• Tidak ada hasil yang ditemukan

(Jatropha curcas L.) HASIL FERMENTASI SERTA SUPLEMENTASI SELULASE DAN FITASE

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Tanaman jarak termasuk kedalam famili Eurphobiaceae yang terbagi menjadi dua yaitu tanaman jarak pohon (Ricinus communis L.) dan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang berasal dari Amerika dan banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini tumbuh dengan cepat, kuat, dan tahan terhadap panas dan penyakit, lahan tandus dan berbatu (Makkar et al., 1997). Tanaman jarak memiliki rasa pahit, bergetah dan mengandung racun yang tidak disukai ternak sehingga sering digunakan sebagai pagar pengaman kebun. Masyarakat sering memanfaatkan daun jarak pagar sebagai obat tradisional, sedangkan biji jarak pagar merupakan sumber penghasil minyak (Aregheore et al., 2003). Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar/kastor (Ricinus communis L.), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha gossypifolis L.), dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil minyak bakar (biofuel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan pada tanaman jarak ini antara lain jarak kosta, jarak budeg (Sunda), jarak gundul, jarak pager (Jawa), kalekhe paghar (Madura), jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomone (Sulawesi), ai huwa kamala, balacai, katodo (Maluku) dan lainnya (Hariyadi, 2005). Diantara tanaman tersebut yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah jarak pagar (Jatropha curcas) (Charloq, 2008).

Tanaman ini membutuhkan curah hujan 900-1.200 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 8 m, dengan biji sebagai produk utamanya mengandung 55%-60% minyak (Becker dan Makkar, 2000). Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah, baik tanah berbatu, tanah berpasir, maupun tanah berlempung atau tanah liat. Disamping itu, jarak pagar juga dapat beradaptasi pada tanah yang kurang subur atau tanah bergaram, memiliki drainase baik, tidak tergenang dan pH tanah 5,0-6,5 (Hambali et al., 2007). Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning jika masak. Produktivitas per pohon jarak pagar mencapai 2-2,5 kg biji kering. Dalam 1 ha lahan dengan 2.000

4 batang pohon, akan menghasilkan 4-5 ton biji kering dalam setahun. Satu ton biji kering akan menghasilkan 200-300 l minyak jarak, sehingga 1 ha lahan akan menghasilkan 1.000-1.500 l minyak jarak (Susilo, 2007).

Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang diisi tiga biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30%-40% (Hariyadi, 2005). Produk utama yang dihasilkan tanaman jarak pagar adalah minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi biji jarak dan produk limbahnya berupa bungkil biji jarak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Jatropha curcas L. menghasilkan bungkil yang dapat digunakan sebagai sumber protein karena mengandung protein yang tinggi jika kandungan racun dihilangkan (Makkar dan Becker, 1997). Tanaman jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sumber : Sudaryanto (2010)

Menurut Duke (1983) klasifikasi dari tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut: Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledone

Ordo : Euphorbiaeceae

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Jatropha

5

Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas meal)

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari proses pengepresan biji jarak menjadi minyak jarak. Bungkil biji jarak memiliki kandungan nutrien yang berpotensi untuk dijadikan pakan ternak dengan dilakukan pengolahan terlebih dahulu karena BBJP memiliki antinutrisi dan racun yang berbahaya bagi ternak. Komposisi nutrien dan fraksi serat BBJP tanpa cangkang, BBJP dengan cangkang dan cangkang BBJP disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP Tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang BBJP

Kandungan Nutrien BBJP Tanpa Cangkang BBJP dengan Cangkang Cangkang BBJP Bahan Kering (%) 86,26 89,71 88,31

Komposisi Bahan Kering

Abu (% BK) 7,71 5,20 4,22 Protein Kasar (% BK) 37,56 24,28 10,21 Lemak Kasar (% BK) 35,02 15,99 5,71 Serat Kasar (% BK) 7,23 38,49 59,62 Beta- N (% BK) 12,47 16,06 20,24 Fraksi Serat NDF (% BK) 16,30 57,64 93,40 Hemiselulosa (% BK) 0,72 10,45 12,48 ADF (% BK) 15,86 46,78 80,90 Selulosa (% BK) 11,31 19,22 34,85 Lignin (% BK) 4,51 23,98 46,00 Silika (% BK) 0,01 3,51 0,03

Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)

Bungkil biji jarak pagar tanpa cangkang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi (37,56%) daripada BBJP dengan cangkang (24,28%), perbedaan ini disebabkan karena cangkang BBJP memiliki serat kasar yang tinggi (Tjakradidjaja et al., 2007). Makkar et al. (1998) melaporkan bahwa bungkil biji jarak mengandung protein kasar 55,7%-63,8%, abu 10%, NDF <10%, ADF <7,0% (%BK). Komposisi kimia berbagai varietas bungkil biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2.

6 Tabel 2. Komposisi Kimia Berbagai Varietas Jatropha curcas L.

Sumber : Makkar et al. (1998)

Keterangan : NDF = Neutral Detergent Fiber, ADF = Acid Detergent Fiber, ADL = Acid Detergen `Lignin

Menurut Sumiati et al. (2008), pemberian bungkil biji jarak dalam ransum dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, kematian yang cepat dan kerusakan jaringan hati dan ginjal ayam broiler. Kandungan antinutrisi pada BBJP ini meliputi

polyfenol, tannin, phytat, saponin, antitrypsin dan racun phorbolester, curcin atau

lectin (Makkar et al., 1998). Phorbolester merupakan toksin yang menyebabkan efek biologis seperti peningkatan tumor dan peradangan saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003). Komposisi racun dan zat antinutrisi pada bungkil biji jarak dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas L.

Komponen Varietas

beracun

Varietas non racun

Phorbolester (mg/g biji) 2,79 0,11

Total Fenol (% asam tannin eq.) 0,36 0,22

Tannin (% asam tannin eq.) 0,04 0,02

Fitat (% bahan kering) 9,40 8,90

Saponin (% diosgenin eq.) 2,60 3,40

Inhibitor Tripsin (mg tripsin yang dihambat per g sampel) 21,3 26,5 Lectin (1/mg bungkil yang memproduksi haemaglutinasi

per ml medium) 102 51

Sumber: Francis et al. (2006) Komposisi Kimia

Varietas

Cape Verde Nicaragua Ife-Nigeria Non-toxic Mexico Protein Kasar (% BK) 56,4 61,2 55,7 63,8 Lemak (% BK) 1,5 1,2 0,8 1,0 Abu (% BK) 9,6 10,4 9,6 9,8 NDF (% BK) 9,0 8,1 8,9 9,1 ADF (% BK) 7,0 6,8 5,6 5,7 ADL (% BK) 0,4 0,3 0,1 0,1 Gross Energi (MJ/kg) 18,2 18,3 17,8 18,0

7 Phorbolester Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan

anggota diterpene ester. Phorbolester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar dan dalam air (Ahmed dan Salimon, 2009). Rumus bangun phorbolester dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia phorbolester

Sumber : Ahmed dan Salimon (2009)

Phorbolester dapat menyebabkan efek biologis yang luar biasa walaupun dalam konsentrasi rendah. Pengaruhnya menyebabkan iritasi kulit dan pemacu terjadinya tumor karena menstimulasi PKC (Protein Kinase C), yang mempengaruhi penyaluran sinyal perkembangan sel dan jaringan serta berbagai efek biologis yang kuat terhadap organisme (Goel et al., 2007). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan bersifat stabil serta tidak dapat terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC, sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Diferensiasi sel yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya tumor yang berbahaya bagi ternak karena dapat menyebabkan kematian.

Phorbolester stabil terhadap panas dan tahan pada pemanasan suhu diatas 160 oC selama 30 menit (Makkar dan Becker, 1997). Porbolester merupakan toksik utama pada BBJP, phorbolester menyebabkan kematian pada mencit, dengan gejala awal lesu, konsumsi menurun, bobot badan rendah, dan terdapat cairan kuning di sekitar anus (Fachrudin, 2007). Phorbolester masih terdapat dalam BBJP karena racun ini terdapat dalam minyak jarak pagar, cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar phorbolester adalah dengan fermentasi. Proses fermentasi menghasilkan enzim lipase yang mampu menghidrolisis lemak (Putranto et al., 2006)

8 Curcin Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Curcin atau lectin adalah fitotoxin atau toxalbumin yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun, menyerupai struktur dan fisiologis racun bakteri. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. Curcin juga merupakan alat inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). N-glycosidase adalah enzim yang mengatur kenormalan sel, antibakteri dan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Curcin (lektin) menyebabkan reaksi lokal pada saluran pencernaan yaitu 1) mempengaruhi pergantian dan kehilangan sel epithel usus, 2) menghambat pencernaan dan penyerapan, 3) kerusakan pada epitel membran lumen dan 4) merubah status imunologi pada saluran pencernaan.

Rusaknya saluran pencernaan menyebabkan terganggunya penyerapan nutrien oleh tubuh dan mengganggu pertumbuhan dan produksi pada hewan. Secara sistematis curcin mengganggu metabolisme lemak, karbohidrat, protein, dan meningkatkan atau mengecilkan ukuran dari saluran pencernaan serta merubah status hormonal dan imunologi (Vasconcelos dan Oliveira, 2004). Struktur kimia curcin

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Curcin

Sumber : Juan et al. (2003)

Curcin merupakan racun yang bekerja jangka panjang, efek curcin tidak terlihat dalam jangka pendek, tokisitasnya akan meningkat jika bergabung dengan

phorbolester (Makkar dan Becker, 1997). Racun curcin tidak tahan panas dan dapat diinaktifkan dengan pemansan, hasil penelitian Nurhikmawati (2007) menunjukan terjadinya penurunan curcin dalam BBJP dari 0,09% menjadi 0,03% dengan pemanasan pada suhu 121 ºC selama 30 menit.

9

Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar

Detoksifikasi bertujuan untuk menurunkan kandungan racun phorbolester dan

curcin yang terkandung dalam bungkil biji jarak. Teknologi detoksifikasi yang telah dilakukan diantaranya dengan perlakuan fisik, kimia dan biologis. Perlakuan fisik dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan aoutoclave pada suhu 121 ºC selama 30 menit, hasilnya dapat menurunkan aktifitas tripsin dan lectin (Aregheore

et al., 2003). Perlakuan kimia yaitu dengan menambahkan larutan NaHCO3 (Martinez-Herrera et al., 2006). Pengolahan secara biologis dilakukan dengan cara fermentasi BBJP oleh R. oligosporus (Sumiati et al., 2008).

Detoksifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan fermentasi. Fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir dan bakteri dapat terjadi secara anaerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Aktivitas metabolisme mikroorganisme pada proses fermentasi ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti pH, suhu, tekanan, oksigen dan konsentrasi substrat (Fardiaz, 1992). Fermentasi merupakan salah satu pengolahan bungkil biji jarak secara biologis, fermentasi ini menggunakan R. oligosporus yang sering digunakan untuk membuat tempe. Selama proses fermentasi kapang akan menghasilkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi senyawa yang lebih sederhana dan meningkatkan asam amino (Ansori, 1989).

Azake et al. (2007) menyatakan bahwa fungsi jamur dalam fermentasi makanan yaitu sintesis enzim yang menghidrolisis konstituen kedelai dan berkonstribusi dalam pengembangan aroma, tekstur dan rasa yang diinginkan. Fermentasi menggunakan R. oligosporus pada bungkil biji jarak (Jatropha curcas L) memberikan efisiensi tertinggi dalam penggunaan protein (Sumiati et al., 2008). Pengolahan biologis (fermentasi) dengan R. oligosporus terhadap bungkil biji jarak dapat menghasilkan bungkil biji jarak yang dapat dijadikan bahan pakan alternatif. Hidrolisis enzimatik dalam proses fermentasi dapat mengurangi atau menghilangkan komponen antinutrisi sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi produk (Azake et al., 2007). Penurunan racun dan antinutrisi BBJP hasil fermentasi menggunakan R. oligosporus disajikan pada Tabel 4.

10 Tabel 4. Kandungan Racun dan Antinutrisi BBJP Tanpa Pengolahan dan

Difermentasi Menggunakan R. oligosporus

Parameter Kontrol Fermentasi Penurunan (%)

Phorbolester (µg/g) 24,33 15,28 37,20 Tanin (%) 0,13 0,007 94,62 Saponin (%) 1,04 0,39 62,50 Asam Fitat (%) 9,19 8,45 8,05 Antitripsin (%) 6,17 1,85 70,02 Sumber : Sumiati et al. (2010)

Jamur Tempe (Rhizopus oligosporus)

Jamur tempe (Rhizopus oligosporus) merupakan jenis jamur yang tergolong filum zygomycota, berkembang biak dengan konjugasi gamet positif dan negatif membentuk zygosporangia melalui plasmogami dan karyogami, maupun berkembang biak secara aseksual dengan spora. Daur hidup dimulai dengan pertumbuhan spora menjadi benang hifa yang bercabang membentuk miselium dan sporangium yang berisi spora. R. oligosporus adalah jamur benang yang selalu terisolasi dari tempe, perkecambahan R. oligosporus berlangsung melalui dua tahap, yaitu pembengkakan dan penonjolan keluar tabung kecambah. Kondisi optimal perkecambahan adalah pada suhu 42 oC dan pH 4,0 (Dinda, 2008). R. Oligosporus

dapat meningkatkan nilai protein kedelai dengan cara mensisntesa enzim protease selama proses fermentasi (Anshori, 1989). Selain itu R. oligosporus juga mensintesa enzim lipase, poligalakturonase, endoselulase, xilanase, arabinase, fitase, dan rhizopus carboksil proteinase (Nout dan Rombouts, 1990). Klasifikasi R. oligosporus

menurut Jennessen (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Divisi : Zygomycota Kelas : Zygomycetes Ordo : Mucorales Famili : Mucoraceae Genus : Rhizopus

11

Rhizopus oligosporus mempunyai koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Sporangiofor tunggal atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan panjang lebih dari 1000 mikro meter dan diameter 10-18 mikro meter. Sporangia globosa yang pada saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 mikro meter. Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 mikro meter atau 12-45 mikro meter x 7-35 mikro meter (Wipradnyadewi, 2005)

Ayam Petelur

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah berasal dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Jenis ayam ini merupakan spesies Gallus domesticus. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan di Indonesia adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya dijadikan ayam potong. Terdapat tiga jenis ayam yaitu tipe ringan berasal dari bangsa white leghorn, tipe medium dari bangsa rhode island reds, dan barred plymouth rock dan tipe berat dari bangsa new hampshire, white plymouth rock, dan cornish (Amrullah, 2002).

Ayam petelur ISA-Brown merupakan jenis ayam hasil persilangan antara ayam rhode island whites dan rhode island reds. ISA-Brown termasuk ayam petelur tipe medium yang memiliki produktivitas yang cukup tinggi yaitu mampu menghasilkan telur sebanyak 351 butir per tahun dengan berat telur rata-rata sebesar 63,2 g dan mampu mencapai puncak produksi sebesar 95% (Hendrix, 2007). ISA-Brown menghasilkan telur dengan warna kerabang cokelat.

Enzim Selulase

Enzim selulase adalah enzim hidrolase yang dapat mengkatalisis reaksi hidrolisa ikatan β-1,4 glukan 4-glukano hidrolase (Mardiah dan Armaini, 1995). Selulase kompleks mampu menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula terlarut secara efisien. Empat puluh persen material dinding sel tanaman adalah selulosa yang mempunyai struktur kimia sederhana yang terdiri dari rantai lurus 3000-10.000 residu glukosa yang diikat dengan ikatan ß-1,4. Untuk memutuskan rantai ini

12 diperlukan enzim selulase yang merupakan kompleks dari enzim selobiohidrolase, endoglukanase dan ß-glukosidase (Deacon, 1997).

Enzim selulase kompleks terdiri dari tiga enzim utama yaitu endo-1,4-β -glukanase, ekso-1,4-β-glukanase, dan 1,4 β-glukosidase. Endo-1,4-β-glukanase memotong ikatan rantai dalam selulosa secara acak menghasilkan molekul selulosa yang lebih pendek, ekso-1,4-β-glukanase memotong ujung-ujung rantai selulosa baik ujung pereduksi (reducing end) maupun yang ujung non pereduksi (non reducing end) menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan 1,4 β-glukosidase memotong molekul selobiosa menjadi monomer-monomer glukosa yang lebih sederhana. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada fungi, sistem selulase sekurang-kurangnya terdiri dari 3 enzim (Da silva et al., 2005) :

1. enzim-enzim endo-β-1,4-glukanase 2. enzim ekso-β-1,4-glukanase

3. enzim-enzim β-glukosidase.

Enzim Fitase

Enzim fitase adalah phosphomonoesterase yang mampu menghidrolisa asam fitat untuk menghasilkan orthophosphate inorganik dan serangkaian phosphoric yang lebih rendah (inositol pentaphosphate menjadi monophosphate) dan akhirnya menjadi asam fitat bebas (Konietzny dan Greiner, 2002). Enzim ini dapat merusak struktur dari asam fitat sehingga mineral seperti P, Mg, Mn, Fe, Zn, Ca, dan protein terlepas dari asam fitat ini (Baruah et al., 2004). Asam fitat merupakan senyawa antinutrisi yang terdapat pada tanaman. Asam fitat membentuk komplek dengan beberapa mineral (P, Zn, Fe, Mg, Ca), protein, dan asam amino (Quan et al., 2001). Mineral dan protein yang terikat dalam fitat tidak dapat diserap oleh tubuh, dan dapat menyebabkan defisiensi sehingga asam fitat digolongkan kedalam antinutrisi.

Fitase sebagai bahan pakan aditif diharapkan mampu melepaskan ikatan fitat dengan kalsium, tembaga, seng, dan mangan, serta meningkatkan relaksasi usus dan absorpsi nutrien. Traylor et al. (2001) menyatakan bahwa suplementasi fitase efektif memperbaiki penggunaan dan ketersediaan Ca dan P. Suplementasi enzim fitase ke dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, lemak kasar, P, Zn, Mg, dan Cu, serta dapat meningkatkan retensi nitrogen, mineral Ca, P, Mg, dan Zn (Lim et al., 2003).

13

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan selama 13 minggu mulai dari bulan Mei-Agustus 2010.

Materi

Ternak

Penelitian menggunakan 200 ekor ayam petelur betina strain ISA-Brown

berumur 18 minggu dengan rataan bobot badan 1,27 kg per ekor. Ayam dibagi kedalam 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mengamati produksi ayam petelur umur 18-24 minggu, pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap produksi ayam petelur umur 25-30 minggu.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang baterai berukuran 45x45x45 cm yang terbuat dari kawat, sebanyak 100 petak, masing-masing petak terdiri atas 2 ekor ayam petelur yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Alat-alat yang digunakan antara lain, plastik ransum, thermometer ruang, timbangan digital, ember, dan lampu penerangan.

Ransum

Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Lesson dan Summer (2005). Bahan pakan yang digunakan adalah bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan R. oligosporus, jagung kuning, corn gluten meal (CGM), dedak halus, bungkil kedelai, tepung ikan, minyak, CaCO3, DCP, garam, premix, DL-methionin, enzim fitase dan selulase. Ransum dibuat setiap tiga minggu sekali dalam bentuk mash menggunakan mesin dan diberikan secara ad libitum. Komposisi dan kandungan zat makanan ransum yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.

14 Tabel 5. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian

Komposisi Bahan

Pakan* R0 R1 R2 R3 R4

--- (%) --- Bungkil Biji Jarak

Fermentasi - 7,50 7,50 7,50 7,50 Jagung Kuning 53,00 52,00 52,00 52,00 52,00 CGM 4,00 4,00 4,00 4,00 4,00 Dedak Halus 4,00 - - - - Bungkil Kedelai 19,00 15,80 15,80 15,80 15,80 Tepung Ikan 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 CPO 4,20 5,00 5,00 5,00 5,00 CaCO3 8,50 8,50 8,50 8,50 8,50 DCP 0,50 0,57 0,57 0,57 0,57 Garam 0,20 0,20 0,20 0,20 0,20 Premix 0,50 0,30 0,30 0,30 0,30 DL-Methionin 0,10 0,13 0,13 0,13 0,13 Jumlah 100 100 100 100 100

Enzim Selulase (g/ton) - - 200 - 200

Enzim Fitase (g/ton) - - - 200 200

Kandungan Zat Makanan Hasil Perhitungan as fed: Energi Metabolis (kkal/kg) 2902,40 2904,59 2904,59 2904,59 2904,59 Protein Kasar (%) 19,20 19,09 19,09 19,09 19,09 Lemak Kasar (%) 6,21 6,94 6,94 6,94 6,94 Serat Kasar (%) 1,89 3,85 3,85 3,85 3,85 Kalsium (%) 3,85 3,93 3,93 3,93 3,93 Fosfor Tersedia (%) 0,48 0,47 0,47 0,47 0,47 Lysin (%) 0,99 0,94 0,94 0,94 0,94 Methionin (%) 0,41 0,43 0,43 0,43 0,43

Keterangan : *) Hasil perhitungan berdasarkan kebutuhan zat makanan ransum Leeson dan Summers (2005). R0 : Ransum tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, R4 : Ransum mengandung 7,5% bungkil BBJP + 200 selulase/ton + 200 g fitase/ton.

15

Prosedur

Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar

Pengolahan bungkil biji jarak dilakukan melalui proses fermentasi dengan menggunakan jamur tempe R. oligosporus. Sebelum fermentasi, air ditambahkan ke dalam bungkil biji jarak sampai kadar air bungkil mencapai 60%, aduk sampai rata. Bungkil biji jarak yang telah mengandung air 60% dimasukan ke dalam autoclave 121 oC selama 30 menit. Bungkil dikeluarkan dari autoclave, lalu didinginkan dalam suhu ruang dengan cara dianginkan, setelah dingin bungkil biji jarak dicampur jamur tempe sebanyak 7 g jamur per kg bungkil biji jarak sampai merata. Bungkil diinkubasi, disebar merata diatas wadah dengan alas plastik yang telah dilubangi dengan jarum, ditutup dengan keramik, setelah 24 jam inkubasi kemudian keramik dibuka, dan bungkil dibiarkan lagi selama 48 jam sampai jamur tumbuh merata dan bungkil siap dipanen. Bungkil hasil fermentasi tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 oC selama kurang lebih 24 jam (sampai kering), bungkil tersebut siap digiling dan dicampur bahan pakan lain untuk ayam petelur.

Pemeliharaan

Persiapan kandang dimulai dengan pemasangan kandang berupa kandang baterei yang terbuat dari kawat dengan ukuran 45 x 45 x 45 cm sebanyak 100 buah dan disusun menjadi 2 tingkat. Tiap kandang berisi 2 ekor ayam. Sebelum digunakan kandang dan peralatan (tempat pakan dan air minum) dibersihkan, lalu dilakukan pengapuran pada kandang dan pensucihamaan dengan menggunakan disinfektan.

Ayam petelur betina berjumlah 200 ekor dibagi dalam 5 kelompok dengan 4 ulangan, masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor ayam. Terlebih dahulu dilakukan penimbangan untuk memperoleh bobot badan awal dan dilakukan pengacakan. Selama penelitian pakan dan air minum diberikan ad libitum, air minum diganti setiap hari. Suhu kandang diukur sebanyak tiga kali yaitu, pagi, siang dan sore. Setiap minggu feses ayam dibersihkan dan diganti dengan sekam yang baru. Telur yang diproduksi setiap harinya ditimbang mengunakan timbangan digital, pakan yang diberikan ditimbang pada awal minggu dan penghitungan pakan yang dikonsumsi dilakukan diakhir minggu dengan cara menghitung selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa.

16

Pengukuran Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum diperoleh dengan menghitung selisih jumlah pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa, diukur dengan rumus:

Jumlah ransum yang diberikan – sisa ransum Konsumsi ransum =

Lama periode

Pengukuran Produksi Telur Hen Day (%)

Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur dengan jumlah ayam petelur yang hidup selama pencatatan.

Jumlah telur pada hari itu (butir)

Hen day (%) = x 100% Jumlah ayam yang hidup

Pengukuran Produksi Massa Telur (g/ekor)

Produksi massa telur diperoleh dari pembagian antara produksi telur dengan jumlah ayam yang hidup.

Pengukuran Berat Telur (g/butir)

Berat telur diperoleh dari pembagian antara jumlah berat telur (gram) yang diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan.

Pengukuran Konversi Ransum

Konversi ransum adalah angka yang menunjukkan kemampuan ayam untuk mengubah sejumlah pakan menjadi setiap kg produksi telur dalam satuan waktu tertentu. Konversi pakan menunjukkan gambaran tentang efisiensi penggunaan pakan ditinjau dari efisiensi teknis. Rumus konversi pakan adalah:

Konsumsi pakan (kg) Konversi ransum=

Produksi telur (kg)

Pengukuran Angka Mortalitas (%)

Mortalitas ayam diperoleh dengan membandingkan antara jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam awal pemeliharaan.

17

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan

Ransum perlakuan yang diberikan adalah :

R0 : Ransum kontrol, tanpa bungkil biji jarak pagar (BBJP) R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi

R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton

R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum, produksi telur harian (hen day production), produksi massa telur (egg mass), berat telur, konversi ransum, dan mortalitas.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + ε ij Keterangan :

Yij : Respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum

τi : Efek perlakuan ke-i

ε ij : Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA) dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan uji jarak Duncan

Dokumen terkait