaloid merupakan golongan senyawa yang terbesar jumlahnya, baik jumlah senyawa maupun penyebarannya dalam dunia tumbuhan. Pada tumbuhan, alkaloid ditemukan pada tumbuhan dikotiledon, yaitu suku Apocynaceae, Composite, Lequinosae, Loganiaceae, menispermaceae, Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, Rutaceae dan Solanaceae. Pada tumbuhan monokotledon, yaitu Amaryllidaceae dan Liliaceae (Harbone 1996). Alkaloid ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan. Secara umum tidak mungkin mengatakan bahwa alkaloid suatu bagian tumbuhan lebih besar dibandingkan bagian lainnya. Pada awal pertumbuhan alkaloid tersebar merata pada seluruh jaringan tumbuhan, dengan bertambah usia tumbuhan maka alkaloid akan mengalami proses translokasi ke bagian lain dari tumbuhan, dan menumpuk pada bagian tersebut. Biasanya alkaloid ini terkonsentrasi pada kulit kayu, daun, akar, dan bakal buah.

Sifat fisik dan kimia alkaloid

Alkaloid merupakan bahan alam yang mengandung nitrogen, biasanya merupakan bagian dari suatu sistem siklik. Senyawa ini terdistribusi pada banyak tumbuhan dan mungkin merupakan senyawa yang paling baik diketahui sifat dan potensi farmakologinya. Oleh karena itu banyak obat yang didasarkan pada senyawa ini. Biosintesis alkaloid berasal dari asam amino, terpena, atau senyawa aromatik tergantung dari struktur spesifik alkaloid. Keberadaan alkaloid yang sangat beraneka ragam

menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999).

Alkaloid merupakan senyawa dengan sifat alami basa dan reaksi dengan asam mineral membentuk garam larut air. Sifat basa ini disebabkan karena adanya atom nitrogen. Keberadaan nitrogen ini dapat berada dalam bentuk primer, sekunder atau tersier. Sifat kebasaan dari alkaloid juga dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan, dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid kebanyakan berbentuk padatan kristalin dan berasa pahit (Sarker & Nahar 2007).

Struktur alkaloid dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan sistem cincin atau kerangka struktur. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah aporfina (turunan tirosina), betaina, imidazola, indola (turunan triptofan), triptamina, ergolina, β -karbolina, indolizidina, isokuinolina (turunan tirosina), makrosiklik spermina dan spermidina, norlupinana (turunan lisina), fenetilamina (turunan fenilalanina), purina, pridina dan turunan asam nikotinat, pirol dan pirolidina (turunan ornitina), pirolizidina, kuinolina (turunan triptofan/asam antranilat), terpenoida/steroida terpenoida, steroida, dan tropan (turunan ornitina) (Kaufman et al. 1999, Sarker & Nahar 2007).

Alkaloid yang berstruktur kompleks biasanya mempunyai warna, seperti berberina dan serpentina yang berwarna kuning (Robinson 1995 & Harbone 1996). Alkaloid yang sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999).

Sifat basa dari alkaloid tergantung pada ketersediaan pasangan elektron bebas nitrogen dan kearomatikan cincin heterosiklik yang mengandung nitrogen. Atom nitrogen pada alkaloid hampir semuanya berada dalam bentuk –NR2 (amina) atau –CO-NR2 (amida) dan tidak pernah dalam bentuk –NO2 (nitro) dan –N=N- (diazo). Sifat fisik dan kimia alkaloid ini menentukan prosedur isolasi dan pemurnian suatu alkaloid (Achmadi 1986).

Alkaloid bisbenzylisoquinoline

Alkaloid bisbenzylisoquinoline mempunyai turunan yang mempunyai peranan penting sebagai obat, seperti ditampilkan pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline

Turunan Alkaloid

bisbenzylisoquinoline

Fungsi Tumbuhan Pustaka

2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine,

pangkorimine dan

norcocsuline.

A. papuana Marie et al.

(1987)

Dauricine Cytotoxicity M. dauricum He et al. 1996 di acu oleh Alexandrove et al. 2000 Cycleanine, cocsoline dan N-desmethylcycleanine Anti P. falciparum A. villosa Lohombo-Ekomba et al. (2004 ) O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline, cycleanine dan dicentrine Anti P. falciparum A. delagoensis Wet (2005)

Barbosa-Filho dan Da-Cunha (2000) menyatakan bahwa spesies Albertisia laurifolia Yamato mempunyai 6 senyawa bioaktif jenis alkaloid bisbenzylisoquinoline, yaitu apateline, aromoline, cocsoline, cocsuline, dapholine dan N-methylapateline.

Plasmodium falciparum

P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk tubuh manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi.

Semua jenis plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu sebagian di dalam tubuh manusia atau human (siklus aseksual) dan sebagian di tubuh anopheles

(siklus seksual) (Campbell et al. 1997, Arlan 2006, Tjay & Raharja 2007, Sutamihardja

et al. 2009). Gambar siklus hidup plasmodium tersebut disajikan pada Gambar 3, angka 1 sampai 7 pada gambar merupakan urutan tahapan siklus yang dijelaskan di bawah ini.

4 5 6

3 2 1 7

Gambar 3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia

(Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/images/articles/m/0603_13.jpg)

Siklus yang kedua yaitu siklus seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk sebagai berikut: (1) Siklus ini dimulai dengan nyamuk Anopheles betina menggigit orang yang terinfeksi malaria dan mengambil gametosit plasmodium bersama dengan darah. (2) Gamet akan terbentuk dari gametosit jantan dan betina, sehingga fertilisasi terjadi dalam saluran pencernaan nyamuk tersebut, kemudian terbentuk zigot. Zigot adalah satu-satunya tahapan diploid dalam siklus hidupnya. (3) Oocyts yang berasal dari zigot berkembang dalam dinding perut nyamuk. Ribuan sporozoit berkembang dalam oosista

dan kemudian bermigrasi ke kelenjar lidah nyamuk tersebut. (4) Nyamuk yang terinfeksi menyengat orang lain, menginfeksi korban dengan sprotozoit Plasmodium

Siklus aseksual (skizogoni) pada tubuh manusia ada dua tahap, yaitu siklus hati (fase eritrosit) (5) Pada siklus ini nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit manusia dan dengan ludahnya “menyuntik “ sprotozoit ke dalam darah. Protozoit masuk ke dalam sel hati korban mengikuti peredaran darah. Merozoit akan berinteraksi dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Invasi eritrosit oleh parasit malaria merupakan proses yang terdiri tiga tahap yaitu (Pasvol 1992), recognition/pengenalan,

attachment/perlekatan, dan proses endositosis. Setelah beberapa hari, sporotozit mengalami pembelahan berkali-kali untuk menjadi merozoit, yang kemudian menggunakan kompleks apikalnya itu untuk menembus sel darah merah korban. (6) Merozoit tumbuh dan membelah secara aseksual sehingga menghasilkan banyak sekali merozoit baru, yang secara berulang-ulang memecahkan sel darah dengan interval 48 atau 72 jam (tergantung pada spesiesnya). Interval demam ini menyebabkan penderita mengalami demam dan menggigil secara periodik. Beberapa merozoit menginfeksi sel darah merah baru. (7) Beberapa merozoit membelah membentuk gametosit, yang menyelesaikan siklus kehidupannya dalam seekor nyamuk betina.

P. falciparum dapat resisten terhadap obat malaria karena mempunyai parasit ada gen yang resisten dan sensitif terhadap obat tertentu, sehingga gen yang satu lebih dominan dari pada gen yang lain. Berdampak menimbulkan adanya galur yang resisten dan sensitif. Teori kedua, gen mengalami mutasi dalam tubuh parasit yang memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten terhadap suatu obat dengan dosis tertentu (Tuti 1992).

Penentuan resistensi atau tidaknya P. falciparum dapat dilakukan dengan cara in vivo dan in vitro. Cara in vivo dapat menunjukkan derajat resistensi parasit yang dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (resistensi derajat 1), RII, dan RIII. Cara in vitro hasilnya dinyatakan sebagai sensitifitas atau resistensi parasit, tanpa adanya penjenjangan tingkatan. Kelebihan uji ini pada beberapa jenis obat dapat diuji secara bersamaan (Tuti 1992).

Keuntungannya (Purwaningsih 2003), penggunaan biakan memungkinkan untuk mempelajari aktivitas intrinsik obat secara lebih hemat dan lebih cepat, membutuhkan obat dalam jumlah kecil, pengaruh metabolisme hospes dihilangkan, efektivitas obat

dapat langsung diamati, memudahkan penapisan obat malaria baru, dimungkinkan pemberian dosis yang tinggi, dan memungkinkan pembuatan vaksin malaria.

Separasi

Ekstraksi adalah satu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air atau pelarut organik (Meloan 1999). Metode pemisahan yang biasa digunakan antara lain adalah maserasi, perkolasi, infusi, soxhletasi dan destilasi.

Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan seperti akar, biji, dan daun adalah melakukan ekstraksi secara kontinyu serbuk bahan dengan suatu pelarut menggunakan alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan berganti-ganti, mulai dari pelarut non polar sampai pelarut polar yang disesuaikan dengan sifat polaritas komponen yang akan diekstrak (Harbone 1996).

Tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum digunakan adalah teknik Kromatografi Kolom (KK), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Teknik kromatografi untuk memisahkan suatu campuran komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harbone 1996, Gritter et al. 1991, Hostetman et al.1997).

Pemisahan secara kromatografi dari berbagai senyawa dalam suatu bahan didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi dan penyebaran dari molekul-molekul senyawa yang merupakan hasil kesetimbangan distribusi dari senyawa-senyawa dalam bahan antara fase diam dan fase gerak. Perbedaan kecepatan migrasi berhubungan dengan perbedaan kecepatan gerak dari senyawa-senyawa yang berbeda sepanjang kolom. Migrasi merupakan hasil distribusi keseimbangan dari senyawa-senyawa antara fase diam dan fase gerak (Gritter et al. 1991).

Kromatografi adalah dasar teknik pemisahan multistage pada perbedaan antara komponen penyerap permukaan atau pelarut pada cairan (Meloan 1999). Kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponen. Kromatografi bekerja berdasarkan prinsip, bahwa semua kromatografi memiliki fase

diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, kuinon sederhana, dan klorofil (Robinson 1991). Kromatografi lapis tipis memiliki kelebihan dibandingkan teknik kromatografi lainnya, yaitu keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaan. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa sejumlah penyerap yang berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain dan digunakan untuk kromatografi. Walaupun silika gel paling banyak digunakan, lapisan dapat pula dibuat dari aluminium oksida, damar penukar ion, magnesium fosfat, poliamnida, sephadex, polivinil pirolidon, selulosa dan campuran dua bahan diatas atau lebih (Gritter et al. 1991). Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penyerap yang lebih padat bila disaput pada pelat dan memberikan keuntungan dalam menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT disebabkan dapat memisahkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran μg (Harbone 1996)

Prinsip-prinsip KLT yang utama adalah adsorben, pengembangan, dan deteksi (Meloan 1996), teknik-teknik KLT yang penting meliputi persiapan plat, pengembangan, dan visualisasi. Christie (1982) menyatakan bahwa silika gel adalah adsorben yang paling umum digunakan untuk berbagai tujuan dan biasanya mengandung kalsium sulfat yang berfungsi sebagai pengikat untuk meningkatkan daya adhesi lapisan pada plat. Proses kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras.

Kromatografi Kolom Kilas

Kromatografi Kolom Kilas atau Flash Chromatography (FC) merupakan kromatografi sederhana dengan adanya tekanan rendah (umumnya < 20 psi) aplikasinya yaitu memaksa eluen dengan larutan melalui kolom dengan lebih cepat. Proses tersebut

merupakan suatu kualitas sedang, dimana kecepatan pemisahan 10-15 menit dan menghasilkan kemurnian tinggi (Gritter et al. 1999 dan Meloan 1999). Contoh penggunan FC pada isolasi senyawa kuinon dan terpenoid dari Toona sinensis

(Rusiniadi 2006). Prinsip proses kerjanya sama dengan kromatografi kolom klasik, adanya perbedaan migrasi komponen fase diam dan gerak. Perbedaan hanya pada tekanan dan pengaturan sistim pompa otomatis. Fraksi yang diperoleh dilakukan pemeriksaan spot dengan KLT. Hasil diperoleh spot tunggal dan berbentuk kristal, berarti telah diperoleh senyawa tunggal (Gritter et al. 1991).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2009. Tempat pelaksanaannya di Laboratorium Teknologi Kimia Kayu Departemen Hasil Hutan IPB, Herbarium Bogoriensis Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – LIPI di Cibinong, Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB. Laboratorium U.S NAMRU-2 (U.S Naval Medical Research Unit Two) di Jakarta Pusat.

Metode Penelitian

Bahan tumbuhan

Akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) yang dikumpulkan sejak bulan Januari 2009 dari hutan tropika basah di Desa Pendreh Kabupaten Barito Utara Propinsi Kalimantan Tengah .

Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel di lapangan tumbuhan Albertisia Papuana Becc (Sumber: www.google.earth.kaliamantantengah.baritoutara)

Wilayah Kabupaten Barito Utara

Bahan kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah n-heksana yang digunakan untuk menghilangkan lemak pada sampel. Etanol 80 %, HCl 0,1 M, dan CH2Cl2 untuk mengekstrasi bahan, NH4OH 6 % untuk mengendapkan alkaloid. Bahan kimia untuk kromatografi lapis tipis antara lain lempeng KLT silika gel G 60 F254, pelarut pengembang aseton, diklorometana, dan metanol serta reagen iodoplatina. Bahan kimia untuk Kromatografi Kolom (KK) menggunakan glasswool sebagai penyumbat agar eluen tidak keluar dari kolom dan silika gel sebagai fase diam.

Bahan kimia untuk uji anti plasmodium yang digunakan adalah Rosewell Part Memorial Institute (RPMI) 1640 yang mengandung L-glutamin, asam gentamisin sulfat injeksi, NaCl 0,9 % dan 3,5 %; sorbitol 5 %, serum dan sel darah merah (RBC), zat antikoagulan sitrat fosfat dektrosa (CPD), akuabidestilata, pewarna Giemsa, larutan buffer fosfat pH 7,2 alkohol metanol.

Peralatan

Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, alat untuk ekstraksi seperti gelas piala, seperangkat alat Sokhlet, vacuum rotary evaporator, pengaduk, bejana Kromatografi Lapis Tipis, seperangkat alat Kromatografi Kolom Kilas, Spektrometer UV-Vis dan Spektrometer FTIR,

Alat untuk pengujian anti malaria, yaitu inkubator, membran Milipore ukuran 0,22 dan 0,45 μm, tabung sentrifus ukuran 10 dan 50 mL, lampu UV, ruang Laminar Air Flow, eksikator, alat vortex, dan mikroskop cahaya

Prosedur Penelitian

Pengumpulan sampel

Sampel berupa akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dikumpulkan dari hutan tropika di Kalimantan Tengah dengan sistem acak tanpa melihat umur tumbuhan dan besarnya batang akar, tetapi diambil dari tumbuhan yang secara fisik sehat dan subur. Determinasi tumbuhan sungkai sayur dilaksanakan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong (Hasil identifikasi pada Lampiran 1).

Preparasi sampel

Sampel akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan tanpa kontak langsung sinar matahari. Setelah bersih dan kering, dipotong-potong kemudian diserbukkan dengan menggunakan alat Hammer Mill dengan ukuran serbuk 40 mesh (TAPPI T257 cm-85).

Penetapan kadar Air

Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit kemudian di dinginkan dalam desikator dan timbang. Sebanyak 3 g sampel sungkai sayur dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 oC selama 6 jam sampai diperoleh bobot konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Hitung kadar airnya denngan persamaan sebagai berikut :

Kadar air (%) = A – B x 100% A

Keterangan :

A adalah berat sampel (g)

B adalah berat sampel setelah dikeringkan (g)

Ekstraksi senyawa bioaktif alkaloid

500 gram serbuk kering sampel yang telah dikeringkan, diekstraksi dengan n-heksana selama 8 jam menggunakan 4 buah Soxhlet secara paralel masing-masing tiga kali pengulangan, untuk menghilangkan kandungan lemaknya (Purwatiningsih 2003). Residu yang dihasilkan dikeringkan atau dihilangkan pelarut n-heksana dengan membiarkan residu selama 1 hari. Selanjutnya dimaserasi menggunakan etanol 80 % selama 1 hari pada suhu kamar dalam maserator. Rendaman disaring menggunakan kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu dimaserasi kembali dengan pelarut yang sama selama 1 hari sampai diperoleh filtrat yang tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dijadikan satu kemudian dipekatkan dengan vakum rotary evaporator untuk menghasilkan ekstrak kasar dan dilarutkan dalam air. Ekstrak air diasamkan dengan HCl 0,1 M sampai memiliki pH 2-3, biarkan sekurang-kurangnya 4 jam, kemudian di partisi dengan CH2Cl2. Fase asam yang diperoleh diendapkan dengan meneteskan NH4OH 6 % dan pH diatur 9-10. Endapan dikumpulkan dengan pemusingan dan dicuci

dengan NH4OH 1 %. Sehingga diperoleh ekstrak pekat alkaloid kasar selanjutnya dilakukan uji fitokimia dan uji anti plasmodium. Prosedur pengujian ini mengacu pada cara kerja Lohombo-Ekomba et al. (2004). Diagram alir kerja tersebut ditunjukkan pada Lampiran 2.

Fraksinasi senyawa anti malaria

Pemisahan senyawa anti malaria dari ekstrak kasar alkaloid tumbuhan Albertisia papuana Becc dari Kalimantan Tengah dilakukan dengan teknik mencari eluen yang cocok. Eluen yang digunakan dalam KLT adalah eluen menurut Lohombo-Ekomba et al. (2004) yaitu menggunakan campuran pelarut diklorometana : metanol dan aseton : metanol, dengan sistem gradien. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut, lempeng lapis tipis silika gel G 60 F254 dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 1 cm diberi tanda garis dengan pensil pada jarak 1 cm dari salah satu ujung lempeng. Ekstrak aktif antimalaria dilarutkan dalam pelarut asalnya. Eluen yang akan digunakan dimasukkan ke dalam tabung kromatografi hingga 2 cm tingginya dari dasar tabung dan ditaruh kertas saring kemudian ditutup rapat agar jenuh dengan uap eluen. Larutan ekstrak sampel diteteskan dengan pipa kapiler pada lempeng silika gel. Penetesan dilakukan pada jarak 1 cm dari salah satu ujung. Ujung lempeng yang terdekat pada tempat penetesan dicelupkan ke dalam tabung kromatografi yang sudah jenuh dengan eluen. Tabung kemudian ditutup rapat dan dibiarkan pelarut naik sampai batas yang ditentukan yaitu 1 cm dari batas atas. Setelah elusi pada batas tertentu, lempeng diangkat dan selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang selama beberapa menit, kemudian dideteksi

Dokumen terkait