ISOLASI DAN UJI ANTI PLASMODIUM SECARA In Vitro
SENYAWA ALKALOID DARI Albertisia papuana BECC
Helen Lusiana
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
Helen Lusiana. Isolation and In Vitro Antiplasmodial Test of Alkaloid Compounds from Albertisia papuana Becc. Under the direction of Tun Tedja Irawadiand Irma Herawati Suparto
Malaria is still highly prevalent in Indonesia. It is important to identify herbal medicine that has antiplasmodial activity because the need for new sensitive agent for this parasite is increasing. The objective of this research is isolation and identification of alkaloid compound in the root of Albertisia papuana Becc or sungkai sayur as local name and its in vitro antiplasmodial activity to Plasmodium falciparum. The extraction used n-hexane and ethanol 80% as solvent and then separated by flash column chromatography with dichloromethane:methanol (1:1). The crude extract and fractions were tested against chloroquine resistant (W2) and sensitive (D6) P. falciparum isolate. The concentration of crude extract were 0.01, 0.1; 1, 10, 100, and 1000 µg/mL; and for fractions were 1, 10, and 100 µg/mL in 100 μl cell suspension with 48 and 72 hour incubation at 37oC. Indicator of activity was shown as percentage of inhibiton by counting number of live schizonts calculated from 200 asexual parasites. The result showed that the anti plasmodium activity was dose related. Percentage of death was higher in sentitive strain by alkaloid crude extract. The lowest concentration with highest anti plasmodium activity for both strains W2 and D6 were at 10 µg/mL with inhibition 86.06% and 97.16%, respectively, at 48 hours incubation. Fraction 2 with concentration 1, 10 and 100 µg/mL showed high inhibition in the range of 83.90-100% for both strains. Identification of active component with infra red spectrum showed fraction 2 of Albertisia papuana roots extract has functional group C-N stretch, C-O ether, C=C aromatic, -CH2, -CH3 stretch, -N-H, -OH and overtone benzene, The
conclusion is Albertisia papuana Becc has alkaloid compound with potential antiplasmodial activity.
RINGKASAN
HELEN LUSIANA. Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari
Albertisia papuana Becc. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI dan IRMA HERAWATI SUPARTO
Penderita malaria masih tinggi jumlahnya di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan identifikasi obat herbal yang mempunyai aktivitas anti plasmodium. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat senyawa alkaloid akar tumbuhan
Albertisia papuana Becc yang mempunyai aktivitas anti malaria secara in vitro,
khususnya terhadap parasit Plasmodium falciparum. Ekstraksi dengan n-heksana dan etanol 80%, serta dipisahkan dengan kromatografi kolom kilas dengan pelarut diklorometana : metanol (1:1)
Ekstrak kasar dan fraksi dilakukan uji anti P. falciparum pada galur resisten klorokuin (W2) dan galur sensitif (D6). Konsentrasi zat uji 0,01; 0,1; 1; 10; 100; 1000
μg/mL untuk ekstrak kasar dan konsentrasi zat uji untuk fraksi 1, 10, 100 μg/ml, serta menggunakan klorokuin dan etanol sebagai kontrol. Kemudian dimasukan sebanyak 100 μl suspensi parasit dan inkubansi pada 37oC selama 48 dan 72 jam. Indikator aktivitas ditunjukkan sebagai persentase penghambatan dari jumlah skizon yang hidup per 200 aseksual parasit. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas anti plasmodium berhubungan dengan konsentrasi. Konsentrasi rendah sebesar 10 μg/mL dari ekstrak kasar alkaloid mampu menghambat pertumbuhan P. falciparum pada W2 sebesar 86,06% dan D6 sebesar 97,16%, pada 48 jam inkubasi. Fraksi 2 dengan konsentrasi 1, 10 dan 100 μg/mL menunjukkan tingginya penghambatan antara 83,90-100% dari kedua galur. Identifikasi komponen bioaktif dengan infra merah menunjukkan fraksi 2 dari ekstrak akar Albertisia papuana Becc memiliki gugus fungsi -C-N strech, -C-O eter, C=C aromatik, -CH2, -CH3 stretch, -N-H, -OH dan overtone benzene.
PRAKATA
Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kasih, karena atas berkat karunia dan pernyertaanNya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Isolasi dan Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia papuana Becc.
Kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih terutama kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Ibu Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS selaku anggota pembimbing, telah membimbing dan memberikan arahan yang sangat berarti sejak pemilihan topik, pelaksanaan penelitian hingga terselesainya penulisan tesis ini. Kelancaran studi dan rampungnya penulisan tesis ini didukung oleh banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Dra. Gustini Syahbirin, MS yang telah bersedia menjadi dosen penguji diluar komisi pembimbing dan yang telah memberikan saran yang sangat berarti untuk penulisan tesis ini. Ibu Ika Susanti, Bapak Awaludin, Bapak Budi Laksono, Bapak Faizal yang telah banyak memberi dan mengajarkan tentang parasitologi dan membantu penelitian ini di NAMRU-2. Serta temanku angkatan 2007 kimia yaitu Sari, Mamay, Aty, Wulan, Dila, Obie, Topan, Dwi, Khidir, Zulhan dan Agus. Terima kasih atas kebersamaan, semangat dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta Renhart Jemi, S.Hut. MP yang telah memberikan dorongan semangat dan membantu dalam segala hal sehingga terselesainya tesis ini, dan anakku Lyra Asaria dan Asyer Brilian Ben Yosua
tercinta atas pengertiannya, serta seluruh keluarga besarku atas segala dukungan baik moral, material, doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan tersebut diatas tesis ini tidak akan tersusun sebagaimana yang diharapkan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya sebagai bahan informasi bagi yang menaruh perhatian pada masalah biofarmaka.
Bogor, 24 Juli 2007
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Isolasi dan Uji Anti Plasmodium Secara In Vitro Senyawa Alkaloid dari Albertisia papuana Becc
Nama : Helen Lusiana NRP : G451070081 Program Studi : Kimia
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS Ketua
Dr. dr. Irma Herawati Suparto, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuala Kapuas pada tanggal 20 Oktober 1971, dari ayah Cornelis Elbaar dan ibu Ilse Askenas Tawa. Penulis merupakan putri kedelapan dari sembilan bersaudara.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang... 1
Tujuan Penelitian... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis ... 3
TINJAUAN PUSTAKA... 4
Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia Papuana Becc)... 4
Alkaloid ... 8
Plasmodium falciparum... 10
Separasi... 13
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)... 14
Kromatografi Kolom Kilas ... 15
METODOLOGI PENELITIAN... 16
Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
Metode Penelitian ... 16
Prosedur Penelitian ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN... 28
Preparasi Sampel ... 28
Kadar Air Sampel Albertisia papuana Becc ... 28
Ekstraksi ... 29
Rendemen ... 31
Kandungan Fitokimia ... 31
Uji Anti Plasmodium Ekstrak Kasar Alkaloid Albertisia papuana Becc... 33
Kromatografi Lapis Tipis ... 38
Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Kilas... 39
Uji Anti Plasmodium Fraksi Alkaloid Albertisia papuana Becc ... 41
Karakteristik Fraksi Aktif... 43
SIMPULAN DAN SARAN ... 46
Simpulan... 46
Saran ... 46
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline... 10 2. Hasil uji fitokimia Albertisia papuana Becc pada simplisia, ekstrak kasar
alkaloid dan supernatan fase basa... 32
3 Persentase penghambatan P. falciparum terhadap ekstrak kasar alkaloid ... 34 4 Rendemen delapan fraksi dari ekstrak kasar alkaloid
Albertisia papuana Becc ... 40 5 Persentase penghambatan P. falciparum pada beberapa konsentrasi fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc ... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia papuana Becc ... 4
2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline ... 7
3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia ... 11
4 Lokasi pengambilan sampel di lapangan tumbuhan Albertisia papuana Becc ... 16
5 Pola pembuatan slide apusan darah tebal ... 27
6 Reaksi amina dengan asam kuat... 30
7 Reaksi pembasaan asam amina dengan cara pembasaan... 30
8 Uji fitokimia alkaloid ... 32
9 Grafik penghambatan P. falciparum oleh ekstrak kasar alkaloid... 36
10 P. falciparum pada slide apusan darah tebal (pembesaran 25 μm) ... 37
11 Pola KLT ekstrak kasar alkaloid ... 38
12 Penggabungan fraksi KLT berdasarkan pola dari ekstraksi Albertisia papuana Becc ... 40
13 Grafik persentase penghambatan P. falciparum terhadap fraksi alkaloid Albertisia papuana Becc ... 41
14 Lempeng sumur pengujian ... 42
15 Grafik Spektrofotometer UV-Vis fraksi F2 aktif alkaloid dari ekstrak Albertisia papuana Becc... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil identifikasi tumbuhan... 52
2 Diagram alir ekstraksi alkaloid ... 53
3 Diagram alir pembukaan kultur P .falcifarum ... 54
4 Kadar air sampel Albertisia papuana Becc ... 55
5 Data perhitungan jumlah skizon per 200 parasit yang hidup pada apusan darah tebal... 56
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit malaria merupakan penyakit tropis, dan banyak diderita oleh penduduk
Indonesia, karena Indonesia merupakan daerah tropis yang beriklim panas dan lembab
dengan ketinggian lebih rendah dari 2.200 m diatas permukaan laut. Kondisi geografis
tersebut merupakan tempat ideal untuk berkembang biaknya vektor penyakit malaria
yaitu nyamuk anopheles. Oleh karena itu, Indonesia termasuk negara berisiko malaria. Menurut data hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
jumlah penderita malaria klinis di Indonesia mencapai 15 juta orang dan 43 ribu
diantaranya meninggal. Jumlah penderita malaria ini cenderung mengalami kenaikan
per tahunnya, seperti contoh pada tahun 2006 jumlah penderita mencapai 1.107 orang
menjadi 1.256 orang dan mengakibatkan 74 penderitanya meninggal dunia (Safawi
2008). Peningkatan ini berkaitan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat
perpindahan penduduk dari daerah bebas malaria ke daerah endemis. Selain itu,
terjadinya perubahan lingkungan yang memudahkan berkembangnya vektor nyamuk
pembawa malaria, meskipun derajat endemis malaria di Indonesia berbeda antar satu
daerah dengan daerah lainnya.
Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus plasmodium. Ada empat spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia,
yaitu Plasmodium vivax, P. falciparum, P. malaria, dan P. ovale. Spesies yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax. P. falciparum
merupakan spesies yang paling berbahaya terhadap manusia karena dapat menyebabkan
infeksi akut yang berat pada ginjal, hati, dan otak sehingga menyebabkan kematian.
Parasit ini terutama ditularkan kepada manusia melalui nyamuk Anopheles sundaicus.
Usaha mengatasi penyakit malaria telah dilakukan sejak abad ke XVI, dengan
memanfaatkan pengobatan dari tumbuhan secara tradisional. Apoteker Prancis tahun
1820 yaitu Yusuf Pelletier dan Jean Biname Caventou telah melakukan isolasi kina
sebagai obat anti malaria (Kakkilay’s 2006). Davis (2006), menyatakan kulit kina
memiliki aktivitas anti malaria yang mengandung alkaloid. Tahun 1940-an ditemukan
obat anti malaria sintetik yaitu primakuin dan klorokuin. Anti malaria sintetik
mempunyai kelemahan, yaitu biaya mahal untuk memproduksinya. Hasil penelitian
falciparum di Banjarnegara lebih besar 25%, baik pada daerah endemisitas rendah (62,79%) dan daerah endimisitas tinggi (68,42%).
Resistensi P. falciparum terhadap obat anti malaria adalah kemampuan parasit
untuk terus dalam tubuh manusia, berkembang biak, dan menimbulkan gejala penyakit,
meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur, baik dengan dosis standar maupun
dosis yang lebih tinggi yang masih dapat ditolerir oleh pemakainya (Tuti 1989).
Penyebaran plasmodium yang resisten terhadap obat antimalaria dan timbulnya efek samping yang berat seperti pada wanita hamil akan melahirkan bayi prematur,
kecacatan lahir, keguguran dan mati, serta menimbulkan komplikasi penyakit seperti
penyakit liver, kekurangan enzim glucose-6-phosphate dehydrogenases (G6PD) dan NADH (Ross & Flaningan 2006). Oleh karena itu, sangat mendesak untuk menemukan
obat antimalaria yang baru, yang ditoleransi lebih baik dan lebih efisien. Kebutuhan
akan obat malaria baru ini mendorong penelitian-penelitian tentang obat malaria yang
berasal dari bahan alam khususnya tumbuh-tumbuhan. Penggunaan obat dari bahan
alam (tradisional) mempunyai keuntungan, yaitu bahan alam mempunyai efek samping
sangat kecil, karena adanya faktor intriksik yang dapat menetralisir efek samping yang
ditimbulkan oleh zat aktif (Boesri 1994). Menurut Katno & Pramono (2008) bahwa ada
efek komplementer atau sinergisme dalam ramuan tumbuhan obat (komponen bioktif
tumbuhan obat), satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi, tumbuhan
obat lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan degenerative.
Upaya menemukan obat antimalaria yang berasal dari tumbuhan, telah dilakukan
beberapa studi oleh peneliti asing dengan menggunakan tumbuhan obat yang berasal
dari Afrika Selatan, yaitu tanaman suku menispermaceae diantaranya galur Albertisia.
Tumbuhan ini dilaporkan memiliki senyawa aktif alkaloid bisbenzylisoquinoline yang mempunyai aktivitas sebagai antiplasmodium seperti pada A. vilosa dan A. delagoensis
(Dewick 2002, Lohomo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005, Wet et al 2007).
Tumbuhan suku Menispermaceae terdapat pula di Indonesia khususnya endemik
di Kalimantan Tengah, yaitu sungkai sayur. Secara empirik, tanaman ini dipakai untuk
anti hipertensi, anti demam, dan anti biotik. Karena ada dugaan tumbuhan lokal ini
papuana Becc. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan isolasi dan uji anti plasmodium secara in vitro senyawa alkaloid dari Albertisia papuana Becc
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat senyawa alkaloid akar
tumbuhan Albertisia papuana Becc yang mempunyai aktivitas anti malaria secara in
vitro, khususnya terhadap parasit P. falciparum.
Manfaat Penelitian
Informasi tentang adanya aktivitas anti malaria dari akar tumbuhan sungkai
sayur (Albertisia papuana Becc) sebagai obat tradisional, juga meningkatkan nilai ekonominya. Selain itu, diharapkan informasi kandungan senyawa spesifik sungkai
sayur dapat dikembangkan sebagai fitofarmaka, sehingga menambah kekayaan obat
modern yang dihasilkan oleh Indonesia.
Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
a. Akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) memiliki kandungan
senyawa aktif dari golongan alkaloid jenis bisbenzylisokuinoline.
b. Senyawa aktif golongan alkaloid yang terdapat pada akar tumbuhan sungkai sayur
TINJAUAN PUSTAKA
Sistematika Tumbuhan Sungkai Sayur (Albertisia papuana Becc)
Berdasarkan hasil identifikasi daun, batang dan akar tumbuhan Sungkai Sayur
yang dilakukan di Herbarium Bogoreinse Biologi-LIPI Cibinong (hasil determinasi
pada Lampiran 1), hasilnya menunjukkan bahwa sampel penelitian ini dikenal dengan
nama latin Albertisia papuana Becc, dengan sistematika sebagai berikut :
Devisi : Sprematophyta
Sub devisi : Angispermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Menisspermales
Suku : Menispermaceae
Jenis : Albertisia papuana Becc.
Morfologi
Tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) merupakan tumbuhan perdu yang tumbuh liar di tempat-tempat subur dan lembab pada daerah perbukitan atau
dataran tinggi, tingginya 2-5 meter. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini menjalar
dengan cara membelitkan batangnya. Daun berbentuk lonjong dengan ujung lancip
berwarna hijau tua dengan tulang daun berbentuk ellips. Batang berwarna hijau muda, memiliki jarak tangkai daun yang rapat. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang yang
keras. Morfologi dan akar tumbuhan ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Daun dan akar tumbuhan Albertisia Papuana Becc
Genus Albertisia spp kira-kira ada delapan belas spesies. Lima spesies terdapat di Asia Tenggara, sebelas berada di daerah tropis, dan subtropis Afrika dan satu lagi di
daerah Afrika Selatan pada utara KwaZulu-Natal dan Mozambique (Wet 2005). Di
Indonesia salah satu speciesnya Albertisia papuana Becc terdapat di Sumatera nama lokalnya sukang dan balait, sedangkan di Kalimantan Tengah dengan nama sungkai
sayur dan ndeso.
Etnobotani tumbuhan
Etnobotani adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
secara menyeluruh antara masyarakat lokal dan alam lingkungannya meliputi
pengetahuan tentang sumber daya alam tumbuhan. Biasanya pemanfaatan tumbuhan
tersebut dihubungkan dengan konsep manusia mengenai pentingnya tumbuhan, obat dan
sebaliknya, juga berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat mengenai tumbuhan
tersebut.
Pemanfaatan ekstrak akar Albertisia delagoensis di Afrika (Wet 2005 ) : • Mengobati cacingan, menghilangkan rasa sakit pada saat menstruasi,
• Memperbaiki fungsi seksual laki-laki
• Menghilangkan sesak napas
• Meredakan sakit badan dan influensa
• Mengobati luka bakar dengan menaruh abu akar pada luka bakar
• Mengobati sakit punggung
• Memperlancar pencernaan bayi, dengan air rebusan akar dan daunnya
• Menjaga kesehatan bayi dalam kandungan dengan cara meminum air akar oleh wanita
yang sedang hamil.
• Untuk menyembuhkan diare dan muntah
• Untuk memperbaiki nafsu makan
Pemanfaatan daun Albertisia papuana Becc sehari-harinya sebagai penyedap
makanan atau penguat rasa oleh masyarakat lokal Kalimantan Tengah
(http://www.Albertecia.becc), dan akar dimanfaatkan sebagai obat penurun tekanan
darah tinggi (anti hipertensi).
Bahan aktif adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara
biologi. Aktivitasnya antara lain sebagai antimikroba yaitu suatu zat yang dapat
membunuh mikroba seperti bakteri, khamir, dan kapang yang dapat digunakan untuk
industri pangan dan farmasi. Zat bioaktif tumbuhan antara lain dapat berasal dari
golongan terpenoid, fenolik dan alkaloid (Vickery & Vickery 1981, Mann 1987).
Hasil penelitian pada 224 tumbuhan dari suku menispermaceae tahun 1996, teridentifikasi ada 1858 alkaloid. Berdasarkan identifikasi senyawa pada Albertisia
delagoensis, adanya alkaloid baru yaitu O-methylcocsoline, cocsoline, cocsuline,
cycleanine dan dicentrin.. Uji ekstrak metanol pada daun dan akar tumbuhan jenis ini ternyata memberikan potensi sebagai anti plasmodium dan anti toksit (Wet 2005).
Lohombo-Ekomba et al. (2004) telah melakukan pengujian aktivitas senyawa alkaloid sebagai anti bakterial, anti jamur, anti plasmodium dan anti toksit dari tumbuhan jenis
Albertisia villosa, diidentifikasi adanya senyawa alkaloid
bisbenzyltetrahidroisoquinoline, yaitu cycleanine, cocsoline dan N-desmethylcycleanine. Senyawa yang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap parasit
Plasmodium falciparum adalah cycleanine. Sementara, menurut penelitian Marie et al.
(1987), pada tumbuhan Albertisia papuana terdapat empat senyawa alkaloid
bisbenzylisoquinoline baru, yaitu 2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine, pangkorimine
dan norcocsuline. Struktur senyawa tersebut ditampilkan pada Gambar 2.
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Senyawa alkaloid bisbenzylisoquinoline:(a) norcocsuline, (b) cycleanine, (c)
cocsoline, (d) pangkoramine (Sumber: Marie et al. 1987, Lohombo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005).
Alkaloid
Pengertian alkaloid
Alkaloid berasal dari kata ”alkali” yang berarti basa dan ”oid” yang berarti
menyerupai. Alkaloid dapat diartikan sebagai senyawa yang menyerupai basa
(Fessenden & Fessenden 1997). Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang
mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (sebagai
gugus amina atau amida) dan bersifat basa (Fax & Whitersell 1994). Senyawa tersebut
dapat diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah-buah pada
tumbuhan (Solmons 2004). Penggolongan senyawa ini belum seragam, seperti
penggolongan berdasarkan bentuk cincin heterosiklik nitrogen, yaitu pirolidin,
piperidin, isokuinolin, kuinolin, dan indol. Selain itu, ada penggolongan menurut
biogenesisnya, yaitu alkaloid alisiklik, aromatik fenilalanin, dan aromatik indol.
Substituen oksigen ditemukan sebagai gugus phenol (Ph-OH), metilendioksi (-OCH2-O)
atau metoksi (-OCH3) pada posisi para dan meta dari cincin aromatik.
Penyebaran alkaloid
Menurut Achmadi (1986), bahwa alkaloid merupakan salah satu golongan
senyawa utama, diantara golongan senyawa organik, alkaloid merupakan golongan
senyawa yang terbesar jumlahnya, baik jumlah senyawa maupun penyebarannya dalam
dunia tumbuhan. Pada tumbuhan, alkaloid ditemukan pada tumbuhan dikotiledon, yaitu
suku Apocynaceae, Composite, Lequinosae, Loganiaceae, menispermaceae, Papaveraceae, Ranunculaceae, Rubiaceae, Rutaceae dan Solanaceae. Pada tumbuhan monokotledon, yaitu Amaryllidaceae dan Liliaceae (Harbone 1996). Alkaloid
ditemukan hampir pada semua bagian tumbuhan. Secara umum tidak mungkin
mengatakan bahwa alkaloid suatu bagian tumbuhan lebih besar dibandingkan bagian
lainnya. Pada awal pertumbuhan alkaloid tersebar merata pada seluruh jaringan
tumbuhan, dengan bertambah usia tumbuhan maka alkaloid akan mengalami proses
translokasi ke bagian lain dari tumbuhan, dan menumpuk pada bagian tersebut.
Biasanya alkaloid ini terkonsentrasi pada kulit kayu, daun, akar, dan bakal buah.
Sifat fisik dan kimia alkaloid
Alkaloid merupakan bahan alam yang mengandung nitrogen, biasanya merupakan
bagian dari suatu sistem siklik. Senyawa ini terdistribusi pada banyak tumbuhan dan
mungkin merupakan senyawa yang paling baik diketahui sifat dan potensi
farmakologinya. Oleh karena itu banyak obat yang didasarkan pada senyawa ini.
Biosintesis alkaloid berasal dari asam amino, terpena, atau senyawa aromatik tergantung
menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari tumbuhan langsung daripada
didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999).
Alkaloid merupakan senyawa dengan sifat alami basa dan reaksi dengan asam
mineral membentuk garam larut air. Sifat basa ini disebabkan karena adanya atom
nitrogen. Keberadaan nitrogen ini dapat berada dalam bentuk primer, sekunder atau
tersier. Sifat kebasaan dari alkaloid juga dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan,
dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid kebanyakan berbentuk padatan kristalin dan berasa
pahit (Sarker & Nahar 2007).
Struktur alkaloid dapat digolongkan menjadi beberapa jenis berdasarkan sistem
cincin atau kerangka struktur. Jenis-jenis tersebut antara lain adalah aporfina (turunan
tirosina), betaina, imidazola, indola (turunan triptofan), triptamina, ergolina, β
-karbolina, indolizidina, isokuinolina (turunan tirosina), makrosiklik spermina dan
spermidina, norlupinana (turunan lisina), fenetilamina (turunan fenilalanina), purina,
pridina dan turunan asam nikotinat, pirol dan pirolidina (turunan ornitina), pirolizidina,
kuinolina (turunan triptofan/asam antranilat), terpenoida/steroida terpenoida, steroida,
dan tropan (turunan ornitina) (Kaufman et al. 1999, Sarker & Nahar 2007).
Alkaloid yang berstruktur kompleks biasanya mempunyai warna, seperti berberina
dan serpentina yang berwarna kuning (Robinson 1995 & Harbone 1996). Alkaloid yang
sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan dari
tumbuhan langsung daripada didapatkan dari produk sintesis (Kaufman et al. 1999). Sifat basa dari alkaloid tergantung pada ketersediaan pasangan elektron bebas
nitrogen dan kearomatikan cincin heterosiklik yang mengandung nitrogen. Atom
nitrogen pada alkaloid hampir semuanya berada dalam bentuk –NR2 (amina) atau
–CO-NR2 (amida) dan tidak pernah dalam bentuk –NO2 (nitro) dan –N=N- (diazo). Sifat fisik
dan kimia alkaloid ini menentukan prosedur isolasi dan pemurnian suatu alkaloid
(Achmadi 1986).
Alkaloid bisbenzylisoquinoline
Tabel 1 Senyawa bioaktif dari turunan alkaloid bisbenzylisoquinoline
Turunan Alkaloid
bisbenzylisoquinoline
Fungsi Tumbuhan Pustaka
2,2-bisnorphaeanthine, pangkoramine,
pangkorimine dan
norcocsuline.
A. papuana Marie et al.
(1987)
Dauricine Cytotoxicity M. dauricum He et al. 1996 di acu oleh
Alexandrove et al. 2000
Cycleanine, cocsoline
dan
N-desmethylcycleanine
Anti
P. falciparum
A. villosa Lohombo-Ekomba et al.
(2004 )
O-methylcocsoline,
cocsoline, cocsuline,
cycleanine dan
dicentrine
Anti
P. falciparum
A. delagoensis Wet (2005)
Barbosa-Filho dan Da-Cunha (2000) menyatakan bahwa spesies Albertisia laurifolia Yamato mempunyai 6 senyawa bioaktif jenis alkaloid bisbenzylisoquinoline, yaitu apateline, aromoline, cocsoline, cocsuline, dapholine dan N-methylapateline.
Plasmodium falciparum
P. falciparum adalah protozoa parasit, salah satu spesies Plasmodium yang
menyebabkan penyakit malaria pada manusia. Protozoa ini masuk tubuh manusia
melalui gigitan nyamuk anopheles betina. P. falciparum menyebabkan infeksi paling berbahaya dan memiliki tingkat komplikasi dan mortalitas malaria tertinggi.
Semua jenis plasmodium memiliki siklus hidup yang sama yaitu sebagian di dalam tubuh manusia atau human (siklus aseksual) dan sebagian di tubuh anopheles
(siklus seksual) (Campbell et al. 1997, Arlan 2006, Tjay & Raharja 2007, Sutamihardja
et al. 2009). Gambar siklus hidup plasmodium tersebut disajikan pada Gambar 3, angka 1 sampai 7 pada gambar merupakan urutan tahapan siklus yang dijelaskan di
4 5 6
3 2 1 7
Gambar 3 Siklus hidup plasmodium di tubuh manusia
(Sumber : http://www.majalah-farmacia.com/images/articles/m/0603_13.jpg)
Siklus yang kedua yaitu siklus seksual (sporogoni) dalam tubuh nyamuk sebagai
berikut: (1) Siklus ini dimulai dengan nyamuk Anopheles betina menggigit orang yang
terinfeksi malaria dan mengambil gametosit plasmodium bersama dengan darah. (2) Gamet akan terbentuk dari gametosit jantan dan betina, sehingga fertilisasi terjadi dalam
saluran pencernaan nyamuk tersebut, kemudian terbentuk zigot. Zigot adalah
dan kemudian bermigrasi ke kelenjar lidah nyamuk tersebut. (4) Nyamuk yang
terinfeksi menyengat orang lain, menginfeksi korban dengan sprotozoit Plasmodium
Siklus aseksual (skizogoni) pada tubuh manusia ada dua tahap, yaitu siklus hati
(fase eritrosit) (5) Pada siklus ini nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit
manusia dan dengan ludahnya “menyuntik “ sprotozoit ke dalam darah. Protozoit
masuk ke dalam sel hati korban mengikuti peredaran darah. Merozoit akan berinteraksi
dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Invasi eritrosit oleh parasit malaria merupakan
proses yang terdiri tiga tahap yaitu (Pasvol 1992), recognition/pengenalan,
attachment/perlekatan, dan proses endositosis. Setelah beberapa hari, sporotozit mengalami pembelahan berkali-kali untuk menjadi merozoit, yang kemudian
menggunakan kompleks apikalnya itu untuk menembus sel darah merah korban. (6)
Merozoit tumbuh dan membelah secara aseksual sehingga menghasilkan banyak sekali
merozoit baru, yang secara berulang-ulang memecahkan sel darah dengan interval 48
atau 72 jam (tergantung pada spesiesnya). Interval demam ini menyebabkan penderita
mengalami demam dan menggigil secara periodik. Beberapa merozoit menginfeksi sel
darah merah baru. (7) Beberapa merozoit membelah membentuk gametosit, yang
menyelesaikan siklus kehidupannya dalam seekor nyamuk betina.
P. falciparum dapat resisten terhadap obat malaria karena mempunyai parasit ada gen yang resisten dan sensitif terhadap obat tertentu, sehingga gen yang satu lebih
dominan dari pada gen yang lain. Berdampak menimbulkan adanya galur yang resisten
dan sensitif. Teori kedua, gen mengalami mutasi dalam tubuh parasit yang
memungkinkan parasit tersebut menjadi resisten terhadap suatu obat dengan dosis
tertentu (Tuti 1992).
Penentuan resistensi atau tidaknya P. falciparum dapat dilakukan dengan cara in vivo dan in vitro. Cara in vivo dapat menunjukkan derajat resistensi parasit yang dinyatakan dalam tiga tingkatan yakni RI (resistensi derajat 1), RII, dan RIII. Cara in vitro hasilnya dinyatakan sebagai sensitifitas atau resistensi parasit, tanpa adanya
penjenjangan tingkatan. Kelebihan uji ini pada beberapa jenis obat dapat diuji secara
bersamaan (Tuti 1992).
Keuntungannya (Purwaningsih 2003), penggunaan biakan memungkinkan untuk
mempelajari aktivitas intrinsik obat secara lebih hemat dan lebih cepat, membutuhkan
dapat langsung diamati, memudahkan penapisan obat malaria baru, dimungkinkan
pemberian dosis yang tinggi, dan memungkinkan pembuatan vaksin malaria.
Separasi
Ekstraksi adalah satu proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air atau
pelarut organik (Meloan 1999). Metode pemisahan yang biasa digunakan antara lain
adalah maserasi, perkolasi, infusi, soxhletasi dan destilasi.
Prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan
tumbuhan seperti akar, biji, dan daun adalah melakukan ekstraksi secara kontinyu
serbuk bahan dengan suatu pelarut menggunakan alat Soxhlet. Pelarut yang digunakan
berganti-ganti, mulai dari pelarut non polar sampai pelarut polar yang disesuaikan
dengan sifat polaritas komponen yang akan diekstrak (Harbone 1996).
Tahap pemurnian suatu senyawa yang tercampur di dalam suatu ekstrak dapat
dipisahkan dengan cara tertentu, diantaranya yang umum digunakan adalah teknik
Kromatografi Kolom (KK), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT). Teknik kromatografi untuk memisahkan suatu campuran
komponen dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam
eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan
interaksi pelarut dengan fase gerak (Harbone 1996, Gritter et al. 1991, Hostetman et al.1997).
Pemisahan secara kromatografi dari berbagai senyawa dalam suatu bahan
didasarkan pada perbedaan kecepatan migrasi dan penyebaran dari molekul-molekul
senyawa yang merupakan hasil kesetimbangan distribusi dari senyawa-senyawa dalam
bahan antara fase diam dan fase gerak. Perbedaan kecepatan migrasi berhubungan
dengan perbedaan kecepatan gerak dari senyawa-senyawa yang berbeda sepanjang
kolom. Migrasi merupakan hasil distribusi keseimbangan dari senyawa-senyawa antara
fase diam dan fase gerak (Gritter et al. 1991).
Kromatografi adalah dasar teknik pemisahan multistage pada perbedaan antara komponen penyerap permukaan atau pelarut pada cairan (Meloan 1999). Kromatografi
digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponen-komponen.
diam (dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan) dan fase gerak (berupa
cairan atau gas). Fase gerak mengalir melalui fase diam dan membawa
komponen-komponen yang terdapat dalam campuran. Komponen-komponen-komponen yang berbeda
bergerak pada laju yang berbeda.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pilihan untuk pemisahan
semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, kuinon sederhana, dan
klorofil (Robinson 1991). Kromatografi lapis tipis memiliki kelebihan dibandingkan
teknik kromatografi lainnya, yaitu keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaan.
Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa sejumlah penyerap yang
berbeda-beda dapat disaputkan pada pelat kaca atau penyangga lain dan digunakan
untuk kromatografi. Walaupun silika gel paling banyak digunakan, lapisan dapat pula
dibuat dari aluminium oksida, damar penukar ion, magnesium fosfat, poliamnida,
sephadex, polivinil pirolidon, selulosa dan campuran dua bahan diatas atau lebih
(Gritter et al. 1991). Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat penyerap yang lebih padat bila disaput pada pelat dan memberikan keuntungan dalam menelaah
senyawa labil. Kepekaan KLT disebabkan dapat memisahkan bahan yang jumlahnya
lebih sedikit dari ukuran μg (Harbone 1996)
Prinsip-prinsip KLT yang utama adalah adsorben, pengembangan, dan deteksi
(Meloan 1996), teknik-teknik KLT yang penting meliputi persiapan plat,
pengembangan, dan visualisasi. Christie (1982) menyatakan bahwa silika gel adalah
adsorben yang paling umum digunakan untuk berbagai tujuan dan biasanya
mengandung kalsium sulfat yang berfungsi sebagai pengikat untuk meningkatkan daya
adhesi lapisan pada plat. Proses kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis
atau alumina yang seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang
keras.
Kromatografi Kolom Kilas
Kromatografi Kolom Kilas atau Flash Chromatography (FC) merupakan kromatografi sederhana dengan adanya tekanan rendah (umumnya < 20 psi) aplikasinya
merupakan suatu kualitas sedang, dimana kecepatan pemisahan 10-15 menit dan
menghasilkan kemurnian tinggi (Gritter et al. 1999 dan Meloan 1999). Contoh penggunan FC pada isolasi senyawa kuinon dan terpenoid dari Toona sinensis
(Rusiniadi 2006). Prinsip proses kerjanya sama dengan kromatografi kolom klasik,
adanya perbedaan migrasi komponen fase diam dan gerak. Perbedaan hanya pada
tekanan dan pengaturan sistim pompa otomatis. Fraksi yang diperoleh dilakukan
pemeriksaan spot dengan KLT. Hasil diperoleh spot tunggal dan berbentuk kristal,
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2009. Tempat pelaksanaannya
di Laboratorium Teknologi Kimia Kayu Departemen Hasil Hutan IPB, Herbarium
Bogoriensis Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi – LIPI di Cibinong, Laboratorium
Kimia Analitik Departemen Kimia IPB. Laboratorium U.S NAMRU-2 (U.S Naval Medical Research Unit Two) di Jakarta Pusat.
Metode Penelitian
Bahan tumbuhan
Akar tumbuhan sungkai sayur (Albertisia papuana Becc) yang dikumpulkan sejak bulan Januari 2009 dari hutan tropika basah di Desa Pendreh Kabupaten Barito Utara
Propinsi Kalimantan Tengah .
Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel di lapangan tumbuhan Albertisia Papuana Becc (Sumber: www.google.earth.kaliamantantengah.baritoutara)
Wilayah Kabupaten Barito Utara
Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah n-heksana yang
digunakan untuk menghilangkan lemak pada sampel. Etanol 80 %, HCl 0,1 M, dan
CH2Cl2 untuk mengekstrasi bahan, NH4OH 6 % untuk mengendapkan alkaloid. Bahan
kimia untuk kromatografi lapis tipis antara lain lempeng KLT silika gel G 60 F254,
pelarut pengembang aseton, diklorometana, dan metanol serta reagen iodoplatina.
Bahan kimia untuk Kromatografi Kolom (KK) menggunakan glasswool sebagai penyumbat agar eluen tidak keluar dari kolom dan silika gel sebagai fase diam.
Bahan kimia untuk uji anti plasmodium yang digunakan adalah Rosewell Part
Memorial Institute (RPMI) 1640 yang mengandung L-glutamin, asam gentamisin sulfat
injeksi, NaCl 0,9 % dan 3,5 %; sorbitol 5 %, serum dan sel darah merah (RBC), zat
antikoagulan sitrat fosfat dektrosa (CPD), akuabidestilata, pewarna Giemsa, larutan
buffer fosfat pH 7,2 alkohol metanol.
Peralatan
Alat-alat yang digunakan adalah timbangan digital, alat untuk ekstraksi seperti
gelas piala, seperangkat alat Sokhlet, vacuum rotary evaporator, pengaduk, bejana Kromatografi Lapis Tipis, seperangkat alat Kromatografi Kolom Kilas, Spektrometer
UV-Vis dan Spektrometer FTIR,
Alat untuk pengujian anti malaria, yaitu inkubator, membran Milipore ukuran
0,22 dan 0,45 μm, tabung sentrifus ukuran 10 dan 50 mL, lampu UV, ruang Laminar Air Flow, eksikator, alat vortex, dan mikroskop cahaya
Prosedur Penelitian
Pengumpulan sampel
Sampel berupa akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dikumpulkan dari hutan
tropika di Kalimantan Tengah dengan sistem acak tanpa melihat umur tumbuhan dan
besarnya batang akar, tetapi diambil dari tumbuhan yang secara fisik sehat dan subur.
Determinasi tumbuhan sungkai sayur dilaksanakan di Herbarium Bogoriense Bidang
Botani Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Cibinong (Hasil
Preparasi sampel
Sampel akar tumbuhan Albertisia papuana Becc dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan tanpa kontak langsung sinar matahari.
Setelah bersih dan kering, dipotong-potong kemudian diserbukkan dengan
menggunakan alat Hammer Mill dengan ukuran serbuk 40 mesh (TAPPI T257 cm-85).
Penetapan kadar Air
Cawan porselin dikeringkan pada suhu 105 oC selama 30 menit kemudian di
dinginkan dalam desikator dan timbang. Sebanyak 3 g sampel sungkai sayur
dimasukkan dalam cawan dan dipanaskan pada suhu 105 oC selama 6 jam sampai
diperoleh bobot konstan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Hitung
kadar airnya denngan persamaan sebagai berikut :
Kadar air (%) = A – B x 100%
A
Keterangan :
A adalah berat sampel (g)
B adalah berat sampel setelah dikeringkan (g)
Ekstraksi senyawa bioaktif alkaloid
500 gram serbuk kering sampel yang telah dikeringkan, diekstraksi dengan
n-heksana selama 8 jam menggunakan 4 buah Soxhlet secara paralel masing-masing tiga
kali pengulangan, untuk menghilangkan kandungan lemaknya (Purwatiningsih 2003).
Residu yang dihasilkan dikeringkan atau dihilangkan pelarut n-heksana dengan
membiarkan residu selama 1 hari. Selanjutnya dimaserasi menggunakan etanol 80 %
selama 1 hari pada suhu kamar dalam maserator. Rendaman disaring menggunakan
kertas saring halus dan filtratnya disimpan. Residu dimaserasi kembali dengan pelarut
yang sama selama 1 hari sampai diperoleh filtrat yang tidak berwarna. Filtrat yang
diperoleh dijadikan satu kemudian dipekatkan dengan vakum rotary evaporator untuk
menghasilkan ekstrak kasar dan dilarutkan dalam air. Ekstrak air diasamkan dengan
HCl 0,1 M sampai memiliki pH 2-3, biarkan sekurang-kurangnya 4 jam, kemudian di
partisi dengan CH2Cl2. Fase asam yang diperoleh diendapkan dengan meneteskan
dengan NH4OH 1 %. Sehingga diperoleh ekstrak pekat alkaloid kasar selanjutnya
dilakukan uji fitokimia dan uji anti plasmodium. Prosedur pengujian ini mengacu pada
cara kerja Lohombo-Ekomba et al. (2004). Diagram alir kerja tersebut ditunjukkan
pada Lampiran 2.
Fraksinasi senyawa anti malaria
Pemisahan senyawa anti malaria dari ekstrak kasar alkaloid tumbuhan Albertisia
papuana Becc dari Kalimantan Tengah dilakukan dengan teknik mencari eluen yang cocok. Eluen yang digunakan dalam KLT adalah eluen menurut Lohombo-Ekomba et al. (2004) yaitu menggunakan campuran pelarut diklorometana : metanol dan aseton : metanol, dengan sistem gradien. Prosedur kerjanya adalah sebagai berikut, lempeng
lapis tipis silika gel G 60 F254 dengan ukuran panjang 10 cm dan lebar 1 cm diberi tanda
garis dengan pensil pada jarak 1 cm dari salah satu ujung lempeng. Ekstrak aktif
antimalaria dilarutkan dalam pelarut asalnya. Eluen yang akan digunakan dimasukkan
ke dalam tabung kromatografi hingga 2 cm tingginya dari dasar tabung dan ditaruh
kertas saring kemudian ditutup rapat agar jenuh dengan uap eluen. Larutan ekstrak
sampel diteteskan dengan pipa kapiler pada lempeng silika gel. Penetesan dilakukan
pada jarak 1 cm dari salah satu ujung. Ujung lempeng yang terdekat pada tempat
penetesan dicelupkan ke dalam tabung kromatografi yang sudah jenuh dengan eluen.
Tabung kemudian ditutup rapat dan dibiarkan pelarut naik sampai batas yang ditentukan
yaitu 1 cm dari batas atas. Setelah elusi pada batas tertentu, lempeng diangkat dan
selanjutnya dikeringkan pada suhu ruang selama beberapa menit, kemudian dideteksi
pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm.
Kromatografi kolom kilas dan identifikasi senyawa aktif
Sebanyak 1 gram ekstrak pekat alkaloid yang berasal dari Albertisia papuana
Becc dilarutkan dalam metanol dan dengan menggunakan eluen terbaik kemudian
dipisahkan komponen-komponennya dengan menggunakan kromatografi kolom kilas.
diuji dengan KLT. Fraksi yang memiliki Rf dan pola penampakan noda yang sama
pada KLT digabung sebagai satu fraksi kemudian di evaporasi dan di uji aktivitas anti
malaria untuk mendapatkan fraksi yang paling aktif. Identifikasi senyawa aktif
dilakukan dengan menganalisis data spektrum ultra violet dan spektrum inframerah.
Uji aktivitas anti malaria
Pengujian anti malaria dilakukan pada ekstrak kasar alkaloid maupun hasil
fraksinasi Kromatografi Kolom Kilas. Prosedur penyiapan pengujiannya mengacu
kepada cara kerja Trager dan Jensen (1976) diacu oleh Pharm dan Afshar(1982), Tuti et al. (1994), Jansen (2000), Purwantiningsih (2003) dan prosedur Laboratorium Parasitologi NAMRU (2009). Beberapa tahap awal persiapan pengujian aktivitas anti
malaria secara in vitro terhadap P.falciparum yaitu : penyiapan media biakan, penyiapan sel darah merah (steril), pengembangan biakan parasit P. falciparum, pemeliharaan parasit P. falciparum, sinkronisasi, pengujian anti malaria secara in vitro, pemanenan dan evaluasi hasil pengujian. Sebelum tahap pembiakan tersebut
dilakukan, perlu disiapkan hal-hal seperti berikut:
Penyiapan media biakan
Tahap ini merupakan penyiapan bahan dan media pembiakan kultur P.falciparum yaitu:
Pembuatan medium dasar RPMI 1640 (RP)
RPMI 1640 sebanyak 10,4 gram ditambahkan 5,96 gram asam N-2-hidroksil etil
piperzin-N-2-etana sulfonat (HEPES) untuk mendapatkan kepekatan 25 mM dengan pH
6,75 dan kemudian diaduk hingga homogen. Selanjutnya ditambahkan zat antibiotik
gentamisin sulfat sebanyak 50 mg. Larutan tersebut disterilisasi dan disimpan pada suhu
4 oC
Penyiapan larutan NaHCO3 5 % (b/v)
5 gram NaHCO3 dilarutkan dengan air destilat sampai menjadi 100 ml larutan.
Selanjutnya larutan ditempatkan dalam botol reagen steril dan disimpan pada suhu 4 oC.
RPMI 1640 + 4,2 mL larutan NaHCO3 5% (b/v), dibuat sebanyak 100 ml untuk
mendapatkan media tanpa serum dengan pH 7,4 yang selanjutnya disebut dengan RP.
Larutan tersebut disteril dan disimpan pada suhu 4oC.
Pembuatan serum
Darah golongan “O” sebanyak ± 120 ml dimasukkan dalam conical tube 50 ml dan diinkubasi pada suhu ± 37oC dalam NAPCO water jacketed CO2selama 2 jam.
Selanjutnya ditimbang dan disentrifus 2000 rpm (high speed) selama 20-30 menit. Diperoleh serum (bagian atas) terpisahkan dari RBC, serum dimasukkan dalam conical tube 15 ml, RBC dibuang. Jika masih ada sisa serum dilakukan lagi sentrifus terhadap RBC seperti cara sebelumnya. Serum diinaktiv pada suhu 56 oC selama 30 menit,
diberi label Δ. Sebelum digunakan serum disimpan dalam freezer -20oC
Pembuatan medium lengkap
RPMI 1640 dengan 42 mL larutan NaHCO3 5% (b/v) sebanyak 100 mL sebagai
media dasar (b/v) masukan serum dari darah golongan ”O” sebanyak 11,5 ml.
Selanjutnya disterilisasi dengan cara filtrasi melalui membran yang berdiameter 0,22
μM. Media ini disimpan pada suhu 4 oC dan hanya bertahan 1 minggu. Media ini dikenal dengan RP+HS.
Pembuatan RBC
CPD dimasukan sebanyak 1,5 ml ke dalam conical tube 50 ml (1,4 ml CPD untuk 10 ml darah). Darah diambil 2 x 10 ml, dimasukkan dalam 2 conical tube yang sudah di isi CPD. Selanjutnya darah golongan “O” + CPD disetrifus 1800 rpm selama 10 menit.
Diperoleh plasma dan buffy coat dibuang dengan pipet Pasteur steril. Darah yang tersisa ditambahkan medium transport, dibolak-balik, disentrifus 1800 rpm selama 10
menit tahapan ini disebut washing 1. Supernatan (beserta sisa buffly coat) dibuang. Darah yang tersisa dicuci lagi seperti tahap washing 1, tahapan ini disebut washing 2. Endapan ditambahkan growth medium sebanyak jumlah endapan (rasio 1:1).
Selanjutnya dilakukan pencampuran dengan cara up dan down perlahan, jangan digoyang. Simpan diruang pendingin pada suhu 4 oC
Larutan RPMI + 5,94 HEPES + 1 ml gentamisin ke dalam 960 ml aquabides.
Larutan distirer hingga homogen, difilter (liter 0,22 µm), dan dipindahkan ke dalam
flask 275 ml.
Pembuatan growth medium (GM/RPMI)
100 ml RPMI diambil dan ditempatkan ke dalam flask 200 ml. Tambahkan 4.2 ml
NaHCO3, 12 ml serum, dan 2 ml hypoxanthine. Selanjutnya media tersebut disteril
dengan filter ukuran 0,22 µM dan dimasukkan ke dalam flask 50 ml baru. Media
tersebut disimpan pada suhu 4oC.
Penyiapan sel darah merah yang tidak terinfeksi parasit (RBC 50%)
Darah golongan ”O” sebanyak 10 mL dicampur dengan 1,4 mL larutan zat
antikoagulan CPD. Larutan diaduk perlahan-lahan sampai homogen, selanjutnya larutan
disentrifus dengan kecepatan putar 1500 rpm selama 15 menit pada suhu kamar. Untuk
mendapatkan endapan atau packed cell dengan cara plasma dibuang dengan
menggunakan pipet Pasteur, packed cell yang tertinggal dicuci dengan media transport sebanyak dua kali. Packed cell dan media disuspensikan ke dalam media lengkap (RP+HS) dengan perbandingan volume 1:1. Suspensi ini mengandung 50 % eritrosit
dan disebut sebagai Red Blood Cell (RBC) 50 %. Suspensi ini disimpan pada suhu 4 oC dan tiap seminggu sekali perlu pengantian RP+HS.
Pengembangbiakan Parasit P. falciparum Pembukaan kultur
Kultur di-thawing, bisa dengan memasukkan ke dalam waterbath 37 oC atau
dengan menggunakan tangan. Tambahkan NaCl 3,5 % dengan pipet Pasteur steril ke dalam kultur, dicampur. Selanjutnya kultur dipindahkan ke dalam tube 15 ml, disetrifus
1500 rpm 7 menit. Supernatan dibuang, dimasukkan NaCl lagi dan dicampur.
Lakukan sentrifus ≤ 1000 rpm selama 7 menit, endapan tidak boleh terlalu padat
supaya serum bisa berinteraksi dengan kultur. Kemudian sentrifus 1500 rpm 7 menit,
selanjutnya supernatan dibuang, dimasukkan washing medium sampai volume larutan total ± 10 ml. Tambahkan 4 tetes RBC,lalu dimasukkan washing medium sampai volume larutan total ± 10 ml. Lakukan lagi sentrifus 1500 rpm 7 menit, endapan yang
beberapa tetesan untuk pembuatan slide. Ambil sebanyak 8 ml Growth Medium (GM), 4 ml dimasukkan tube kosong, 4 ml dimasukkan ke dalam endapan. GM dan endapan
kultur dicampur hingga homogen kemudian dipindahkan ke dalam 2 cawan petri (1
cawan petri berisi ± 2 ml). Sisa growth medium (yang sebelumnya dimasukkan dalam tube kosong) dimasukkan juga ke dalam 2 cawan petri tersebut sehingga volume total
isi cawan petri ± 4 ml. Biakan dimasukkan ke dalam candle jar dengan kondisi gas O2
3%, CO2 4 % dan N2 93 %. Untuk mendapatkan kondisi tersebut, caranya dalam
candle jar yang telah berisi cawan-cawan petri biakan diletakkan lilin yang menyala.
Bila nyala lilin hampir padam, candle jar ditutup sehingga kedap udara. Kemudian
candle jar diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC. Diagram alir pembukaan kultur
P. falciparum ditampilkan pada Lampiran 3.
Pembuatan slide
Pembuatan slide apusan darah tebal, teteskan ± 3 tetes darah, untuk slide darah
apusan tipis cukup 1 tetes. Pada apusan tebal, tetesan-tetesan darah diratakan,
sedangkan untuk apusan tipis darah digeser dengan kaca slide lain. Apusan tipis dicelup
dalam metanol 1% (fiksasi) selama 1 detik, kemudian dikeringkan. Sedangkan apusan
tebal tidak difiksasi tetapi langsung dikeringkan. Buat larutan Giemsa 1 : 10 dalam
syringe, bolak-balik. Setelah slide kering, dilakukan pewarnaan (slide diteteskan giemsa sampai seluruh permukaan slide tertutup). Inkubasi slide 20 menit pada suhu ruang.
Setelah 20 menit, Giemsa dibilas dengan air perlahan. Slide dikeringkan, setelah kering
diberi minyak imersi dan dapat dibaca di mikroskop.
Pemeliharaan biakan kultur parasit P.falcifarum
Eritrosit yang terinfeksi parasit disuspensikan dengan eritrosit yang tidak
terinfeksi selanjutnya diencerkan dengan media lengkap RP+HS sehingga diperoleh
kepadatan parasit 2 % dengan 4 % hematokrit. Suspensi ini dimasukkan ke dalam
cawan petri berdiameter 50 mm masing-masing sebanyak 4 mL. Setiap 24 jam media
RP+HS diganti dengan media RP+HS yang segar. Cara mengganti media adalah dengan
cawan petri dikeluarkan dari candle jar, dimiringkan kira-kira 30 oC dalam ruang steril
memantau pertumbuhan parasit. Kemudian, cawan petri diletakkan mendatar dan ke
dalamnya ditambahkan media RP+HS baru sebanyak 3,5 ml. Cawan petri digoyang
perlahan agar suspensi parasit menjadi homogen kembali. Cawan petri diletakkan dalam
candle jar dan diinkubasi dalam inkubator.
Penghitungan persentase parasitemia
Persen parasitemia yang terkandung dalam biakan diamati melalui slide apusan
darah tipis. Slide diamati dengan mikroskop pada pembesaran 10 x 100. Inti parasit
terlihat berwarna merah dan plasmanya berwarna biru. Sel darah merah akan terlihat
berwarna merah muda, sedangkan titik-titik Maurer (ciri-ciri bentuk parasit) terlihat berwarna merah tua ditemukan pada stadium ring tua. Pengamatan dilakukan dengan
menghitung jumlah parasit yang hidup terhadap 1.000 eritrosit. Bila kadar
parasitemianya tinggi maka biakan tersebut perlu diencerkan dengan penambahan sel
darah merah (RBC 50 %). Seluruh darah dari cawan petri dikumpulkan dalam conical tube, disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan dihitung banyaknya endapan darah. Endapan darah sebanyak 0,1 – 0,2 dalam conical tube selanjutnya ditambahkan dengan 0,9 ml RBC, dicampur dan ditambahkan dengan medium lengkap sampai 16 ml. Selanjutnya parasit dibagi dalam 4 cawan petri
masing-masing 4 ml dan disimpan kembali dalam candle jar. Kadar parasitemia diatur pada kisaran 0,5-1,6 % (WHO 2008).
Teknik sinkronisasi
Teknik sinkronisasi adalah parasit dalam biakan dikumpulkan dan dimasukkan ke
dalam tabung sentrifus. Suspensi disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15
menit dan supernatan dibuang dengan bantuan pipet Pasteur. Packed cell yang tertinggal dihitung volumenya. Bila volumenya packed cell kira-kira 1 ml, maka larutan sorbitol 5% yang ditambahkan sampai ± 10 ml. Campuran diaduk perlahan dengan pipet
Pasteur sampai terlihat homogen selama 5-10 menit. Selanjutnya campuran tersebut disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dengan
dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 37 oC. Setelah 48 jam parasit hasil
sinkronisasi ini siap digunakan untuk uji in vitro. Setiap 24 jam dipantau kadar parasitemia dan bentuk parasitnya. Bentuk parasit yang dipakai pada uji in vitro adalah
bentuk cincin dengan umur tidak boleh lebih dari 48 jam.
Pengujian anti malaria secara in vitro
Pengujian anti malaria mengacu pada prosedur kerja oleh Purwantiningsih (2003)
dan NAMRU-2 (2009). Parasit dengan kadar parasetimia 1 % dipersiapkan dengan cara
semua parasit dari galur resisten (W2) dan galur sensitif (D6) dikumpulkan dari cawan
petri ke masing- masing conical tube yang telah diberi tanda setelah hasil sinkronisasi selama 48 jam. Parasit diambil dengan cara disentrifus selama 15 menit
dengan kecepatan 1500 rpm, supernatan dibuang dengan pipet pasteur dan dihitung sisa endapan. Jika endapan terdapat 0,2 ml, maka tambahkan dengan growth medium sampai 10 ml. Pada conical tube lain disiapkan RBC 50 % (eritrosit tak berparasit ) sebanyak
0,4 ml dan ditambahkan growth medium sampai 10 mL. Slide apusan darah tipis
sebelumnya sudah memberikan informasi kadar parasetimia galur D6 dan galur W2,
misalnya parasetimia D6 2 %, maka dari conical tube yang berisi parasit diambil 1 bagian volume dan diambil 1 bagian volume dari conical tube tak berparasit. Dicampur sampai homogen, dan siap dilakukan uji aktivitas anti malaria. Anti plasmodium
dilakukan tiga kali dengan tiga kali replikasi, memakai lempeng sumur mikro 96
lubang. Terbagi menjadi 8 baris (A-H) dan 12 kolom (1-18) dengan rincian sebagai
berikut :
- Baris A, kolom 1 - 12 diisi dengan larutan dengan 100 µg tanpa parasit
- Baris B, kolom 1 - 12 diisi dengan larutan etanol sebagai kontrol.
- Baris C, kolom 1 - 6 , ekstrak uji dengan konsentrasi 0,01 µg/mL untuk W2
- Baris C, kolom 7 - 12 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,01 µg/mL untuk D6
- Baris D, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,1 µg/mL untuk W2
- Baris D, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 0,1 µg/mL untuk D6
- Baris E, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 1 µg/mL untuk W2
- Baris E, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 1 µg/mL untuk D6
- Baris F, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 10 µg/mL untuk W2
- Baris G, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 100 µg/mL untuk W2
- Baris G, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 100 µg/mL untuk D6
- Baris H, kolom 1-6 ekstrak uji dengan konsentrasi 1000 µg/mL untuk W2
- Baris H, kolom 7-12 ekstrak uji dengan konsentrasi 1000 µg/mL untuk D6
Tahapan pengujiannya sebagai berikut :
Lempengan sumur mikro yang telah berisi bahan uji dibiarkan terbuka dalam
ruang steril (laminar air flow) sampai semua pelarut menguap dan di dalam lempeng
sumur mikro hanya tertinggal contoh uji yang menempel pada dinding sumur.
Sebanyak 50 μL suspensi parasit dengan kadar parasitemia 1 % dimasukan ke dalam
tiap sumur. Lempengan sumur mikro ditutup dan digoyangkan secara perlahan supaya
bahan uji menyatu dengan suspensi parasit. Inkubasikan lempeng sumur tersebut pada
suhu 37 oC selama 48 jam dan 72 jam pada eksikator berisi lilin (candle jar).
Pemanenan dan evaluasi hasil pengujian pengaruh antimalaria
Lempeng sumur mikro dikeluarkan dari inkubator dan candle jar. Suspensi bagian atas dibuang ± 20 μL sehingga yang tertinggal hanya supensi yang lebih pekat. Suspensi
tersebut diambil dengan pipet Eppendorf selanjutnya diteteskan pada slide mikroskop,
untuk dibuat slide hapusan darah tebal. Setiap kolom dibuat slide apusan darah tebal
sebanyak tiga kali ulangan (Gambar 5). Semua slide dikeringkan pada suhu kamar
selama 1 hari, diwarnai dengan pewarna Giemsa. Biarkan selama 20 menit. Cuci secara
hati-hati dengan air mengalir sampai semua larutan Giemsa hilang dan lanjutkan
pengeringan kembali diudara. Slide tersebut amati pada mikroskop pada pembesaran 10
x 100 dan hitung jumlah skizon hidup dengan minimal 3 inti terhadap 200 aseksual
parasit P. falciparum. Persentase penghambatan parasit P. falciparum hitung dengan cara membandingkan dengan media kontrol dan dirumuskan sebagai berikut :
% Penghambatan = 100 % -[(Nt/Nc) x 100 %]
Keterangan :
Nt = jumlah skizon hidup per 200 aseksual P.falciparum pada sumur pengujian
Gambar 5 Pola pembuatan slide apusan darah tebal A B C D F G
HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi Sampel
Akar tanaman sungkai sayur digunakan pada penelitian ini diperoleh dari hutan
tropika basah, secara administratif masuk di wilayah desa Pendreh Kabupaten Muara
Teweh Propinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan hasil identifikasi tumbuhan oleh
Pusat Penelitian Biologi LIPI, tumbuhan ini termasuk dalam suku Menispermaceae
dengan nama latin Albertisia papuana Becc.
Albertisia papuana Becc yang digunakan sebagai contoh uji, dipilih dari tumbuhan yang sehat secara fisik tanpa melihat usia tumbuhan karena diperoleh dari
hutan tanpa budidaya dan bagian yang diambil adalah akar tunggang, sehingga
diharapkan senyawa-senyawa di dalam akar telah terbentuk sempurna. Akar yang
digunakan adalah akar yang berwarna coklat yang berkualitas baik. Akar yang
berkualitas baik adalah yang tidak terinfeksi oleh virus, bakteri atau jamur (Harbone
1997). Untuk menghindari pencemaran akibat komponen pengotor seperti debu dan
tanah, maka akar sebelum dianalisis dicuci dalam waktu yang singkat dan tidak diulang
untuk mencegah berkurangnya rendemen alkaloid karena sebagian kecil alkaloid akan
larut bersama air pencuci. Bagian akar dipilih sebagai sampel didasarkan pada kearifan
lokal masyarakat setempat yang memanfaatkan akar ini sebagai obat tradisional untuk
menurunkan tekanan darah tinggi.
Pengeringan dilakukan pada suhu ruangan tanpa menggunakan suhu tinggi
selama 3 hari untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang tidak diinginkan.
Dihasilkan 2.500 gram serbuk akar sungkai sayur berwarna coklat terang yang telah
dikering anginkan dari 6.500 gram berat kotor akar.
Kadar Air Sampel Albertisia papuana Becc
Kadar air berguna untuk menyatakan kandungan zat dalam tumbuhan sebagai
persen bahan kering dan untuk mengetahui ketahanan suatu bahan dalam penyimpanan.
Tujuan pengeringan sampel untuk menghindari pertumbuhan mikroba, sebab kadar air
pada bahan akan mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroba. Kadar air yang
perlakuan terhadap bahan, waktu pengambilan bahan, dan besarnya penguapan. Kadar
air sampel Albertisia papuana Becc adalah 3,53 %, Secara lengkap kadar air Albertisia papuana Becc disajikan pada Lampiran 4.
Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara soxhletasi dan maserasi mengikuti metode
Lohombo-Ekomba et al. (2004). Metode sokhlet dengan pelarut n-heksana bertujuan untuk mengambil senyawaan yang bersifat non polar seperti lemak dan terpen.
Senyawaan lemak tersebut bila tidak dihilangkan maka pada proses ekstraksi akan
didapat emulsi sehingga menyulitkan proses analisis selanjutnya. Pemanfaatan metode
ini lebih efektif dari segi waktu karena dibantu oleh pemanasan. Struktur alkaloid yang
ingin dijaring dalam penelitian ini memiliki struktur yang tahan terhadap pemanasan.
Selanjutnya residu hasil soxhletasi dihilangkan pelarut dengan cara menguapkannya
pada suhu ruang selama 24 jam, dilakukan maserasi dengan etanol 80 % selama 24 jam
sebanyak 3 kali pengulangan dibantu dengan pengadukan. Metode maserasi dilakukan
karena memiliki kelebihan yaitu cara pengerjaan dan peralatan sangat sederhana dan
mudah, meskipun memiliki kekurangan yaitu pengerjaan lama dan pengekstrakan
kurang sempurna.
Filtrat hasil maserasi dilakukan pemekatan dengan rotary evaporator sampai etanol menguap, dengan perhitungan kurang lebih 1/10 cairan tersisa dari volume filtrat
awal, ekstrak kental diperoleh berwarna coklat tua. Penggunaan etanol sebagai bahan
pengekstrasi pada proses maserasi karena menurut Harbone (1996), alkaloid dari
tumbuhan bersifat basa sehingga untuk melarutkannya dapat dilakukan dengan alkohol
yang bersifat asam lemah. Etanol merupakan pelarut serbaguna yang baik untuk
ekstraksi pendahuluan. Selain itu menurut Achmadi (1990), cara pemilihan pelarut
didasarkan pada selektifitas, mudah penanganannya, ekonomis, dan ramah lingkungan.
Ekstrak kental berwarna coklat tua selanjutnya diasamkan dengan HCl 0,1 M
sampai memiliki pH 2-3. Tujuan pengasaman ini untuk melarutkan alkaloid di dalam air
dalam bentuk garam amina (Robinson 1995). Amina bereaksi dengan asam kuat
membentuk garam alkilamonium. Jenis reaksi ini digunakan untuk memisahkan amina
dari zat netral atau zat yang larut dalam air bersuasana asam. Gambar 6 menampilkan
+ H X R3N H X R3N
[image:41.612.171.440.79.113.2]+
Gambar 6 Reaksi amina dengan asam kuat
(Sumber : Fessenden dan Fessenden 1997, Hart et al. 2003)
Hasil pengasaman dipartisi dengan menggunakan diklorometan (CH2Cl2)
sebanyak 3 kali sehingga didapat dua lapisan yaitu lapisan air atau asam dan lapisan
diklorometan. Lapisan air diambil kemudian dibasakan dengan NH4OH 6 % sampai
pH 9-10 dan membentuk endapan. Proses tersebut sesuai dengan Robinson (1995) serta
Hart, Craine & Hart (2003). Pada reaksi amina dengan asam kuat menghasilkan garam
amina, yang dapat dibebaskan dari garamnya dengan membasakan larutan dengan basa
kuat seperti NH4OH (Gambar 7).
R3NH Cl- R3NH2 + NH4+Cl- + H2O NH4OH
air
Gambar 7 Reaksi pembasaan asam amina dengan cara pembasaan
Prosedur untuk mendapatkan ekstrak kasar alkaloid dari akar Albertisia papuana
Becc yang dilakukan dalam penelitian ini, pada prinsipnya sesuai dengan pernyataan
Wet (2005) dalam disertasinya, ada dua prosedur umum untuk mendapatkan ekstrak
alkaloid yaitu ekstraksi alkaloid secara analitik dan secara bulk yaitu melalui tahap
pengasaman dengan mengunakan asam kuat dan tahapan pembasaan untuk
mengendapkan alkaloid.
Rendemen
Hasil ekstraksi sampel Albertisia papuana Becc mendapatkan rendemen sebesar 0,43 % dari berat kering serbuk sampel. Lavault et al. (1987) mengekstraksi alkaloid dari Albertisia Papuana, diperoleh rendemen sebesar 4,6 % dari serbuk kering
Perbedaan hasil rendemen tersebut diduga disebabkan proses pembasaan amina
dari garamnya tidak maksimal. Uji fitokimia pada Albertisia papuana Becc bagian supernatan fase basa menunjukkan adanya kandungan alkaloid cukup pekat (+++), yang
mengindikasikan belum maksimal proses pembasaan, diduga disebabkan pH yang
dibutuhkan harus lebih dari 10. Perbedaan rendemen ini disebabkan tempat tumbuh
ekstrak sampel tumbuhan, karena kondisi alam dan tanah mempengaruhi kandungan
metabolit sekunder (Harbone 1996). Perbedaan tersebut juga karena perbedaan sampel
yang digunakan, serta dengan bertambahnya usia tumbuhan dan menumpuknya
senyawa metabolit sekunder pada bagian tumbuhan. Umumnya senyawa alkaloid
terkonsentrasi pada bagian bagian kulit tumbuhan, daun, akar dan bakal buah
(Robinson 1995).
Kandungan Fitokimia
[image:42.612.107.481.540.660.2]Simplisia Albertisia papuana Becc mengandung alkaloid, fenol hidrokuinon, triterpenoid, steroid, tanin dan saponin, akan tetapi yang negatif untuk flavonoid
(Tabel 2). Adanya senyawa golongan alkaloid pada simplisia, sesuai dengan yang
dilaporkan pada suku Menispermaceae (Henry 1913, Merie 1986, Simanjuntak 1995, Lohombo-Ekomba et al. 2004, Wet 2005). Uji kualitatif alkaloid pada ekstrak pekat alkaloid menunjukkan adanya alkaloid, yang lebih banyak dibandingkan supernatan
fase basa maupun simplisianya.
Tabel 2 Hasil uji fitokimia Albertisia papuana Becc pada simplisia, ekstrak kasar alkaloid dan supernatan fase basa
Senyawa Simplisia Ekstrak kasar alkaloid Supernatan fase basa Alkaloid Flavonoid Fenol Hidrokuinon Triterpenoid Steroid Tanin Saponin ++ - + + ++ + ++ ++++ - + + + + ++ +++ - + + - ++ +++
Gambar 8 Uji fitokimia alkaloid: Dragendorf (D), Wagner (W) dan Mayer (M) terhadap simplisia (S), ekstrak kasar alkaloid (E), dan supernatan fase basa (Sp) dari Albertisia papuana Becc.
Hasil uji positif alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan berwarna
berturut-turut putih, coklat, dan merah jingga terhadap pereaksi Dragendorf, Wagner,
dan Mayer (Gambar 8). Prinsip uji ini adalah reaksi penggantian ligan. Atom nitrogen
yang mempunyai pasangan elektron bebas pada alkaloid dapat mengganti lignan iodo
pada pereaksi Mayer sehingga membentuk endapan putih sebagai kompleks alkaloid.
Pada uji ini, sebagai pengekstrak alkaloid dari bahan tumbuhan awal adalah
kloroform-amoniak dan digunakan larutan asam untuk memisahkan.
Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol
merupakan dasar penentuan adanya senyawa flavonoid pada sampel. Uji positif untuk
triterpenoid serta steroid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu
triterpenoid serta hijau atau biru untuk steroid. Saponin dapat membentuk buih yang
stabil selama 10 menit setelah larutan sampelnya dikocok selama 10 menit. Senyawa
tanin umumnya terdapat pada tanaman berpembuluh dan memberikan rasa sepat
sehingga dapat berpotensi sebagai antifeedant, antioksidan, dan penghambat pertumbuhan tumor. Senyawa triterpenoid juga dapat memberikan rasa pahit dan
saponin jika dikonsumsi berlebihan bersifat toksik.
Kandungan alkaloid pada simplisia terdeteksi lebih lemah dibandingkan alkaloid
pada ekstrak kasar alkaloid, kemungkinan alkaloid masih ada didalam rongga sel
tumbuhan (Fengel dan Wegener 1995). Pada ekstrak alkaloid dan supernatan, alkaloid
D W M
S
E
mampu dilarutkan oleh pelarut etanol sementara pada supernatan masih ada alkaloid
dalam bentuk garam amina.
Uji Anti Plasmodium Ekstrak Kasar Alkaloid Albertisia papuana Becc
Hasil perhitungan uji anti plasmodium ekstrak kasar alkaloid dari Albertisia papuana Becc terlampir pada Lampiran 5, data hasil analisisnya ditampilkan pada Tabel
3. Dasar panen P. falciparum pada inkubasi 48 jam karena masa siklus parasit fase eritrosit dari bentuk cincin dan tropozoit membelah dan berkembang membentuk skizon
membutuhkan waktu 48 jam. Waktu inkubasi 72 jam untuk melihat pengaruh
penghambatan pada parasit sesudah siklus pertama lengkap (Pasvol 1992, Sutamihardja
et al. 2009).
Persentase penghambatan P. falciparum galur W2 dan D6 dengan masa inkubasi 48 jam dan 72 terhadap ekstrak kasar alkaloid, baik pada konsentrasi 10 µg/mL dan
1000 µg/mL tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, berdasarkan Tabel 3 dan
grafik pada Gambar 9.
Tabel 3 Persentase penghambatan P. falciparum terhadap ekstrak kasar alkaloid
Penghambatan (%)
Inkubasi 48 jam Inkubasi 72 jam Konsentrasi
(µg/mL)
W2 D6 W2 D6 0,01 5,17 15,43 14,31 24,78
0,1 16,79 21,65 19,86 33,13 1 55,88 69,90 32,79 55,47 10 86,06 97,16 83,60 83,60 100 100,00 100,00 100,00 100,00 1000 100,00 100,00 100,00 100,00 Keterangan: W2 : galur resisten klorokuin, D6 : galur sensitif
klorokuin
Hasil penelitian Syamsudin et al. (2007), menunjukkan adanya perbedaan masa inkubasi 72 jam lebih besar persentase penghambatan dibanding dengan masa inkubasi
24 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan karena semakin lamanya kultur terpapar
dengan ekstrak uji dan siklus fase hidup parasit kemungkinan sudah memasuki siklus
[image:44.612.103.380.436.573.2]Pengujian antipalsmodium dengan menggunakan galur W2 dan D6, tujuannya untuk mengetahui efektivitas ekstrak/obat antimalaria yang dinilai dari sensitivitas atau
resistensi parasit terhadap ekstrak tersebut (Purwantiningsih 2003). Hasil pengujiannya
ditampilkan pada Tabel 3. Persentase penghambat pertumbuhan parasi