• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA JATI ( Tectona grandis L.f)

Klasifikasi

Jati (Tectonagrandis L.f) termasuk ke dalam famili Verbenaceae, di beberapa daerah di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda, diantaranya deleg, dodkan, jate, jatih, jatos, kiati dan kulidawa. Sedangkan di negara lain dikenal dengan

giati (Venezuala), teak (Birma, India, Thailand, USA, Jerman), teck (Perancis) dan

teca (Brazilia) (Martawijaya et al. 1981). Klasifikasi jati yaitu sebagai berikut :

Divisi : Spermathophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenales Famili : Verbanaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. F.

Penyebaran dan Habitat.

Jika dilihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 9o LS hingga 25o LU, mulai benua Asia, Afrika, Amerika, dan Australia bahkan sampai ke Selandia Baru (Tini dan Amri 2002). Areal penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian barat Laos. Jati tersebar pada garis 70o – 100o BT. Di Indonesia, jati bukan tanaman asli, tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di Pulau Kangean, Muna, Sumbawa, dan Jawa (Rachmawati et al. 2002). Adapun persyaratan tempat tumbuhnya menurut Mahfudz (2002) adalah sebagai berikut : Curah hujan : 1500-2500 mm/tahun

Bulan kering : 2-4 bulan (Curah hujan 50 mm/bulan) Tinggi tempat : 10-1000 m dpl

pH Tanah : 4,5-8

Jenis Tanah : Lempung berpasir, mengandung kapur, bukan tanah becek /rawa dan cadas (solum cukup dalam ± 1,5 m).

Morfologi Tanaman.

Tinggi pohon antara 25-30 m, namun di daerah yang subur, tinggi pohon bisa mencapai 50 m dengan diameter ± 150 cm. Batang umumnya bulat dan lurus, kulit kayu agak tipis, beralur dalam sampai agak dalam (Departemen Kehutanan 1991).

Sedangkan menurur Rachmawati et al. (2002), pada tapak bagus, batang bebas cabang 15-20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Daun lebar 15-35 cm, letak daun bersilang, bentuk daun ellips atau bulat telur. Bagian bawah berwarna abu-abu, tertutup bulu berkelenjer warna merah. Ukuran bunga kecil, diameter 6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda terdiri dari benang sari dan putik yang terangkai dalan tandan besar. Benih terbentuk oval, ukuran kira-kira 6x4 mm. Buah jati keras, terbungkus kulit berdaging, lunak dan tidak merata. Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak, lapisan tengah (mesokarp) tebal seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras dan terbagi menjadi 4 ruang biji.

Bunga jati akan mulai terlihat saat masuk musim hujan, yaitu Juni-Agustus atau bahkan September. Buah jati yang merupakan proses lanjutan dari bunga akan masak pada bulan November-Januari, selama memasuki musim kemarau yaitu Febuari-April, buah akan jatuh secara bertahap. Buah jati mengandung jumlah biji yang variasi antara 1-6 butir. Namun, pada umumnya buah jati berisi 1-2 biji yang sempurna. Sehingga secara normal setiap buah jati pada dasarnya dapat diharapkan menghasilkan minimum satu anakan jati baru hasil pembibitan generatif (Tini dan Amri 2002).

Hama dan Penyakit.

Jenis hama yang menyerang di persemaian terdiri dari Anomala sp., Clinteria

Scarabidaeae). Selain menyerang bibit di persemaian, hama di atas juga menyerang tanaman umur 1-2 tahun. Tanaman yang terserang akan layu karena perakarannya terputus (Sumana 2003).

Di persemaian , semai diserang oleh lundi putih yang memakan bagian ujung tudung akar. Kerusakan yang cukup serius dapat menyebabkan kematian semai. Lundi putih dapart dikendalikan menggunakan insektisida Phorate (Thimet 10 g) atau

Carbofuron (Furadan 3 G) pada bagian yang terserang (Kerala Forest Research

Institute 2000).

Sedangkan menurut Departemen Kehutanan (1991) hama yang menyerang tanaman jati adalah engkes-engkes (Monohamus rusticator F), uter-uter (Phasus

damor Moore), oleng-oleng (Domitus ceramicus Wlk.), inger-inger (Veotermes

tectonae Dam),busuk hati (Xyloborus destruen), Pyrausta machaeralis, entung jati

(Hyblaea puera Cr).

Penyakit yang menyerang tanaman jati dapat dibagi berdasarkan bagian yang diserang, seperti penyakit akar, penyakit batang maupun penyakit daun. Jenis gangguan pada akar tanaman jati yang sering dijumpai adalah bakteri Pseudomonas

tectonae. Penyakit ini ditandai adanya daun yang menguning dan kemudian berubah

menjadi coklat. Jenis yang menyerang batang tanaman jati antaranya yaitu Corticium

salmonicolor dan Nectri haematococca sebagai penyebab penyakit kanker batang.

Jenis penyakit yang menyerang pucuk daun yaitu Stemphyllum sp. dan Phomopsis

tectonae serta jenis Ganoderma applanatum dan Phelilinus lamoensis yang

menyebabkan akar berwarna coklat (Sumana 2003). Penyakit ini dapat dikendalikan secara efektif dengan aplikasi kombinasi antara antibiotik, alantamycin dan pestisida

Phorate atau Carbofuron. Penyakit daun disebabkan Phomopsis dapat dikendalikan

menggunakan Dithane M-45@ 0,05% dalam interval 2 minggu (Kerala Forest Research Institute 2000).

Kegunaan.

Jati ditanam karena kayunya. Kayunya termasuk kayu kelas kuat I dan kelas awet II. Kayu ini sangat kuat dan tahan lama, dipergunakan untuk membuat kapal,

veneer, kereta, jembatan, bantalan kereta api dan perkakas rumah tangga. Daunnya oleh penduduk dimanfaatkan untuk membungkus makanan. Juga untuk memberi warna pada kulit telur rebus dan sayur nangka. Kulit akar dan daun mudanya dipergunakan untuk memberikan warna pada barang-barang anyaman, selain itu daunnya dapat dimanfaatkan pula untuk obat-obatan (Martawijaya et al. 1981).

Cendawan Mikoriza Arbuskula.

Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan (myces) dan perakaran (rhiza) tanaman tingkat tinggi (Harley and Smith 1983). Dalam simbiosis ini cendawan memberikan keuntungan kepada tanaman (inang) berupa penyerapan unsur hara terutama P dan sebaliknya cendawan memperoleh karbohidrat dan faktor pertumbuhan lainnya dari tanaman inang (Imas et al. 1989).

Menurut cara infeksi dan struktur tumbuh maka mikoriza terbagi atas 2 (dua) golongan yaitu Endomikoriza dan Ektomikoriza. Secara umum Endomikoriza terbagi atas 6 (enam) sub tipe yaitu mikoriza arbuskula, ektendomikoriza, ericoid mikoriza, orchid mikoriza, arbutoid mikoriza dan monotropoid mikoriza (Setiadi 2003).

Mikoriza arbuskula merupakan salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang termasuk dalam Kelas Zygomicetes ordo Glomales yang memiliki lima famili yaitu Glomaceae, Acaulosporaceae, Archaeosporaceae, Paraglomaceae dan

Gigasporaceae dengan 6 (enam) genus yaitu Glomus, Sclerocystis, Acaulospora,

Entrophospora, Gigaspora, Archaeospora, Paraglomus, dan Scutellospora (Morton

and Benny, 1990 dalam Brundrett et al. 1996). Seperti tampak pada Gambar 2 (INVAM 2003).

Gambar 2. Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomales (Sumber: INVAM, 2003).

Menurut Setiadi (1989) mikoriza arbuskula dicirikan oleh karateristik sebagai berikut : (1) perakaran yang terkena infeksi tidak membesar (2) cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar (3) adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesikula dan sistim percabangan hifa yang disebut arbuskula (4) hifa masuk ke dalam sel korteks (Gambar 3).

Arbuskula diduga berperan sebagai organ transfer unsur hara di antara simbion-simbion. Vesikula merupakan struktur-struktur menggelembung yang dibentuk secara interkalar atau apikal pada hifa-hifa yang berfungsi sebagai organ penyimpanan cadangan makanan (Hudson 1988).

Mikoriza arbuskula telah diketahui memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman, serapan hara dan juga produksinya. Kendala utama dalam pemakaian mikoriza arbuskula dalam skala besar adalah perbanyakan inokulan dalam pemanfaatan secara komersial (De La Cruz 1978). Ada tiga macam inokulan yang digunakan yaitu tanah yang mengandung CMA, spora dari cendawan pembentuk mikoriza, potongan-potongan hifa dan akar terinfeksi CMA.

Mansur (2002) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi infeksi mikoriza arbuskula yaitu : (1) kepekaan inang terhadap infeksi (2) faktor-faktor iklim

dan (3) faktor tanah (media). Kepekaan inang terhadap infeksi mikoriza arbuskula bersifat genetis.

Gambar 3 Penampang longitudinal akar yang terinfeksi CMA (Sumber: Brundrett et al. 1994).

Tanaman yang ketergantungan akan unsur fosfat tinggi akan cenderung berasosiasi dengan mikoriza. Cahaya dan temperatur merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi mikoriza arbuskula. Temperatur optimum bagi perkembangan spora Gigaspora spp. adalah 34oC, sedang untuk Glomus spp. adalah 20oC. Sedangkan faktor tanah yang berpegaruh adalah keasaman tanah (pH) dan kandungan unsur hara terutama P dan N. Menurut Hudson (1988), kandungan unsur hara di dalam tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan mikoriza arbuskula. Kandungan unsur P dan N yang tinggi atau terlalu rendah ternyata dapat menurunkan infeksi mikoriza.

Proses infeksi dan perkembangan mikoriza arbuskula tergantung pada suplai unsur hara (fosfat) dan keluaran eksudat akar, dan perlakuan-perlakuan seperti misalnya naungan dan pengguguran daun seringkali diketahui menghambat proses kolonisasi mikoriza arbuskula. Kandungan unsur hara khususnya fosfat adalah merupakan faktor penting yang mempengaruhi produksi spora jamur pembentuk mikoriza.

Menurut Powell and Bagyaraj (1984) bahwa semakin tinggi kandungan fosfat yag tersedia bagi tanaman maka akan menghambat pembentukan mikoriza karena akan terjadi peningkatan permiabilitas membran akar yang mengurangi asam amino dan eksudat akar.

Produksi spora dipengaruhi secara nyata oleh tempat (sebagai media) dan perlakuan inang (Allen and Boosalis 1990). Sporulasi Gigaspora margarita, Glomus

clarum, Glomus mossae, dan Scutellospora heterogama telah meningkat secara nyata

setelah dilakukan penanaman dalam pot bahiagrass yang telah diberi superfosfat (Sylvia and Scheck 1983 dalam Sagiman 1989).

Sporulasi pada Glomus etunicatum, Glomus macrocarpum dan Gigaspora

gigantea telah menurun dengan pemberian superfosfat. Juga dikemukakan bahwa G.

margarita, Gigaspora, dan Gl. mosseae mampu berkolonisasi dengan akar dalam

tanah yang mempunyai 199 ppm P terekstrak asam. Jamur yang lain tidak akan mampu berkolonisasi dengan akar pada tanah dengan P tinggi (Abbott dan Robson (1992). Pemangkasan tajuk, pemakaian herbisida, dan stress terhadap kekeringan dan

perubahan dingin dan perubahan gelap tidak mempengaruhi jumlah spora secara nyata.

Menurut Imas (1989), bahwa mikoriza arbuskula terdapat pada kebanyakan angiosperma, pterydophyta, bryophyta dan beberapa Gymnospermae. Hanya terdapat beberapa saja tumbuhan yang tidak bermikoriza terutama tumbuhan yang hanya membentuk Ektomikoriza misalnya Pinnaceae. Selanjutnya Meyer (1973) dalam

Setiadi (1989) menambahkan mikoriza arbuskula ini mempunyai penyebaran yang luas, meliputi hutan hujan rapat, padang pasir, semi gurun dan jarang ditemukan dalam hutan temperate areal yang amat basah (didominasi oleh Ektomikoriza). Setiadi (1989) mengatakan kebanyakan tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti Graminae dan Leguminosae umumnya mengandung mikoriza arbuskula. Peranan mikoriza arbuskula sangat penting bagi pertumbuhan terutama pada tanah-tanah yang kandungan fosfornya rendah. Adanya perbaikan pertumbuhan tanaman karena mikoriza arbuskula sangat tergantung dari jumlah fosfor tersedia dalam tanah jenis tanamannnya. Perbedaan pertumbuhan terjadi karena tanaman yang tidak bermikoriza telah kekurangan fosfor (Hudson 1988).

Menurut Brundrett et al. (1996) manfaat dari CMA dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat dalam ekosistem, dan manfaatnya bagi manusia. Mikoriza secara umum memiliki manfaat yang sangat besar bagi tanaman, yaitu: dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, khususnya P (Bolan 1991), N (Azcon and Barea 1992), Cu dan Zn (Tarafdar and Rao 1997); meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen akar (Liu 1995) dan kekeringan (Kling and Jacobsen 1998); meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam berat (Hashem 1995) dan salinitas (Azcon and Al Atrash 1997).

Manfaat mikoriza dalam ekosistem sangat penting, yaitu berperan dalam siklus hara, memperbaiki struktur tanah dan menyalurkan karbohidrat dari akar tanaman ke organisme tanah yang lain (Brundrett et al. 1996). Mikoriza dapat membebaskan P yang tidak tersedia bagi tanaman, misalnya dalam batuan fosfat, menjadi tersedia bagi tanaman. Mikoriza mengeluarkan enzim fosfatase dan asam- asam organik, khususnya oxalat, yang dapat membantu membebaskan fosfat. Peran

ini sangat penting mengingat sebagian besar tanah-tanah di Indonesia bersifat asam, dimana fosfat diikat oleh Al dan Fe. Pada tanah-tanah kapur, fosfat diikat oleh Ca sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Disamping membebaskan fosfat yang tidak tersedia, hifa mikoriza juga mengkonservasi unsur hara agar tidak hilang dari ekosistem.

Manfaat mikoriza secara langsung bagi manusia lebih banyak diperankan oleh ektomikoriza karena dapat membentuk tubuh buah yang mudah dikenali. Tubuh buah dari cendawan ektomikoriza ini dapat dijadikan sebagai bahan pangan

(Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan melinjo), bahan obat, untuk

keindahan (tubuh buah cendawan ektomikoriza beraneka bentuk, ukuran dan warna). Keanekaragaman cendawan juga dapat dijadikan indikator kualitas lingkungan (Brundrett et al. 1996).

Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kolonisasi dan Propagul CMA

Powell and Bagyaraj (1984) menjelaskan bahwa kolonisasi dan propagul CMA berkaitan dengan varietas tanaman, species CMA dan kondisi lingkungan misalnya cahaya matahari dan suhu. Lebih lanjut ditambahkan oleh (Furlan and Fortin, 1977; Daft and El Giahmi, 1978 dalam Smith and Read 1997) bahwa propagul dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman, aplikasi pemupukan dan intersitas cahaya.

Oksigen. Menurut Setiadi (1992) bahwa penurunan konsentrasi O2 dapat menghambat perkecambahan spora CMA dan kolonisasi akar.

Suhu. Pada umumnya CMA memiliki kebutuhan suhu yang serupa, meskipun ada beberapa perkecualian. Kebanyakan CMA memiliki suhu minimum 0-5oC, dan suhu optimum berkisar antara 15 dan 30oC (Moore-Landecker, 1972). Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan baik inang maupun simbionnya. Infeksi CMA yang optimal sangat bervariasi tergantung pada inangnya.

Pada kebanyakan kasus kolonisasi CMA dan produksi spora meningkat dengan meningkatkan suhu sampai batas pertumbuhan tanaman inangnya. Suhu di bawah 15oC biasanya menghambat kolonisasi CMA.

Cahaya dan Fotoperiodesitas. Intensitas cahaya dan hari panjang yang lama akan memperbaiki kolonisasi dan produksi spora pada Pueraria javanica, jagung dan lain-lain (Graham et al. 1982). Meningkatnya kolonisasi CMA adalah akibat meningkatnya proses fotosintesis yang berakibat pada meningkatnya konsentrasi karbohindrat di dalam akar atau meningkatnya senyawa-senyawa eksudat. Untuk memaksimumkan produksi inokulum CMA perlu memaksimumkan fotosintesis inang dan cahaya.

Aerasi dan Air. Kualitas inokulum CMA akan menurun pada kondisi terlalu basah atau terlalu kering. Kolonisasi maksimal CMA terjadi pada takaran potensial air -0,2 bar. Kolonisasi CMA menurun sampai 50% dari maksimal pada waktu air dijenuhkan. Read (1971) melaporkan bahwa produksi spora CMA sangat baik jika tanaman disiram setiap hari. Pemberian air setiap minggu menurunkan perkecambahan spora sampai 90% dan pemberian air 2 kali sehari menurunkan pertumbuhan spora sampai 75%.

pH tanah. Selain sejumlah faktor-faktor tersebut diatas, ternyata kondisi pH tanah juga mempengaruhi kolonisasi cendawan mikoriza pada akar. Sieverding (1991) mengemukakan bahwa spora CMA di dalam tanah terjadi pada kisaran 3,8 – 8,0. Toleransi dan kemampuan tanaman tumbuh pada tanah yang masam ada kemungkinan karena asosiasi kolonisasi CMA dengan akar dan kemampuan CMA beradaptasi terhadap kondisi pH yang rendah (Clark 1997).

Menurut Azcon dan Bago (1994) pertumbuhan dan fungsi mikoriza tergantung pada suplai karbon sebagai derivat fotosintesis dari tanaman inang. Pertumbuhan pohon pada habitat yang sangat miskin hara biasanya kurang bermikoriza, karena cendawan tidak bisa mendapatkan karbohidrat yang cukup dari akar untuk memacu simbiosis matualistik (Kimmins 1993). Menurut Clark (1997) cendawan mikoriza menerima karbohidrat dari tanaman inang sebanyak 4-14 % dari total karbon hasil fotosintesis. Allsopp (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menurunkan kapasitas fotosintesis tanaman akan berpengaruh terhadap fungsi CMA, karena cendawan sebagai pasangan tanaman dalam bersimbiosis sangat tergantung pada karbon yang dihasilkan oleh tanaman inangnya.

Peranan Mikoriza terhadap Tanaman

Imas et al. (1989) menyatakan beberapa manfaat yang dapat diperoleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan penyerapan unsur hara

b. Meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan. c. Tahan terhadap serangan patogen akar

d. Mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengantur tumbuh.

Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza. Salah satu sebab untuk hal ini adalah bahwa secara efektif mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano 1985 dalam Setiadi 1989).

Pada umumnya tanaman yang bermikoriza menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada tanaman yang tidak bermikoriza pada tanah dengan kadar P tersedia yang rendah (Sharma dan Johri 2002).

Fungsi dari semua system mikoriza tergantung pada kemampuan simbion cendawan dalam mengabsorpsi unsur hara yang tersedia dalam bentuk anorganik dan atau organik di tanah serta translokasi (metabolisme) dalam simbiotik akar melalui miselia vegetatif yang luas (Smith dan Read 1997).

Pengamatan terhadap keuntungan dari penggunaan mikoriza dalam meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan tanaman disebabkan beberapa faktor (1) peningkatakan unsur hara dan penyerapan air disebabkan oleh peningkatan absorpsi area permukaan akibat dari adanya miselia yang menyebar dalam tanah di sekitar akar pendek; (2) peningkatkan mobilisasi unsur hara melalui perubahan yang merangsang secara biologi oleh simbiose jamur, dan (3) peningkatan kemampuan pemanjangan akar dengan adanya proses biologi yang menghambat infeksi patogen akar (Fisher dan Binkley 2000).

Simbiosis antara jamur dengan akar tanaman dapat melindungi tanaman inangnya terhadap serangan jamur patogen dengan cara mengeluarkan zat antibiotik. Jamur mikoriza dapat menghasilkan hormone tumbuh auxin, cytokinin, gibberelin

dan vitamin yang dapat merangsang tanaman inang (Kormanik, 1997 dalam Fisher dan Binkley 2000).

Manfaat CMA Pada Tanaman Jati.

Menurut Rajan et al. (2000), secara umum, inokulum CMA pada bibit jati dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, luas daun dan berat kering total bibit dibandingkan dengan bibit yang tidak diinokulasikan CMA. Selain itu bibit jati yang terinokulasi CMA memiliki status nutrisi yang tinggi, seperti kandungan phosphor (P), seng (Zn) dan tembaga (Cu). Dalam penelitiannya Rajan et al. (2000) menginokulasikan sembilan jenis CMA, yaitu Acaulospora laevis, Glomus margarita, G. caledonium, G. fasciculatum, G. intraradices, G. intraradices, G. leptotichum, G.

macrocarpum, G.mosseae dan Sclerocystis calospora.

Hasil penelitian inokulasi CMA Glomus etunicatum pada bibit jati pada umur 3 bulan setelah inokulasi menghasilkan rata-rata parameter pertumbuhan sebagai berikut : pertambahan tinggi 10,08 cm atau meningkat sebesar 35,9% terhadap kontrol (tanpa inokulum), diameter sebesar 4,0 mm atau meningkat sebesar 8,1 % terhadap control, berat kering total 3,2 gr atau meningkat sebesar 23,1% terhadap control dan nilai NPA terbaik sebesar 1,75 atau meningkat 21,5% terhadap control dengan presentase kolonisasi mikoriza sebesar 51,5% (Arifanti 1999).

Inokulum Tanah.

Tanah yang berasal dari bawah tegakan pohon bermikoriza, lazim disebut inokulum tanah, merupakan bentuk inokulum yang pertama kali dimanfaatkan. Teknik inokulasinya sangat sederhana yaitu dengan mencampur inokulum tanah dengan media semai ( lazim 5-10% volume media), diberikan disekeliling batang semai pada kedalaman 0,5-1 cm (Marx dan Keney 1982; De la Cruz et al. 1992). Teknik inokulasi dengan tanah merupakan teknik yang umum digunakan untuk ektomikoriza karena sangat serderhana dalam penerapannya terutama bila letak persemaian dekat dengan sumber tegakan sumber inokulum sehingga tidak ada masalah berkaitan dengan pengambilan dan pengangkutan inokulum. Meskipun

demikian terdapat beberapa kelemahan, yaitu : (a) inokulum tanah yang diambil dapat mengandung patogen yang dapat menyerang semai, (b) cendawan mikoriza dalam inokulum tidak dapat dikontrol, (c) tidak dapat dijamin bahwa inokulum mengandung jenis mikoriza yang sesuai bagi jenis pohon ataupun tempat pohon akan ditanam, (d) tidak ada jaminan konsistensi pembentukan mikoriza karena tergantung pada kualitas inokulum, waktu dan tempat koleksi serta penanganan inokulum selama pengangkutan dan penyimpanan, tidak praktis bila dilakukan dalam skala besar karena untuk pengumpulan inokulum serta inokulasinya diperlukan banyak tenaga kerja (Marx dan Keney 1982 De la Cruz et al. 1992). Kelemahan-kelemahan tersebut memicu upaya penggunaan inokulum dari cendawan mikoriza secara langsung. Melihat dari keuntungannya inokulum tanah dapat diproduksi sendiri dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia di daerah tanpa bahan impor menggunakan prosedur yang relatif sederhana dan murah serta aman bagi lingkungan. Inokulum mikoriza terdapat dalam empat bentuk yaitu tanah terinfeksi, akar tanaman terinfeksi, kultur murni cendawan, dan spora (Mosse 1981). Ciri dan kemelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah. Pada hutan alami, yang belum disentuh oleh manusia, dan pada kondisi iklim yang sama, jaringan hifa lebih cocok jika digunakan sebagai sumber kolonisasi mikoriza arbuskular (Jasper et al 1997) sedangkan spora cendawan mikoriza arbuskula lebih cocok sebagai sumber propagul dari tanah-tanah terdegradasi dan lokasi-lokasi yang kondisi iklimnya fluktualitif mengingat pada kondisi demikian jaringan hifa mengalami perusahaan secara teratur (Abbott & Robson 1981; Helm & Carling 1990; Abbot & Gazey 1994).

Cara yang paling kuno untuk mengintroduksi cendawan mikoriza adalah dengan tanah terinfeksi (Mosse 1981). Inokulum tanah merupakan inokulum alami yang paling murah harganya dan teknologinya juga paling sederhana. Keuntungan dengan menggunakan inokulum tanah adalah kadangkala terikut jasad renik tanah lainnya. Selain itu, inokulum tanah juga berisi spora, akar, dan hifa yang semuanya dapat menginokulasikan bibit tanaman (Helm & Carling 1990). Pemanfaatan dan

pengumpulan inokulum tanah juga lebih mudah dibandingkan dengan inokulum lainnya (Helm & Carling 1990). Kerugiannya adalah spesies yang ada di dalam tanah menjadi tidak dapat dikontrol, tidak ada jaminan tanahnya mengandung cendawan yang diinginkan dan pengangkutan tanah dalam jumlah besar akan sulit dan mahal ongkosnya (Marx & kenny 1982).

Dokumen terkait