PENGARUH TARAF PENGGUNAAN BUNGKIL BIJI JARAK
PAGAR (Jatropha curcas L.) DALAM RANSUM TERHADAP
PENAMPILAN PRODUKSI MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI
ARIEF FACHRUDIN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR SAMPUL DALAM ... i
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v Sifat Biologis dan Reproduksi ... Zat Makanan dan Konsumsi Air Minum ... Mencit sebagai Hewan Model/Percobaan ... Mencit sebagai Makanan Hewan Karnivora dan Hewan Peliharaan ... Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ... Tinjauan Umum ... Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) ... Phorbolester ... Curcin ... Konsumsi Ransum ... Pertambahan Bobot Badan ... Konversi Ransum ... MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu ... Materi ...
Mencit ... Kandang dan Peralatan ... Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP)... Metode ...
Kondisi Umum Penelitian ... Kondisi Mencit Penelitian ... Kondisi Ransum Penelitian ... Analisis Data ... Konsumsi Ransum ... Pertambahan Bobot Badan ... Konversi Ransum ... Kadar Air Feses Kering Udara ... Kadar Protein Feses ...
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) ……..………... 4 2. Ukuran Genome Beberapa Makhluk Hidup dalam Bentuk
Haploid ... 6 3. Hasil Analisa Proksimat Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar .. 24 4. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Selama Penelitian ... 26 5. Asumsi dari Konsumsi Zat Antinurisi (Phorbolester dan
Curcin) ... 27 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian ... 29 7. Rataan Konversi Ransum Mencit Selama Penelitian ... 32 8. Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara Mencit
Selama Penelitian ... 34 9. Kadar Protein Feses Mencit Selama Penelitian ... 35 10. Persentase Daya Cerna Protein Ransum pada Mencit Selama
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Mencit Laboratorium ... 6
2. Fancy Mice ... 7
3. Tanaman Jarak Pagar ... 8
4. Bagian-Bagian Tanaman Jarak Pagar ... 9
5. Skema Pemanfaatan Tanaman Jarak Pagar ... 10
6. Proses Pengolahan Biji Jarak Pagar ………. 11
7. Rumus Bangun dari Phorbolester ... 12
8. Rumus Bangun dari Curcin atau Lectin ………... 13
9. Kandang Mencit ………... 18
10. Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar ………. 18
11. Uji Patologi dari Sampel Mencit yang Mati ……… 23
12. Grafik Rataan Konsumsi Ransum pada Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ... 28
13. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ……….. 31
14. Grafik Rataan Konversi Ransum Mencit ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bobot Badan Awal Mencit ………... 45
2. Rataan Konsumsi Ransum Mencit (g/ekor/hari) ... 45
3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Mencit ... 46
4. Uji Tukey terhadap Konsumsi Ransum Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 46
5. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit (g/ekor/hari) ………. 46
6. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Mencit ……… 46
7. Uji Tukey terhadap Pertambahan Bobot Badan Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 47
8. Rataan Konversi Ransum Mencit ... 47
9. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Mencit ... 47
10. Uji Tukey terhadap Konversi Ransum Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 47
11. Rataan Kadar Air Feses Kering Udara Mencit (%) ... 48
12. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Feses Kering Udara Mencit ……….……….. 48
13. Kadar Protein Feses Mencit ………. 48
14. Koefisien Keragaman (KK) (%) dari Peubah yang Diamati ... 48
15. Data Pengukuran Temperatur dan Kelembaban ……….. 49
16. Rataan Konsumsi Air Minum (ml/ekor/hari) ... 49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan model yang paling banyak dan sering digunakan dalam penelitian di bidang biologi, genetika dan ilmu kedokteran (Wikipedia, 2006b). Banyak penggunaan mencit dikarenakan kemampuan reproduksi tinggi, harga dan biaya pemeliharaan relatif murah, efisien dalam waktu dan sifat genetik dapat dibuat seseragam mungkin dalam waktu yang lebih singkat dibanding dengan ternak besar (Arrington, 1972). Menurut Schuler (2006), diantara genome (total kromosom dalam inti sel) mencit, sapi, babi dan manusia adalah sangat mirip, sehingga mencit digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari pengetahuan dasar genetika, genetika kualitatif, genetika kuantitatif dan metode pemuliaan. Mencit selain sebagai hewan model juga dimanfaatkan sebagai makanan hewan karnivora, misalnya ular, lizard (sejenis kadal besar) dan tarantula, serta dijadikan sebagai hewan peliharaan (pet animal) (Wikipedia, 2006a).
Kebutuhan akan mencit terutama untuk penelitian, percobaan dan makanan hewan karnivora cukup tinggi, sehingga merupakan suatu peluang usaha yang potensial karena tata laksana pemeliharaan mencit tergolong mudah. Permasalahan yang muncul adalah biaya pakan, karena harga pakan komersial cukup tinggi dan sekitar 70% dari persentase biaya suatu usaha peternakan adalah biaya pakan.
2 nutrisi yaitu 12,9% air, 10,1% abu, 19% lemak, 45,1% protein kasar dan 31,9% serat kasar (Brodjonegoro et al., 2005). Bungkil biji jarak pagar (BBJP) banyak dijadikan sebagai bahan mentah pembuatan biogas dan merupakan pupuk yang baik karena mengandung kalium (K) dan fosfat (P) (Probisnis, 2006). Berdasarkan ketersediaan dan kandungan nutrisi tersebut, BBJP diharapkan dapat menjadi salah satu bahan makanan alternatif untuk pakan ternak.
Melihat kegunaan dan potensi usaha mencit yang cukup besar serta pemanfaatan BBJP sebagai bahan pakan ternak, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai pengaruh taraf penggunaan BBJP dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit dan juga untuk mengetahui sampai taraf berapa persen bungkil biji jarak pagar tersebut dapat digunakan dalam ransum mencit.
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Mencit (Mus musculus)
Taksonomi
Menurut Arrington (1972), sistematika mencit (Mus musculus) berdasarkan taksonominya yaitu kingdom Animalia; filum Chordata; kelas Mammalia; ordo Rodentia; famili Muridae; genus Mus; dan spesies Mus musculus.
Menurut Amori (1996), terdapat beberapa sub-spesies dari Mus musculus yaitu Mus musculus bactrianus (mencit Asia bagian barat daya); Mus musculus castaneus (mencit Asia bagian tenggara); Mus musculus domesticus atau Mus domesticus (mencit Eropa bagian barat); Mus musculus gentilulus; Mus musculus homourus; Mus musculus molossinus; Mus musculus musculus (mencit Eropa bagian timur); Mus musculus praetextus; dan Mus musculus wagneri.
Tingkah Laku
4 Sifat Biologis dan Reproduksi
Data yang berhubungan dengan sifat biologis dan reproduksi pada mencit dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus)
Kriteria Keterangan Lama hidup 1-2 tahun, dapat sampai 3 tahun
Lama produksi ekonomis 9 bulan
Lama bunting 19-21 hari
Jumlah beranak *) 5-10 kali per tahun
Umur disapih 21 hari
Umur dewasa 35 hari
Umur dikawinkan 8 minggu (jantan dan betina)
Berat lahir 0,5-1,0 g
Berat dewasa 20-40 g (jantan); 18-35 g (betina) Kecepatan tumbuh 1 g/hari
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988); *) Wikipedia (2006b)
Mencit memiliki kelenjar harderian di dekat mata yang menghasilkan kotoran berwarna coklat kemerahan apabila mengalami stress (tekanan). Mencit tidak memiliki penglihatan yang baik (buta warna), tetapi sangat tajam dalam hal pendengaran yaitu mampu mendengar frequensi suara ultrasonik sampai lebih dari 100 kHz (Amori, 1996). Mencit juga memiliki pheromone yang berguna dalam komunikasi. Pheromone ini dihasilkan oleh kelenjar preputial dan juga melalui urin, serta melalui air mata pada mencit jantan. Pheromone ini dideteksi dengan menggunakan organ Jacobson yang terletak di bagian bawah hidung (Kimoto, 2005). Rambut disekitar mulut (whiskers) pada mencit berfungsi untuk merasakan permukaan dan pergerakan udara (Wikipedia, 2006b).
PENGARUH TARAF PENGGUNAAN BUNGKIL BIJI JARAK
PAGAR (Jatropha curcas L.) DALAM RANSUM TERHADAP
PENAMPILAN PRODUKSI MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI
ARIEF FACHRUDIN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR SAMPUL DALAM ... i
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v Sifat Biologis dan Reproduksi ... Zat Makanan dan Konsumsi Air Minum ... Mencit sebagai Hewan Model/Percobaan ... Mencit sebagai Makanan Hewan Karnivora dan Hewan Peliharaan ... Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) ... Tinjauan Umum ... Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP) ... Phorbolester ... Curcin ... Konsumsi Ransum ... Pertambahan Bobot Badan ... Konversi Ransum ... MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu ... Materi ...
Mencit ... Kandang dan Peralatan ... Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP)... Metode ...
Kondisi Umum Penelitian ... Kondisi Mencit Penelitian ... Kondisi Ransum Penelitian ... Analisis Data ... Konsumsi Ransum ... Pertambahan Bobot Badan ... Konversi Ransum ... Kadar Air Feses Kering Udara ... Kadar Protein Feses ...
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus) ……..………... 4 2. Ukuran Genome Beberapa Makhluk Hidup dalam Bentuk
Haploid ... 6 3. Hasil Analisa Proksimat Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar .. 24 4. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Selama Penelitian ... 26 5. Asumsi dari Konsumsi Zat Antinurisi (Phorbolester dan
Curcin) ... 27 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian ... 29 7. Rataan Konversi Ransum Mencit Selama Penelitian ... 32 8. Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara Mencit
Selama Penelitian ... 34 9. Kadar Protein Feses Mencit Selama Penelitian ... 35 10. Persentase Daya Cerna Protein Ransum pada Mencit Selama
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Mencit Laboratorium ... 6
2. Fancy Mice ... 7
3. Tanaman Jarak Pagar ... 8
4. Bagian-Bagian Tanaman Jarak Pagar ... 9
5. Skema Pemanfaatan Tanaman Jarak Pagar ... 10
6. Proses Pengolahan Biji Jarak Pagar ………. 11
7. Rumus Bangun dari Phorbolester ... 12
8. Rumus Bangun dari Curcin atau Lectin ………... 13
9. Kandang Mencit ………... 18
10. Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar ………. 18
11. Uji Patologi dari Sampel Mencit yang Mati ……… 23
12. Grafik Rataan Konsumsi Ransum pada Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ... 28
13. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ……….. 31
14. Grafik Rataan Konversi Ransum Mencit ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bobot Badan Awal Mencit ………... 45
2. Rataan Konsumsi Ransum Mencit (g/ekor/hari) ... 45
3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Mencit ... 46
4. Uji Tukey terhadap Konsumsi Ransum Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 46
5. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit (g/ekor/hari) ………. 46
6. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Mencit ……… 46
7. Uji Tukey terhadap Pertambahan Bobot Badan Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 47
8. Rataan Konversi Ransum Mencit ... 47
9. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Mencit ... 47
10. Uji Tukey terhadap Konversi Ransum Mencit pada Taraf BBJP yang Berbeda ……… 47
11. Rataan Kadar Air Feses Kering Udara Mencit (%) ... 48
12. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Air Feses Kering Udara Mencit ……….……….. 48
13. Kadar Protein Feses Mencit ………. 48
14. Koefisien Keragaman (KK) (%) dari Peubah yang Diamati ... 48
15. Data Pengukuran Temperatur dan Kelembaban ……….. 49
16. Rataan Konsumsi Air Minum (ml/ekor/hari) ... 49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mencit (Mus musculus) merupakan hewan model yang paling banyak dan sering digunakan dalam penelitian di bidang biologi, genetika dan ilmu kedokteran (Wikipedia, 2006b). Banyak penggunaan mencit dikarenakan kemampuan reproduksi tinggi, harga dan biaya pemeliharaan relatif murah, efisien dalam waktu dan sifat genetik dapat dibuat seseragam mungkin dalam waktu yang lebih singkat dibanding dengan ternak besar (Arrington, 1972). Menurut Schuler (2006), diantara genome (total kromosom dalam inti sel) mencit, sapi, babi dan manusia adalah sangat mirip, sehingga mencit digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari pengetahuan dasar genetika, genetika kualitatif, genetika kuantitatif dan metode pemuliaan. Mencit selain sebagai hewan model juga dimanfaatkan sebagai makanan hewan karnivora, misalnya ular, lizard (sejenis kadal besar) dan tarantula, serta dijadikan sebagai hewan peliharaan (pet animal) (Wikipedia, 2006a).
Kebutuhan akan mencit terutama untuk penelitian, percobaan dan makanan hewan karnivora cukup tinggi, sehingga merupakan suatu peluang usaha yang potensial karena tata laksana pemeliharaan mencit tergolong mudah. Permasalahan yang muncul adalah biaya pakan, karena harga pakan komersial cukup tinggi dan sekitar 70% dari persentase biaya suatu usaha peternakan adalah biaya pakan.
2 nutrisi yaitu 12,9% air, 10,1% abu, 19% lemak, 45,1% protein kasar dan 31,9% serat kasar (Brodjonegoro et al., 2005). Bungkil biji jarak pagar (BBJP) banyak dijadikan sebagai bahan mentah pembuatan biogas dan merupakan pupuk yang baik karena mengandung kalium (K) dan fosfat (P) (Probisnis, 2006). Berdasarkan ketersediaan dan kandungan nutrisi tersebut, BBJP diharapkan dapat menjadi salah satu bahan makanan alternatif untuk pakan ternak.
Melihat kegunaan dan potensi usaha mencit yang cukup besar serta pemanfaatan BBJP sebagai bahan pakan ternak, maka perlu dilakukan suatu kajian mengenai pengaruh taraf penggunaan BBJP dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit dan juga untuk mengetahui sampai taraf berapa persen bungkil biji jarak pagar tersebut dapat digunakan dalam ransum mencit.
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Mencit (Mus musculus)
Taksonomi
Menurut Arrington (1972), sistematika mencit (Mus musculus) berdasarkan taksonominya yaitu kingdom Animalia; filum Chordata; kelas Mammalia; ordo Rodentia; famili Muridae; genus Mus; dan spesies Mus musculus.
Menurut Amori (1996), terdapat beberapa sub-spesies dari Mus musculus yaitu Mus musculus bactrianus (mencit Asia bagian barat daya); Mus musculus castaneus (mencit Asia bagian tenggara); Mus musculus domesticus atau Mus domesticus (mencit Eropa bagian barat); Mus musculus gentilulus; Mus musculus homourus; Mus musculus molossinus; Mus musculus musculus (mencit Eropa bagian timur); Mus musculus praetextus; dan Mus musculus wagneri.
Tingkah Laku
4 Sifat Biologis dan Reproduksi
Data yang berhubungan dengan sifat biologis dan reproduksi pada mencit dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Biologis Mencit (Mus musculus)
Kriteria Keterangan Lama hidup 1-2 tahun, dapat sampai 3 tahun
Lama produksi ekonomis 9 bulan
Lama bunting 19-21 hari
Jumlah beranak *) 5-10 kali per tahun
Umur disapih 21 hari
Umur dewasa 35 hari
Umur dikawinkan 8 minggu (jantan dan betina)
Berat lahir 0,5-1,0 g
Berat dewasa 20-40 g (jantan); 18-35 g (betina) Kecepatan tumbuh 1 g/hari
Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988); *) Wikipedia (2006b)
Mencit memiliki kelenjar harderian di dekat mata yang menghasilkan kotoran berwarna coklat kemerahan apabila mengalami stress (tekanan). Mencit tidak memiliki penglihatan yang baik (buta warna), tetapi sangat tajam dalam hal pendengaran yaitu mampu mendengar frequensi suara ultrasonik sampai lebih dari 100 kHz (Amori, 1996). Mencit juga memiliki pheromone yang berguna dalam komunikasi. Pheromone ini dihasilkan oleh kelenjar preputial dan juga melalui urin, serta melalui air mata pada mencit jantan. Pheromone ini dideteksi dengan menggunakan organ Jacobson yang terletak di bagian bawah hidung (Kimoto, 2005). Rambut disekitar mulut (whiskers) pada mencit berfungsi untuk merasakan permukaan dan pergerakan udara (Wikipedia, 2006b).
5 antara 12-14 jam. Perkawinan pada mencit dapat dideteksi dengan mengamati sumbatan pada vagina (vaginal plugs). Sumbatan pada vagina ini dibentuk oleh campuran sekresi dari kelenjar asesoris kelamin pada mencit jantan, yang memiliki fungsi untuk mencegah kopulasi berikutnya (Inglis, 1980). Mencit yang baru lahir adalah buta dan tidak berbulu. Bulu (fur) tumbuh setelah tiga hari dan mata terbuka sekitar 1-2 minggu. Mencit betina mencapai dewasa kelamin dan tubuh sekitar umur enam minggu dan jantan delapan minggu (Amori, 1996).
Zat Makanan dan Konsumsi Air Minum
Rataan konsumsi ransum mencit per hari adalah 3-5 g (Amori, 1996; Inglis, 1980; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), variasi susunan zat makanan dalam ransum mencit adalah protein 20%-25%; lemak 10%-12%; serat kasar 4%; abu 5%-6%; Ca 1,0%-1,5%; dan P 0,5%-1,0%, sedangkan menurut Inglis (1980), adalah karbohidrat 45%-55%; protein 16%-20%; lemak 3%-12%; Ca 0,5% dan P 0,5%. Rataan konsumsi air minum mencit per hari adalah 4-7 ml (Amori, 1996; Inglis, 1980; Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Mencit sebagai Hewan Model/Percobaan
Hewan percobaan adalah hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium untuk digunakan dalam percobaan atau penelitian. Salah satu hewan percobaan yang sering digunakan adalah mencit (Mus musculus) (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Falconer (1981), mencit sebagai hewan percobaan sangat praktis untuk penelitian kuantitatif, karena sifatnya yang mudah berkembangbiak, selain itu mencit juga dapat digunakan sebagai hewan model untuk mempelajari seleksi terhadap sifat-sifat kuantitatif.
6 sebagai hewan model untuk mempelajari pengetahuan dasar genetika, genetika kualitatif dan kuantitatif, dan metode pemuliaan. Genome merupakan total kromosom dalam inti sel (Muladno, 2002). Selanjutnya menurut Muladno (2002), ukuran genome tidak mencerminkan ukuran makhluk hidup, selain itu kemungkinan ukuran genome yang hampir sama pada dua makhluk hidup juga mempunyai organisasi genome yang hampir sama pula. Ukuran genome beberapa makhluk hidup dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ukuran Genome Beberapa Makhluk Hidup dalam Bentuk Haploid Jenis makhluk hidup Ukuran genome (dalam pb)
Mencit *) 2.500.000.000
Tikus 3.000.000.000
Sapi 3.000.000.000 Manusia 3.300.000.000
Sumber: Muladno (2002); *) Wikipedia (2006b)
Kebanyakan dari mencit laboratorium adalah persilangan antar sub-spesies, umumnya adalah Mus musculus domesticus dengan Mus musculus musculus. Mencit laboratorium umumnya berwarna putih dan albino (Gambar 1). Banyak dari strain mencit adalah inbred (hasil dari silang dalam/kawin keluarga) yang memiliki sifat genetik yang identik. Perbedaan strain diidentifikasi dengan kombinasi pendek dari digit huruf, misalnya C57BL/6J (Wikipedia, 2006b).
Gambar 1. Mencit Laboratorium
Mencit sebagai Makanan Hewan Karnivora dan Hewan Peliharaan
7 merupakan sumber protein, vitamin dan mineral yang baik untuk hewan reptil. Mencit biasanya dijual dalam beranekaragam ukuran yaitu pinkies (mencit baru lahir yang belum memiliki bulu), fuzzies (memiliki sedikit bulu, tetapi belum begitu banyak bergerak), hoppers (bulunya lebat dan sudah banyak bergerak, tetapi belum dewasa) dan adults (dewasa), sehingga sangat cocok untuk konsumsi berbagai hewan karnivora. Selain dalam keadaan hidup, juga ada mencit untuk makanan hewan karnivora yang sudah dibekukan (frozen feeder mice) (Nowak, 1999).
Mencit sebagai hewan peliharaan disebut juga dengan fancy mice, istilah ini digunakan untuk mencit yang dipelihara sebagai hewan kesayangan (pet) dan pertunjukan (show) (Gambar 2). Secara umum, mencit-mencit ini dipelihara karena memiliki temperamen yang baik dan yang umum dipelihara adalah mencit dengan warna dan bulu yang khas (Eva, 2006). Fancy mice memiliki pola dan warna bulu yang berbeda dengan mencit tipe liar, pola dan warna bulu tersebut mencakup hitam, cokelat, biru, putih, krem, lilac, merah, fawn, champagne, cinnamon, golden agouti, silver agouti, silver dan dove. Selain pola dan warna bulu juga terdapat tipe bulu yang berbeda seperti tipe nude dan long hair (Wikipedia, 2006a). Berdasarkan data Wikipedia (2006a), terdapat beberapa perkumpulan pencinta mencit (mouse club) yaitu Rat and Mouse Club of America, National Mouse Club, Swedish Mouse Club and Community dan Mouse Club of Germany.
8 Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Tinjauan Umum
Tanaman jarak pagar (Gambar 3) adalah anggota dari famili Euphorbiaceae. Tanaman ini memiliki berbagai macam nama sebutan antara lain barbados nut, black vomit nut, curcas bean, kukui haole, physic nut, purge nut, purgeerboontjie dan purging nut tree (Begg dan Gaskin, 2006).
Gambar 3. Tanaman Jarak Pagar
9 Gambar 4. Bagian-Bagian Tanaman Jarak Pagar: a. Tangkai, b. Kulit Kayu, c.
Daun, d. Bunga (pistillate), e. Bunga (staminate), f. Penampang Melintang Buah, g. Buah, h. Potongan Longitudinal Buah, i. Biji.
10 Winkler et al. (1997), biji jarak pagar banyak digunakan untuk produksi sabun, pupuk, biodiesel, biogas dan untuk obat-obatan. Keunggulan lain dari tanaman jarak pagar adalah minyaknya bersifat minyak non-pangan (non-edible oil), sehingga tidak bersaing dengan kepentingan manusia. Pemanfaatan jarak pagar secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 5 (Probisnis, 2006).
Minyak
Gambar 5. Skema Pemanfaatan Tanaman Jarak Pagar
Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP)
11 Inti Biji Jarak Pagar
Proses pengepresan
Bungkil Pengepresan Ekstraksi
Minyak dan Bungkil Ekstraksi Metanolisis
Biodiesel dan Gliserin
Gambar 6. Proses Pengolahan Biji Jarak Pagar
Menurut Brodjonegoro et al. (2005), komposisi proksimat bungkil jarak pagar bebas minyak terdiri atas 12,9% air; 10,1% abu; 45,1% protein kasar; 31,9% serat kasar dan bahan organik tak bernitrogen. Kadar lemak bungkil yang diekstraksi berkisar 1,0%-1,5%, dengan kandungan abu berkisar 9,7% (Francis et al., 2006). Makkar et al. (1998), menemukan variasi yang cukup tinggi pada kandungan bungkil jarak pagar. Hal ini tergantung pada varietas dan geografis tempat tumbuh.
Bungkil biji jarak pagar memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk ternak, tetapi terdapat beberapa antinutrisi yang menghambat penggunaannya. Kandungan antinutrisi biji jarak pagar mencakup phorbolester, total phenol, tanin, phytat, saponin, antitrypsin dan curcin atau lectin (Makkar et al., 1998). Makkar dan Becker (1997), menyatakan bahwa phorbolester dan curcin merupakan zat antinutrisi utama yang memiliki konsentrasi tinggi dan bersifat toksik pada biji jarak pagar.
Phorbolester
12 Gambar 7. Rumus Bangun dari Phorbolester
Menurut Asaoka et al. (1992) yang dikutip oleh Rug et al. (2006), phorbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacyl glycerol (DAG). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi, enzim ini mempunyai efek yang sangat nyata terhadap aktivitas sel (Wikipedia, 2006f). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan karena phorbolester bersifat stabil dan tidak terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC sehingga menyebabkan aktivasi yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992 yang dikutip oleh Rug et al., 2006). Hasil penelitian Aregheore et al. (1998), mereka menduga bahwa phorbolester merupakan penyebab kematian pada tikus yang mengkonsumsi bungkil biji jarak yang diberi perlakuan panas. Menurut Makkar dan Becker (1997), phorbolester stabil terhadap panas dan dapat bertahan pada roasting temperature (temperatur pemanggangan) hingga 160 oC selama 30 menit, akan tetapi konsentrasi phorbolester dapat diturunkan dengan perlakuan kimiawi (pengolahan dengan NaOH dan NaOCl).
Curcin
13 karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme dari curcin atau lectin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme. N-glycosidase merupakan enzim glycosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, anti bakteri dan mendegradasi sellulosa dan hemisellulosa. Selain itu, curcin atau lectin memiliki aksi inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). Curcin atau lectin dapat diinaktifkan dengan menggunakan moist heat treatment (perlakuan pemanasan basah) pada suhu 121 oC selama 30 menit (Aregheore et al., 1998). Rumus bangun dari curcin atau lectin dapat dilihat pada Gambar 8 (Wikipedia, 2006c).
Gambar 8. Rumus Bangun dari Curcin atau Lectin
Konsumsi Ransum
Ransum merupakan makanan yang disediakan bagi ternak untuk memenuhi kebutuhannya selama 24 jam (Anggorodi, 1984). Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum dalam jangka waktu tertentu. Amrullah (2003), menyatakan bahwa ransum yang dikonsumsi pada berbagai umur adalah tidak tetap, sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi. Tingkat energi dalam ransum akan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Semakin tinggi energi ransum maka akan menurunkan konsumsi. Kandungan serat yang tinggi dapat menyebabkan konsumsi ransum menurun, karena serat bersifat bulky.
14 dan lingkungan (Parakkasi, 1999). Menurut Siregar (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ransum adalah jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas dan lingkungan (seperti suhu lingkungan dan kelembaban udara). Suhu udara yang tinggi menyebabkan konsumsi pakan berkurang karena konsumsi air minum yang tinggi dapat mengakibatkan penurunan konsumsi energi. Faktor umum yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas ransum yang diberikan pada ternak (Sutardi, 1990). Selain itu, perbedaan konsumsi ransum erat hubungannya dengan perbedaan bobot badan ternak (Sudono, 1981).
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengukur pertumbuhan. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses yang sangat kompleks, meliputi pertambahan bobot hidup dan pertumbuhan semua bagian tubuh secara merata dan serentak (Maynard et al., 1979). Pertumbuhan merupakan suatu perubahan yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel yang mana pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama, yaitu peningkatan besar otot, peningkatan ukuran skeleton dan peningkatan jaringan lemak tubuh (Rose, 1991). Natasasmita (1978), menyatakan bahwa dua aspek yang terdapat dalam proses pertumbuhan yaitu: 1) pertambahan bobot hidup yang terus-menerus per unit waktu sampai waktu tertentu, dan 2) perubahan bentuk dan komposisi tubuh hewan sebagai hasil perbedaan laju pertumbuhan yang relatif dari masing-masing komponen tubuh.
15 (Sudono, 1981), sedangkan menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bahwa kecepatan tumbuh rata-rata seekor mencit adalah 1 g/hari.
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi pada periode tertentu dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut (Rasyaf, 1999). Konversi ransum merupakan banyaknya ransum yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu setiap kenaikan satuan unit bobot badan dalam waktu tertentu (Sudono, 1981). Menurut Wahju (1997), konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit pertambahan bobot badan, semakin besar dan tua ternak maka nilai konversi akan semakin tinggi, semakin tinggi nilai konversi maka memberikan indikasi bahwa ternak tersebut tidak efisien dalam penggunaan ransum.
Mencit memiliki konversi ransum yang tinggi, hal ini karena kebiasaan mencit yang sering makan membuat mencit sering melakukan urinasi dan defekasi sehingga tingkat penyerapan ransum rendah (Sudono, 1981). Konversi ransum mencit berkisar antara 11-12 (Dasril, 2006). Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur, kualitas pakan, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen pemeliharaan, faktor pemberian pakan, penerangan dan faktor sosial (Anggorodi, 1984).
Kadar Air Feses
Kadar air feses berkaitan erat dengan proses kehilangan air dari dalam tubuh. Kehilangan air dari dalam tubuh dapat diakibatkan karena pengeluaran (ekskresi) melalui usus, ginjal, paru-paru dan kulit. Kehilangan tersebut berhubungan dengan besar tubuh (Farida, 1994). Menurut Sainsbury (1984), feses yang basah mengindikasikan sesuatu yang berhubungan dengan nutrisi yang tidak sesuai misalnya kelebihan kadar garam pada pakan atau juga karena infeksi yang disebabkan bakteri, jamur dan protozoa.
16 g, sedangkan rata-rata urin yang dikeluarkan per hari adalah 1-2 cm3 (Inglis, 1980). Urin mencit memiliki bau menyengat, berwarna kuning bening dan mengandung beberapa senyawa yaitu alkana, alkohol, 3-cyclohexene-1-methanol, aminotriazole (3-amino-s-triazole), 4-ethyl phenol, 3-ethyl-2,7-dimethyl octane dan 1-iodoundecane (Wikipedia, 2006b). Pengamatan kadar air feses dilakukan untuk melihat efektivitas penyerapan air di dalam saluran pencernaan. Semakin efektif penyerapan air, kadar air feses akan semakin rendah. Rendahnya kadar air feses akan menyebabkan laju digesta lebih lambat mengalir, sehingga penyerapan zat makanan dapat lebih baik (Dasril, 2006). Hasil penelitian Dasril (2006), menunjukkan kadar air feses kering udara mencit berkisar antara 17%-19%.
Kadar Protein Feses
Kadar protein feses berkaitan erat dengan kadar air dalam tubuh, semakin tinggi jumlah protein dalam ransum akan mempertinggi kebutuhan air pada ternak, sehingga dapat mengakibatkan sebagian protein akan terbuang melalui feses maupun urin. Selisih antara zat-zat makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan dalam feses merupakan jumlah dari zat makanan yang dapat dicerna oleh ternak. Semakin sedikit jumlah protein dalam feses maka semakin banyak protein dari pakan yang dapat dicerna oleh ternak (Anggorodi, 1984).
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 1 Juli - 5 September 2006 di
Laboratorium Lapang Bagian Non-Ruminansia dan Satwa Harapan (NRSH),
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Analisis proksimat dari ransum penelitian dan kandungan protein
feses dilakukan di Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Analisis kandungan mineral
(kalsium (Ca) dan fosfor (P)) dari ransum penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu
dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Uji patologi dari sampel mencit yang mati
dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Materi
Mencit
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus)
putih berumur empat minggu (28 hari) sebanyak 48 ekor yang terdiri atas 24 ekor
jantan dengan rataan bobot badan 24,14 ± 2,66 g dan 24 ekor betina dengan rataan
bobot badan 21,30 ± 1,62 g. Mencit penelitian ini diperoleh dari Laboratorium
Lapang Bagian Pemuliaan dan Genetika, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang berbentuk kotak yang terbuat dari
plastik berukuran 36 cm x 28 cm x 12 cm yang dilengkapi dengan tutup kawat. Tiap
kandang dilengkapi dengan sebuah tempat air minum berupa botol berkapasitas 265
ml serta diberi alas berupa sekam padi. Jumlah kandang yang digunakan adalah 24
buah kandang yang ditempatkan pada sebuah rak kayu. Model kandang mencit yang
digunakan diperlihatkan pada Gambar 9.
Peralatan yang digunakan antara lain timbangan digital (merek ”ae ADAM”,
dengan ketelitian 10-2 gram), timbangan kitchen scale (kapasitas dua kg, dengan
18 ember, tampah, gelas ukur, masker, sikat botol dan kandang, sendok, kertas label,
plastik dan alat tulis.
Gambar 9. Kandang Mencit
Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar (BBJP)
Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum ayam broiler
komersial, sementara bungkil biji jarak yang digunakan adalah bungkil biji jarak
pagar (Jatropha curcas L.) yang masih dalam bentuk raw material (belum mendapat
perlakuan lebih lanjut seperti pemanasan dan penambahan zat-zat kimia tertentu).
Bungkil biji jarak pagar ini berbentuk kepingan dengan ukuran 3 cm x 2 cm dan
berwarna hitam. Sebelum disubstitusi dan dicampur ke dalam ransum, BBJP ini
digiling terlebih dahulu menjadi bentuk tepung. Ransum dan BBJP yang digunakan
ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar
Ransum perlakuan yang diberikan merupakan pakan yang telah disubstitusi
dengan bungkil biji jarak pagar (BBJP) pada taraf yang berbeda dengan komposisi
sebagai berikut:
Ro = Ransum basal, tanpa substitusi BBJP
R1 = (R0 – 5% R0) + 5% BBJP
19 R3 = (R0 – 15% R0) + 15% BBJP
Ransum perlakuan diberi sebanyak 7,5 g/hari untuk tiap ekor mencit.
Metode
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola faktorial 4 x 2 dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah taraf
substitusi bungkil biji jarak pagar (BBJP) dalam ransum yang terdiri atas empat taraf
yaitu 0%, 5%, 10% dan 15%. Faktor kedua adalah perbedaan jenis kelamin yang
terdiri atas mencit jantan dan betina.
Model
Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan
Sumertajaya, 2002):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk : Nilai peubah yang diamati pada ulangan ke-k dari taraf BBJP ke-i dan
jenis kelamin ke-j
µ : Rataan umum
αi : Pengaruh faktor I pada taraf ke-i ; i = 1,2,3 dan 4
βj : Pengaruh faktor II pada taraf ke-j ; j = 1 dan 2
(αβ)ij : Interaksi antara faktor I pada taraf ke-i dan faktor II pada taraf ke-j
εijk : Galat percobaan pada ulangan ke-k dan taraf BBJP ke-i dan jenis kelamin
ke-j
Data yang diperoleh untuk setiap peubah yang diamati dianalisa dengan
analisis ragam (ANARA) menggunakan Minitab 13, jika hasil analisis menunjukkan
berbeda nyata atau sangat nyata maka dilakukan uji perbandingan nilai tengah Tukey
(Steel dan Torrie, 1991).
Peubah
1. Konsumsi Ransum (g/ekor/hari)
Konsumsi ransum diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang
20 sekam. Hasil yang diperoleh kemudian dikalikan dengan persentase bahan
keringnya untuk mendapatkan konsumsi ransum dalam bahan kering.
Perhitungan sisa ransum dilakukan dengan cara memisahkan antara sekam,
feses dan sisa ransum.
2. Pertambahan Bobot Badan (PBB) (g/ekor/hari)
Perhitungan PBB dilakukan dengan cara penimbangan berdasarkan bobot
badan akhir yang dikurangi dengan bobot badan awal. Perhitungan PBB
dilakukan sepuluh hari sekali pada saat penggantian sekam. Kemudian
dihitung rataan PBB hariannya untuk menghitung nilai konversi ransum.
3. Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung berdasarkan jumlah konsumsi ransum harian yang
dibagi dengan PBB harian (feed consumption / daily gain). Konversi ransum
dihitung dengan menggunakan rumus:
K KR =
PBB
Keterangan:
KR : Konversi ransum
K : Jumlah konsumsi ransum (g/ekor/hari)
PBB : Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari)
4. Kadar Air Feses Kering Udara (%)
Kadar air feses kering udara diperoleh dari pengambilan sampel feses pada
tiap taraf perlakuan sebanyak lima gram. Perhitungan dilakukan setiap
sepuluh hari sekali pada saat penggantian sekam padi. Sampel feses dijemur
sampai beratnya stabil lalu ditimbang, sehingga didapatkan persentase kadar
air feses kering udara. Persentase kadar air feses kering udara dihitung
dengan rumus:
(
BB - BK)
% KAFKU = 100%
BB ×
Keterangan:
KAFKU : Kadar air feses kering udara
BB : Berat basah sampel feses
21
5. Kadar Protein Feses (g/ekor/hari)
Kadar protein feses diperoleh dari pengambilan sampel feses pada tiap taraf
perlakuan. Masing-masing sampel feses merupakan komposit dari tiga
ulangan pada tiap taraf perlakuan. Pengambilan sampel feses dilakukan satu
kali yaitu pada saat penimbangan terakhir sebanyak 10 gram. Sampel feses
tersebut kemudian dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan
proteinnya. Setelah diketahui persentase kandungan proteinnya, lalu
persentase tersebut dikalikan dengan berat feses untuk mengetahui kadar
protein feses dalam satuan berat (gram).
Prosedur
Kandang, botol air minum dan rak kayu dibersihkan terlebih dahulu. Tiap
kandang yang telah diberi alas sekam padi sebanyak 50 g dan botol berisi air minum
kemudian ditempatkan pada rak kayu. Bungkil biji jarak pagar (BBJP) yang
digunakan digiling terlebih dahulu sebelum dicampur ke dalam ransum berdasarkan
tarafnya masing-masing (0%, 5%, 10% dan 15%). Ransum diberikan ad libitum dan
waktu pemberian ransum adalah antara pukul 09.30-10.00 WIB.
Mencit ditempatkan secara acak ke dalam kandang berdasarkan jenis kelamin
dan taraf perlakuan yang diberikan. Setiap kandang diisi dua ekor mencit dengan
jenis kelamin yang sama sebagai satu satuan unit percobaan. Pada awal penelitian,
mencit diadaptasikan terlebih dahulu terhadap lingkungan dan ransum perlakuan
selama tiga hari, setelah itu dilakukan penimbangan bobot awal. Pengambilan data
dan penggantian sekam dilakukan setiap 10 hari sekali. Pengambilan data bobot
badan dilakukan pada pukul 07.00-08.00 WIB saat sebelum mencit diberikan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Penelitian
Temperatur dan kelembaban relatif rata-rata bulan Juli sampai dengan September 2006 secara berturut-turut adalah 25,73 oC dan 75,67% (Badan Meteorologi dan Geofisika Dramaga, 2006). Hasil pengukuran di lokasi penelitian, rataan temperatur di dalam bangunan kandang adalah 31,06 oC (Tbk) dan 17,31 oC (Tbb), sedangkan di bagian luar adalah 30,09 oC (Tbk) dan 17,49 oC (Tbb). Pengukuran dilakukan pada pagi hari (08.00-09.00 WIB), siang hari (12.00-13.00 WIB) dan sore hari (15.00-16.00 WIB) dengan menggunakan thermometer dry and wet bulb temperature (temperatur bola kering (Tbk) dan basah (Tbb)) sebanyak dua kali pengukuran. Pengukuran di dalam bangunan kandang diukur pada lima titik pengukuran (dua titik di bagian depan, dua titik di bagian belakang dan satu titik di tengah), sedangkan di luar kandang diukur pada empat titik pengukuran (dua titik di bagian depan dan dua titik di bagian belakang). Kelembaban relatif adalah 53,67%. Kelembaban relatif diukur dengan menggunakan hygrometer yang diletakkan di dalam bangunan kandang.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, dapat dikatakan bahwa temperatur di lokasi penelitian (kandang) adalah cukup ekstrim dan kemungkinan dapat mempengaruhi parameter-parameter penelitian yang diamati. Menurut Inglis (1980), temperatur dan kelembaban relatif lingkungan yang dibutuhkan atau sesuai untuk mencit secara berturut-turut adalah berkisar antara 24-25 oC dan 45%-55%. Malole dan Pramono (1989), menyatakan bahwa temperatur lingkungan yang ideal untuk mencit adalah 21-29 oC dan kelembaban relatif 30%-70%.
Kondisi Mencit Penelitian
23 agresif dan berkelahi satu dengan yang lainnya untuk mendominasi dan menguasai teritorialnya (Wikipedia, 2006b). Sifat kanibal dari mencit dapat dihindari dengan salah satu cara yaitu penyediaan ransum ad libitum.
Mencit dengan perlakuan taraf bungkil biji jarak pagar (BBJP) 15% menunjukkan gejala-gejala klinis seperti lesu, kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum rendah, bobot badan menurun, terdapat cairan berwarna kuning di sekitar anus dan berakhir dengan kematian. Kematian ini mulai terjadi saat hari penelitian ke-21 dengan tingkat mortalitas pada akhir penelitian sebesar 83,33%. Hasil uji patologi (Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, 2006) dari sampel mencit yang mati (Gambar 11) tersebut ditemukan keadaan ginjal hiperemi dan kongesti (penyumbatan), enteritis (radang usus) dan hati rapuh. Hal ini diduga bahwa keadaan kerusakan organ-organ tubuh mencit tersebut disebabkan oleh antinutrisi phorbolester dan curcin yang terkandung di dalam BBJP. Hasil uji patologi tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Makkar dan Becker (1997), bahwa phorbolester dan curcin menyebabkan kerusakan hati, ginjal, jantung, paru-paru dan usus pada anak sapi domba yang mengkonsumsi tepung biji jarak pagar. Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) diketahui sangat beracun terhadap mencit dan tikus. Tikus yang diberi ransum mengandung jarak pagar (raw nut) mengalami kematian yang muncul dalam 23 hari (Aregheore et al., 2003).
Gambar 11. Uji Patologi dari Sampel Mencit yang Mati
24 ransum maka akan semakin rendah pula kandungan zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya sehingga pengaruh zat antinutrisi tersebut masih dapat didetoksifikasi oleh hati (liver). Mortalitas mencit dengan tanpa BBJP dalam ransum pada mencit jantan adalah 16,67% dan mencit betina adalah 0%, yang mana kematian pada mencit jantan lebih dikarenakan faktor agresivitas (berkelahi).
Kondisi Ransum Penelitian
Ransum perlakuan yang diberikan merupakan ransum ayam broiler komersial yang telah disubstitusi dengan bungkil biji jarak pagar (BBJP) pada taraf yang berbeda (0%, 5%, 10% dan 15%). Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan adalah bungkil yang masih dalam bentuk raw material (belum mendapat perlakuan lebih lanjut seperti pemanasan dan penambahan zat-zat kimia tertentu). Pada umumnya di Indonesia, proses pengolahan biji jarak pagar menjadi minyak adalah dengan cara mengepres inti biji beserta cangkangnya (kulit biji), karena selain cangkang tersebut dapat membantu dalam proses pengeluaran minyak, juga untuk mengurangi biaya proses pemipilan inti biji dari cangkang. Bungkil yang diperoleh dari proses pengepresan inti biji beserta cangkang adalah berwarna hitam, sedangkan bungkil yang diperoleh dari proses pengepresan inti biji tanpa cangkang adalah berwarna putih (Soerawidjaja, 2005). Bungkil biji jarak pagar (BBJP) pada penelitian ini kemungkinan merupakan bungkil hasil proses pengepresan dari inti biji beserta cangkang, karena berwarna hitam dan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Kandungan zat makanan dari ransum dan BBJP penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Ransum dan Bungkil Biji Jarak Pagar
Sampel Bahan Sumber: Laboratorium Biologi Hewan - PAU (2006) dan *) Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan,
25 Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi taraf substitusi BBJP dalam ransum akan menurunkan kandungan bahan kering. Hal ini karena bahan kering R0 lebih tinggi daripada bahan kering BBJP. Kandungan abu terlihat cenderung menurun dengan meningkatnya taraf substitusi BBJP dalam ransum, akan tetapi penurunannya tidak teratur. Kandungan lemak kasar pada R3 terlihat bertambah dan berkurang pada R1 dan R2, bila dibandingkan dengan R0. Kandungan protein kasar terlihat cenderung meningkat dengan meningkatnya taraf substitusi BBJP dalam ransum, akan tetapi peningkatannya tidak teratur. Peningkatan ini dikarenakan BBJP yang digunakan memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi (19,58%) sehingga merubah komposisi protein kasar dari R0 (19,29%). Bungkil biji jarak pagar (BBJP) yang digunakan juga memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sehingga meningkatkan komposisi serat kasar dari ransum penelitian pada setiap kenaikan penggunaan BBJP. Selain itu, dari Tabel 3 juga terlihat bahwa semakin tinggi taraf substitusi BBJP dalam ransum cenderung menurunkan komposisi kalsium (Ca) meskipun penurunannya tidak teratur, sedangkan komposisi fosfor (P) terlihat menurun seiring dengan meningkatnya taraf substitusi BBJP dalam ransum.
Analisis Data
Data dari setiap peubah yang diamati hanya dianalisa sampai taraf BBJP 10%, sedangkan taraf BBJP 15% dijelaskan secara deskriptif. Hal ini dilakukan karena mencit yang diberi BBJP hingga taraf 15% mortalitasnya sangat tinggi yaitu sebesar 83,33% sehingga dapat disimpulkan bahwa taraf penggunaan BBJP sebesar 15% sangat berpengaruh (negatif) terhadap penampilan produksi mencit yang diamati. Pengaruh negatif ini didukung dengan hasil uji patologi (Gambar 11) dari sampel mencit yang mati (taraf BBJP 15%) dan gejala-gejala yang muncul selama penelitian seperti lesu, kehilangan nafsu makan, konsumsi ransum rendah, bobot badan menurun dan terdapat cairan berwarna kuning di sekitar anus.
Konsumsi Ransum
26 betina selama 20 hari penelitian secara berturut-turut adalah 1,74 ± 0,81 dan 2,08 ± 0,61 g/ekor/ hari.
Tabel 4. Rataan Konsumsi Ransum Mencit Selama Penelitian Taraf BBJP (%)
Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda sangat nyata (P<0,01)
Tabel 4 memperlihatkan bahwa dengan penggunaan BBJP pada taraf yang berbeda sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi konsumsi ransum. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa rataan konsumsi ransum pada taraf penggunaan BBJP 0% dan 5%, masing-masing 2,92 dan 2,81 g/ekor/hari, berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan 10% (1,79 g/ekor/hari), dengan perkataan lain bahwa taraf penggunaan BBJP 10% dalam ransum sangat nyata menurunkan konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum pada taraf penggunaan BBJP 0% tidak berbeda dengan taraf 5%. Selain itu, rataan konsumsi ransum mencit jantan tidak berbeda dengan mencit betina, masing-masing 2,57 dan 2,44 g/ekor/hari. Koefisien keragaman (KK) dari data konsumsi ransum mencit selama penelitian adalah 8,45%.
27 Menurut Asaoka et al. (1992) yang dikutip oleh Rug et al. (2006), phorbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacyl glycerol (DAG). Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan karena phorbolester bersifat stabil dan tidak terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC sehingga menyebabkan aktivasi yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol. Menurut Becker dan Makkar (1998), phorbolester menempel pada bagian reseptor dan mengaktivasi PKC sehingga dapat merusak sel dan jaringan. Selain sebagai co-carsinogen, phorbolester dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan morfologi sel.
Menurut Wikipedia (2006c), curcin atau lectin dapat mengikat glycoprotein pada permukaan sel. Mekanisme dari curcin atau lectin berhubungan dengan aktivitas N-glycosidase yang kemudian mempengaruhi metabolisme. Selain itu, curcin atau lectin memiliki aksi inhibitor yang kuat terhadap sintesa protein (Lin et al., 2003). Makkar dan Becker (1998), menyatakan bahwa curcin atau lectin dapat menjadi sangat aktif bila berkombinasi dengan phorbolester. Kedua antinutrisi tersebut merusak membran sel sehingga menyebabkab sel menjadi mati.
Kandungan antinutrisi phorbolester dari Jatropha varietas beracun adalah 2,79 mg/g biji (Makkar dan Becker, 1997), sedangkan curcin atau lectin adalah 2,88 mg/g tepung Jatropha (Aregheore et al., 1998). Berdasarkan data kandungan antinutrisi tersebut, diasumsikan bahwa jumlah antinutrisi yang dikonsumsi oleh mencit dari masing-masing taraf BBJP pada penelitian ini adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Asumsi dari Konsumsi Zat Antinurisi(Phorbolester dan Curcin) Taraf BBJP (%)
Keterangan: *) selama 20 hari penelitian.
28 lebih dari 4,9 x 10-3 mg dan 5,2 x 10-3 mg, adalah berpengaruh negatif terhadap semua parameter yang diamati dan menyebabkan kematian.
Selain karena faktor zat antinutrisi, penurunan konsumsi ransum selama penelitian juga diduga karena dipengaruhi oleh faktor serat kasar ransum yang tinggi. Serat kasar memiliki sifat bulky yang membuat ternak, dalam hal ini mencit, menjadi lebih cepat kenyang sehingga ransum yang dikonsumsi lebih sedikit. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), kadar serat kasar yang dibutuhkan dalam ransum mencit hanya sekitar 4%.
Interaksi antara kedua faktor, taraf BBJP dengan jenis kelamin, tidak nyata mempengaruhi konsumsi ransum. Hal ini berarti konsumsi ransum dengan taraf BBJP yang berbeda akan sama pada kedua jenis kelamin (jantan dan betina). Grafik rataan konsumsi ransum selama penelitian diperlihatkan pada Gambar 12.
0
Gambar 12. Grafik Rataan Konsumsi Ransum pada Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian
29 dan 15% lebih rendah daripada 0% dan 5%. Hal ini diduga karena pengaruh zat antinutrisi phorbolester dan curcin yang dapat mengganggu fungsi normal dari enzim proteolitik sehingga proses fisiologis pencernaan menjadi terganggu dan kecernaan protein menurun. Keadaan ini menyebabkan penurunan status kesehatan mencit yang kemudian mengakibatkan konsumsi ransum menurun.
Pertambahan Bobot Badan
Rataan pertambahan bobot badan (PBB) mencit selama penelitian adalah 0,07 ± 0,09 g/ekor/hari seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Pertambahan bobot badan (PBB) mencit tertinggi terdapat pada mencit jantan dengan taraf BBJP 0% dan terendah pada mencit jantan dengan taraf BBJP 10%, masing-masing 0,17 dan -0,04 g/ekor/hari. Rataan PBB mencit dengan taraf BBJP 15% pada jantan dan betina selama 20 hari penelitian (mulai dari umur mencit 28 hari sampai dengan 48 hari) mengalami penurunan, secara berturut-turut adalah -0,44 ± 0,25 dan -0,13 ± 0,43 g/ekor /hari.
Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian Taraf BBJP (%)
Keterangan: Superskrip huruf besar dan kecil yang berbeda pada baris dan kolom masing-masing adalah berbeda sangat nyata (P<0,01) dan berbeda nyata (P<0,05)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa penggunaan BBJP pada taraf yang berbeda sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi PBB. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa rataan PBB pada taraf BBJP 0% (0,13 g/ekor /hari) dan 5% (0,11 g/ekor /hari) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan 10% (-0,04 g/ekor /hari), dengan perkataan lain bahwa taraf penggunaan BBJP 10% dalam ransum sangat nyata menyebabkan penurunan bobot badan. Rataan PBB pada taraf penggunaan BBJP 0% tidak berbeda dengan taraf 5%. Koefisien keragaman (KK) dari data PBB mencit selama penelitian adalah 63,9%.
30 dipengaruhi oleh pemberian ransum yang cukup dan jumlah ransum yang dikonsumsi. Hasil penelitian ini memperlihatkan terjadi penurunan bobot badan yang kemungkinan besar disebabkan oleh faktor zat antinutrisi yang terkandung didalam BBJP yaitu phorbolester dan curcin. Makkar dan Becker (1997), menyatakan bahwa phorbolester dan curcin merupakan zat antinutrisi utama yang memiliki konsentrasi tinggi dan bersifat toksik pada biji jarak pagar. Pada tahap awal, phorbolester dan curcin menyebabkan proses fisiologis pencernaan terganggu dan kecernaan protein menurun. Hal ini karena phorbolester dan curcin dapat mengganggu fungsi normal dari enzim proteolitik. Lebih lanjut, phorbolester dan curcin dapat merusak hati, ginjal dan paru-paru serta merusak membran usus sehingga menyebabkan terjadinya produksi mukus yang berlebih. Selain itu, phorbolester dan curcin dapat merusak pembuluh darah dan sumsum tulang serta mengganggu sistem saraf. Mekanisme dari kedua zat antinutrisi tersebut dan terjadinya kerusakan pada organ-organ tubuh menyebabkan penurunan status kesehatan mencit yang kemudian mengakibatkan konsumsi ransum menurun. Dengan menurunnya konsumsi ransum, maka laju pertumbuhan akan menjadi rendah dan terjadi penurunan bobot badan.
Selama penelitian terlihat bahwa PBB mencit jantan (0,10 g/ekor/hari) nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada PBB mencit betina (0,04 g/ekor/hari) (Tabel 5). Pertambahan bobot badan (PBB) yang rendah pada penelitian ini lebih disebabkan terjadinya penurunan bobot badan baik pada mencit jantan maupun betina dengan pemberian 10% BBJP dalam ransum. Perbedaan antara PBB mencit jantan dan betina ini sesuai dengan pendapat Card dan Nesheim (1972), bahwa laju pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin. Selanjutnya menurut Sudono (1981), laju pertumbuhan mencit tertinggi dicapai pada umur 29 hari, pada jantan dan betina masing-masing sebesar 0,55 dan 0,50 g/hari.
31
Gambar 13 menunjukkan grafik rataan pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) mencit jantan dan betina pada setiap penimbangan (setiap 10 hari sekali) selama penelitian. Secara umum terlihat bahwa PBB mencit taraf BBJP 10% dan 15% lebih rendah daripada 0% dan 5%. Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat konsumsi ransum yang kemungkinan besar disebabkan oleh zat antinutrisi phorbolester dan curcin yang terkandung di dalam BBJP.
Konversi Ransum
32 Tabel 7. Rataan Konversi Ransum Mencit Selama Penelitian
Taraf BBJP (%)
Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda sangat nyata (P<0,01)
Rataan konversi ransum mencit selama penelitian (Tabel 7) sangat nyata (P<0,01) dipengaruhi oleh faktor taraf penggunaan BBJP dalam ransum. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa rataan konversi ransum pada penggunaan BBJP 0% (29,27) dan 5% (31,95) berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan 10% (-30,45). Rataan konversi ransum pada BBJP 10% bernilai negatif, hal ini disebabkan oleh pertambahan bobot badan yang negatif, namun masih mengkonsumsi ransum sebesar 1,79 g/ekor/hari. Rataan konversi ransum pada taraf penggunaan BBJP 0% tidak berbeda dengan taraf 5%. Selain itu, rataan konversi ransum mencit jantan tidak berbeda dengan mencit betina. Koefisien keragaman (KK) dari data konversi ransum mencit selama penelitian adalah 60,67%.
Konversi ransum berkaitan dengan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan (PBB). Konversi ransum merupakan banyaknya ransum yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu setiap kenaikan satuan unit bobot badan dalam waktu tertentu. Mencit memiliki konversi ransum yang tinggi, hal ini karena kebiasaan mencit yang sering makan membuat mencit juga sering melakukan urinasi dan defekasi sehingga tingkat penyerapannya rendah (Sudono, 1981). Tingkat konversi ransum dapat menentukan tingkat penggunaan ransum untuk memproduksi daging (otot). Semakin kecil nilai konversi, maka semakin efisien ternak tersebut menggunakan ransum untuk produksi daging (otot). Nilai konversi ransum mencit R0 (kontrol) dan R1 (taraf BBJP 5%) pada penelitian ini bernilai tinggi, masing-masing yaitu 29,27 dan 31,95, sedangkan pada penelitian Dasril (2006), nilai konversi ransum mencit R0 (kontrol) adalah 11,99. Menurut Anggorodi (1979), temperatur dan kualitas pakan dapat mempengaruhi konversi ransum.
33 BBJP yang berbeda akan sama pada kedua jenis kelamin (jantan dan betina). Rataan konversi ransum menurut perlakuan diperlihatkan pada Gambar 14.
-40
Gambar 14. Grafik Rataan Konversi Ransum Mencit
Gambar 14 memperlihatkan bahwa konversi ransum mencit betina lebih tinggi daripada mencit jantan. Pada mencit dengan taraf BBJP 10%, konversi ransum adalah bernilai negatif karena terjadi penurunan bobot badan (PBB bernilai negatif) dan tingkat konsumsi ransum yang rendah.
Kadar Air Feses Kering Udara
34 Tabel 8. Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara Mencit Selama
Penelitian
Taraf BBJP (%) Jenis Kelamin
0 (R0) 5 (R1) 10 (R2)
Rataan --- % ---
Jantan (J) 14,75 ± 0,54 15,32 ± 0,51 15,11 ± 0,97 15,06 ± 0,66 Betina (B) 14,96 ± 0,13 14,79 ± 0,61 14,66 ± 0,69 14,80 ± 0,48 Rataan 14,86 ± 0,37 15,05 ± 0,58 14,89 ± 0,79 14,93 ± 0,58
Rataan persentase kadar air feses kering udara (Tabel 8) tidak nyata dipengaruhi oleh taraf penggunaan BBJP dalam ransum dan jenis kelamin, serta tidak terdapat interaksi antara kedua faktor (taraf BBJP dengan jenis kelamin) terhadap persentase kadar air feses kering udara. Koefisien keragaman (KK) dari data kadar air feses kering udara mencit selama penelitian adalah 4,2%.
35
Gambar 15. Grafik Rataan Persentase Kadar Air Feses Kering Udara Mencit
Pengamatan kadar air feses dilakukan untuk melihat efektivitas penyerapan air dan zat makanan di dalam saluran pencernaan. Dari Gambar 15 secara umum terlihat bahwa persentase kadar air feses kering udara mencit betina lebih rendah daripada mencit jantan, kecuali pada taraf BBJP 0% persentase kadar air feses kering udara mencit betina lebih tinggi daripada mencit jantan. Rendahnya kadar air feses berhubungan dengan laju digesta yang lebih lambat mengalir sehingga penyerapan zat makanan dapat lebih baik (Hartini, 2000).
Kadar Protein Feses
Kadar protein feses selama penelitian berkisar antara 0,11-0,17 g/ekor/hari (Tabel 9). Kadar protein feses mencit pada penelitian ini diperoleh dari hasil analisa kandungan protein yang dilakukan pada tiap perlakuan (tanpa ulangan).
36 Kadar protein feses (Tabel 9) pada taraf BBJP 10% (0,11 g) lebih rendah daripada taraf BBJP 0% (0,16 g) dan 5% (0,16 g). Kadar protein feses pada taraf BBJP 10% (0,11 g) yang rendah berhubungan dengan tingkat konsumsi ransum yang rendah. Semakin rendah tingkat konsumsi ransum, maka berat feses pun akan rendah. Tingkat konsumsi ransum yang rendah kemungkinan besar disebabkan oleh zat antinutrisi yaitu phorbolester dan curcin yang terkandung di dalam BBJP. Kedua zat antinutrisi tersebut mempengaruhi metabolisme dan menghambat sintesa protein di dalam tubuh mencit (Asaoka et al., 1992 yang dikutip oleh Rug et al., 2006; Lin et al., 2003). Apabila metabolisme dan sintesa protein di dalam tubuh mencit terganggu, maka zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh tubuh, terutama protein, akan semakin sedikit yang dapat diserap dan dimetabolisir sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi nutrisi dan menurunnya status kesehatan pada mencit tersebut.
Kadar protein feses pada taraf BBJP 5% (0,16 g) tidak berbeda dengan 0% (0,16 g). Hal ini diduga karena semakin rendah taraf substitusi BBJP dalam ransum maka akan semakin rendah pula kandungan zat antinutrisi di dalam BBJP tersebut, sehingga pengaruhnya masih dapat didetoksifikasi oleh hati (liver) dan tidak terjadi penurunan konsumsi ransum. Kadar protein feses mencit jantan (0,15 g) lebih tinggi daripada betina (0,13 g).
Kadar protein feses berkaitan erat dengan kadar air dan penyerapan protein dalam tubuh, semakin rendah tingkat penyerapannya maka tingkat protein yang terbuang akan semakin tinggi. Terbuangnya protein tersebut dapat melalui feses maupun urin. Menurut Anggorodi (1984), bahwa semakin sedikit jumlah protein dalam feses maka semakin banyak protein dari pakan yang dapat dicerna oleh ternak. Persentase daya cerna protein ransum pada mencit selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (BBJP) dalam ransum sangat nyata (P<0,01) menurunkan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan serta menaikkan nilai konversi ransum, sedangkan persentase kadar air feses kering udara mencit tidak nyata dipengaruhi oleh taraf penggunaan BBJP dalam ransum. Mencit jantan nyata (P<0,05) memiliki tingkat pertambahan bobot badan yang lebih tinggi daripada mencit betina. Interaksi antara faktor taraf penggunaan BBJP dan jenis kelamin tidak nyata terhadap semua parameter yang diamati. Kadar protein feses dan daya cerna protein mencit menurun pada taraf penggunaan BBJP 10%. Penggunaan BBJP sebagai bahan makanan alternatif untuk pakan ternak yang disubstitusikan ke dalam ransum hanya dapat digunakan sampai batas taraf 5%.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Amori. 1996. Mus musculus. http://en.wikipedia.org/wiki/Mus-musculusIUCN. [1996].
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Satu Gunung Budi, Bogor. Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan TernakUmum. PT Gramedia, Jakarta.
Applegate, R. 2006. Feeding baby snakes (rodent eating species). www.applegaterep tiles.com/articles/feedingbabysnakes.htm. [24 Desember 2006].
Aregheore, E. M., H. P. S. Makkar dan K. Becker. 1998. Assessment of lectin activity in a toxic and a non-toxic variety of Jatropha curcas using latex agglutination and haemagglutination methods and inactivation of lectin by heat treatments. J. Sci. Food Agric. 77(3): 349 – 352.
Aregheore, E. M., K. Becker dan H. P. S. Makkar. 2003. Detoxification of a toxic variety of Jatropha curcas using heat and chemical treatments, and preliminary nutritional evaluation with rats. S. Pac. J. Nat. Sci., 21: 50-56. Arrington, L. R. 1972. Introduction to Laboratory Animal Science: The Breeding,
Care and Management of Experimental Animals. The Interstate Printers and Publishers Inc., Danville.
Asaoka, Y., S. Nakamura, K. Yoshida dan Y. Nishizuka. 1992. Protein kinase C, calcium and phospholipids degradation. Trends Biochem. Sci. 17: 414 – 417. In: Rug, M., F. Sporer, M. Wink, S. Y. Liu, R. Henning and A. Ruppel. 2006. Molluscicidal properties of Jatropha curcas against vector snails of the human parasites Schistosoma mansoni and S. japonicum. http://jatropha.org/rug1-nic.htm. [5 Juli 2006].
Badan Meteorologi dan Geofisika. 2006. Data Klimatologi. Balai Wilayah II Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor.
Becker, K. dan H. P. S. Makkar. 1998. Effects of phorbolesters in carp (Cyprinus carpio L.). Vet. Human Toxicol. 40 (2).
Becker, K. dan H. P. S. Makkar. 2002. Studies on the utilisation of Jatropha curcas seed cake as animal feed. http://www.uni-hohenheim.de/i3ve/00217110/02-161041.htm. [12 April 2002].
Begg, J. dan T. Gaskin. 2006. Jatropha curcas L.. http://www.IPCS Intox Databank.htm. [5 Juli 2006].
Brodjonegoro, T. P., I. K. Reksowardjojo dan T. H. Soerawidjaja. 2005. Jarak pagar, sang primadona. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/13/cakraw-ala/utama02.htm. [13 Oktober 2005].
Card, L. E. dan M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th Edition. Lea and Febiger, Philadelphia.
41 Esmay, M. L. 1982. Principles of Animal Environment. Textbook Edition. Avi
Publishing Company, Inc., Wesport.
Eva. 2006. Mice as pets. www.eva’smousepage.com. [24 Desember 2006]
Falconer, D. S. 1981. Introduction to Quantitative Genetic. 2nd Edition. Department of Genetic and Agricultural Research Council. Unit of Animal Genetic, New York.
Farida, E. L. 1994. Pengaruh taraf pemberian protein dan zeolit dalam ransum terhadap penampilan ternak babi periode bertumbuh – pengakhiran. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Francis, G., H. P. S. Makkar dan K. Becker. 2006. Products from little researched plants as aquaculture feed ingredient. http://www.fao.org/docrep/article/agri ppa/551-en.htm. [5 Juli 2006].
Hariyadi. 2005. Budidaya tanaman jarak (Jatropha curcas) sebagai sumber bahan alternatif biofuel. http://www.ristek.go.id. [17 Oktober 2005].
Hartini, S. 2000. Respon penambahan mineral zeolit dalam ransum terhadap kondisi lingkungan kandang ayam pedaging. Jurnal Peternakan dan Lingkungan Vol. VI (2): 80-84.
Heller, J. 1996. Physic nut. Jatropha curcas, L. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops 1. Institut of Plant Genetics and Crop Plant Research, Gatersleben/International Plant Genetics Research Institute, Rome.
Inglis, J. K. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. Pergamon Press Ltd., Oxford.
Jaya, M. 1982. Hubungan antara lingkar dada dan panjang badan dengan berat badan domba garut pada berbagai tingkat umur. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kimoto, H. 2005. Sex-spesific peptides from exocrine glands stimulate mouse vomeronasal sensory neurons. Nature (Abstr). http://en.wikipedia.org/wiki/ Mus-musculus. [11 Juli 2005].
Lin, J., F. Yan, L. Tan dan F. Chen. 2003. Antitumor effects of curcin from seeds of Jatropha curcas. Acta Pharmacol Sin. 24 (3): 241-246.
Malole, M. B. M. dan P. S. C. Utami. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Makkar, H. P. S. dan K. Becker. 1997. Potential of Jatropha curcas Seed Meal as A
Protein Supplement to Livestock Feed, Constraints to Its Utilisation and Possible Strategies to Overcome Constraints. Symposium ”Jatropha 97”. Austrian Ministry of Foreign Affairs, Managua.
Makkar, H.P.S., K. Becker, F. Sporer dan M. Wink. 1998. Studies on nutritive potential and toxic constituents of different provenances of Jatropha curcas. J. Agric. Food Chem. 45 (8): 3152 – 3157.
42 Maynard, L. A., K. Loosli, H. F. Hintz dan R. G. Warner. 1979. Animal Nutrition. 7th
Edition. Mc Graw Hill Publishing Company. Inc., New Delhi.
Maxpage. 2006. Jatropha curcas. http://www.biotechitylucknow.org/html/biodiesel/ html/plantdetail 1.htm. [5 Juli 2006].
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Edisi pertama. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Nashihah, M. 2005. Minyak jarak pagar pengganti BBM, mengapa tidak?. http://www.suaramerdeka.com/harian/0510/24/ragam2.htm. [24 Oktober 2005].
Natasasmita, A. 1978. Composition of swamp buffalo (Bubalus bubalis) a study of developmental growth and sex different. Thesis. University of Melbourne, Melbourne.
Nowak, R. M. 1999. Walker’s mammals of the world. http://en.wikipedia.org/wiki/ MouseISBN. [1999].
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia, Jakarta.
Probisnis. 2006. Prospek dan peluang jarak pagar. http://www.probisnis.com/?q=no-de/10/print. [5 Juli 2006].
Rasyaf, M. 1999. Beternak Ayam Pedaging. Cetakan XIV. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rose, S. P. 1991. Principle of Poultry Science. CAB International, New York.
Sainsbury, D. 1984. Poultry Health and Management: Chicken, Duck and Turkey. 2nd Edition. Granada Publishing Ltd., London.
Schuler, L. 2006. Model animals and quantitative genetics. Makalah Kuliah Umum. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Siregar, S. 1984. Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan kambing dan domba lokal di Yogyakarta. Majalah Ilmu dan Peternakan. Vol. I (5): 17.
Smith, J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Soerawidjaja, T. H., 2005. Proses produksi minyak jarak pagar. http:// www.distambenjabar.go.id/modules.php?name=Downloads&d_op=getit&lid =13. [12 September 2005]
Steel, R. G. D. dan J. W. Torie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.