• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu yang Diberi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi serta Suplementasi Selulase dan Fitase

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu yang Diberi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi serta Suplementasi Selulase dan Fitase"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI AYAM PETELUR ISA-BROWN UMUR 25-30

MINGGU YANG DIBERI BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR

(Jatropha curcas L.) HASIL FERMENTASI SERTA

SUPLEMENTASI SELULASE DAN FITASE

SKRIPSI

ADE DARMANSYAH

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

i

RINGKASAN

ADE DARMANSYAH. D24070274. 2012. Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu yang Diberi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi serta Suplementasi Selulase dan Fitase

.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil sampingan dari proses pengolahan biji jarak menjadi minyak. Bungkil biji jarak mengandung protein tinggi yaitu 23,59% yang berpotensi untuk dijadikan pakan ternak sumber protein yang murah. Penggunaan BBJP sebagai pakan ternak dibatasi oleh adanya racun dan antinutrisi. Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan detoksifikasi BBJP sebelum diberikan pada ternak, salah satunya dengan fermentasi. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar hasil fermentasi menggunakan jamur tempe (Rhizopus oligosporus) serta suplementasi selulase dan fitase terhadap produksi ayam petelur ISA-Brown umur 25-30 minggu.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas dan Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan selama 13 minggu mulai dari bulan Mei-Agustus 2010. Ternak yang digunakan yaitu 200 ekor ayam petelur strain ISA-Brown umur 18 minggu dengan rataan bobot badan 1,27 kg. Perlakuan yang diberikan yaitu R0 : Ransum kontrol, tanpa bungkil biji jarak pagar (BBJP); R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi; R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton; R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton; R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Data dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, produksi telur harian (hen day), produksi massa telur, berat telur, konversi ransum, dan mortalitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian 7,5% bungkil biji jarak pagar hasil fermentasi (R1, R2, R3 dan R4) menghasilkan konsumsi ransum, produksi telur hen day, dan produksi massa telur yang nyata (P<0,05) lebih rendah daripada R0 serta menghasilkan nilai konversi ransum dan angka mortalitas yang lebih tinggi daripada R0. Akan tetapi pada umur 30 minggu pemberian enzim selulase pada R2 menghasilkan produksi telur hen day dan massa telur yang sama dengan kontrol (R0). Kesimpulan yang dapat diambil adalah pemberian 7,5% bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) hasil fermentasi R. oligisporus dengan suplementasi enzim selulase dan fitase belum mampu memperbaiki produksi ayam petelur ISA-Brown umur 25-30 minggu. Suplementasi enzim selulase 200 g/ton pakan mampu menghasilkan produksi telur hen day dan massa telur yang sama dengan kontrol pada ayam petelur umur 30 minggu.

(3)

ii

ABSTRACT

Production of ISA-Brown laying hen age 25-30 weeks feed fermented Jatropha curcas meal supplemented with cellulase and phytase

Darmansyah. A., Sumiati., R. Mutia

The aim of this study was to analyze the effect of feeding fermented Jatropha curcas meal (JCM) supplemented with cellulase and phytase on the performance of laying hens aged 25-30 weeks. This study used 200 ISA-Brown strain laying hens. A completely randomized design with 5 treatments and 4 replications was used in this experiment. The treatment diets were: R0 (control diet, without JCM), R1 (diet contained 7.5% fermented JCM), R2 (diet contained 7.5% fermented JCM + 200 g of cellulose/ton) , R3 (diet contained 7,5% fermented JCM + 200 g phytase/ton), and R4 (diet contained 7.5% fermented JCM + 200 g cellulase/ton + 200 g phytase/ton). The parameters observed were feed intake, hen day production, egg mass production, egg weight, feed conversion, and mortality. The data were analyzed using analysis of variance and significant differences among treatments were tested using Duncan Multiple Range Test. The results showed that feeding fermented Jatropha curcas meal 7.5% supplemented with cellulase and phytase has not been able to improve performances of laying hens aged 25-30 weeks, however supplemented cellulose 200 g/ton yielded the same hen day production and egg mass of laying hens aged 30 weeks as the control diet.

(4)

iii

PRODUKSI AYAM PETELUR ISA-BROWN UMUR 25-30

MINGGU YANG DIBERI BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR

(Jatropha curcas L.) HASIL FERMENTASI SERTA

SUPLEMENTASI SELULASE DAN FITASE

ADE DARMANSYAH D24070274

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

iv Judul : Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu yang Diberi

Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi serta Suplementasi Selulase dan Fitase

Nama : Ade Darmansyah NIM : D24070274

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Sumiati, M.Sc) (Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr) NIP. 19611017 198603 2 001 NIP. 19630917 198803 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001

(6)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 14 April 1988. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Wihana dan Ibu Arminah.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Negeri Cikadu dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan deselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Situraja. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Situraja pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim

Alhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian, seminar, dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu yang Diberi Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Hasil Fermentasi serta Suplementasi Selulase dan Fitase” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2010 di Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) mengandung protein tinggi yaitu 23,59% sehingga berpotensi untuk dijadikan pakan ternak sumber protein yang murah. BBJP ini mengandung racun dan antinutrisi yang berbahaya bagi ternak, maka dilakukan detoksifikasi untuk mengurangi racun dan antinutrisi, salah satunya adalah dengan fermentasi menggunakan jamur tempe (Rhizopus oligosporus). Ternak yang menjadi objek penelitian ini adalah ayam petelur strain ISA-Brown.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu hingga skripsi ini selesai. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Januari 2012

(8)

vii

Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar ... 9

Jamur Tempe (Rhizopus oligosporus) ... 10

Fermentasi Bungkil Biji Jarak ... 15

Pengukuran Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) ... 16

Pengukuran Produksi Telur Hen Day (%) ... 16

Pengukuran Produksi Massa Telur (g/ekor) ... 16

Pengukuran Berat Telur (g/ekor) ... 16

Pengukuran Konversi Ransum ... 16

(9)

viii

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 17

Perlakuan ... 17

Peubah yang Diamati ... 17

Rancangan Percobaan ... 17

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Konsumsi Ransum ... 18

Produksi Telur Hen Day ... 20

Produksi Massa Telur ... 22

Berat Telur ... 23

Konversi Ransum ... 25

Mortalitas ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

Kesimpulan ... 28

Saran ... 28

UCAPAN TERIMA KASIH ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP Tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang BBJP ... 5 2. Komposisi Kimia Berbagai Varietas Jatropha curcas L ... 6 3. Komposisi Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas L.... .. 6 4. Kandungan Racun dan Antinutrisi BBJP Tanpa Pengolahan dan

Difermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus ... 10 5. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian ... 14 6. Rataan Performa Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30

Minggu ... 18 7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis dan Protein Ayam Petelur

ISA-Brown Umur 25-30 Minggu ... 22 8. Angka Mortalitas Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu .. 26 9. Konsumsi Phorbolester Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ... 4

2. Stuktur Kimia Phorbolester ... 7

3. Struktur Kimia Curcin ... 8

4. Grafik Konsumsi Ransum Selama 6 Minggu Pengamatan ... 19

5. Grafik Produksi Telur Hen Day Selama 6 Minggu Pengamatan ... 21

6. Grafik Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Pengamatan ... 23

7. Grafik Berat Telur Selama 6 Minggu Pengamatan ... 24

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Ragam Konsumsi Ransum ... 35

2. Analisis Ragam Produksi Telur Hen Day ... 35

3. Uji Jarak Duncan Produksi Telur Hen Day ... 35

4. Analisis Ragam Massa Telur ... 35

5. Uji Jarak Duncan Produksi Massa Telur ... 36

6. Analisis Ragam Berat Telur ... 36

7. Analisis Ragam Konversi Ransum ... 36

8. Analisis Ragam Konsumsi Energi Metabolis ... 36

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biaya yang paling besar pada peternakan unggas adalah biaya pakan, yaitu sekitar 70% dari total biaya produksi. Masalah ini perlu diatasi dengan melakukan efisiensi biaya pakan, salah satunya adalah mencari sumber pakan alternatif yang memanfaatkan limbah pertanian, antara lain dengan memanfaatkan bungkil biji jarak pagar. Bungkil biji jarak merupakan hasil sampingan dari proses pengolahan biji jarak menjadi minyak. Bungkil biji jarak sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bungkil biji jarak mengandung protein tinggi yaitu 23,59% sehingga bungkil biji jarak berpotensi untuk dijadikan pakan ternak sebagai sumber protein yang murah. Populasi pohon jarak di Indonesia tersebar mulai dari Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sumbawa, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah dengan tingkat produksi mencapai 7.904,77 juta ton/tahun, dari angka tersebut dapat menghasilkan bungkil biji jarak sebesar 4.742,86 juta ton/tahun.

Penggunaan bungkil biji jarak sebagai pakan ternak dibatasi oleh adanya racun dan antinutrisi. Trabi et al. (1997) melaporkan bahwa bungkil biji jarak mangandung beberapa zat antinutrisi yaitu, saponin, protease inhibitor, asam fitat serta racun curcin dan phorbolester yang berbahaya bagi ternak. Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan detoksifikasi bungkil biji jarak sebelum diberikan pada ternak. Berbagai metode detoksifikasi bungkil biji jarak sudah dilakukan, diantaranya dengan pengolahan fisik, kimia dan biologis. Pengolahan fisik dilakukan dengan cara pemanasan (121ºC, 30 menit) menggunakan autoclave, pengolahan kimia yaitu dengan menambahkan larutan NaHCO3 (Martinez-Herrera et al., 2006), sedangkan pengolahan biologis dilakukan dengan cara fermentasi bungkil biji jarak menggunakan jamur tempe Rhizopus oligosporus (Sumiati et al., 2008). Pada penelitian ini bungkil biji jarak diolah dengan fermentasi menggunakan jamur R. oligosporus yang sebelemunya telah dilakukan pemansan dengan autoclave.

(14)

2 suplementasi enzim selulase dan fitase dalam ransum. Enzim selulase diharapkan dapat menghidrolisis serat kasar, dan enzim fitase dapat melepaskan ikatan fitat dengan mineral (P, Zn, Fe, Mg, Ca), protein, dan asam amino. Fermentasi dan suplementasi enzim selulase dan fitase yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu menurunkan racun dan antinutrisi, sehingga bungkil biji jarak dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber protein.

Tujuan

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Tanaman jarak termasuk kedalam famili Eurphobiaceae yang terbagi menjadi dua yaitu tanaman jarak pohon (Ricinus communis L.) dan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang berasal dari Amerika dan banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini tumbuh dengan cepat, kuat, dan tahan terhadap panas dan penyakit, lahan tandus dan berbatu (Makkar et al., 1997). Tanaman jarak memiliki rasa pahit, bergetah dan mengandung racun yang tidak disukai ternak sehingga sering digunakan sebagai pagar pengaman kebun. Masyarakat sering memanfaatkan daun jarak pagar sebagai obat tradisional, sedangkan biji jarak pagar merupakan sumber penghasil minyak (Aregheore et al., 2003). Di Indonesia terdapat berbagai jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar/kastor (Ricinus communis L.), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha gossypifolis L.), dan jarak pagar (Jatropha curcas). Diantara jenis tanaman jarak tersebut yang memiliki potensi sebagai penghasil minyak bakar (biofuel) adalah jarak pagar (Jatropha curcas L.). Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan pada tanaman jarak ini antara lain jarak kosta, jarak budeg (Sunda), jarak gundul, jarak pager (Jawa), kalekhe paghar (Madura), jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomone (Sulawesi), ai huwa kamala, balacai, katodo (Maluku) dan lainnya (Hariyadi, 2005). Diantara tanaman tersebut yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar alternatif adalah jarak pagar (Jatropha curcas) (Charloq, 2008).

(16)

4 batang pohon, akan menghasilkan 4-5 ton biji kering dalam setahun. Satu ton biji kering akan menghasilkan 200-300 l minyak jarak, sehingga 1 ha lahan akan menghasilkan 1.000-1.500 l minyak jarak (Susilo, 2007).

Buah jarak terbagi menjadi 3 ruang, masing-masing ruang diisi tiga biji. Biji berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30%-40% (Hariyadi, 2005). Produk utama yang dihasilkan tanaman jarak pagar adalah minyak yang dihasilkan dari proses ekstraksi biji jarak dan produk limbahnya berupa bungkil biji jarak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Jatropha curcas L. menghasilkan bungkil yang dapat digunakan sebagai sumber protein karena mengandung protein yang tinggi jika kandungan racun dihilangkan (Makkar dan Becker, 1997). Tanaman jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sumber : Sudaryanto (2010)

Menurut Duke (1983) klasifikasi dari tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut: Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledone

Ordo : Euphorbiaeceae

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Jatropha

(17)

5

Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas meal)

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari proses pengepresan biji jarak menjadi minyak jarak. Bungkil biji jarak memiliki kandungan nutrien yang berpotensi untuk dijadikan pakan ternak dengan dilakukan pengolahan terlebih dahulu karena BBJP memiliki antinutrisi dan racun yang berbahaya bagi ternak. Komposisi nutrien dan fraksi serat BBJP tanpa cangkang, BBJP dengan cangkang dan cangkang BBJP disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP Tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang BBJP

Kandungan Nutrien BBJP Tanpa Cangkang

Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)

(18)

6 Tabel 2. Komposisi Kimia Berbagai Varietas Jatropha curcas L.

Sumber : Makkar et al. (1998)

Keterangan : NDF = Neutral Detergent Fiber, ADF = Acid Detergent Fiber, ADL = Acid Detergen `Lignin

Menurut Sumiati et al. (2008), pemberian bungkil biji jarak dalam ransum dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, kematian yang cepat dan kerusakan jaringan hati dan ginjal ayam broiler. Kandungan antinutrisi pada BBJP ini meliputi

polyfenol, tannin, phytat, saponin, antitrypsin dan racun phorbolester, curcin atau

lectin (Makkar et al., 1998). Phorbolester merupakan toksin yang menyebabkan efek biologis seperti peningkatan tumor dan peradangan saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003). Komposisi racun dan zat antinutrisi pada bungkil biji jarak dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas L.

Komponen Varietas

Inhibitor Tripsin (mg tripsin yang dihambat per g sampel) 21,3 26,5 Lectin (1/mg bungkil yang memproduksi haemaglutinasi

per ml medium) 102 51

Sumber: Francis et al. (2006) Komposisi Kimia

Varietas

(19)

7 Phorbolester Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan

anggota diterpene ester. Phorbolester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar dan dalam air (Ahmed dan Salimon, 2009). Rumus bangun phorbolester dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia phorbolester

Sumber : Ahmed dan Salimon (2009)

Phorbolester dapat menyebabkan efek biologis yang luar biasa walaupun dalam konsentrasi rendah. Pengaruhnya menyebabkan iritasi kulit dan pemacu terjadinya tumor karena menstimulasi PKC (Protein Kinase C), yang mempengaruhi penyaluran sinyal perkembangan sel dan jaringan serta berbagai efek biologis yang kuat terhadap organisme (Goel et al., 2007). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan bersifat stabil serta tidak dapat terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC, sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Diferensiasi sel yang tidak terkontrol menyebabkan terjadinya tumor yang berbahaya bagi ternak karena dapat menyebabkan kematian.

(20)

8 Curcin Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)

Curcin atau lectin adalah fitotoxin atau toxalbumin yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun, menyerupai struktur dan fisiologis racun bakteri. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. Curcin juga merupakan alat inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). N-glycosidase adalah enzim yang mengatur kenormalan sel, antibakteri dan mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Curcin (lektin) menyebabkan reaksi lokal pada saluran pencernaan yaitu 1) mempengaruhi pergantian dan kehilangan sel epithel usus, 2) menghambat pencernaan dan penyerapan, 3) kerusakan pada epitel membran lumen dan 4) merubah status imunologi pada saluran pencernaan.

Rusaknya saluran pencernaan menyebabkan terganggunya penyerapan nutrien oleh tubuh dan mengganggu pertumbuhan dan produksi pada hewan. Secara sistematis curcin mengganggu metabolisme lemak, karbohidrat, protein, dan meningkatkan atau mengecilkan ukuran dari saluran pencernaan serta merubah status hormonal dan imunologi (Vasconcelos dan Oliveira, 2004). Struktur kimia curcin

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Kimia Curcin

Sumber : Juan et al. (2003)

Curcin merupakan racun yang bekerja jangka panjang, efek curcin tidak terlihat dalam jangka pendek, tokisitasnya akan meningkat jika bergabung dengan

(21)

9

Detoksifikasi Bungkil Biji Jarak Pagar

Detoksifikasi bertujuan untuk menurunkan kandungan racun phorbolester dan

curcin yang terkandung dalam bungkil biji jarak. Teknologi detoksifikasi yang telah dilakukan diantaranya dengan perlakuan fisik, kimia dan biologis. Perlakuan fisik dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan aoutoclave pada suhu 121 ºC selama 30 menit, hasilnya dapat menurunkan aktifitas tripsin dan lectin (Aregheore

et al., 2003). Perlakuan kimia yaitu dengan menambahkan larutan NaHCO3 (Martinez-Herrera et al., 2006). Pengolahan secara biologis dilakukan dengan cara fermentasi BBJP oleh R. oligosporus (Sumiati et al., 2008).

Detoksifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan fermentasi. Fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir dan bakteri dapat terjadi secara anaerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Aktivitas metabolisme mikroorganisme pada proses fermentasi ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti pH, suhu, tekanan, oksigen dan konsentrasi substrat (Fardiaz, 1992). Fermentasi merupakan salah satu pengolahan bungkil biji jarak secara biologis, fermentasi ini menggunakan R. oligosporus yang sering digunakan untuk membuat tempe. Selama proses fermentasi kapang akan menghasilkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi senyawa yang lebih sederhana dan meningkatkan asam amino (Ansori, 1989).

(22)

10 Tabel 4. Kandungan Racun dan Antinutrisi BBJP Tanpa Pengolahan dan

Difermentasi Menggunakan R. oligosporus

Parameter Kontrol Fermentasi Penurunan (%)

Phorbolester (µg/g) 24,33 15,28 37,20

Tanin (%) 0,13 0,007 94,62

Saponin (%) 1,04 0,39 62,50

Asam Fitat (%) 9,19 8,45 8,05

Antitripsin (%) 6,17 1,85 70,02

Sumber : Sumiati et al. (2010)

Jamur Tempe (Rhizopus oligosporus)

Jamur tempe (Rhizopus oligosporus) merupakan jenis jamur yang tergolong filum zygomycota, berkembang biak dengan konjugasi gamet positif dan negatif membentuk zygosporangia melalui plasmogami dan karyogami, maupun berkembang biak secara aseksual dengan spora. Daur hidup dimulai dengan pertumbuhan spora menjadi benang hifa yang bercabang membentuk miselium dan sporangium yang berisi spora. R. oligosporus adalah jamur benang yang selalu terisolasi dari tempe, perkecambahan R. oligosporus berlangsung melalui dua tahap, yaitu pembengkakan dan penonjolan keluar tabung kecambah. Kondisi optimal perkecambahan adalah pada suhu 42 oC dan pH 4,0 (Dinda, 2008). R. Oligosporus

dapat meningkatkan nilai protein kedelai dengan cara mensisntesa enzim protease selama proses fermentasi (Anshori, 1989). Selain itu R. oligosporus juga mensintesa enzim lipase, poligalakturonase, endoselulase, xilanase, arabinase, fitase, dan rhizopus carboksil proteinase (Nout dan Rombouts, 1990). Klasifikasi R. oligosporus

menurut Jennessen (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi

Divisi : Zygomycota

Kelas : Zygomycetes

Ordo : Mucorales

Famili : Mucoraceae

Genus : Rhizopus

(23)

11

Rhizopus oligosporus mempunyai koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Sporangiofor tunggal atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan panjang lebih dari 1000 mikro meter dan diameter 10-18 mikro meter. Sporangia globosa yang pada saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 mikro meter. Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 mikro meter atau 12-45 mikro meter x 7-35 mikro meter (Wipradnyadewi, 2005)

Ayam Petelur

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah berasal dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Jenis ayam ini merupakan spesies Gallus domesticus. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan di Indonesia adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya dijadikan ayam potong. Terdapat tiga jenis ayam yaitu tipe ringan berasal dari bangsa white leghorn, tipe medium dari bangsa rhode island reds, dan barred plymouth rock dan tipe berat dari bangsa new hampshire, white plymouth rock, dan cornish (Amrullah, 2002).

Ayam petelur ISA-Brown merupakan jenis ayam hasil persilangan antara ayam rhode island whites dan rhode island reds. ISA-Brown termasuk ayam petelur tipe medium yang memiliki produktivitas yang cukup tinggi yaitu mampu menghasilkan telur sebanyak 351 butir per tahun dengan berat telur rata-rata sebesar 63,2 g dan mampu mencapai puncak produksi sebesar 95% (Hendrix, 2007). ISA-Brown menghasilkan telur dengan warna kerabang cokelat.

Enzim Selulase

(24)

12 diperlukan enzim selulase yang merupakan kompleks dari enzim selobiohidrolase, endoglukanase dan ß-glukosidase (Deacon, 1997).

Enzim selulase kompleks terdiri dari tiga enzim utama yaitu endo-1,4-β -glukanase, ekso-1,4-β-glukanase, dan 1,4 β-glukosidase. Endo-1,4-β-glukanase memotong ikatan rantai dalam selulosa secara acak menghasilkan molekul selulosa yang lebih pendek, ekso-1,4-β-glukanase memotong ujung-ujung rantai selulosa baik ujung pereduksi (reducing end) maupun yang ujung non pereduksi (non reducing end) menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan 1,4 β-glukosidase memotong molekul selobiosa menjadi monomer-monomer glukosa yang lebih sederhana. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada fungi, sistem selulase sekurang-kurangnya terdiri dari 3 enzim (Da silva et al., 2005) :

1. enzim-enzim endo-β-1,4-glukanase 2. enzim ekso-β-1,4-glukanase

3. enzim-enzim β-glukosidase.

Enzim Fitase

Enzim fitase adalah phosphomonoesterase yang mampu menghidrolisa asam fitat untuk menghasilkan orthophosphate inorganik dan serangkaian phosphoric yang lebih rendah (inositol pentaphosphate menjadi monophosphate) dan akhirnya menjadi asam fitat bebas (Konietzny dan Greiner, 2002). Enzim ini dapat merusak struktur dari asam fitat sehingga mineral seperti P, Mg, Mn, Fe, Zn, Ca, dan protein terlepas dari asam fitat ini (Baruah et al., 2004). Asam fitat merupakan senyawa antinutrisi yang terdapat pada tanaman. Asam fitat membentuk komplek dengan beberapa mineral (P, Zn, Fe, Mg, Ca), protein, dan asam amino (Quan et al., 2001). Mineral dan protein yang terikat dalam fitat tidak dapat diserap oleh tubuh, dan dapat menyebabkan defisiensi sehingga asam fitat digolongkan kedalam antinutrisi.

(25)

13

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan selama 13 minggu mulai dari bulan Mei-Agustus 2010.

Materi

Ternak

Penelitian menggunakan 200 ekor ayam petelur betina strain ISA-Brown

berumur 18 minggu dengan rataan bobot badan 1,27 kg per ekor. Ayam dibagi kedalam 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang mengamati produksi ayam petelur umur 18-24 minggu, pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap produksi ayam petelur umur 25-30 minggu.

Kandang dan Perlengkapan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang baterai berukuran 45x45x45 cm yang terbuat dari kawat, sebanyak 100 petak, masing-masing petak terdiri atas 2 ekor ayam petelur yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Alat-alat yang digunakan antara lain, plastik ransum, thermometer ruang, timbangan digital, ember, dan lampu penerangan.

Ransum

(26)

14 Tabel 5. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian

Komposisi Bahan Hasil Perhitungan as fed: Energi Metabolis

(kkal/kg)

2902,40 2904,59 2904,59 2904,59 2904,59

Protein Kasar (%) 19,20 19,09 19,09 19,09 19,09

(27)

15

Prosedur

Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar

Pengolahan bungkil biji jarak dilakukan melalui proses fermentasi dengan menggunakan jamur tempe R. oligosporus. Sebelum fermentasi, air ditambahkan ke dalam bungkil biji jarak sampai kadar air bungkil mencapai 60%, aduk sampai rata. Bungkil biji jarak yang telah mengandung air 60% dimasukan ke dalam autoclave 121 oC selama 30 menit. Bungkil dikeluarkan dari autoclave, lalu didinginkan dalam suhu ruang dengan cara dianginkan, setelah dingin bungkil biji jarak dicampur jamur tempe sebanyak 7 g jamur per kg bungkil biji jarak sampai merata. Bungkil diinkubasi, disebar merata diatas wadah dengan alas plastik yang telah dilubangi dengan jarum, ditutup dengan keramik, setelah 24 jam inkubasi kemudian keramik dibuka, dan bungkil dibiarkan lagi selama 48 jam sampai jamur tumbuh merata dan bungkil siap dipanen. Bungkil hasil fermentasi tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 oC selama kurang lebih 24 jam (sampai kering), bungkil tersebut siap digiling dan dicampur bahan pakan lain untuk ayam petelur.

Pemeliharaan

Persiapan kandang dimulai dengan pemasangan kandang berupa kandang baterei yang terbuat dari kawat dengan ukuran 45 x 45 x 45 cm sebanyak 100 buah dan disusun menjadi 2 tingkat. Tiap kandang berisi 2 ekor ayam. Sebelum digunakan kandang dan peralatan (tempat pakan dan air minum) dibersihkan, lalu dilakukan pengapuran pada kandang dan pensucihamaan dengan menggunakan disinfektan.

(28)

16

Pengukuran Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum diperoleh dengan menghitung selisih jumlah pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa, diukur dengan rumus:

Jumlah ransum yang diberikan – sisa ransum Konsumsi ransum =

Lama periode

Pengukuran Produksi Telur Hen Day (%)

Produksi telur harian adalah produksi telur dalam suatu kelompok ayam petelur yang didasarkan atas persentase produksi telur dengan jumlah ayam petelur yang hidup selama pencatatan.

Jumlah telur pada hari itu (butir)

Hen day (%) = x 100% Jumlah ayam yang hidup

Pengukuran Produksi Massa Telur (g/ekor)

Produksi massa telur diperoleh dari pembagian antara produksi telur dengan jumlah ayam yang hidup.

Pengukuran Berat Telur (g/butir)

Berat telur diperoleh dari pembagian antara jumlah berat telur (gram) yang diproduksi dengan jumlah telur (butir) yang dihasilkan.

Pengukuran Konversi Ransum

Konversi ransum adalah angka yang menunjukkan kemampuan ayam untuk mengubah sejumlah pakan menjadi setiap kg produksi telur dalam satuan waktu tertentu. Konversi pakan menunjukkan gambaran tentang efisiensi penggunaan pakan ditinjau dari efisiensi teknis. Rumus konversi pakan adalah:

Konsumsi pakan (kg) Konversi ransum=

Produksi telur (kg)

Pengukuran Angka Mortalitas (%)

(29)

17

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Perlakuan

Ransum perlakuan yang diberikan adalah :

R0 : Ransum kontrol, tanpa bungkil biji jarak pagar (BBJP) R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi

R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton

R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum, produksi telur harian (hen day production), produksi massa telur (egg mass), berat telur, konversi ransum, dan mortalitas.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor ayam. Model matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + ε ij Keterangan :

Yij : Respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : Rataan umum

τi : Efek perlakuan ke-i

ε ij : Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Analisis Data

(30)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Performa Produksi Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu

Peubah Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2

: Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi Ransum

(31)

19 Konsumsi ransum pada penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan standar konsumsi ransum menurut Hendrix (2007) bahwa konsumsi ayam petelur periode produksi umur 25-30 minggu berkisar 116-120 g/ekor/hari. Konsumsi ransum setiap minggu dari setiap perlakuan terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Konsumsi Ransum Selama 6 Minggu Pengamatan

Gambar 4 menunjukkan tidak terdapat fluktuasi konsumsi ransum yang signifikan dan cenderung terjadi peningkatan seiring dengan bertambahnya umur ayam. Konsumsi ransum pada ayam yang diberi perlakuan 7,5% BBJP lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Rendahnya konsumsi ransum pada penelitian ini dipengaruhi oleh lingkungan yaitu suhu. Rataan suhu kandang selama penelitian 26 ºC pada pagi hari, 30 ºC pada siang hari, dan 27 ºC pada sore hari. Menurut Amrullah (2004), suhu lingkungan yang optimum untuk ayam petelur yang sedang berproduksi yaitu berkisar 18,3-23,9 ºC. Tingginya suhu lingkungan diduga membuat ayam stres sehingga ayam lebih banyak mengkonsumsi air minum dibandingkan dengan ransum yang diberikan. Selain itu rendahnya konsumsi ransum ini diduga karena masih terdapat racun dan antinutrisi pada BBJP, racun dalam BBJP sangat berpengaruh terhadap penurunan konsumsi ransum ayam. Penurunan konsumsi ransum juga disebabkan kerusakan organ hati untuk mendetosifikasi racun, hal ini sebagai mekanisme pertahanan diri terhadap racun (Sumiati et al., 2011).

(32)

20

Produksi Telur Hen Day (%)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap produksi telur hen day. Produksi telur hen day pada penelitian ini berkisar antara 28,91%-64,05%. Produksi telur hen day pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (R0).

Penurunan produksi telur hen day pada ayam yang diberi perlakuan R1, R2, R3, dan R4 diduga karena adanya penurunan absorbsi zat makanan oleh usus karena kandungan racun berupa phorbolester dan curcin yang masih terdapat dalam bungkil biji jarak. Phorbolester menyebabkan iritasi kulit dan pemacu terjadinya tumor karena menstimulasi PKC (Protein Kinase C), yang mempengaruhi penyaluran sinyal dan perkembangan sel dan jaringan serta berbagai efek biologis yang kuat terhadap organisme (Goel et al., 2007). Kerusakan organ pencernaan pada ayam petelur menyebabkan ayam mengalami gangguan dalam metabolisme zat makanan yang dikonsumsi dari ransum. Hal ini dapat menurunkan/menghambat produksi telur dari ayam yang sedang dalam fase puncak produksi.

Racun phorbolester yang terkandung dalam BBJP pada penelitian adalah 0,015 mg/g BBJP atau 0,0011 mg/g ransum. Penelitian Sumiati et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian 5% BBJP yang difermentasi dengan R. oligosporus

dalam ransum menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan terhadap performa ayam kampung. Namun, pemberian 7,5% BBJP hasil fermentasi dalam ransum ayam petelur ISA-Brown penelitian ini menunjukan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) menurunkan produksi telur dan terjadinya kematian, hal ini menunjukan sensitifitas ayam petelur lebih terhadap phorbolester lebih tinggi dibandingkan dengan ayam kampung. Selain itu penurunan produksi telur juga disebabkam oleh

(33)

21 Gambar 5. Grafik Produksi Telur Hen Day Selama 6 Minggu Pengamatan

Gambar 5 menunjukan produksi telur hen day selama 6 minggu pengamatan, produksi telur hen day ayam petelur yang diberi ransum dengan penambahan 7,5% BBJP hasil fermentasi (R1, R2, R3 dan R4) terlihat lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol (R0). Meskipun lebih rendah daripada kontrol, namun produksi telur hen day dari setiap perlakuan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan produksi telur hen day yang cukup signifikan terjadi pada perlakuan R2, meskipun peningkatannya masih lebih rendah dari R0, tetapi R2 ini lebih baik daripada perlakuan R1, R3 dan R4. Suplementasi enzim selulase dalam ransum R2 efektif dalam membantu ayam untuk mencerna serat kasar yang tinggi dalam ransum. Selulase dapat memutus ikatan ß-1,4 pada struktur selulosa, pemutusan ikatan ini akan menghasilkan oligosakarida turunan selulosa, untuk akhirnya diubah menjadi monomer glukosa (Deacon, 1997). Enzim selulase ini dapat membantu ayam dalam mencerna zat makanan dalam ransum dan mampu meningkatkan produksi telur hen day pada R2.

Jumlah ransum yang dikonsumsi dan kandungan zat makanan adalah faktor yang mempengaruhi produksi telur, ransum yang dikonsumsi berpengaruh terhadap jumlah konsumsi energi dan protein dalam pakan. Konsumsi energi dan protein dalam ransum digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi bulu, dan produksi telur (Amrullah, 2004). Rendahnya produksi telur hen day juga disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein yang disebabkan rendahnya

(34)

22 konsumsi ransum. Konsumsi energi dan protein pada perlakuan R1, R2, R3, dan R4 lebih rendah dibandingkan dengan R0 (Tabel 7). Energi dan protein yang dikonsumsi sangat dibutuhkan untuk mempertahankan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi pada ayam petelur, terutama untuk produksi telur.

Tabel 7. Rataan Konsumsi Energi Metabolis dan Protein Ayam Petelur ISA-Brown Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi,

R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton.Superskrip dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Konsumsi energi metabolis ayam petelur yang diberi 7,5% BBJP hasil fermentasi (R1, R2, R3, dan R4) berkisar antara 245,12-251,05 kkal/ekor/hari dan konsumsi protein berkisar antara 16,11-16,50 g/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein tersebut lebih rendah daripada rekomendasi Leeson dan Summers (2005), bahwa kebutuhan protein untuk ayam umur 18-32 minggu adalah 20 g/ekor/hari dan kebutuhan energi metabolis (EM) sebesar 260 kkal/ekor/hari. Konsumsi energi metabolis dan protein pada ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi dari R1, R2, R3, dan R4. Sehingga produksi telur hen day dari ayam yang diberi ransum R0 lebih tinggi daripada R1, R2, R3 dan R4. Hal ini karena ayam pada R1, R2, R3 dan R4 tidak mampu mencukupi kebetuhan energi dan protein untuk produksi telur.

Produksi Massa Telur (g/ekor)

(35)

23 telur menurun. Produksi massa telur R2 lebih baik dibandingkan dengan R1, R3 dan R4. Produksi massa telur setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Produksi Massa Telur Selama 6 Minggu Pengamatan

Produksi massa telur pada saat ayam berumur 25 minggu masih rendah, lalu semakin meningkat seiring dengan bertambahya umur ayam (Gambar 6). Secara umum produksi massa telur ayam yang mendapat ransum dengan penambahan 7,5% BBJP hasil fermentasi (R1, R2, R3, dan R4) lebih rendah daripada kontrol (R0).

Pada perlakuan R2 terjadi peningkatan produksi massa telur yang cukup signifikan pada saat ayam memasuki umur 27 minggu dibandingkan dengan R1, R3 dan R4, bahkan perlakuan R2 mampu menyamai produksi massa telur kontrol pada saat ayam memasuki umur 30 minggu. Hal ini diduga karena enzim selulase yang disuplementasi pada R2 yang mampu menghidrolisis serat kasar dan dapat membantu ayam dalam menyerap zat makanan, sehingga ayam mampu berproduksi secara maksimal.

Berat Telur (g/butir)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan 7,5% BBJP dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rataan berat telur selama penelitian. Rataan bobot telur pada penelitian ini berkisar 53,30-55,53 g/butir. Rataan tersebut tidak berbeda jauh dengan pernyataan Hendrix (2007) bahwa untuk ayam petelur strain ISA-Brown yang berumur 25-30 minggu memiliki berat telur antara

(36)

24 55,30-58,10 g/butir. Masih adanya bobot telur yang rendah didukung oleh rendahnya konsumsi ransum sehingga protein yang diserap untuk pembentukan telur juga rendah. Menurut Amrullah (2004) bahwa ukuran dan berat telur dipengaruhi oleh banyaknya protein yang dikonsumsi dan besarnya ukuran kuning telur. Protein ransum yang digunakan dalam pembentukan telur berkisar 55%-60% dari total protein yang dikonsumsi. Menurut Leeson dan Summers (2001), ukuran berat telur ayam dipengaruhi oleh protein, asam amino (terutama methionin), genetik, dan ukuran tubuh. Berat telur ayam selama penelitian disajikan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Berat Telur Selama 6 Minggu Pengamatan

Gambar 7 menunjukan berat telur pada penelitian ini tidak beda jauh dengan standar berat telur menurut Hendrix (2007), dari gambar terlihat terjadi peningkatan berat telur dari minggu ke-25 sampai minggu ke-30. Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam pada awal periode bertelur cenderung menghasilkan telur yang ukurannya lebih kecil dan secara bertahap akan bertambah besar sejalan dengan bertambahnya umur ayam dan perkembangan saluran reproduksi. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada R4. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kombinasi suplementasi enzim fitsae dan selulase pada perlakuan R4, bahwa fitase ini mampu menghidrolisis asam fitat, dan selulase dapat mendegradasi serat kasar yang terdapat dalam ransum yang mengandung 7,5% BBJP. Traylor et al. (2001), menyatakan bahwa suplementasi fitase efektif memperbaiki penggunaan dan ketersediaan Ca dan P,

(37)

25

sehingga Ca dan P ini dapat memperbaiki berat telur, karena Ca dan P mampu diserap dalam proses pembentukan telur.

Konversi Ransum

Konversi ransum merupakan perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi dengan berat telur yang dihasilkan. Ukuran efisiensi pada ayam petelur dilihat berdasarkan jumlah produksi telur yang dicapai. Semakin rendah konversi ransum, maka efisien ternak tersebut dalam mengubah ransum untuk mengasilkan produksi semakin tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan 7,5% BBJP hasil fermentasi dalam ransum memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap konversi ransum. Rataan konversi ransum ayam petelur umur 25-30 minggu berkisar antara 3,24-8,67 (Tabel 6) dan grafik setiap minggunya terlihat pada Gambar 6.

Konversi ransum terendah terdapat pada perlakuan R0, sedangkan perlakuan R2, R3, dan R4 memiliki konversi yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R1. Hal ini diduga karena rendahnya produksi telur harian pada perlakuan R1. Konversi ransum yang tinggi menunjukkan rendahnya efisiensi penggunaan ransum. Tingginya nilai konversi ransum dapat terjadi karena adanya curcin yang mengikat glycoprotein. Pengikataan glycoprotein mengakibatkan ayam tidak mampu berproduksi secara maksimal meskipun telah mengkonsumsi ransum dalam jumlah besar.

(38)

26 Gambar 8 menunjukan nilai konversi ransum mengalami penurunan selama pengamatan. Konversi ransum R2, R3 dan R4 tidak berbeda nyata dengan konversi R0, nilai konversi R0 berdeda nyata (P<0,05) lebih rendah daripada R1 (Tabel 6). Rendahnya konversi ransun R2, R3, dan R4 ini karena adanya suplementasi enzim dalam ransum yaitu enzim selulase dan fitase. Enzim fitase bermanfaat untuk mereduksi senyawa asam fitat dalam pakan, sehingga pemanfatan mineral terutama fosfor lebih optimal dalam tubuh ternak monogastrik (Greiner et al., 1997).

Mortalitas

Mortalitas ayam diperoleh dengan membandingkan antara jumlah ayam yang mati dengan jumlah ayam awal pemeliharaan. Mortalitas selama penelitian disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Angka Mortalitas Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu

Umur (Minggu)

Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

25 - 2 - 1 1

26 - - 2 - -

27 - - - 1 -

28 - - 1 1 2

29 - 3 - 3 1

30 - - - 2 -

Total (ekor) 0 5 3 8 4

(%) 0 15,15 7,89 24,24 11,11

Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton

Angka mortalitas dari perlakuan R1, R2, R3, dan R4 berturut-turut adalah 15,15, 7,89, 24,24, dan 11,11%. Pemberian ransum kontrol (R0) tidak menyebabkan kematian pada ayam. Terjadinya kematian pada ayam yang diberi 7,5% BBJP ini karena masih adanya racun phorbolester dalam BBJP. Phorbolester memiliki toksisitas yang cukup tinggi meskipun dalam konsentrasi yang rendah. Konsumsi

(39)

27 Tabel 9. Konsumsi Phorbolester Ayam Petelur ISA-Brown Umur 25-30 Minggu

Perlakuan

Keterangan : R0 : Ransum kontrol tanpa BBJP, R1 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi, R2 :Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton, R3 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g fitase/ton, dan R4 : Ransum mengandung 7,5% BBJP fermentasi + 200 g selulase/ton + 200 g fitase/ton. *Kandungan phorbolester dalam 1 gram BBJP fermentasi (Sumiati et al., 2010)

Konsumsi Phorbolester R1, R2, R3 dan R4 berturut-turut adalah 99,05, 97,31, 97,34 dan 96,71 µg/g. Phorbolester mempunyai sifat karsinogen, pencahar, dan mengakibatkan iritasi kulit, mabuk, muntah serta diare yang dapat menyebabkan kematian pada tikus, ayam dan domba (Goel et al., 2007). Selain disebabkan oleh

phorbolester, kematian ini diduga karena masih adanya curcin yang tersisa dalam BBJP. Menurut Wardoyo (2007), curcin dalam BBJP dapat mengikat molekul gula (karbohidrat) pada dinding sel atau membran kemudian merubah fisiologi membran tersebut hingga mengakibatkanpenggumpalan, mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel sehingga mengakibatkan pendarahan usus (enteritis), kerusakan hati, pendarahan ginjal(hiperemi), dan pembesaran kapiler darah pada ginjal (kongesti).

(40)

28

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pemberian 7,5% bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) hasil fermentasi R. oligisporus dengan supelementasi enzim selulase dan fitase belum mampu memperbaiki produksi ayam petelur ISA-Brown umur 25-30 minggu. Suplementasi enzim selulase 200 g/ton mampu menghasilkan produksi telur hen day

dan massa telur yang sama dengan kontrol pada ayam petelur umur 30 minggu.

SARAN

(41)

29

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan segala limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan di Institut Pertanian Bogor.

Rasa hormat, terima kasih dan sayang penulis ucapkan kepada ibunda dan ayahanda tercinta Ibu Arminah dan Bapak Wihana atas do’a, bimbingan, perhatian dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada semua keluarga (Teh Ani, A Endang, Kaka, Rifa, Risya, AA dan Mak Utik). Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sumiati, M.Sc sebagai dosen pembimbing utama dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr sebagai dosen pembimbing anggota atas segala bimbingan, bantuan, serta arahan selama penelitian sampai penulisan skripsi.

Terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan. Terimakasih kepada Dr. Sri Suharti, S.Pt. M.Si. sebagai dosen penguji seminar dan panitia ujian akhir sarjana dan Ir. Widya Hermana, MSi. sebagai panitia seminar.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Mas Mul, Pak Karya, dan Bu Lanjarsih yang telah membantu selama proses penelitian di lapang, terima kasih kepada Bu Yenni, Hendra, Yasir, dan Putri selaku rekan penelitian. Tidak lupa kepada seluruh mahasiswa Fapet IPB, khususnya INTP 44 (Faris, Fatmi, Imo, Ika, Vera, Emi, dan kawan-kawan) saya ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya, terima kasih buat teman-teman kosan Pondok Sahabat atas kebersamaanya.

Terakhir penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah selalu membalas amal baiknya dan semoga skripsi ini bermanfaat, Amiin.

Bogor, Januari 2012

(42)

30

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, W. A. & J. Salimon. 2009. Phorbolester as toxic contituents of tropical

Jatropha curcas seed oil. E. J. Sci. Research. 31(3): 429-436.

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Seri Beternak Mandiri. Lembaga Satu Gunungbudi. KPP IPB, Baranangsiang, Bogor.

Annongu, A. A., M. A. Belewu, & J. K. Joseph. 2010. Potential of jatropha seeds as substitute protein in nutrition of poultry. Res. J. Anim. Sci. 4 (1): 1-4.

Anshori. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aregheore, E. M., K. Becker, & H. P. S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci. 21: 50-56. Asaoka, Y., S. Nakamura, K. Yoshida, & Y. Nishizuka. 1992. Protein kinase C,

calcium and phospholipid degradation. Trend in Biochem. Sci. 17: 414-417. Azake, Marshall A., B. Fretzdorff, H. Buening-Pfaue, & T. Betsche. 2007.

Comparative effect of boiling and solid substrate fermentation using the tempeh fungus (Rhizopus oligosporus) on the flatulence potential of African yambean (Sphenostylis stenocarpa L.) seeds. J. Food. Chem. 103: 1420-1425 Baruah, K., Sahu N. P., Pal A. K., & Debnath D. 2004. Dietary phytase: An ideal

approach for a cost effective and low-polluting aquafeed. NAGA.Worldfish Center Quarterly 27 (3) 3 & 4 Jul-Des 2004.

Charloq. 2008. Pengembangan tanaman jarak agar (Jatropha Curcas L.) sebagai sumber bahan bakar alternatif. Jurnal Penelitian Rekayasa. Vol. 1 (1).

Da Silva, R., E. S. Lago, C.W. Merheb, M.M. Machione, Y.K. Park, & E. Gomes. 2005. Production of Xylanase and CMCase on Solid State Fermentation in Different Residues By Thermoascus auranticus Miehe. Brazilian J. of Microb. 36: 235-241.

Deacon, J.W. 1997. Modern Micology. Blackwell Science. Dalam : Irawan, Bambang., Sutihat, & Sumardi. 2008. Uji aktivitas enzim selulase dan lipase pada mikrofungi selama proses dekomposisi limbah cair kelapa sawit dengan pengujian kultur murni, Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Unila.

Dinda. 2008. Fermentasi tempe. http://medicafarma. blogspot.com/2008/06/ fermentasi-tempe.html [ 20 Desember 2010].

(43)

31 Fachrudin, A. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama.

Goel, G., H. P. S. Makkar, G. Francis, & K. Becker. 2007. Phorbol Esters: Structure, Biological Activity, and Toxicity in Animals. International J. of Toxicology.

26: 279-288.

Greiner, R., E. Haller, U. Konietzny, & K.D. Jany. 1997. Purification and characterization of a phytase from Klebsiella terrigena. Arch. Biochem. Biophys. 341: 201-206.

Hambali, E., A. Suryani, Dadang, Hariyadi, H. Hanafie, I. K. Reksowardojo, M. Rivai, M. Ihsanur, P. Suryadarma, S. Tjitrosemito, T. H. Soerawidjaja, T. Prawitasari, T. Prakoso, & W. Purnama. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hariyadi. 2005. Budidaya tanaman jarak (Jatropha curcas) sebagai sumber bahan alternative biofuel. http://www.ristek.go.id. [21 Juli 2011].

Hendrix. 2007. Product Performance. ISA-Hendrix Genetics Company.

http://www.hendrix-genetics.com [10 Juni 2011].

Jennessen, J., Schnurer. J, Olsson. J, Samson. R. A, & Dijksterhuis J. 2008. Morphological characteristics of sporangiospores of the tempe fungus Rhizopus oligosporus differentiate it from other taxa of the R. microsporus group. Mycol Res 112(5): 547-63.

Konietzny, U. & R. Greiner. 2002. Molecular and catalytic properties of phytate-degrading enzymes (phytases). J. Food Sci. Tech. 37: 791-812.

Leeson, S. & J. D. Summers. 2001. Nutrition of The Chicken. 4th Ed. University Book. Guelp, Ontario.

Leeson, S. & J. D. Summers. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Ed. Publ. University Books, Guelph, Ontario, Canada.

Lim, H. S., H. Namkung, & I. K. Paik. 2003. Effect of supplementation on the performance, egg quality and phosphorous exretion of laying hens fed different levels of dietary calcium and nonphytate phosphorous. J. Poult. Sci. 82: 92-99.

Lin J., Yan F., L. Tang, & F. Chen. 2003. Antitumor effects of curcin from seeds of Jatropha curcas. College of Life Science, Sichuan University, Chengdu, China. Acta Pharmacol Sin 24 (3): 241-246.

(44)

32 Symposium on Biofuel and Industrial Products from Jatropha curcas and Other Tropical Oil Seed Plant. Managua, Nicaragua, Mexico.

Makkar, H. P. S., A. O. Aderibigbe, & K. Becker. 1998. Comparative evaluation of non-toxic varieties of Jatropha curcas for chemical compotition, digestibility and toxic factors. J. Food. Chem. 62(2): 207-215.

Mardiah, E. & Armaini. 1995. Fermentasi Menggunakan Enzim Selulase dari

Trichoderma reesei. J. Kimia Andalas. 1(2):13-18.

Martinez-Herrera, J., P. Siddhuraju, G. Francis, G. Davila-Ortiz, & K. Becker. 2006. Chemical composition, toxic/antimetabolic constituents, and effects of different treatments on their levels, in four provenances of Jatropha curcas L. from Mexico. J. Food. Chem. 96: 80-89.

McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Pearson Education Ltd. Essex.

Nout, M. J. R. & F. M. Rombouts. 1990. Recent developments in tempe research. J. Appl. Bacteriology 69: 609-633.

Nurhikmawati, I. 2007. Pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) terfermentasi dalam ransum terhadap berat karkas, organ dalam sertahistopatologi hati dan ginjal ayam broiler.Skripsi. Fakultas Peternakan. InstitutPertanian Bogor, Bogor

Pasaribu, T., E. Wina, B. Tangendjaja, & S. Iskandar. 2009. Performans ayam yang diberi bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) hasil olahan secara fisik dan kimiawi. J. Ilmu Ternak Vet.14(1): 11-18.

Putranto, R. A., D. Santoso, Tri-Panji, & A. Budiani. 2006. Karakterisasi gen penyandi lipase darinkapang Rhizopus oryzae dan Absidia corymbifera.

Menara Perkebunan. 74(1), 23-32.

Quan, C. S., L. H. Zhang, Y. J. Wang, & Y. Ohta. 2001. Production of phytase in a low phosphate medium by a novel yeast Candida krusei. J. Biosci. Bioeng. 92 : 154-160.

Ravindran, V., H. P. Sell, G. Ravaindran, P. C. H. Morel, A. K. Kies, & W. L. Bryden. 2001. Microbial phytase improves performance, apparent metabolized energy, and ileal amino acid digestibility of broiler fed a lysine-defisien diet. J. Poult. Sci. 80: 338-344.

Sudaryanto, R. 2010. Seminar Penelitian Potensi Pengembangan Tanaman Jarak Pada Lahan Marginal. http://www.pacitankab.go.id/berita/berita.php?id=162

[10 November 2010].

Sumiati, A. Sudarman, I. Nurhikmawati, & Nurbaeti. 2008. Detoxification of

Jatropha curcas Meal as Poultry Feed. Proceeding of the 2nd International Symposium on Food Security, Agricultural Development and Enviromental Conservation in Southeast and East asia. Bogor, 4-6th September 2007. Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University.

(45)

33 AINI VI. Bagian Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, Indonesia.

Sumiati, Y. Yusriani, D. A. Astuti, & S. Suharti. 2009. Feeding Fermented Jatropha curcas L. Meal Supplemented with Cellulase and Phytase to Kampong Chicken. Proceeding of The 1st International Seminar on Animal Industry, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University.

Sumiati, D. A. Astuti., & S. Suharti. 2010. Pemanfaatan limbah biodesel bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) sebagai pakan unggas berikut kajian anthelmintik dan gangguan metabolisme. Laporan Akhir Hibah Penelitian Program Due-like IPB, Bogor.

Sumiati, Farhanuddin, W. Hermana, A. Sudarman. N, Istichomah,& A. Setiyono. 2011.

Performa Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi Menggunakan Rhizopus oligosporus. Med. Pet: 117-125.

Susilo, B. 2007. Biodesel, Inovasi dan Teknologi. Trubus Agrisarana. Surabaya. Tjakradidjaja, A. S., Suryahadi, & Adriani. 2007. Fermentasi bungkil biji jarak pagar

(Jatropha curcas L) dengan berbagai kapang sebagai upaya penurunan kadar serat kasar dan zat antinutrisi. Proceeding Konferensi Jarak Pagar Menuju Bisnis Jarak Pagar yang Fleksibel, Selasa, 19 Juni 2007. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Trabi, M., G. M. Gubitz, W. Steiner, & N. Foidl. 1997. Toxicity of Jatropha curcas

seed. In: Gubitz, G. M., Mittelbach, M., Biofuel and industrial product from

Jatropha curcas. DBV-Verlag, Graz.

Traylor, S. L., G. L. Cromwell. M. D. Lindermann, & D. A. Kuabe. 2001. Effects of Levels of Suplemental Phytase on Ileal Digestibility of Amino Acid, Calcium and Phosphorus in Dehulled Soybean Meal for Growing Pigs. J. Anim. Sci. 79: 2634-2642.

Vasconcelos, I. M., & J. T. A Oliveira. 2004. Antinutritional properties of plant lectins. Toxicon. 44: 385-403

Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta. Wardoyo, W. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak (Jatropha curcas

L.) dalam ransum terhadap penampilan reproduksi mencit (Mus musculus). Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wipradnyadewi, P. 2005. Isolasi dan identifikasi Rhizopus oligosporus pada

beberapa inokulum tempe.

(46)

34

(47)

35 Lampiran 1. Analisis Ragam Konsumsi Ransum

Sumber

Lampiran 2. Analisis Ragam Produksi Telur Hen Day

Sumber

Lampiran 3. Uji Jarak Duncan Produksi Telur Hen Day

Perlakuan n Subset α = 0,05

Lampiran 4. Analisis Ragam Produksi Massa Telur Sumber

Perlakuan 4 2126362,985 531590,746 10,330 3,055**

Galat 15 771929,107 51461,940

Total 19 2898292,092

(48)

36 Lampiran 5. Uji Jarak Duncan Produksi Massa Telur

Perlakuan n Subset α = 0,05

Lampiran 6. Analisis Ragam Berat Telur Sumber

Lampiran 7. Analisis Ragam Konversi Ransum Sumber

(49)

37 Lampiran 9. Analisis Ragam Konsumsi Protein

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F hit F 0,05

Perlakuan 4 24,914 6,228 2,880 3,055*

Galat 15 32,442 2,163

Total 19 57,356

(50)

PRODUKSI AYAM PETELUR ISA-BROWN UMUR 25-30

MINGGU YANG DIBERI BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR

(Jatropha curcas L.) HASIL FERMENTASI SERTA

SUPLEMENTASI SELULASE DAN FITASE

SKRIPSI

ADE DARMANSYAH

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(51)

ii

ABSTRACT

Production of ISA-Brown laying hen age 25-30 weeks feed fermented Jatropha curcas meal supplemented with cellulase and phytase

Darmansyah. A., Sumiati., R. Mutia

The aim of this study was to analyze the effect of feeding fermented Jatropha curcas meal (JCM) supplemented with cellulase and phytase on the performance of laying hens aged 25-30 weeks. This study used 200 ISA-Brown strain laying hens. A completely randomized design with 5 treatments and 4 replications was used in this experiment. The treatment diets were: R0 (control diet, without JCM), R1 (diet contained 7.5% fermented JCM), R2 (diet contained 7.5% fermented JCM + 200 g of cellulose/ton) , R3 (diet contained 7,5% fermented JCM + 200 g phytase/ton), and R4 (diet contained 7.5% fermented JCM + 200 g cellulase/ton + 200 g phytase/ton). The parameters observed were feed intake, hen day production, egg mass production, egg weight, feed conversion, and mortality. The data were analyzed using analysis of variance and significant differences among treatments were tested using Duncan Multiple Range Test. The results showed that feeding fermented Jatropha curcas meal 7.5% supplemented with cellulase and phytase has not been able to improve performances of laying hens aged 25-30 weeks, however supplemented cellulose 200 g/ton yielded the same hen day production and egg mass of laying hens aged 30 weeks as the control diet.

(52)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Biaya yang paling besar pada peternakan unggas adalah biaya pakan, yaitu sekitar 70% dari total biaya produksi. Masalah ini perlu diatasi dengan melakukan efisiensi biaya pakan, salah satunya adalah mencari sumber pakan alternatif yang memanfaatkan limbah pertanian, antara lain dengan memanfaatkan bungkil biji jarak pagar. Bungkil biji jarak merupakan hasil sampingan dari proses pengolahan biji jarak menjadi minyak. Bungkil biji jarak sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bungkil biji jarak mengandung protein tinggi yaitu 23,59% sehingga bungkil biji jarak berpotensi untuk dijadikan pakan ternak sebagai sumber protein yang murah. Populasi pohon jarak di Indonesia tersebar mulai dari Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sumbawa, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Tengah dengan tingkat produksi mencapai 7.904,77 juta ton/tahun, dari angka tersebut dapat menghasilkan bungkil biji jarak sebesar 4.742,86 juta ton/tahun.

Penggunaan bungkil biji jarak sebagai pakan ternak dibatasi oleh adanya racun dan antinutrisi. Trabi et al. (1997) melaporkan bahwa bungkil biji jarak mangandung beberapa zat antinutrisi yaitu, saponin, protease inhibitor, asam fitat serta racun curcin dan phorbolester yang berbahaya bagi ternak. Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan detoksifikasi bungkil biji jarak sebelum diberikan pada ternak. Berbagai metode detoksifikasi bungkil biji jarak sudah dilakukan, diantaranya dengan pengolahan fisik, kimia dan biologis. Pengolahan fisik dilakukan dengan cara pemanasan (121ºC, 30 menit) menggunakan autoclave, pengolahan kimia yaitu dengan menambahkan larutan NaHCO3 (Martinez-Herrera et al., 2006), sedangkan pengolahan biologis dilakukan dengan cara fermentasi bungkil biji jarak menggunakan jamur tempe Rhizopus oligosporus (Sumiati et al., 2008). Pada penelitian ini bungkil biji jarak diolah dengan fermentasi menggunakan jamur R. oligosporus yang sebelemunya telah dilakukan pemansan dengan autoclave.

(53)

2 suplementasi enzim selulase dan fitase dalam ransum. Enzim selulase diharapkan dapat menghidrolisis serat kasar, dan enzim fitase dapat melepaskan ikatan fitat dengan mineral (P, Zn, Fe, Mg, Ca), protein, dan asam amino. Fermentasi dan suplementasi enzim selulase dan fitase yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu menurunkan racun dan antinutrisi, sehingga bungkil biji jarak dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber protein.

Tujuan

Gambar

Grafik Konsumsi Ransum Selama 6 Minggu Pengamatan ................
Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP Tanpa Cangkang, BBJP dengan
Tabel 3. Komposisi Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas L.
Tabel 4. Kandungan Racun dan Antinutrisi BBJP Tanpa Pengolahan dan Difermentasi Menggunakan R
+7

Referensi

Dokumen terkait

Taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (BBJP) dalam ransum sangat nyata (P&lt;0,01) menurunkan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan serta menaikkan nilai

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ulya (2007), populasi bakteri proteolitik pada ternak ruminansia yang diberi bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh waktu

Laju fermentasi bahan organik bungkil yang diukur dari produksi gas in vitro dltetapkan menggunakan metode Menke, sedangkan kecernaan bahan kering (KcBK) dan

Uji Biologis Bungkil Biji Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) dengan Pengolahan Ekstrak Metanol dan Fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae serta Trichoderma viride pada

Pemberian bungkil biji jarak tanpa difermentasi sangat nyata (P&lt;0,01) menurunkan bobot potong, bobot karkas, bobot dada, bobot sayap, bobot punggung, bobot paha atas, dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar difermentasi Rhizopus oligosporus dalam ransum terhadap folikel kuning

Hasil penelitian Sumiati dan Sudarman (2006) menunjukan bahwa pemberian bungkil biji jarak yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus pada ayam broiler menghasilkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar yang difermentasi Rhizopus oligosporus dalam ransum terhadap persentase