ABSTRACT
Carcass and Commercial Cut of Kampong Chicken Fed Jatropha Curcas Meal Fermented by Rhizopus oligosporus
Kurniawan, H., R. Afnan., and Sumiati
Kampung chicken is one of Indonesian local chicken which many consumers interested in the form of meat and egg products which have a competitive price. The oncreased of livestock production must be supported by the procurement of high-quality livestock feed, available in sufficient quantities, have continuity and a relative cheap price and do not compete with human needs. The purpose of this study was to investigate the effect of jatropha curcas meal fermented using Rhizopus oligosporus in the diet on carcass yield and carcass pieces of kampong chickens. The diet treatments used were ; R0=the diet without jatropha curcas + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R1=the diet contained unfermented jatropha curcas 7,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R2=the diet contained fermented jatropha curcas 7,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R3=the diet contained fermented jatropha curcas 10% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R4=the diet contained fermented jatropha curcas 12,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm. Two hundred and seventy DOC kampong chickens were used in this research and reared up to 10 weeks old. The research was conducted at Laboratory of Poultry Nutrition, Faculty of Animal Science Bogor Agricultural University. A completely randomized design with five treatments and six replications was used in this experiment. the results showed that feeding unfermented jatropha curcas highly significantly (P<0.01) decreased the live and carcass weight, as weel as the weight of breast, wing, back, femur, and tibia of kampong chickens at the age of 10 weeks old. The conclusion of this research is that fermented jatropha curcas could be used up to 12,5% in the diet of kampong chickens reared up to the age of 10 weeks old.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan komponen terbesar yang mempengaruhi produksi unggas,
disamping kualitas dan kuantitas DOC (Day Old Chick) serta manajemen
pemeliharaan. Pakan ternak menempati posisi strategis dalam dunia peternakan, dan
tidak kurang dari 70% biaya produksi ternak adalah biaya pakan. Oleh karena itu,
pakan menjadi sangat menentukan efisiensi produksi dan mutu hasil ternak.
Beberapa permasalahan utama dalam dunia perunggasan adalah masalah
penyediaaan bahan baku pakan. Saat ini beberapa bahan pakan masih banyak
diimpor, sebagai contoh bungkil kedelai. Sebagai konsekuensinya, harga pakan
unggas selalu mahal. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan
pakan alternatif lokal yang tersedia di Indonesia dengan harga murah, ketersediaan
terjamin serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu bahan pakan non
konvensional yang memiliki potensi dijadikan pakan unggas adalah bungkil biji jarak
pagar (Jatropha curcas L).
Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil sampingan pengolahan biji
jarak pagar menjadi minyak jarak. Potensi yang dimiliki BBJP adalah ketersediaan
yang berlimpah hasil penggunaan minyak biji jarak pagar sebagai bahan bakar
alternatif yang menghasilkan bungkil dalam jumlah yang cukup besar serta memiliki
kandungan protein kasar sebesar 58-60% (Makkar et al., 1998). BBJP mempunyai kelemahan dengan adanya kandungan racun, seperti curcin dan forbolester yang berbahaya. Upaya baik secara fisik, kimia maupun biologi perlu dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan racun tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah
dengan memfermentasi BBJP dengan Rhizopus oligosphorus yang menghasilkan enzim protease, lipase, α-amylase, glutaminase, dan α-galactosidase. Adanya
enzim-enzim tersebut diharapkan dapat menurunkan antinutrisi dan racun yang terkandung
dalam BBJP dan sekaligus meningkatkan nilai nutrisinya (Han et al., 2003)
Pemberian BBJP yang difermentasi menggunakan kapang Rhizopus oligosphorus sebanyak 5% menurunkan berat akhir ayam Kampung sebesar 10,14% dibandingkan dengan pakan kontrol. Penambahan enzim fitase dan selulase diberikan
untuk menaikkan bobot akhir ayam Kampung sehingga dapat menyamai pakan
pada BBJP dan peran enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan
(Sumiati et al., 2009).
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari pengaruh pemberian BBJP
TINJAUAN PUSTAKA
Jarak Pagar (Jatropha curcas L)
Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 1942-an. Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan
kepada jarak pagar ini antara lain Jarak Kosta, Jarak Budeg (Sunda), Jarak Gundul,
Jarak Pager (Jawa), Jarak Pager (Bali), Lulu Mau, Paku Kale, Jarak Pageh
(Nusatenggara), dan Al Huwa Kamala (Maluku). Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam di sepanjang tepi jalan sehingga dikenal
dengan sebutan tanaman jarak pagar. Tanaman perdu asal Amerika ini memiliki
klasifikasi sebagai berikut, kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Rosidae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Jatropha, dan spesies Jatropha curcas. Tanaman jarak diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jatropha curcas L. (Biotechcitylucknow, 2007)
Tanaman jarak merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang
kurang subur tetapi memiliki drainase yang baik dan tidak tergenang air. Tanaman
jarak tumbuh optimal pada suhu berkisar antara 18 °C – 30 °C, ketinggian 0 - 2000
m di atas permukaan laut (dpl), dan curah hujan antara 300 mm - 1200 mm (Haryadi,
Produksi di Indonesia
Tanaman jarak pagar dapat hidup lebih dari 20 tahun dengan tingkat produksi
tanaman antara 8-15 ton biji/ha. Haryadi (2005) dan Hambali et al. (2006) menyatakan bahwa tanaman jarak pagar mulai berbunga setelah umur 3-4 bulan dan
pada umur tersebut buah mulai terbentuk. Pemanenan dilakukan bila buah telah
masak yang ditandai dengan kulit buah yang mulai menguning dan mengering.
Biasanya buah masak pertama kali setelah umur 6-8 bulan.
Produktivitas tanaman jarak berkisar antara 3,5-4,5 kg biji/pohon/tahun.
Kadar rendemen minyak sebesar 35% dan dapat menghasilkan 2,5-5 ton
minyak/ha/tahun (Haryadi, 2005). Produksi akan stabil setelah tanaman berumur
lebih dari satu tahun dan bila dipelihara dengan baik.
Potensi Tanaman Jarak Pagar
Potensi terbesar jarak pagar ada pada buah yang terdiri dari biji dan cangkang
(kulit). Bagian biji mengandung kulit dan inti yang menjadi bahan pembuatan
biodiesel sebagai sumber energi pengganti solar. Minyak jarak pagar digunakan
untuk penyabunan menghasilkan sabun dan meranolis/etanolis yang hasil akhirnya
berupa biodiesel dan gliserin. Bungkil ekstraksi bisa menghasilkan pupuk dan
sebagai bahan pembangkit biogas yang produk akhirnya berupa biogas pengganti
minyak tanah (Brodjonegoro et al., 2005)
Bungkil ekstraksi ini juga setelah didetoksifikasi dapat digunakan sebagai
pakan ternak. BBJP mengandung nutrien yang sangat kaya, terutama kandungan
proteinnya yang hampir sama dengan bungkil kedelai, bahkan bisa lebih. Menurut
Brodjonegoro et al. (2005), komposisi proksimat BBJP bebas minyak terdiri dan 12,9% air; 10,1% abu; 45,1% protein kasar; 31,9% serat kasar dan bahan organik
tidak bernitrogen.
Pemanfaat Pohon Jarak Pagar
Secara ekonomi, tanaman jarak pagar dapat dimanfaatkan mulai dari daun,
Gambar 2. Manfaat Tanaman Jarak Pagar (Gubitz et al., 1998).
Curcin
Curcin atau lectin adalah protein keras yang tidak mudah rusak. Curcin merupakan racun utama yang terdapat dalam tanaman jarak pagar. Curcin dapat dikurangi dengan perlakuan panas (Aderibigbe et al., 1997). Lin et al. (2003) mengatakan bahwa curcin berfungsi sebagai pengikat glikoprotein pada permukaan sel. Mekanisme curcin berhubungan dengan aktifitas N-glycosidase yang kemudian dapat mempengaruhi metabolisme.
Peran curcin dalam tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen seperti jamur, virus, dan bakteri dengan mengikat permukaan
Jarak pagar (Jatropha curcas L)
‐Pengendalian erosi -Tanaman pagar
-Kayu bakar
-Pelindung tanaman
Daun
- Pengembangan ulat sutra - Obat obatan
- Zat anti radang
Lateks
mikroorganisme melalui residu gula danmenghambat pertumbuhannya. Curcin dapat menjadi inaktif dengan perlakuan pemanasan dan pemanasan kering jauh lebih baik
daripada pemanasan basah (Aregheore et al., 1998).
Forbolester
Forbolester merupakan komponen toksik dalam Jatropha curcas yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al., 2006). Sifat fisiologis dari forbolester adalah penyebab tumor atau kanker. Bentuk forbolester
menyerupai diasigliserol yaitu turunan gliserol yang diperoleh dari dua kelompok
hidroksil yang telah bereaksi dengan asam lemak membentuk ester dan bersifat
karsinogenik. Bentuk forbolester yang paling terkenal yaitu
12-0-tetradecanoylphorbol-13- acetate (TPA). Forbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacigliserol (DAG). Protein kinase C
(PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan
menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh yang sangat nyata
terhadap aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan
diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992).
Forbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca²+ secara dramatis dan
bersifat stabil serta tidak dapat terdegradasi secara cepat setelah menstimulasi PKC
sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti
proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992). Forbolester berperan sebagai penyebab sakit perut, efek iritasi kulit, dan pemacu
tumor karena forbolestermerangsang PKC yang dibutuhkan dalam sinyal transduksi
dan proses perkembangan seluruh sel dan jaringan. Menurut Becker dan Makkar
(1998), forbolester tahan terhadap panas hingga suhu 160 ºC selama 30 menit.
Bungkil Biji Jarak Pagar
BBJP merupakan hasil ikutan dari pembuatan minyak jarak, dan mengandung
protein yang sangat tinggi yaitu 56-68 % (Becker dan Makkar, 1998). Menurut
Francis et al. (2006), kandungan protein kasar BBJP varietas beracun (Cape Verde) adalah 56,4% sedangkan pada varietas tidak beracun (Mexico) sebanyak 63,8%.
Kadar lemak bungkil yang diekstrasi berkisar 1-1,5% dengan kandungan abu
yang menghambat penggunaannya antara lain curcin, forbolester, tanin, fitat, saponin, dan anti tripsin (Becker dan Makkar, 1998). Komposisi kimia BBJP
menurut Makkar et al. (1998) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Bungkil Ekstraksi dari Jatropha curcas Varietas Beracun dan Non-Racun (% Bahan Kering) Tanpa Cangkang
Komponen Varietas
beracun
Varietas non-racun
Protein Kasar (%) 56,4 63,8
Lemak (%) 1,5 1,0
Abu (%) 9,6 9,8
NDF 9,0 9,1
Energi Bruto (kkal/kg) 4346 4299
Sumber: Makkar et al. (1998)
Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar
Penggunaan BBJP dalam ransum dapat memberikan efek negatif pada hewan
yang mengkonsumsinya pada taraf pemberian yang tinggi (Sumiati et al., 2007). Penggunaan BBJP dalam ransum sebesar 5-15% sangat nyata menurunkan konsumsi
ransum dan pertumbuhan ayam broiler. Angka mortalitas 100% dicapai pada umur
22 hari (ransum dengan tambahan 5% bungkil biji jarak), 13 hari (ransum dengan
tambahan 10% bungkil biji jarak), dan 7 hari (ransum dengan tambahan 15% BBJP).
Lusiana (2008) menyatakan bahwa efektivitas penggunaan BBJP
terdetoksifikasi dalam ransum menyebabkan kematian sebanyak 22 ekor (12,57%)
dari 175 ekor total ayam broiler. Pemberian BBJP pada ransum ayam broiler dapat
menyebabkan penurunan pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi (Hidayah, 2007).
Wardoyo (2007) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP tanpa detoksifikasi pada
mencit masih mungkin digunakan. Penggunaan 10% bungkil biji jarak pada mencit
dapat menyebabkan kematian sebesar 50% dalam waktu 40 hari dan 15% BBJP
menyebabkan kematian 100% dalam waktu 29 hari. Hasil penelitian Fajariah (2007)
menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang terdetoksifikasi kepada mencit
(1974) menyatakan bahwa pemberian BBJPdalam ransum mengakibatkan terjadinya
perubahan patologi pada usus halus, hati, jantung, ginjal, dan pembuluh darah.
Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan curcin dan forbolester yang terdapat dalam BBJP agar penggunaan BBJP dapat ditolerir oleh
hewan. Pengukusan selama 60 menit diikuti fermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus dapat menurunkan kandungan antinutrisi BBJP (Sumiati et al., 2010). Kandungan antinutrisi BBJP yang difermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus sebelum dan sesudah pengukusan selama 60 menit disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Antinutrisi BBJP Sebelum dan Sesudah Pengukusan
Antinutrisi Kontrol Pengukusan 60 Menit
Forbolester (mg/g) 0,024 0,015
Tanin (%) 0,13 0,007
Saponin (%) 1,04 0,39
Asam Fitat (%) 9,19 8,45
Antitripsin (%) 6,17 1,85
Sumber : Sumiati et al. (2010)
Penelitian yang telah dilakukan dengan cara biologis yaitu perlakuan
fermentasi menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007). Nurbaeti (2007) menyimpulkan bahwa pengolahan BBJP secara biologis difermentasi dengan
kapang Rhizopus oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia. Fermentasi dengan Rhizopus oligosporus lebih baik dalam menghilangkan kandungan curcin dan forbolester di dalam BBJP. Kandungan zat antinutrisi varietas beracun dan non-beracun BBJP
Tabel 3. Kandungan Zat Antinutrisi Penting dalam BBJP dari Varietas Beracun dan Non-Racun
Komponen Varietas Beracun Varietas Non-Racun
Forbolester (mg/g biji) 2,79 0,11
Total fenol (% asam tannin eq.) 0,36 0,22
Tannin (% asam tannin eq.) 0,04 0,02
Fitat (% bahan kering) 9,4 8,9
Saponin (% diosgenin eq.) 2,6 3,4
Inhibitor tripsin (mg tripsin yang
dihambat per g sampel) 21,3 26,5
Lektin (1 /mg bungkil yang memproduksi
haemaglutinasi per ml medium) 102 51
Sumber: Francis et al. (2006)
BBJP mempunyai beberapa varietas yaitu varietas beracun (Cape Verde) dan
non-racun berasal dari Meksiko. Kandungan protein kasar BBJP varietas beracun
sebesar 56,4% dan varietas tidak beracun sebesar 63,8%. Varietas beracun
mempunyai kandungan forbolester sebesar 2,79 mg/g kernel dan varietas tidak
beracun sebesar 0,11 mg/g kernel. Kandungan lektin atau curcin untuk varietas beracun dan tidak beracun masing-masing sebesar 102 dan 51 per mg (Makkar et al., 1998).
Pengolahan Bungkil Biji Jarak Pagar Proses Fisik
Senyawa anti tripsin dan curcin bersifat labil terhadap panas dan umumnya pemanasan akan menurunkan kandungan kedua senyawa ini dalam bungkil. Makkar
et al. (1998) melaporkan bahwa pemanasan dengan cara disangrai seperti yang dilakukan oleh masyarakat Meksiko terhadap biji jarak tidak mempengaruhi
kandungan protein, lemak, atau abu tetapi terjadi penurunan yang cukup drastis
terhadap aktivitas curcin dan anti tripsin, sedangkan kandungan fitat dan forbolester tidak mengalami perubahan. Proses fisik lain yaitu secara radiasi telah dilakukan
untuk menghilangkan racun bungkil tetapi cara ini tidak berhasil menurunkan
Secara keseluruhan, pemberian BBJP yang diolah secara fisika saja melalui
pemanasan basah menggunakan autoclave dengan kadar air 66% dan kimia saja melalui ekstraksi dengan menggunakan heksan dan metanol selama 2 minggu yang
diikuti masa pemulihan (tanpa BBJP) selama 7 hari tidak mampu memperbaiki
performa ayam broiler sampai setara dengan perlakuan kontrol (tanpa BBJP).
Kombinasi perlakuan fisika dan kimia mampu memperbaiki performa ayam broiler
sampai setara dengan perlakuan kontrol setelah masa pemulihan selama 7 hari
(Lusiana, 2008).
Proses Kimiawi
Proses detoksifikasi BBJP dilakukan dengan larutan basa seperti natrium
hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2) atau kombinasi larutan natrium
hidroksida (NaOH) dengan natrium hipoklorit (NaOCl). Penggunaan larutan NaOH
4% atau kombinasi dengan larutan natrium hipoklorit 10-25% dapat menghilangkan
aktivitas lektin tetapi tidak mampu menurunkan kadar forbolester (Aregheore et al., 1998).
Nurhikmawati (2007) menyimpulkan bahwa perlakuan kimia menurunkan
kandungan curcin paling besar yaitu sebesar 77,78%. Perlakuan biologi dapat memperbaiki kualitas nutrisi BBJP yang ditandai dengan peningkatan kandungan
bahan kering, protein kasar, Beta-N, dan fosfor serta lebih efisien karena persentase
kehilangan bobot paling kecil. Penggunaan BBJP hasil perlakuan biologi (Rbio)
memiliki asupan dan retensi bahan kering, kalsium, dan fosfor paling tinggi.
Proses Biologis
Pengolahan biologis dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan kapang.
Fermentasi adalah proses yang menghasilkan komponen kimia yang kompleks
sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba (Muchtadi et al., 1992). Hasil penelitian Sumiati et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang difermentasi dengan Rhizopus oligosporus pada ayam broiler menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian BBJP tanpa diolah.
dalam BBJP karena menurut Wink (1993), forbolester terdapat pada lemak yang
masih berada dalam BBJP.
Rhizhopus oligosporus
Fardiaz (1992) mendefinisikan fermentasi sebagai proses pemecahan
karbohidrat dan asam amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir, dan bakteri
dapat terjadi secara anaerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses
fermentasi adalah karbohidrat sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh
beberapa jenis bakteri tertentu.
Gandjar (1977) menyatakan bahwa Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik yang menghasilkan enzim protease, dan berfungsi merombak senyawa yang
kompleks menjadi senyawa yang sederhana sehingga akan menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Jamur dalam pertumbuhannya
memperoleh karbon dari substrat untuk merangsang pertumbuhan yang optimum dan
peningkatan kandungan zat-zat makanan substrat yang lebih dari sebelumnya (Amri,
1998). Rhizopus oligosporus digunakan sebagai mikroba untuk fermentasi karena selain dapat memecah protein dan lemak, juga dapat menguraikan protein sebagai
bahan pengemulsi yang terdapat dalam santan dan memecah emulsi santan sehingga
terjadi pemisahan fraksi air, minyak, dan protein. Rhizopus oligosporus tumbuh pada kisaran 5-37 °C, dan optimum pada suhu 25 °C.
Hal ini sesuai dengan penelitian Nurbaeti (2007) bahwa perlakuan biologis
dengan penggunaan fermentasi Rhizopus oligosporus dapat menghasilkan respon terbaik dalam meningkatkan efesiensi penggunaan protein dan energi metabolis pada
ayam broiler. Mahajati (2008) menyatakan bahwa penggunaan 5% bungkil biji jarak
difermentasi kapang Rhizopus oligosporus dalam ransum masih dapat ditolerir oleh mencit.
Enzim
Enzim merupakan katalis hayati yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi
kimia tanpa enzim itu berubah atau terkonsumsi setelah reaksi selesai. Enzim
merupakan biokatalisator untuk ikut serta dalam reaksi biologi. Reaksi kimia akan
berjalan lambat tanpa bantuan enzim. Enzim menurut cara kerjanya menyerang
eksogenus. Enzim endogenus menyerang substrat pada ikatan interior sedangkan
enzim eksogenus mendekati substrat dari satu atau ujung luar yang lain (Buhler et al., 1998).
Enzim Fitase
Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil encoding gen pada Aspergillus niger. Enzim fitase komersial asal Aspergillus niger sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di Eropa (Wodzinski dan
Ullah, 1996). Asam fitat memiliki sepuluh grup fosfat yang dapat dilepaskan oleh
fitase pada kecepatan yang berbeda dan di dalam urutan yang berbeda pula. Wyss et al. (1998) meneliti kinetika pelepasan fosfat dan kinetik dari penggabungan kembali reaksi lanjutan pada produk akhir dari degradasi asam fitat oleh berbagai macam
enzim fitase. Penelitian menunjukkan bahwa seluruh enzim fitase yang dihasilkan
oleh fungi melepaskan lima dari sepuluh grup fosfat, dan produk akhirnya berupa
mio-inositol 2- monofosfa.
Ravindran et al. (1999) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum ayam broiler menurun dengan tingginya asam
fitat dalam ransum tetapi performa tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan
enzim fitase mikroba (3-fitase). Jacob et al. (2000) melaporkan bahwa suplementasi enzim 3-fitase 0,01% dalam ransum ayam broiler yang berbasis gandum-bungkil
kedelai (wheat-soybean meal diet) dapat menurunkan viskositas isi saluran usus
halus dan nyata meningkatkan abu tulang tibia pada ayam broiler umur 42 hari.
Viveros et al. (2002) menyatakan bahwa suplementasi enzim fitase natufos sebanyak 500 U/kg pada ayam broiler yang mengandung P-tersedia rendah (0,22% untuk umur
1 hari-3 minggu dan 0,14% untuk ayam umur 3-6 minggu) mampu memperbaiki
performa dan meningkatkan penggunaan P, Ca, Mg, dan Zn.
Enzim Selulase
Selulase adalah nama bagi semua enzim yang memutuskan ikatan glikosidik
beta-1,4 di dalam selulosa, sedodekstrin, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya.
Selulase tidak dimiliki oleh manusia sehingga manusia tidak dapat menguraikan
selulosa. Penggunaan selulosa dapat dilakukan oleh hewan seperti kambing, sapi,
dan protozoa yang menghasilkan enzim selulase yang akan menghidrolisis
(mengurai) ikatan glikosidik beta-1,4 (Fadhli, 2011)
Sumiati et al. (2009) menyatakan bahwa BBJP yang difermentasi kemudian ditambah dengan selulase cenderung meningkatkan pertumbuhan ayam Kampung
sebesar 1,7% dibandingkan dengan pakan BBJP tidak diberi perlakuan. Hasil ini
menunjukkan bahwa suplementasi selulase dalam pakan memiliki sedikit efek pada
pertumbuhan ayam Kampung. Hal ini bisa disebabkan kandungan lignin yang tinggi
dalam pakan, dan penggunaan selulase dengan konsentrasi 200 ml/ton pakan tidak
efektif untuk memecah serat.
Ayam Kampung
Ayam Kampung digolongkan ke dalam bangsa Galliformes (unggas). Ayam Kampung merupakan salah satu keluarga ayam lokal yang berukuran kecil dan
bentuknya agak ramping, serta memiliki keragaman genetis tinggi. Menurut
Sulandari et al. (2007), ayam Kampung termasuk ke dalam kelas Aves, subkelas Neonithes, ordo Galliformis, genus Gallus, spesies Gallus domesticus. Variasi individu dalam satu jenis tidak hanya terbatas pada warna bulu, tetapi juga pada
ukuran tubuh, produktivitas telur dan suara. Ayam kampung memiliki produktivitas
telur yang rendah dan pertumbuhan tubuh lambat (Iskandar, 2004). Ayam Kampung
memiliki kelebihan yaitu lebih tahan terhadap cekaman dan dagingnya disukai
terutama untuk olahan tertentu. Kekurangan ayam Kampung adalah
perkembangbiakkannya lambat, pertumbuhan lambat, dan kerangka tubuh kecil
sehingga pertumbuhan daging memerlukan waktu yang lebih lama (Hardjosworo dan
Rukmiasih, 2000). Kecepatan pertumbuhan ayam Kampung dipengaruhi oleh sifat
genetik, kualitas pakan, dan kesehatan serta manajemen pemeliharaan. Sistem
pemeliharaan tradisional tidak dapat menghasilkan produksi daging dan telur yang
tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh serangan penyakit dan kurang terpenuhinya
kebutuhan gizi sehingga pertumbuhan lambat. Ayam Kampung memiliki bobot
badan yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam pedaging dan ayam dwiguna
(Hardjosworo dan Levine, 1995).
Produksi telur ayam Kampung yang dipelihara secara tradisional berkisar
antara 135 butir/tahun, karena adanya aktivitas mengeram dan mengasuh anak yang
menjanjikan baik secara ekonomi maupun sosial karena merupakan bahan pangan
bergizi tinggi (Gunawan dan Sundari, 2003) serta permintaannya cukup tinggi
(Bakrie et al., 2003). Pangsa pasar nasional untuk daging dan telur ayam buras masing-masing mencapai 40% dan 30%. Hal ini dapat mendorong peternak kecil dan
menengah untuk mengusahakan ayam buras sebagai penghasil daging (Iskandar et al., 1998) dan telur (Rohaeni et al., 2004). Berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Peternakan, populasi ayam Kampung pada akhir tahun 2009 sebesar
249,963,499 ekor (Ditjennak, 2010). Untuk meningkatkan populasi, produksi,
produktivitas, dan efisiensi usahatani ayam buras, pemeliharaannya perlu
ditingkatkan dari tradisional ke arah agribisnis (Zakaria, 2004).
Karkas
Karkas unggas merupakan bagian tubuh yang tersisa setelah dilakukan
penyembelihan, pembuluan, dan pembuangan jeroan, serta pemotongan kaki, kepala,
dan leher (Saifudin, 2000). Perbandingan bobot karkas terhadap bobot hidup atau
dinyatakan sebagai persentase karkas sering digunakan sebagai ukuran produksi.
Komponen karkas terdiri atas otot, lemak, kulit, dan tulang yang memiliki kecepatan
tumbuh yang berbeda-beda. Soeparno (1994) menambahkan bahwa persentase
karkas akan meningkat seiring dengan peningkatan bobot potong. Faktor-faktor yang
mempengaruhi persentase bobot karkas adalah bangsa, umur, jenis kelamin, ransum,
dan bobot potong (Diwyanto et al., 1979).
Hasil penelitian Suharti et al. (2008) menyatakan rataan bobot karkas ayam broiler umur 5 minggu dengan pemberian ransum daun salam sebesar 570-583 g.
Arief (2000) menyatakan bahwa rataan persentase bobot karkas ayam Kampung
umur 6 minggu dengan pemberian ransum kombinasi pollard dan duckweed adalah 56,63-58% sedangkan pada umur 12 minggu berkisar antara 66,49-69,35%.
Persentase karkas ayam Kampung umur 9 minggu yang diberi ransum bungkil inti
sawit berkisar antar 58,05-59,67% (Dadan, 2004).
Potongan Komersial Karkas
Merkley et al. (1980) membagi karkas menjadi lima bagian besar potongan komersial yaitu dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah. Dada merupakan
adalah bagian karkas yang dipotong pada batas persendian tulang belikat yang
berbatasan dengan tulang dada sampai dengan batas persendian tulang paha kiri dan
paha kanan. Sayap dipisahkan dari karkas pada persendian bahu. Potongan komersial
paha atas adalah bagian karkas yang dipotong sepanjang persendian tulang paha
yaitu dari persendian coxae sampai lutut. Potongan komersial paha bawah adalah bagian karkas yang dipotong dari sendi lutut sampai intersica (Bahij, 1991).
Pakan merupakan faktor yang mempengaruhi persentase potongan komersial
karkas (Morran dan Orr, 1970). Menurut Muryanto et al. (2002), persentase potongan komersial karkas ayam Kampung umur 12 minggu yang terdiri dari dada,
paha atas, paha bawah, punggung, dan sayap berturut-turut sebesar 17,20; 19,00;
18,00; 23,10, dan 15,81%. Potongan komersial karkas ayam Kampung umur 14
minggu yang terdiri dari dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan selama 10 minggu dari bulan Juni sampai bulan
Agustus 2010 di Laboratorium Nutrisi Unggas dan Kandang C, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Materi Ternak
Penelitian ini menggunakan 270 ekor ayam Kampung umur satu hari (DOC)
yang dibagi menjadi 5 perlakuan dan 6 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari
9 ekor ayam Kampung.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah kandang koloni sebanyak 30 ruang
berukuran 1m x 1m x 1m. Setiap kandang terdiri dari 9 ekor ayam Kampung. Setiap
kandang terdapat tempat pakan dan tempat air minum. Untuk penerangan digunakan
lampu pijar 40 watt. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital,
termometer, dan ember plastik.
Ransum
Bahan pakan yang digunakan terdiri dari BBJP, jagung, dedak padi, CGM
(Corn Gluten Meal), tepung ikan, MBM (Meat Bone Meal), bungkil kedelai, minyak
kelapa, kalsium fosfat, CaCO3, NaCl, asam amino, vitamin, trace mineral, dan
antioksidan. Komposisi dan kandungan zat makanan ayam Kampung dalam
Tabel 4. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Umur 0-10 Minggu
Nama Bahan R0 R1 R2 R3 R4
---(%)---
Jagung Kuning 51,23 50 50 50 53,15
Dedak Halus 20,5 16,43 16,33 14,63 10
Bungkil Kedelai 17 13 13 11,5 10
BBJP tidak Diolah 0 7,5 0 0 0
BBJP Fermentasi 0 0 7,5 10 12,5
MBM 7,5 8,3 8,4 9 10
Minyak 3 3,9 3,9 4 3,5
Garam 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Premiks 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
DL-methionin 0,17 0,19 0,19 0,19 0,19
L-lysin 0 0,08 0,08 0,08 0,06
Total 100 100 100 100 100
Selulase (ppm) 400 0 400 400 400
Fitase(ppm) 200 0 200 200 200
Kandungan Zat Makanan (% As Fed)* :
BK (%) 78,48 77,24 77,17 79,87 76,40
Abu (%) 5,63 6,20 6,41 6,07 6,07
Protein Kasar (%) 18,16 17,79 17,98 17,24 17,20
Serat Kasar (%) 4,10 4,92 4,50 4,68 4,99
Lemak Kasar (%) 5,46 3,27 4,91 3,76 3,41
Beta-N (%) 49,23 49,98 47,87 52,80 49,72
Energi Bruto (kkal / kg) 4000 4065 3726 4113 3743
Rancangan Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan ransum dengan 6 ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :
R0 = Ransum tidak mengandung BBJP + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm
R1 = Ransum mengandung BBJP tanpa diolah 7,5%
R2 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 7,5% + selulase 400 ppm + fitase
200 ppm
R3 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 10% + selulase 400 ppm + fitase 200
ppm
R4 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 12,5% + selulase 400 ppm + fitase
200 ppm
Model
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan dan 6 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 9 ekor ayam Kampung. Model
matematis yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + ε ij Keterangan :
Yij : Respon percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : Rataan umum τi : Efek perlakuan ke-i
ε ij : Erorr perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis ragam (Analysis of Variance / ANOVA) dan
jika berbeda nyata diuji lanjut dengan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
Sebelum dianalisis, data persentase bobot dada, persentase bobot sayap, persentase
bobot punggung, persentase bobot paha atas, persentase bobot paha bawah
ditransformasi arcsin “√x” terlebih dahulu. Transformasi dilakukan karena persentase
Peubah yang Diamati
1. Bobot Potong (g). Bobot Potong diperoleh dengan cara menimbang ayam
Kampung yang telah dipuasakan selama 12 jam sebelum dipotong.
2. Bobot Karkas (g). Bobot ayam setelah dipotong yang telah dikurangi dengan
darah, bulu, kepala, kaki, dan alat pencernaan.
3. Persentase Karkas (%). Nilai persentase karkas diperoleh dengan
membandingkan bobot karkas dengan bobot sesaat sebelum ayam Kampung
dipotong dikali 100%.
4. Bobot Dada (g). Bobot dada didapat dari hasil penimbangan bagian dada setelah
pemotongan persendian coracoid dan clavicle dengan tulang leher.
5. Persentase Dada (%). Nilai persentase dada diperoleh dengan cara
membandingkan bobot dada dengan bobot karkas dikali 100%.
6. Bobot Sayap (g). Bobot sayap didapat dari hasil penimbangan bagian sayap
setelah pemotongan sendi bahu.
7. Persentase Sayap (%). Nilai persentase sayap diperoleh dengan cara
membandingkan bobot sayap dengan bobot karkas dikali 100%.
8. Bobot Punggung (g). Bobot punggung didapat dari hasil penimbangan bagian
punggung setelah pemotongan tulang rusuk akhir sampai ruas pertama vertebrata thoracolis.
9. Persentase Punggung (%). Nilai persentase punggung diperoleh dengan cara
membandingkan bobot punggung dengan bobot karkas dikali 100%.
10.Bobot Paha Atas (g). Bobot paha atas didapat dari hasil penimbangan bagian
paha atas setelah tulang femur.
11.Persentase Paha Atas (%). Nilai persentase paha atas diperoleh dengan cara
membandingkan bobot kedua paha atas dengan bobot karkas dikali 100%.
12.Bobot Paha Bawah (g). Bobot paha bawah didapat dari hasil penimbangan bagian
paha bawah setelah tulang tibia.
13.Persentase Paha Bawah (%). Nilai persentase paha bawah diperoleh dengan cara
Prosedur
Pengolahan Bungkil Biji Jarak Pagar
Pengolahan BBJP yang difermentasi Rhizopus oligosporus diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengolahan BBJP yang Difermentasi Rhizopus oligosporus
Pembuatan Ransum
Ransum yang digunakan umur 0-3 minggu pada ayam Kampung
menggunakan pakan komersial, dan ransum yang digunakan umur 4-10 minggu pada
ayam Kampung menggunakan pakan perlakuan.
Pencampuran ransum yang pertama yaitu dengan mencampurkan bahan baku
yang memiliki komposisi yang kecil terlebih dahulu seperti sumber mineral (garam
dilakukan penambahan enzim selulase dan enzim fitase, pencampuran dilakukan
secara manual dengan menggunakan tangan. Pencampuran sumber protein (MBM
dan bungkil kedelai) ditambah BBJP yang tanpa diolah (R1) dan difermentasi
menggunakan Rhizopus oligosporus (R2, R3 dan R4). Selanjutnya dilakukan pencampuran sumber energi (minyak kelapa, dedak halus dan jagung kuning).
Setelah masing-masing sumber tercampur kemudian menggabungkan bahan baku
yaitu sumber mineral ditambahkan dengan sumber protein, dan yang terakhir
penambahan sumber energi, kemudian selanjutnya pencampuran menggunakan
mixer horizontal dengan waktu pencampuran sekitar 20 menit untuk setiap ransum yang dibuat.
Pemeliharaan
Pemeliharaan sebanyak 270 ekor ayam Kampung umur satu hari (DOC)
dilakukan selama 10 minggu. Ransum kontrol diberikan pada umur 0-3 minggu
untuk semua ayam penelitian, sementara ransum perlakuan diberikan pada ayam
umur 4-10 minggu. Pemberian pakan dan penggantian air minum diberikan sebanyak
tiga kali dalam sehari yakni pada pukul 07.30 WIB, 12.00 WIB, dan pukul 16.00
WIB. Penerangan menggunakkan lampu pijar 40 watt dan termometer digunakan
untuk mengukur suhu di dalam kandang.
Pengambilan sampel secara acak sebanyak 60 ekor ayam Kampung (2 ekor
dari setiap ulangan perlakuan dilakukan pada akhir penelitian). Sebelum
penyembelihan, ayam dipuasakan selama 6-12 jam, kemudian ditimbang sebagai
bobot potong. Ayam disembelih sampai benar-benar mati dan ditunggu hingga darah
telah habis keluar. Pencabutan bulu dilakukan dengan mencelupkan ayam ke dalam
air panas dengan suhu ± 80 °C selama 30 detik, dan dilanjutkan dengan pencabutan
bulu.
Pengukuran Peubah
Ayam yang telah dibersihkan kemudian dijadikan karkas dengan cara
memisahkan jeroan, kaki, kepala, dan leher dari bagian badan lain. Karkas ditimbang
untuk mengetahui bobot dan persentase berat karkas. Karkas kemudian dipotong
berdasarkan peubah yaitu dada, sayap, punggung, paha atas, dan paha bawah
Bobot potong dada dipotong pada persendian rusuk sampai pertautan
coracoid dan clavicle dengan tulang leher. Bobot potong punggung dipotong mulai tulang rusuk akhir sampai ruas pertama vertebrata thoracolis. Bobot potong sayap dipotong dari persendian sayap yang terdiri dari (humerus, radius ulna, dan
metacarpus) sampai ujung tulang sayap (phalanges). Bobot potong paha atas
dipotong dari persendian fibula sampai tulang femur. Bobot potong paha bawah dipotong dari persendian fibula sampai tulang tibia. Sistem tulang pada unggas diperlihatkan pada Gambar 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi ransum dan antinutrisi ayam Kampung selama 7 minggu
pemeliharaan diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Konsumsi Ransum dan Antinutrisi Ayam Kampung Selama 7 Minggu Pemeliharaan
Sumber : Sumiati et al. (2010).
Keterangan: - ) Ransum kontrol (R0) tidak mengkonsumsi BBJP
R0= Ransum tidak mengandung BBJP + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R1 = Ransum mengandung BBJP tanpa diolah 7,5%; R2 = Ransum mengandung bungkil BBJP terfermentasi 7,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R3 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 10% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R4 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm.
Data hasil penelitian pemberian ransum BBJP terfermentasi Rhizopus oligosporus terhadap bobot potong, bobot dan persentase karkas, bobot dan persentase dada, bobot dan persentase sayap, bobot dan persentase punggung, bobot
dan persentase paha atas serta bobot dan persentase paha bawah pada ayam
Kampung umur 10 minggu diperlihatkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Bobot dan Persentase Karkas serta Potongan Karkas Ayam Kampung Umur 10 Minggu
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3 R4
Berat Potong (g/ekor) 964,77±48,05A 651,32±60,30B 798,59±35,24AB 821,73±60,07AB 774,51±38,11AB
Karkas g 620,33±86,27 A
397,67±39,23B 512,17±72,14AB 503,17±12,95AB 483,33±59,55AB
% 64,43±9,22 61,45±7,95 64,27±9,42 61,45±3,88 62,38±7,05
Dada g 160,50±30,90
A
105,17±13,32B 142,17±20,93AB 133,83±5,78AB 131,17±18,35AB
% 25,77±1,99 26,43±2,10 27,76±1,53 26,61±1,21 27,12±1,45
Sayap g 91,67±11,60 A
61,17±7,47B 81,50±12,91AB 79,50±4,51AB 76.50±9,93AB
% 14,81±0,61 15,37±0,93 15,90±0,81 15,80±0,77 15,83±0,69
Punggung g 153,00±16,73 A
100,00±14,01B 121,00±17,17AB 122,83±7,70AB 117,33±15,91AB
% 24,77±1,12 25,08±1,21 23,63±0,87 24,40±1,04 24,25±0,76
Paha Atas g 107,83±17,24 A
69,00±6,45B 79,50±13,92AB 83,83±7,36AB 76,83±8,47AB
% 17,37±1,34 17,40±1,33 15,50±1,11 16,66±1,38 15,95±1,09
Paha Bawah g 107,33±17,22 A
62,33±5,05B 88,00±11,54AB 83,17±2,32AB 81,50±11,95AB
% 17,27±1,01 15,27±1,10 17,2±0,86 16,53±0,50 16,85±0,98
Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
R0= Ransum tidak mengandung BBJP + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R1 = Ransum mengandung BBJP tanpa diolah 7,5%; R2 = Ransum mengandung bungkil BBJP terfermentasi 7,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R3 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 10% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm; R4 = Ransum mengandung BBJP terfermentasi 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm.
Bobot Potong
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot potong ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot potong
ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol (R0) dan BBJP baik yang tanpa
diolah (R1) maupun yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 651,32-964,77 g.
Bobot potong yang tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 964,77 g,
sedangkan yang terendah pada perlakuan R1 yaitu 651,32 g. Rendahnya bobot
potong pada perlakuan R1 disebabkan oleh tingginya konsumsi forbolester, tanin,
saponin, dan antitripsin pada ayam penelitian. Tingginya konsumsi zat-zat antinutrisi
tersebut karena pada perlakuan R1 mengandung BBJP yang tidak diolah. Rendahnya
bobot potong pada perlakuan R1 diduga masih terdapatnya racun pada BBJP yaitu
curcin dan forbolester yang dapat menghambat sintesis protein di dalam reticulocyte (Lin et al., 2003). Penyebab lain adalah pendarahan pada pembuluh darah usus akibat adanya akumulasi racun curcin dan forbolester yang semakin tinggi sejalan dengan peningkatan konsumsi ransum. Racun tersebut memodifikasi sel-sel usus sehingga
sel-sel usus menjadi rusak. Hal ini menyebabkan fungsi usus sebagai organ
penyerapan menurun (Sumiati et al., 2011).
Bobot potong pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%, 10% dan 12,5% (R2,
R3, dan R4) hampir menyamai ransum kontrol (R0), hal ini disebabkan dari kerja
enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP dan enzim selulase
yang dapat merombak serat kasar dalam pakan. Peningkatan bobot potong pada
perlakuan R2, R3, dan R4 dibandingkan dengan perlakuan R1 disebabkan karena
pada ayam penelitian yang mengkonsumsi ransum dengan penambahan enzim fitase
dan enzim selulase dapat mencerna nutrisi yang terkandung didalam BBJP dengan
baik sehingga dapat meningkatkan bobot potong.
Hasil penelitian Sumiati et al. (2010) menunjukkan pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% berpengaruh sangat nyata menurunkan pertumbuhan dan performa ayam Kampung sehingga pemberian BBJP tanpa fermentasi tidak disarankan. Bobot akhir
terfermentasi Rhizopus oligosporus sebanyak 0, 3, 6, dan 9 % adalah 1555, 1117, 573, dan 297 g (Istichomah, 2007). Hasil penelitian Dadan (2004) melaporkan rataan
bobot hidup (bobot potong) ayam Kampung umur 9 minggu dengan pemberian
ransum bungkil inti sawit dan campuran enzim (fitase, amilase, protease, dan lipase)
adalah 865 g/ekor.
Bobot dan Persentase Karkas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot karkas ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot karkas
ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol dan BBJP baik yang tanpa diolah
maupun yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 397,67-620,33 g. Bobot karkas
yang tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 620,33 g, sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1 yaitu 397,67 g. Konsumsi ransum perlakuan dari umur
4-10 minggu adalah 48,17-54,41 g/ekor/hari, konsumsi ransum tertinggi didapat pada
perlakuan R1, sedangakan konsumsi ransum yang terendah didapat pada perlakuan
R2. Konsumsi protein ayam Kampung selama pemeliharaan adalah 18,49-21,42%,
konsumsi protein yang tertinggi didapat pada perlakuan R1 sedangkan yang terendah
didapat pada perlakuan R4. Rendahnya bobot karkas diduga masih terdapatnya racun
curcin dan forbolester didalam ransum yang dapat menurunkan bobot karkas ayam Kampung. Forbolester bertanggung jawab terhadap iritasi kulit dan pemacu tumor
dengan cara menstimulasi protein kinase C yang terlibat dalam transduksi sinyal dan
proses perkembangan dari sebagian besar sel-sel dan jaringan, sehingga
menyebabkan berbagai pengaruh biologis pada berbagai organisme (Sumiati et al., 2011). Pada dasarnya, jika bobot potong rendah maka bobot karkas yang dihasilkan
juga rendah. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan
BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm BBJP tidak mempengaruhi persentase karkas ayam Kampung umur
10 minggu.
Bobot dan persentase karkas pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%, 10%
disebabkan dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP
dan enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
Hasil penelitian Sumiati et al. (2010) menunjukkan pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% berpengaruh sangat nyata menurunkan pertumbuhan dan performa ayam Kampung sehingga pemberian BBJP tanpa fermentasi tidak disarankan. Persentase
karkas ayam broiler umur 5 minggu yang diberi ransum BBJP terfermentasi
Rhizopus oligosporus sebanyak 0, 3, 6, dan 9 % adalah 64,69, 60,24, 59,27, dan 51,37 % (Istichomah, 2007). Hasil penelitian Dadan (2004) menunjukkan persentase
karkas ayam Kampung umur 9 minggu dengan pemberian ransum bungkil inti sawit
dan campuran enzim (fitase, amilase, protease, dan lipase) berkisara antara
58,05-59,67%.
Bobot dan Persentase Dada
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot dada ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot dada
ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol dan BBJP baik tanpa diolah maupun
yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 105,17-160,50 g. Bobot dada yang
tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 160,50 g, sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1 yaitu 105,17g. Hal ini diduga ayam penelitian yang
mengkonsumsi BBJP tanpa pengolahan tidak bisa mendegradasi racun (curcin dan
forbolester) yang berada di dalam tubuh ayam penelitian sehingga bobot dada yang
dihasilkan rendah. Pada dasarnya, jika bobot karkas yang dihasilkan rendah maka
bobot dada yang dihasilkan juga rendah. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP
tanpa diolah 7,5% dan BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm tidak mempengaruhi persentase dada ayam
Kampung umur 10 minggu.
Bobot dan persentase dada pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%, 10% dan
12,5% (R2, R3, dan R4) hampir menyamai ransum kontrol (R0), hal ini disebabkan
dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP dan enzim
selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
21,20%. Persentase dada ayam Kampung umur 9 minggu dengan pemberian ransum
bungkil inti sawit dan campuran enzim (fitase, amilase, protease, dan lipase) sebesar
25,57-26,34% (Dadan, 2004).
Bobot dan Persentase Sayap
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot sayap ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot sayap
ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol dan BBJP baik yang tanpa diolah
maupun yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 61,17-91,67 g. Bobot sayap yang
tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 91,67 g, sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1 yaitu 61,17 g. Hal ini diduga karena adanya aktifitas
racun BBJP (curcin dan forbolester) yang mengganggu penyerapan zat-zat nutrisi
pada saluran pencernaan sehingga menurunkan bobot sayap yang rendah pada
perlakuan R1. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP tanpa diolah 7,5% dan
BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm tidak mempengaruhi persentase sayap ayam Kampung umur 10
minggu.
Bobot dan persentase sayap pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%, 10%
dan 12,5% (R2, R3, dan R4) hampir menyamai ransum kontrol (R0), hal ini
disebabkan dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP
dan enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
Hasil penelitian Barhiman (1976) menunjukkan persentase sayap ayam
Kampung umur 12 minggu dengan pemberian ransum komersil adalah sebesar
11,95%. Persentase sayap ayam Kampung umur 9 minggu dengan pemberian ransum
bungkil inti sawit dan campuran enzim (fitase, amilase, protease, dan lipase) berkisar
antara 14,12-14,17% (Dadan, 2004).
Bobot dan Persentase Punggung
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot punggung ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot punggung
maupun yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 100-153 g. Bobot punggung
yang tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 153 g, sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1 yaitu 100 g. Hal ini disebabkan karena konsumsi
forbolester yang tinggi pada perlakuan R1 sehingga dapat menurunkan bobot
punggung ayam Kampung. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP tanpa diolah
7,5% dan BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm tidak mempengaruhi persentase punggung ayam
Kampung umur 10 minggu.
Bobot dan persentase punggung pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%,
10% dan 12,5% (R2, R3, dan R4) hampir menyamai ransum kontrol (R0), hal ini
disebabkan dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP
dan enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
Hasil penelitian Barhiman (1976) menunjukkan persentase sayap ayam
Kampung umur 12 minggu dengan pemberian ransum komersil adalah sebesar
21,19%. Persentase punggung ayam Kampung umur 9 minggu dengan pemberian
ransum bungkil inti sawit dan campuran enzim (fitase, amilase, protease, dan lipase)
sebesar 27,30-27,45% (Dadan, 2004).
Bobot dan Persentase Paha Atas
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot paha atas ayam Kampung umur 10
minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot paha atas
ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol dan BBJP baik tanpa diolah maupun
yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 69-107,83 g. Bobot paha atas yang
tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 107,83 g, sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1 yaitu 69 g. Hal ini diduga dari kerja racun BBJP yang
menyebabkan bobot potong rendah dan mengakibatkan bobot paha atas yang
dihasilkan rendah. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
dan BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm tidak mempengaruhi persentase paha atas ayam Kampung umur 10
minggu.
Bobot dan persentase paha atas pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%,
disebabkan dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP
dan enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
Hasil penelitian Muryanto et al. (2002) menunjukkan persentase paha atas ayam Kampung umur 12 minggu dengan pemberian ransum komersil sebesar
19,00%. Persentase paha atas ayam broiler umur 6 minggu dengan pemberian
ransum komersil dan phytogenik sebesar 18,62-19,79% (Mutaqin, 2002).
Bobot dan Persentase Paha Bawah
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BBJP tanpa diolah 7,5%
(R1) sangat nyata (P<0,01) menghasilkan bobot paha bawah ayam Kampung umur
10 minggu lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol (R0). Rataan bobot paha
bawah ayam Kampung yang diberikan ransum kontrol dan BBJP baik yang tanpa
diolah maupun yang difermentasi (R2, R3, dan R4) adalah 62,33-107,33 g. Bobot
paha bawah yang tertinggi diperoleh pada perlakuan R0 (kontrol) yaitu 107,33 g,
sedangkan yang terendah pada perlakuan R1 yaitu 62,33 g. Hal ini diduga rendahnya
bobot potong yang disebabkan dari kurangnya asupan nutrisi karena racun BBJP
yang dapat mengakibatkan penyerapan nutrisi terganggu, akibatnya bobot paha
bawah yang dihasilkan rendah. Akan tetapi secara statistik pemberian BBJP tanpa
diolah 7,5% dan BBJP difermentasi Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm tidak mempengaruhi persentase paha bawah
ayam Kampung umur 10 minggu. Pada dasarnya, jika bobot karkas rendah maka
bobot paha bawah yang dihasilkan juga rendah.
Bobot dan persentase paha bawah pada perlakuan BBJP difermentasi 7,5%,
10% dan 12,5% (R2, R3, dan R4) hampir menyamai ransum kontrol (R0), hal ini
disebabkan dari kerja enzim fitase yang dapat menurunkan asam fitat didalam BBJP
dan enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan.
Hasil penelitian Muryanto et al. (2002) menunjukkan persentase paha atas ayam Kampung umur 12 minggu dengan pemberian ransum komersil sebesar
18,00%. Persentase paha bawah ayam broiler umur 6 minggu dengan pemberian
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penggunaan BBJP (Jatropha curcas L) tanpa diolah 7,5% menurunkan bobot karkas dan kualitas karkas ayam Kampung. Penggunaan BBJP yang difermentasi
Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% ditambah dengan enzim fitase dan enzim selulase dapat digunakan sebagai substitusi bungkil kedelai.
Saran
Penggunaan BBJP tanpa diolah tidak disarankan karena dapat menurunkan
KARKAS DAN POTONGAN KARKAS AYAM KAMPUNG
UMUR 10 MINGGU YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG
BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (
Jatropha curcas
L)
TERFERMENTASI
Rhizopus oligosporus
SKRIPSI
HENDRA KURNIAWAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
KARKAS DAN POTONGAN KARKAS AYAM KAMPUNG
UMUR 10 MINGGU YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG
BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (
Jatropha curcas
L)
TERFERMENTASI
Rhizopus oligosporus
SKRIPSI
HENDRA KURNIAWAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
HENDRA KURNIAWAN D14086013. 2011. Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung Umur 10 Minggu yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terfermentasi Rhizopus oligosporus. Skripsi. Program Alih Jenis, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.
Salah satu usaha peternakan yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah usaha peternakan ayam Kampung. Ayam Kampung merupakan salah satu komoditas yang banyak diminati konsumen dan menghasilkan produk berupa daging dan telur yang memiliki harga yang bersaing. Peningkatan produksi peternakan harus didukung dengan pengadaan pakan ternak yang berkualitas tinggi, tersedia dalam jumlah yang cukup, memiliki kontinuitas dan harga yang relatif murah serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Bungkil biji jarak pagar yang di fermentasi dengan Rhizhopus oligosporus diharapkan dapat menggantikan bungkil kedelai yang harganya masih tinggi.
Penelitian dilaksanakan selama 10 minggu dari bulan Juni sampai bulan Agustus 2010 di Laboratorium Nutrisi Unggas dan Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 270 ekor ayam Kampung. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 6 ulangan. Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Perlakuan terdiri atas ransum yang tidak mengandung bungkil biji jarak pagar + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm (R0); Ransum mengandung bungkil biji jarak pagar tanpa diolah (R1); Ransum mengandung bungkil biji jarak pagar terfermentasi 7,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm (R2); Ransum mengandung bungkil biji jarak pagar terfermentasi 10% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm (R3); Ransum mengandung bungkil biji jarak pagar terfermentasi 12,5% + selulase 400 ppm + fitase 200 ppm (R4).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bobot potong pada perlakuan R0, R1, R2, R3 dan R4 berkisar antara 651,32-964,77g. Bobot karkas berkisar antara 397,67-620,33g dengan persentase 64,39%-67,96%. Bobot dada berkisar antara 105,17-160,50 g dengan persentase 25,77%-27,76%. Bobot sayap berkisar antara 61,17-91,67g dengan persentase 14,81%-15,90%. Bobot punggung berkisar antara 100-153g dengan persentase 23,63%-25,08%. Bobot paha atas berkisar antara 69-107,83g dengan persentase 15,50%-17,40%. Bobot paha atas berkisar antara 62,33-107,33g dengan persentase 15,27%-17,27%. Pemberian bungkil biji jarak tanpa difermentasi sangat nyata (P<0,01) menurunkan bobot potong, bobot karkas, bobot dada, bobot sayap, bobot punggung, bobot paha atas, dan bobot paha bawah ayam Kampung umur 10 minggu. Penggunaan bungkil biji jarak pagar yang difermentasi menggunakan Rhizopus oligosporus sampai level 12,5% relatif aman dikonsumsi ayam Kampung.
ABSTRACT
Carcass and Commercial Cut of Kampong Chicken Fed Jatropha Curcas Meal Fermented by Rhizopus oligosporus
Kurniawan, H., R. Afnan., and Sumiati
Kampung chicken is one of Indonesian local chicken which many consumers interested in the form of meat and egg products which have a competitive price. The oncreased of livestock production must be supported by the procurement of high-quality livestock feed, available in sufficient quantities, have continuity and a relative cheap price and do not compete with human needs. The purpose of this study was to investigate the effect of jatropha curcas meal fermented using Rhizopus oligosporus in the diet on carcass yield and carcass pieces of kampong chickens. The diet treatments used were ; R0=the diet without jatropha curcas + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R1=the diet contained unfermented jatropha curcas 7,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R2=the diet contained fermented jatropha curcas 7,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R3=the diet contained fermented jatropha curcas 10% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm, R4=the diet contained fermented jatropha curcas 12,5% + cellulase 400 ppm + phytase 200 ppm. Two hundred and seventy DOC kampong chickens were used in this research and reared up to 10 weeks old. The research was conducted at Laboratory of Poultry Nutrition, Faculty of Animal Science Bogor Agricultural University. A completely randomized design with five treatments and six replications was used in this experiment. the results showed that feeding unfermented jatropha curcas highly significantly (P<0.01) decreased the live and carcass weight, as weel as the weight of breast, wing, back, femur, and tibia of kampong chickens at the age of 10 weeks old. The conclusion of this research is that fermented jatropha curcas could be used up to 12,5% in the diet of kampong chickens reared up to the age of 10 weeks old.
KARKAS DAN POTONGAN KARKAS AYAM KAMPUNG
UMUR 10 MINGGU YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG
BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (
Jatropha curcas
L)
TERFERMENTASI
Rhizopus oligosporus
HENDRA KURNIAWAN D14086013
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung Umur 10 Minggu yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L) Terfermentasi Rhizopus Oligosporus
Nama : Hendra Kurniawan NIM : D14086013
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc. Agr.) (Dr. Ir. Sumiati, M.Sc.) NIP 19680625 200801 1 010 NIP 19611017 198603 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP 19591212 198603 1 004
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 Januari 1987 di Banda Aceh. Penulis adalah anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Drs. H. Bachtiar Darpan dan Ibu Hj. Zainab S.Pd.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN 1 Kuta Panjang Kecamatan Kuta Panjang, Kabupaten Gayo Lues, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTP N 1 Blang Kejeren, Kecamatan Blang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMA N 1 Blang Kejeren, Kecamatan Blang Kejeren, Kabupaten Gayo Lues.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada program keahlian Teknologi dan Manajemen Ternak, Direktorat Program Diploma, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu di Program Alih Jenis Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan.
Skripsi ini berjudul ” Karkas dan Potongan Karkas Ayam Kampung Umur 10 Minggu yang Diberi Ransum Mengandung Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L) Terfermentasi Rhizopus Oligosporus”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Unggas dan kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 10 minggu dari bulan Juni sampai Agustus 2010.
Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan limbah industri pertanian hasil pengolahan minyak jarak pagar menjadi biodiesel. Bungkil biji jarak pagar mengandung protein kasar sebesar 58-60%, namun beberapa zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam bungkil biji jarak dapat menghambat penggunaan protein tersebut jika diberikan pada ternak. Untuk mengurangi zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam bungkil biji jarak perlu dilakukan detoksifikasi bungkil biji jarak. Dalam penelitian ini detoksifikasi dilakukan secara biologis yaitu dengan fermentasi menggunakan kapang Rhizopus oligosporus yang bertujuan untuk menurunkan kadar lemak dan antitripsin, rendahnya kadar lemak diharapkan sejalan dengan rendahnya kandungan phorbolester dalam bungkil biji jarak. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian bungkil biji jarak pagar difermentasi Rhizopus oligosporus dalam ransum terhadap persentase dan potongan karkas ayam Kampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai sumber informasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Bogor, Oktober 2011
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi Kimia Bungkil Ekstraksi dari Jatropha curcas Varietas
Beracun dan Non-Racun (% Bahan Kering) Tanpa Cangkang…..……. 7 2. Antinutrisi BBJP Sebelum dan Sesudah Pengkusan…... 8 3. Kandungan Zat Antinutrisi Penting dalam Bungkil Biji Jarak dari
Varietas Beracun dan Non-Racun... 9 4. Komposisi dan Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Umur
0-10 Minggu... 17 5. Konsumsi Ransum dan Antinutrisi Ayam Kampung Selama 7 Minggu
Pemeliharaan…………...………... 23 6. Bobot dan Persentase Karkas serta Potongan Karkas Ayam Kampung
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Potong Ayam Kampung ... 40 2. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Karkas Ayam Kampung ... 40 3. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Dada Ayam Kampung ... 41 4. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Sayap Ayam Kampung ... 41 5. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Punggung Ayam
Kampung ... 42 6. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Paha Atas Kampung ... 42 7. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Bobot Paha Bawah Ayam
Kampung ... 43 8. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Karkas Ayam
Kampung. ... 43 9. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Dada Ayam Kampung. ... 43 10. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Sayap Ayam
Kampung. ……… 44
11. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Punggung Ayam
Kampung ... ………... 44 12. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Paha Atas Ayam
Kampung ... 44 13. Hasil Analisis Ragam (ANOVA) Persentase Paha Bawah Ayam
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan komponen terbesar yang mempengaruhi produksi unggas,
disamping kualitas dan kuantitas DOC (Day Old Chick) serta manajemen
pemeliharaan. Pakan ternak menempati posisi strategis dalam dunia peternakan, dan
tidak kurang dari 70% biaya produksi ternak adalah biaya pakan. Oleh karena itu,
pakan menjadi sangat menentukan efisiensi produksi dan mutu hasil ternak.
Beberapa permasalahan utama dalam dunia perunggasan adalah masalah
penyediaaan bahan baku pakan. Saat ini beberapa bahan pakan masih banyak
diimpor, sebagai contoh bungkil kedelai. Sebagai konsekuensinya, harga pakan
unggas selalu mahal. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan
pakan alternatif lokal yang tersedia di Indonesia dengan harga murah, ketersediaan
terjamin serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu bahan pakan non
konvensional yang memiliki potensi dijadikan pakan unggas adalah bungkil biji jarak
pagar (Jatropha curcas L).
Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil sampingan pengolahan biji
jarak pagar menjadi minyak jarak. Potensi yang dimiliki BBJP adalah ketersediaan
yang berlimpah hasil penggunaan minyak biji jarak pagar sebagai bahan bakar
alternatif yang menghasilkan bungkil dalam jumlah yang cukup besar serta memiliki
kandungan protein kasar sebesar 58-60% (Makkar et al., 1998). BBJP mempunyai kelemahan dengan adanya kandungan racun, seperti curcin dan forbolester yang berbahaya. Upaya baik secara fisik, kimia maupun biologi perlu dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan racun tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah
dengan memfermentasi BBJP dengan Rhizopus oligosphorus yang menghasilkan enzim protease, lipase, α-amylase, glutaminase, dan α-galactosidase. Adanya
enzim-enzim tersebut diharapkan dapat menurunkan antinutrisi dan racun yang terkandung
dalam BBJP dan sekaligus meningkatkan nilai nutrisinya (Han et al., 2003)
Pemberian BBJP yang difermentasi menggunakan kapang Rhizopus oligosphorus sebanyak 5% menurunkan berat akhir ayam Kampung sebesar 10,14% dibandingkan dengan pakan kontrol. Penambahan enzim fitase dan selulase diberikan
untuk menaikkan bobot akhir ayam Kampung sehingga dapat menyamai pakan
pada BBJP dan peran enzim selulase yang dapat merombak serat kasar dalam pakan
(Sumiati et al., 2009).
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari pengaruh pemberian BBJP
TINJAUAN PUSTAKA
Jarak Pagar (Jatropha curcas L)
Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak tahun 1942-an. Beberapa nama daerah (nama lokal) yang diberikan
kepada jarak pagar ini antara lain Jarak Kosta, Jarak Budeg (Sunda), Jarak Gundul,
Jarak Pager (Jawa), Jarak Pager (Bali), Lulu Mau, Paku Kale, Jarak Pageh
(Nusatenggara), dan Al Huwa Kamala (Maluku). Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam di sepanjang tepi jalan sehingga dikenal
dengan sebutan tanaman jarak pagar. Tanaman perdu asal Amerika ini memiliki
klasifikasi sebagai berikut, kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Rosidae, ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae, genus Jatropha, dan spesies Jatropha curcas. Tanaman jarak diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Jatropha curcas L. (Biotechcitylucknow, 2007)
Tanaman jarak merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada tanah yang
kurang subur tetapi memiliki drainase yang baik dan tidak tergenang air. Tanaman
jarak tumbuh optimal pada suhu berkisar antara 18 °C – 30 °C, ketinggian 0 - 2000
m di atas permukaan laut (dpl), dan curah hujan antara 300 mm - 1200 mm (Haryadi,